Jumat, 08 Februari 2008

Reruntuhan pesawat

Hari ini (2/10/06) media massa di Tanah Air memberitakan peristiwa pesawat terbang komersial Brasil 73-800 bernama Gol yang jatuh di hutan rimba Amazon. Badan pesawat yang nahas itu disebut "reruntuhan".

Entah mengapa pesawat yang jatuh itu disebut "reruntuhan", tak jelas benar riwayatnya. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengatakan "reruntuhan" berasal dari lema "runtuh" yang berarti roboh atau rusak dsb (tt bangunan); jatuh ke bawah atau terban krn rusak (tt barang yang berat-berat).

Dari kata "runtuh" itu turun kata reruntuhan yang berarti runtuhan barang yang telah roboh, sisa-sisa bangunan yang rusak, puing, runtuhan-runtuhan.

Sejalan dengan itu juga dalam bahasa Indonesia dikenal juga kata "rerumputan" (rumput yang tumbuh tidak teratur di sana sini), "pepohonan" (pohon-pohonan), dan "dedaunan" (berbagai macam daun, daun-daunan).

Mungkin karena hendak beranalogi (sebab ada kemiripan bunyi rer--an, pep--an, dan ded--an pada kata runtuh, pohon, dan daun) Ebiet G Ade pada tahun 1970-an menciptakan kata "bebatuan".

Dalam alunan nada sedih yang menyentuh kalbu, Ebit menulis lagu berjudul Berita Kepada Kawan. Dengarkan sebagian liriknya:

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk di sampingku, kawan
Banyak cerita yang mestinya kausaksikan
Di tanah kering "bebatuan"

Kata "bebatuan" pada lirik lagu itu mungkin sekali terucap begitu saja karena kreativitas Ebiet. Pada halaman 113 KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ada kata "batu", dan dari lema itu turun kata "berbatu", berbatu-batu" dan "berbatuan" (penuh dengan batu). Tetapi, tidak ada kata "bebatuan".

Tentu saja tidak ada orang yang berhak menyalahkan Ebiet untuk mengucapkan kata "bebatuan". Soalnya, ada reruntuhan, ada pepohonan, dan ada pula dedaunan, dan karena itu boleh-boleh saja Ebiet mengucapkan "bebatuan".

Tetapi, pesawat yang jatuh itu disebut "reruntuhan" terasa agak ganjil, sebab Gol itu bukan bangunan (gedung, rumah) yang bisa runtuh atau roboh karena gempa bumi.

Bejo yang jatuh dari pohon mangga, remuk tubuhnya karena terempas dahan dan ranting dan jatuh ke tanah. Tetapi, badan Bejo yang remuk itu tidak pernah kita sebut "reruntuhan".

Rumah atau gedung yang diterjang angin topan roboh atau runtuh bukan karena dia jatuh dari atas, seperti halnya pesawat terbang. Maka bangunan yang nahas itu kita sebut "reruntuhan". Demikian pula tanah yang longsor mestinya dapat disebut "lelongsoran".

Pesawat terbang Gol milik Brasil itu tidak runtuh atau roboh. Dia jatuh dari langit dan terempas di hutan rimba Amazon. Karena itu, badan pesawat yang nahas itu mestinya disebut "jejatuhan".

Kata "jejatuhan" itu memang tidak ada dalam kamus KBBI, sama seperti "bebatuan" itu juga tidak ada dalam kamus. Tetapi setiap kali ada bencana, lagu Ebiet selalu dinyanyikan orang di mana-mana, dan "bebatuan" itu pun diucapkan berulang-ulang.

Akhir-akhir ini orang sudah mulai menggunakan kata "jejaring(an)" dari kata "jaring". Mungkin maksudnya banyak jaring. jaring-jaring atau berjaring-jaring.

I. Umbu Rey

Gondol vs gonggong

Kata teman saya, "gondol" dipungut dari bahasa Jawa. Artinya, membawa sesuatu dengan moncong. Pekerjaan menggondol itu hanya dilakukan oleh binatang seperti kucing atau anjing. Kata ini digunakan karena --menurut rekan saya yang asli Jawa-- tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Sesungguhnya padanan kata "gondol" itu dalam bahasa Indonesia adalah "gonggong". Tetapi rekan saya bersikeras bahwa kedua kata itu berbeda. Menggondol bisa dilakukan oleh semua hewan bermoncong, sedangkan menggonggong cuma bisa dilakukan oleh anjing. Kucing itu mengeong, dan tidak bisa menggonggong, katanya.

Dalam benak teman saya itu, gonggong adalah suara keras yang keluar dari mulut anjing yang sedang marah. Menggonggong sama persis dengan menyalak, seperti pada peribahasa lama "anjing menggonggong kafilah berlalu".

Yang dimaksudkannya dengan menggonggong itu adalah bunyi anjing seperti "gonggong... gong...gonggong!" Itu saja. Padahal, suara yang keluar dari mulut anjing bukan cuma gonggong. Anjing yang ekornya kejepit pintu berbunyi "kang, kang, kang!!" Anjing yang kesakitan karena kepalanya kena bogem mentah berbunyi "kaing, kaing, kaing!". Anjing yang kegirangan menyambut tuannya dari kantor mengeluarkan suara "nguk, nguk, nguk" sambil mengibas-ngibaskan ekornya.

Sebenarnya, menggonggong itu bukan saja dilakukan oleh anjing atau kucing, atau buaya. Burung pun dapat juga menggonggong. Sebab itu ada peribahasa "seperti gagak menggonggong telur". Itu kiasan atau sindiran kepada seorang lelaki berkulit hitam legam tetapi memiliki istri berkulit putih.

Dalam perkembangannya, gonggong kalah pamor dari gondol. Pekerjaan mengonggong setakat ini dipahami orang masih tetap dilakukan oleh anjing saja, tetapi menggondol telah masuk ke dalam gelanggang olahraga. Hampir setiap kali seorang atlet keluar sebagai pemenang pertama dalam suatu pertandingan, wartawan olahraga pastilah menulis "menggondol juara pertama".

Yang menjadi masalah, menggondol dalam istilah olahraga sudah seperti kacang lupa kulit. Dia tidak lagi berarti membawa lari dengan mulut atau moncong, tetapi lebih bermakna "merebut kemenangan". Karena itu, kalau pelari marathon, misalnya, berhasil menggondol juara pertama, janganlah lekas-lekas menyatakan bahwa pemenang itu anjing.

Manalah mungkin seorang atlet menggondol juara pertama dengan mulut atau moncongnya. Atlet itu pun tidak mungkin membawa lari piala dengan mulutnya. Nanti disangka anjing atau kucing.

Anehnya, atlet yang menang bukan saja menggondol piala kemenangan, tetapi berhak juga "menduduki" juara pertama. Yang terakhir ini sudah melenceng juga dari makna sebenarnya sebab belum pernah terdengar orang berkata "menduduki" piala bergilir.

Menduduki artinya "duduk di ". Misalnya: jangan menduduki bangku orang lain (KBBI). Jadi, menduduki juara pertama sama saja dengan duduk di atau meletakkan pantat di atas juara pertama.
Kalau demikian, mungkinkah si atlet duduk di piala bergilir?

Ini mungkin pembiasan atau penyimpangan arti, tetapi terpaksa diterima sebagai kebenaran sebab KBBI edisi ketiga halaman 277 --dalam kasus yang serupa dengan menduduki juara pertama-- mencatat bahwa "menduduki jabatan" berarti "menempati jabatan".

Karena itu pula setiap kali wartawan Antara menggunakan istilah "menduduki jabatan" maka saya tidak lagi berhak mengatakan itu kesalahan. "Kan ada di kamus," kata wartawan itu dengan suara lengking seperti anjing mengonggong.

Cuma, saya bingung....jabatan kok diduduki? Biasanya yang ditempati atau yang diduduki itu kursi jabatan.

I. Umbu Rey

Dongkrak

Domakracht (mudah-mudahan begitulah tulisannya) adalah omongannya orang-orang Belanda. Itu perkakas oto atau mobil. Gunanya untuk mengungkit bodi kendaraan kalau mau pasang ban. Tetapi, karena lidah orang Indonesia pada umumnya tidak bisa ditekuk-tekuk supaya persis seperti Belanda, maka jadilah "dongkrak".

Masyarakat Indonesia di wilayah timur dan khususnya di Nusa Tenggara Timur, tidak mengenal dongkrak. Alat pengungkit mobil itu mereka sebut "doma" saja, yakni dua suku kata pertama dari kata Belanda itu.

Kata dongkrak kalau diterjemahkan menjadi "pengungkit" dalam bahasa Indonesia terasa tidak pas benar sebab terlalu umum. Dongkrak itu pada awalnya digunakan khusus untuk mengungkit kendaraan berat. Lagi pula, dongkrak sudah telanjur merupakan nama benda. Jadi, kalau orang menyebut "dongkrak" maka yang dimaksudkan pastilah alat pengungkit mobil.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga pada halaman 274
mencatat lema "dongkrak" sebagai alat untuk mengumpil atau menaikkan mobil dsb. Itu arti yang utama, sebab alat itu hanya terdapat di dalam bengkel atau diletakkan di dalam mobil dan selalu dibawa ke mana-mana.

Ketika sudah dianggap lazim, maka kata dongkrak pun dipakai di mana-mana dan tidak lagi sekadar nama perkakas oto. Menurut KBBI, dongkrak dapat juga berarti menyanjung-nyanjung atau memuja-muji.
Seorang murid yang pintarnya di bawah standar bisa naik kelas setelah nilai ujiannya ditingkatkan pakai kata "dongkrak". Pak Guru "mendongkrak" nilai ujian muridnya itu.

Kata yang bersinonim dengan "dongkrak" adalah bicu, tuil, dan tuas,
sebab alat-alat ini biasa digunakan juga untuk mengungkit. Tetapi
nasib ketiga kata itu tidak terlalu beruntung sebab tidak dikenal orang. Sebagai pengganti kata "tuas", misalnya, orang lebih suka menyebut "tongkat" pemindah gigi mobil untuk menaikkan kecepatan.

Dongkrak tampaknya menjadi sangat tenar sebab saban hari orang menyebut kata itu. Sekarang ini, dongkrak bahkan tidak lagi melulu ada di bengkel atau di dalam mobil. Di warung-warung makan pinggir jalan atau di restoran pun dengan mudah dongkrak itu bisa ditemukan.

Dongkrak yang ada di rumah-rumah makan bukan lagi pengungkit yang terbuat dari besi baja, tetapi merupakan potongan bambu yang diraut kecil-kecil dan ujungnya runcing seperti jarum. Nama aslinya "tusuk gigi", tetapi sekarang sudah disebut dongkrak juga. Gunanya untuk mengungkit remah nasi atau daging yang terselip di celah-celah gigi.

Kata dongkrak dapat dipakai di semua bidang kehidupan, tetapi masih tetap dengan makna "ungkit". Di bidang politik, PDIP akan berusaha untuk "mendongkrak" jumlah suara pada pemilu 2009 agar dapat mengungguli partai lain.

Berhubung dongkrak itu adalah alat yang bisa naik dan turun, maknanya bisa pula membias ke arah yang lain. Jari kelingking atau telunjuk mungkin sekali dapat berubah menjadi dongkrak jika dipakai untuk
mengungkit upil. Jadi, mengupil bisa juga berarti mendongkrak.

Waktu grup lawak Dono, Kasino, dan Indro masih berjaya pada awal
tahun 1980-an, dongkrak telah dipelesetkan menjadi alat kelamin lelaki. Sebab kalau kena rangsangan bisa naik dan tegak seperti dongkrak.

I. Umbu Rey

Selasa, 05 Februari 2008

Menyumpah dan Menduduki Jabatan

Kata "sumpah" dapat sekaligus mengartikan perbuatan baik dan buruk. KBBI berkata bahwa "sumpah" dapat berarti pernyataan resmi dengan bersaksi kepada Tuhan. Tetapi dia juga berarti kata-kata yang buruk (maki-makian) atau kutuk, dan tulah.

Dengan demikian "menyumpah" dapat berarti mangangkat sumpah tetapi juga berarti memaki atau mengutuk orang lain. Jadi, perbedaan kata ini bergantung pada konteks. Orang yang menyumpah ketika sedang marah-marah, berarti dia sedang memaki-maki, tetapi orang yang menyumpah pada acara pelantikan, berarti dia sedang mendapat rezeki kenaikan jabatan.

Arti dalam KBBI ini saya anggap benar sajalah karena begitulah orang ramai mengucapkannya. Sama halnya dengan perkara "menggali lubang" dan "menanak nasi" kita boleh setuju dengan KBBI, tetapi tidak dilarang juga jika saya membantahnya lewat pernalaran. Kebiasaan orang ramai mengucapkan suatu kata sering sekali membikin kita bingung memahaminya. Itu sebabnya terjadi perdebatan (kusir) dalam milis ini.

Sepengetahuan saya, kata "menyumpah" itu sesungguhnya hanya terjadi ketika orang sedang marah-marah. Orang yang dilantik dalam acara pelantikan kenaikan jabatan itu adalah orang yang sedang "bersumpah". Artinya, dia sedang mengangkat sumpah atau mengucapkan sumpah untuk bertanggung jawab atas pekerjaan yang akan diembannya.

Jadi sebenarnya, awalan "ber" pada kata "bersumpah" itu berarti mengangkat sumpah atau janji, sedangkan awalan "me" pada kata "menyumpah" hanya berarti mengucapkan atau melontarkan kata-kata kotor saja, atau mencaci maki, atau mengutuk.

Para wartawan sering kali menulis bahwa pada suatu upacara pelantikan pejabat, si A telah "disumpah" untuk menduduki jabatan tertentu. Maka timbullah pertanyaan, jikalau si A disumpah, siapa pula yang menyumpah dia? Rasanya tak mungkinlah seorang menteri dalam negeri, misalnya, menyumpah gubernur dalam suatu acara pelantikan. Menteri itu mengambil sumpah gubernur di hadapan Tuhan.

Ibu si Malin Kundang dalam cerita rakyat Sumatera Barat tidak pernah bersumpah atau berjanji, tetapi dia "menyumpah" anaknya atau mengutuk anaknya yang durhaka itu sampai menjadi batu, lantaran dia kesal atau marah.

Kata "menduduki jabatan" juga menimbulkan masalah jika ditelusuri lewat pernalaran. Anda atau sebagian dari anggota milis ini boleh-boleh saja berkata, "Akh, itu kan sudah biasa, tidak semua harus pakai logika!" Betul. Tetapi, frasa "menduduki jabatan" harus pula diluruskan karena tidak sesuai dengan pernalaran berbahasa. Karena keliru.

Bahasa Melayu pada umumnya mengenal lawan kata. Jika ada naik maka ada turun, dan jika ada tinggi maka ada rendah, dan ada panjang maka ada pula pendek. Begitu juga dengan "menduduki jabatan"?

Setahu saya (itu pun menurut guru saya di kampung), seorang pejabat yang mengemban tugas menurut jabatannya maka dia disebut sedang "memangku jabatan" dan jika sudah habis masanya maka pejabat itu akan "meletakkan jabatan". Begitu juga jika dia telah "memegang jabatan" maka suatu ketika dia akan "melepaskan jabatan".

Nah, kalau seseorang "menduduki jabatan", apa pula istilahnya jika suatu hari kelak dia tidak lagi menduduki jabatan itu? Bukankah "menduduki jabatan" itu berarti jabatan yang menderita pekerjaan diduduki? Sungguh saya sangat merasa kasihan pada jabatan itu karena telah diduduki selama lima tahun.

Saya mungkin keliru, tetapi rasa-rasanya masyarakat pada umumnya terbiasa mengucapkan istilah "menduduki kursi jabatan" sebab suatu hari kelak seorang pejabat yang sudah genap waktu tugasnya harus "meninggalkan kursi jabatan" itu, atau turun takhta atau lengser ke prabon.

Tidak ada kelaziman seorang pejabat "memangku kursi jabatan" atau "memegang kursi jabatan". Kursi itu bukan untuk dipangku sebab terlalu berat, dan tidak pula untuk dipegang saja. Itu sebabnya seorang yang sudah dilantik atau sudah bersumpah harus menduduki kursi jabatannya.

Orang Belanda telah "menduduki wilayah" Nusantara selama lebih dari 300 tahun. Belanda tidak pernah "memangku wilayah" dan tidak pula "memegang wilayah" Nusantara. Ketika negara Indonesia terbentuk dan menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 maka orang Belanda terpaksa harus "meninggalkan wilayah" yang didudukinya itu.

Coba Anda diduduki selama lima tahun, mau?

I. Umbu Rey

Peluit panjang

Sepakbola Liga Inggris dan sepakbola Liga Indonesia sama-sama ramai. Yang lebih ramai kalau wasit meniup "peluit panjang" dan pertandingan sepakbla itu usai. Pihak yang menang bersorak-sorak kegirangan.

Peluit di mulut wasit itu sebenarnya tidak panjang. Kalau tidak percaya, periksa saja ke Stadion Bung Karno. Benda itu sebenarnya mirip benar dengan kepala bebek yang paruhnya dimasukkan ke mulut wasit.

Benda itu disebut peluit entah sejak kapan. Dalam bahasa Indonesia sehari-hari orang biasa menyebut sempritan. Tetapi, sempritan tidak lazim digunakan dalam pertandingan resmi. Orang Timor menyebut "floit, atau "lefrik". Wasit di lapangan sepakbola tidak menggunakan klakson sebab nanti dikira mobil polisi.

Gara-gara sempritan atau peluit, pemain bola bisa kena prikik di lapangan tetapi di jalan raya pengendara motor dan sopir bisa kena prikik juga. Prikik di jalan raya adalah kebiasaan polisi menjatuhkan tilang.

Meskipun begitu, kata "prikik" itu belum juga masuk KBBI, padahal kata itu lebih tua dari "memble" dan "kece". Dua kata yang terakhir sudah lama masuk kamus besar meski sekarang ini jarang digunakan orang.

Prikik adalah bahasa percakapan yang diserap mentah-mentah dari kata Inggris "free kick". Artinya tendangan bebas yang diberikan kepada lawan setelah wasit meniup peluit.

Ketika pertandingan akan usai wasit biasanya meniup peluit panjang. Yang jadi masalah, yang panjang itu sebenarnya apa? Peluit, tiupan, ataukah bunyi peluit. Atau, mungkin bibir wasit itu yang panjang.

Peluit itu mungkin juga berasal dari kata Ingris "flute" yang berarti suling atau seruling. Alat musik tradisional ini memang bentuknya bulat panjang karena terbuat dari bambu. Tetapi, mana ada wasit bawa-bawa suling ke lapangan sepakbola.

"Peluit" mungkin sekali berasal dari bahasa Belanda "fluit" lalu terserap begitu saja menjadi "peluit" karena orang Indonesia tidak bisa mengucapkan fonem "f". Hampir seluruh suku bangsa di negeri ini tidak dapat mengucapkan "ef" karena bahasa ibunya pun tidak mengenal bunyi itu.

Orang Indonesia sebenarnya cuma bisa menyebut bunyi "ep", konon, karena bibir orang Indonesia itu lebih panjang daripada hidung. Bunyi "ef" itu memang datang dari bahasa Inggris (pada umumnya) dan bahasa Arab.

Orang Eropa dan Arab memiliki hidung panjang, sehingga mulut mereka terlihat masuk ke dalam, dan itu mungkin sebabnya mereka gampang menyebut "ef". Yang berbeda, orang Eropa bisa bilang "ep" sedangkan orang Arab kalau sebut "ep" bisa muncrat ludahnya lantaran bunyi "pe" tidak dikenal dalam bahasa Arab.

Demikian juga orang Inggris bisa bilang "cheat" tetapi orang Arab jangan harap bisa menyebut "cekcok", sebab ca ci cu ce dan co tidak dikenal juga dalam bahasa Arab.

Di kantor saya, ada orang dari suku Sunda bernama Saifudin, tetapi dia sendiri tidak bisa melafalkan namanya sendiri. Ketika orang lain menuliskan namanya dengan huruf "p" dia protes, "Nama saya harus ditulis dengan huruf ep. "Hehehe...memble."

"Memble" itu memang pas buat orang Indonesia, karena bibirnya kepanjangan sampai terlipat ke bawah. Mirip-miriplah artinya dengan kata "dower" (tebal dan menonjol ke depan). Misalnya, Tukul itu memble, dan Titi Dwi Jayati itu dower.

Bahasa Jawa dan Sunda mungkin paling banyak kosa katanya, tetapi tidak memiliki fonem "f". Di Indonesia Timur ada beberapa suku bangsa yang dapat mengucapkan bunyi "ef" yaitu suku Timor yang berbahasa Tetun, Flores bagian tengah sampai timur, Lembata, orang Rote, orang Kisar di Maluku Tenggara yang berbahasa Tetun, dan orang Papua.

Orang Rote di Nusa Tenggara Timur, misalnya, dapat mengucapkan "Mai fali, Mama hala ita fali" (Pulanglah, Mama panggil kita agar kembali).

Bahasa Indonesia membuat penuturnya cerdas, dan bisa menyesuaikan bibir mereka dengan bahasa orang Eropa. Kalau dulu, orang Indonesia hanya dapat menyebut "petua(h)" sekarang ini kata "fatwa" sudah biasa.

Bibir orang Indonesia kini semakin demokratis juga lantaran bukan cuma bisa mengecup dan mencium. Cipok-cipokan juga bisa! Malah lebih hebat dari bibir orang Amerika.

Yang agak susah dimengerti adalah wasit "meniup peluit panjang". Waktu pertandingan sepakbola usai, wasit meniup peluit, dan keluarlah bunyi nyaring: priiiit, priiit, priiit!!!"

Jadi, ketika wasit meniup peluit panjang sebenarnya bukan peluit itu yang panjang. Yang panjang itu ternyata "prit".

I. Umbu Rey

Akhiran "an" menyenangkan

Pak TD Asmadi --ketua FBMM (Forum Bahasa Media Massa)-- gelisah bukan main ketika akhiran "an" ditempel di sembarang tempat secara tidak beraturan. Dia bilang, kata benda itu jangan lagi diberi akhiran "an" sebab berlebihan dan kedengarannya sangat ganjil.

Setakat ini --mungkin karena pengaruh bahasa daerah terutama Jawa-- kata-kata benda seperti sekolah telah diucapkan orang menjadi sekolahan, jalan menjadi jalanan, kubur menjadi kuburan, pondok menjadi pondokan, kantor menjadi kantoran dan seterusnya.

"Usul" adalah jenis kata benda atau nomina, dan karena itu jangan lagi diberi akhiran "an" sehingga menjadi "usulan". Jadi, cukuplah kata itu diucapkan "kita mengajukan usul agar sidang ditunda". "Usulan" adalah hasil dari perkerjaan "mengusulkan". Kata itu turun dari kata: usul ->mengusul->pengusul->pengusulan->usulan.

Ketika Pak TDA pada suatu ketika mengomel-ngomel soal akhiran "an" yang tidak keruan penggunaannya itu, dia kelihatan gelisah, tetapi saya malah mau tertawa lantaran geli. Dia lupa, ada juga kata benda yang diberi akhiran "an" justru menghasilkan benda lain yang enak dimakan.

"Rambut" dan "duri" itu adalah kata benda, tetapi kalau ditambah akhiran "an" akan menjadi buah yang enak disantap. Karena itu jangan sekali-kali makan "rambut" dan "duri" kalau tidak pakai akhiran "an", sebab akan menghantarkan orang yang memakannya itu ke liang kubur.

Susahnya memang, aturan bahasa Indonesia kerap kali tidak dapat beradaptasi dengan bibir orang atau kebiasan orang di suatu tempat. Tetapi, kebiasaan menambah akhiran "an" pada kata benda itu justru memberi sumbangan terhadap kosa kata bahasa Indonesia.

Orang yang terkena jerawat itu kita sebut "jerawatan", begitu juga orang yang berkeringat itu disebut "keringatan", orang yang punya penyakit kudis disebut kudisan, panu menjadi panuan, kurap menjadi kurapan dan koreng menjadi korengan. Mau tambah? Buluk menjadi bulukan.

Pakaian wanita yang letaknya di bagian atas disebut atasan dan yang ada di bawah disebut bawahan.Tetapi yang ada di dalam tetap disebut pakaian dalam, dan bukan "dalaman" atau "jeroan".

Baju yang atas dan bawahnya disambung menjadi satu dahulu disebut "kleit", tetapi sekarang disebut "long dress" atau "terusan". Pengeritan ini tentu saja bukan hasil dari proses "membawahkan dan mengataskan" seperti dalam birokrasi sehingga ada orang atasan (pemimpin) dan ada orang bawahan (pegawai rendahan).

Di dalam tubuh manusia hanya ada dua anggota badan yang mendapat akhiran "an" yakni selangkang yang menjadi selangkangan dan tenggorok menjadi tenggorokan. Mulut tidak dapat menjadi mulutan atau perut menjadi perutan.

Anehnya, yang benda hidup yang terletak di selengkangan lelaki itu disebut "burung" saja dan bukan "burungan".

Menurut tata bahasa, boneka yang digantung di sawah itu disebut "orang-orangan" sebab menyerupai atau mirip dengan orang. Gunanya untuk menakut-nakuti burung pipit, gelatik atau tempua supaya tidak memakan padi.

"Mobil-mobilan" itu adalah boneka untuk mainan anak-anak sebab menyerupai mobil. Gunanya untuk membuat anak-anak gembira dan senang supaya tidak merepotkan ibunya. Begitu juga "rumah-rumahan" adalah boneka yang menyerupai rumah.

Kalau demikian, mestinya yang bergantung di selangkangan lelaki itu bukanlah burung dan lebih cocok disebut "burung-burungan" sebab mirip dengan burung kalong yang sedang tidur pada siang hari.

Jika "mobil-mobilan" adalah boneka mainan untuk menyenangkan anak-anak, maka "burung-burungan" boleh juga disebut boneka mainan ibu-ibu untuk menyenangkan bapak-bapak.

I. Umbu Rey

Senin, 04 Februari 2008

Kalbu vs Qolbu

Apakah dosanya "kalbu". Dosakah kita jika menyebut "kalbu"? Kalau ada yang mengatakan dosa, orang lain mungkin akan berkata "Tuhan itu ternyata tidak adil." Jikalau "kalbu" itu dipersoalkan karena dia berarti "anjing" dalam bahasa Arab, salahkah bibir kita mengucapkan kata itu dengan arti yang lain. Kita ini Indonesia dan bukan Arab.

Sepengetahuan saya, "kalbu" itu sudah ada dan sudah tertera dalam hikayat dan cerita pujangga lama, jauh sebelum republik Indonesia ini ada. Banyak orang yang sepengetahuan dengan saya pastilah sudah tahu dan mengerti benar bahwa "kalbu'" kita gunakan hanya dalam satu arti, yaitu "hati".

Kata "kalbu" yang berarti "anjing" sampai saat ini tidak juga tercatat dalam kamus bahasa Indonesia apa pun. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga halaman 493 mengartikan "kalbu" adalah (n) pangkal perasaan batin; hati yang suci (murni); hati. Itu saja, tidak ada arti lain dari itu.

Dalam diskusi bahasa FBBM di Bandung, Jumat 22 September 2006 yang membicarakan kata serapan dari Bahasa Arab, kasus "kalbu" itu mengemuka dan dipersoalkan kembali.

Ada kesan bahwa penggunaan kata "kalbu" itu tidak sopan (tidak menghormati) karena menyimpang dari asalnya (Bahasa Arab). Maka dalam diskusi itu banyak peserta mengajukan usul agar "kalbu" diganti saja dengan "qolbu".

Menurut beberapa peserta (wartawan) yang tampaknya fanatik bahasa Arab, kata "qolbu" itulah yang sebenarnya mewakili arti "hati". Yang lain berkata bahwa "qolbu" lebih tepat karena alfabet dalam bahasa Indonesia juga mengenal huruf "q".

Setahu saya, "qolbu" itu baru muncul dalam lima tahun terakhir, ketika Aa Gymnastiar (ustaz yang lagi naik daun dari Bandung) itu dengan sangat gencar memasyarakatkan "Manajemen Qolbu" di layar televisi.

Saya sering mengikuti ceramah beliau meskipun hanya melalui televisi, dan dalam ceramah itu Aa Gym tidak pernah terdengar berujar bahwa "qolbu" itu dia maksudkan sebagai pengganti kata "kalbu" yang berarti anjing. Beliau hanya menerangkan persoalan peri kehidupan manusia (secara lintas agama) agar setiap orang hidup dalam suasana rukun dan damai.

Tetapi ini wartawan tampaknya aneh. Mereka ribut soal "kalbu" agar diganti saja dengan kata "qolbu" supaya tidak berarti "anjing". Kata mereka, "qolbu" itulah yang dimaksudkan dengan "hati" dalam bahasa Arab, dan karena itu Aa Gym menggunakan istilah Manajemen Qolbu.

Dalam diskusi di Aula Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung itu, pembicara yang mewakili ulama Islam, Ustaz Mustafid Amna, dengan sangat bijak berkata bahwa "persoalan arti kata kalbu itu bergantung pada konteks kalimatnya dalam bahasa Indonesia". Biarkanlah "kalbu" tetap seperti itu, dan tidak usah dikembalikan ke bahasa asalnya.

Seandainya pun AA Gym menggunakan kata "kalbu", yang dimaksudkannya tentu bukanlah anjing, sebab tidak pernah dia menjelaskan mengenai persoalan anjing dalam setiap ceramahnya. Yang dia bicarakan tiada lain dari persoalan hati nurani manusia.

Lagi pula, Kepala Balai Bahasa Bandung, Abdul Khak, menegaskan bahwa "kalbu" itu memang sudah lebih dahulu ada dari "qolbu" dan diketahui umum di sejagat Indonesia itu sebagai "hati", dan bukan anjing.

Sebuah kata dalam bahasa Indonesia mungkin sekali memiliki arti yang berbeda dalam konteks yang lain. Mustafid Amna memberikan contoh kata "butuh" yang setiap saat kita sebut berulang-ulang tetapi kita tidak pernah sadar bahwa kata itu juga berarti (maaf, dia tidak mau menyebutkan artinya) dalam konteks yang lain.

Dalam kamus KBBI, "butuh" itu sama artinya dengan "zakar" atau kemaluan lelaki.

Kalimat "saya memerlukan uang", boleh-boleh saja diganti dengan "saya membutuhkan uang". Karena itu otak kita janganlah dimiring-miringkan sebab kata dasar "butuh" dalam contoh kalimat itu tidak sama dengan "zakar".

Saudari Lely, rekan wartawan dari RCTI yang juga hadir dalam diskusi itu, berkata pula, "Pak, dari dulu juga kita biasa makan 'hotdog'. Mengapa kata itu tidak dipersoalkan. Kata 'hotdog' (dari bahasa Inggris) itu boleh jadi berarti 'anjing panas'. Biarkan saja begitu. Toh, yang kita makan juga tetap roti...., dan bukan anjing!"

Sama seperti perkara "kalbu" demikian juga kita perlakukan kata "jemaah" dan "jemaat". Dua kata itu bersal dari bahasa yang sama. Maka biarkanlah rombongan orang (Islam) yang pergi naik haji ke Tanah Suci itu kita sebut "jemaah", dan jangan salahkan pula kaum Kristen jika mereka menyebut umatnya "jemaat".

Dalam diskusi itu, kata "shalat" atau "sholat" juga dipersoalkan. Banyak peserta menganggap kata itu tidak perlu diubah menjadi "salat" untuk mempertahankan ucapannya dalam bahasa Arab.

Sebenarnya KBBI mencatat "salat" (tanpa huruf 'h') oleh karena konsonan ganda "sh" tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Jikalau "shalat" harus kita gunakan juga maka akan muncul persoalan ketika mendapat imbuhan atau prefiks "me-". Menurut tata bahasa Indonesia, kita seharusnya berkata "menyalatkan" dan bukan "menshalatkan".

Pada kenyatannya, para ulama tidak juga mempersoalkan kata-kata yang diucapkannya itu berakar dari bahasa apa, seperti yang tersirat dari ucapan Pak Mustafid Amna, sebab yang terpenting adalah pesan yang disampaikannya itu dipahami oleh umat dalam bahasa Indonesia.

Anehnya, para wartawan agaknya terlalu rumit berpikir sehingga seringkali menyimpang dari arti sebenarnya. Simpang siur arti kata banyak kali memang ternjadi karena ulah wartawan.

Dalam harian Kompas (nama dan peristiwa) beberapa minggu lalu, artis cantik bernama Rieke Diah Pitaloka menyebut "onani" untuk mengatakan orang yang suka melakukan sesuatu untuk (kenikmatan) dirinya sendiri.

Rekan saya menyebut Rieke tidak sopan. Seharusnya artis itu menggunakan kata lain yang lebih enak didengar, dan mengganti kata "onani" itu dengan "swalayan" misalnya. Itu lebih sopan katanya.

Kalau demikian, jangan-jangan orang-orang yang pergi ke pasar atau toko swalayan itu bukan berbelanja, tetapi ramai-ramai pergi untuk beronani. Kata "swalayan" sebenarnya dipungut dari bahasa Sansekerta untuk memberikan padanan pada kata Inggris "super market".

I. Umbu Rey

Sabtu, 02 Februari 2008

Suami Tercinta

Koran-koran hari Jumat Februari 2007 menurunkan berita tentang penyanyi pop Yuni Shara yang pergi menjenguk suaminya Henry Siahaan di tahanan polisi. Dalam berita itu disebutkan bahwa Yuni Shara sedih karena suami tercintanya kelihatan agak kurus setelah mendekam di balik jeruji besi.

Saya menjadi agak risau dengan frasa "suami tercintanya" dalam kalimat berita di atas. Sepengetahuan saya, "cinta" itu bukan gunung yang dapat dicari tolok bandingannya, sehingga ada gunung yang tertinggi, ada yang terendah. Gunung yang tertinggi adalah Everest di Himalaya, dan yang terendah adalah Gunung Sahari, di Jakarta, misalnya.

Jika seorang istri mencintai suaminya, maka cinta itu sudah memberi pengertian tidak terbatas dan tidak ada bandingannya. Jika ada cinta yang kurang dalam atau kurang bergairah itu namanya munafik, begitu nasihat nenek-nenek zaman dahulu. Lantas, mengapa pula ada kata suami "tercinta"?

Kata "cinta" yang diberi berawalan "ter" berarti sangat dicintai, begitu kata Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI. Itu artinya bahwa suami yang paling dicintai oleh Yuni Shara adalah Henry Siahaan.

Ada kesan lain di benak saya yang muncul dari akibat penggunaan kata "suami tercinta" itu. Sudah berapa kalikah Yuni Shara menikah sampai akhirnya dia menemukan laki-laki bernama Siahaan yang sangat dicintainya itu?

Kalau begitu, suaminya yang lain tentu ada. Yang kurang dia cintai atau yang tidak dia cintai kira-kira siapa? Sejak zaman dulu, di negeri ini memang sudah ada tradisi menikah bukan dia atas landasan cinta. Hanya menuruti adat saja, atau karena nafsu libido saja.

Zaman saiki dikenal juga kawin kontrak. Kawin yang begini ini, konon, sah juga sifatnya sebab dinikahi seorang ustaz. Sesudah selesai masanya, dan uang kontrak sudah dibayar tunai, maka bercerailah mereka dengan aman dan damai.

Raden Ajeng Kartini terpaksa menikah atas tuntutan adat. Dia kawin paksa untuk menjadi istri (muda?) Bupati Rembang, dan akhirnya pun dia mati muda. Tentu saja Bupati Rembang itu bukan suami tercinta bagi seorang Kartini.

Bagaimana pula sebaliknya. Aa Gym itu beristri dua orang perempuan. Yang satu disebut Teh Nini, telah melahirkan tujuh anak, dan yang lain bernama Teh Rini, janda dengan tiga anak. Siapakah di antara keduanya itu yang disebut "istri tercinta" bagi Aa Gym. Tidak mungkinlah dua-duanya tercinta semua. Bohonglah itu.

Maka itu orang menentang polygami.

I. Umbu Rey

Sepinggang Orang Dewasa

Banjir melanda Jakarta. Airnya meluap makin ganas, dan warga Ibu Kota di wilayah yang dulu-dulunya tidak pernah kebagian banjir tahun ini harus ikut menderita karena direndam dengan air kotor.

Menurut siaran Radio Elshinta, di kawasan Monas (Monumen Nasional) Kantor Menko Kesra di Jalan Merdeka Barat telah kemasukan air sampai setinggi lutut, dan pejabat tinggi di kantor kementerian itu pun terpaksa menggulung kaki celana dan menenteng sepatu.

Dalam dua hari terakhir ini berita tentang peristiwa bencana tahunan itu pun makin heboh. Wartawan media massa baik cetak maupun elektronik sibuk bukan main mencari informasi dan fakta di lapangan. Yang mereka beritakan ternyata sama, yaitu ketinggian air sudah mencapai sebatas pinggang orang dewasa.

Ada yang melaporkan "sepinggang orang dewasa", yang lain bilang "sebatas lutut orang dewasa". Saya dan rekan di meja sunting terpaksa harus mereka-reka tinggi air yang pasti untuk ukuran sepinggang itu agar bisa dipahami oleh semua orang.

Yang dimaksud dengan ukuran sepinggang atau sedengkul orang dewasa itu berapa sentimeter? Sebab orang yang mendengar berita itu atau yang membaca di media cetak tak mengetahui siapa orang dewasa yang pinggangnya dipakai sebagai ukuran.

Jika tinggi air dapat diukur dengan pasti, tentu mereka dapat mengetahui seberapa besar tingkat bahaya banjir di suatu wilayah Jakarta. Dengan begitu mereka dapat menghindarinya dan mengikuti jalur lain.

Rekan saya di kantor adalah orang dewasa juga sebab usianya sudah kepala empat. Tetapi, tingginya cuma 145 sentimeter. Kalau diukur dari lantai maka didapat ukuran pinggangnya hanya kira-kira 60 sentimeter. Tinggi lututnya tentu lebih rendah lagi. Teman yang lain badannya menjulang nyaris menyentuh langit-langit gedung, hampir dua meter. Tinggi pinggangnya itu bisa mencapai satu setengah meter.

Ucok Baba, itu pelawak asal Medan, juga orang dewasa walaupun tingginya hanya kira-kira 50 sentimeter. Tinggi pinggangnya tentu saja lebih rendah dari itu. Dengkulnya berapa tinggi? Lantas, berapakah tinggi sebatas pinggang itu? Sedengkul itu berapa sentimeterkah?

Jikalau memakai ukuran orang dewasa, pinggang atau dengkul siapakah yang seharusnya dipakai sebagai ukuran tinggi air supaya tidak berbeda-beda ukuran tinggi air tergenang. Mengapa tidak memakai pinggang Presiden SBY saja sebagai patokan umum, sebab dengan begitu semua orang di Indonesia tentulah dapat mengira-ngira berapa tinggi air sepinggang itu.

Zaman dulu orang biasa menggunakan ukuran "setakat pinggang". Yang dimaksud dengan setakat pinggang itu adalah ukuran tinggi pinggang si pembicara atau si pelapor itu sendiri. Dengan begitu orang yang mendengar ceritanya bisa menghitung-hitung berapa persisnya ketinggian air.

Sekarang ini zaman sudah canggih ultra modern. Semua ukuran besar benda, tinggi ruang dan keadaan dapat dihitung dengan ukuran pasti menggunakan alat yang tepat. Mengapa wartawan masih saja menggunakan pinggang orang dewasa sebagai ukuran ketinggian banjir?

Susahnya, yang disebut sepinggang itu pun tidak disebutkan setara dengan berapa sentimeter atau meter sebagai ukuran yaang sudah diketahui umum. Kita tidak akan dapat membayangkan tingkat bahaya banjir di wilayah Jakarta seandainya tinggi banjir di pintu air Manggarai diukur pinggang orang dewasa.

Di bidang ekonomi dan keuangan orang berhak juga mengetahui berapa kira-kira besar uang rupiah untuk setiap satu euro atau satu dolar itu lantaran tidak semua orang awam mengerti ukuran euro.

Dalam bahasa Inggris ukuran dengan menggunakan anggota badan juga berlaku. Misalnya, pramugari mengumumkan bahwa pesawat terbang Merpati berada pada ketinggian sepuluh ribu kaki di atas permukaan laut. Begitu juga trotoar itu lebarnya lima kaki. Tetapi ukuran satu feet atau satu kaki itu sudah terukur sama dengan kira-kira 30 sentimeter.

Jikalau sepinggang orang dewasa itu sudah pula terukur, misalnya setara dengan 110 sentimeter, maka tingkat ketinggian air dapat pula diketahui secara lebih pasti oleh semua orang di semua tempat.

Dengan demikian, warga Jakarta tentu sudah harus siap-siap mengungsi ke tempat yang aman jika ketinggian banjir di pintu air Manggarai sudah mencapai 10 pinggang orang dewasa.

Februari 2007

I. Umbu Rey

Berdosa vs bersalah

Kata Inggris "innocent" dapat berarti tak bersalah bisa juga tak berdosa. Kamus Webster's Third New International Dictionary menyebut "innocent" adalah person guiltless of a crime charge, atau person free from or unacquainted with sin. Orang yang tak mengenal dosa itu misalnya anak-anak kecil atau a small child.

Dalam bahasa Indonesia "tak bersalah" berbeda dari "tak berdosa". Sepengetahuan saya, tidak ada istilah khusus dalam bahasa Indonesia untuk mengartikan sekaligus makna "tak berdosa dan tak bersalah" seperti "innocent" dalam bahasa Inggris.

Setiap orang tak akan lepas dari dosa, meskipun dia anak kecil sekalipun. Anak kecil seperti disebut di atas adalah balita. Mereka itu tidak mengenal dosa, tetapi cenderung berdosa lantaran bapak ibunya pun sudah berdosa. Tisani atau tipu sana sini itu adalah perbuatan dosa, bahkan orang dewasa yang berpikir untuk merancap pun sudah berdosa.

Berdosa itu adalah tindakan seseorang yang melanggar perintah atau hukum Tuhan seperti ajaran kitab suci. Tetapi, orang yang "bersalah" itu tidak selalu berhubungan dengan hukum agama atau ajaran para nabi.

Seseorang dinyatakan "bersalah" jikalau dia melanggar hukum adat, peraturan rumah tangga, atau karena melakukan kejahatan seperti yang disebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Hakim di Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan vonis hukuman kepada terdakwa karena "bersalah". Hakim tidak pernah dan tidak berhak menjatuhkan hukuman karena orang itu "berdosa".

Kita sering sekali membaca di media cetak atau mendengar berita dalam media elektronik bahwa gempa bumi dan bencana banjir telah menelan korban orang-orang "tak berdosa". Siapakah yang berhak menyatakan orang yang tertimpa bencana itu tak berdosa?

Uskup, pastor, pendeta, penginjil dan ustaz tak bisa mendaku (mengklaim) dirinya tak berdosa, sebab mereka juga orang-orang berdosa bahkan mungkin pendosa. Mereka pun tak punya hak untuk menyatakan umatnya atau orang lain tak berdosa.

Orang-orang yang menjadi korban bencana banjir, gempa bumi, tsunami dan runtuhan lava muntahan gunung api, atau tertimpa tanah longsor itu mungkinkah disebut "orang-orang tak berdosa?" Mereka juga belum tentu dapat dikatakan "orang-orang tak bersalah". Mereka memang tidak melanggar pasal-pasal KUHP tetapi mereka mungkin sekali berdosa atau bersalah karena telah melanggar hukum alam.

Orang-orang yang tertimpa bencana gempa dan tsunami sebenarnya telah menjadi korban karena "tidak berpengetahuan", tetapi orang-orang Jakarta yang dilanda banjir adalah orang-orang "go-block". Saban tahun Sungai Ciliwung meluap, saban tahun pula Jakarta kena banjir. Kenapa mereka "ngotot" tetap tinggal di pinggir kali? Mengapa tidak pindah dari situ.

Sebagian dari mereka mengatakan terpaksa tetap tinggal di pinggir kali karena tidak ada uang untuk beli rumah di Puncak Pass atau di Bogor. Itulah orang-orang yang bersalah, kenapa mau jadi orang miskin? Salah sendiri!

Seandainya saja Gedung DPR-RI di Senayan itu suatu saat ambruk dan reruntuhannya menimpa politisi dan politkus di dalamnya sampai mati semua, maka patutlah wartawan menulis GEDUNG DPR-RI AMBRUK MENIMPA ORANG-ORANG BERDOSA.

Orang-orang politisi dan politikus itu jelas orang-orang yang bersalah dan sudah pasti orang berdosa juga.

Februari 2007

I. Umbu Rey

Selama minum obat

Dalam kemasan obat flu D tertulis kalimat peringatan: SELAMA MINUM OBAT INI TIDAK BOLEH MENGENDARAI KENDARAAN BERMOTOR ATAU MENJALANKAN MESIN.

Ini kalimat pernah dibicarakan atau dikritik oleh seseorang di media massa karena dianggap keliru. Sudah kira-kira 20 tahun sudah berlalu tetapi kalimat pada kemasan obat flu itu tetap saja begitu.

Kalimat itu dianggap keliru karena menggunakan kata-kata SELAMA MINUM OBAT. Selama minum obat artinya selagi, sewaktu, semasa, atau ketika sedang minum obat orang yang sedang sakit tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor. Entahlah kalau mengendarai kendaraan yang tidak bermotor seperti becak atau sepeda.

Pengertian dalam kalimat itu sama seperti "selama minum kopi tidak boleh tidur" sebab orang yang sedang tidur memang tidak bisa minum kopi.

Kalimat itu seharusnya berbunyi SELAMA PENGOBATAN, ANDA TIDAK BOLEH MENGENDARAI KENDARAAN BERMOTOR ATAU MENJALANKAN MESIN. Produsen obat flu D itu ternyata tetap pada pendiriannya dan tidak pernah mengubah bentuk kalimat yang telah ditulisnya dan tidak mau memperbaikinya.

Saya pikir, produsen obat itu benar, dan saya setuju dan sependapat dengan dia. Menurut saya, produsen obat D itu sebenarnya mau berkata bahwa jikalau selama minum obat ini Anda mengendarai kendaraan bermotor, maka sebenarnya Anda tidak sedang berobat tetapi sedang malakukan akrobat.

Yang bisa begitu cuma pesulap Deddy Corbuzier, atau pemain sirkus. Itu juga kalau dia lagi sehat. Jadi, jangan harap sembuh kalau sedang sakit flu, lalu Anda minum obat sambil naik motor. Mungkin sekali Anda bisa dapat celaka.

Januari 2007

I. Umbu Rey

Pidana

Pidana itu apa? Sekarang ini artinya sudah campur aduk. KBBI juga merekam yang campur aduk itu sampai saya bingung mau menafsirkan apa itu pidana.

Waktu saya belajar Pengatar Ilmu Hukum, guru saya berkata bahwa "pidana" adalah tindak kejahatan yang dapat dihukum atau diganjar dengan hukuman (kurungan penjara, denda atau tembak sampai mati).
Pidana itu disebut kejahatan yang dapat dihukum, oleh karena ada juga kejahatan yang tidak dapat dihukum.

Dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) kejahatan yang "tidak dapat" dihukum itu disebut dalam bahasa Belanda "noodweer", yaitu perbuatan kejahatan yang dilakukan karena terpaksa. Apa pun istilahnya, pidana itu maksudnya adalah kejahatan. Titik. Itu yang saya tahu.

Orang awam, sejak zaman dulu ketika saya masih sekolah di kampung, pada umumnya tak mengenal istilah pidana, sebab kitab suci yang mereka baca pun tidak menggunakan istilah pidana. Ya haruslah ya, dan tidak haruslah kita katakan tidak, lain dari itu jahat. Yang jahat itu tentu kita semua tahu, yaitu perbuatan melanggar hukum, peraturan, dan adat istiadat.

Kejahatan adalah perbuatan buruk yang merugikan orang lain, dan yang melakukan itu patut diganjar dengan hukuman. Karena itu jelas, bahwa "pidana" itu bukanlah "hukuman". Tetapi bahasa di kalangan orang ilmuwan dan orang paham hukum, istilah pidana itu mereka cuap-cuap --menurut pengamatan saya-- sudah campur aduk.

Kadang-kadang disebut "kejahatan" tetapi lain waktu disebut "hukuman". Kadang-kadang "dipidana" artinya "dihukum". Contoh: dipidana dengan hukuman penjara selama-lamanya 10 tahun penjara.

Coba perhatikan rekaman KBBI edisi ketiga pada halaman 871. Pidana: n Huk, kejahatan (tt pembunuhan, perampokan, korupsi, dsb): kriminal. Seterusnya, contoh:

-- anak-anak adalah pidana yg dikenakan thd anak-anak yang melakukan perbuatan yg bertentangan dengan hukum pidana. --badan adalah pidana yg dikenakan thd tubuh atau anggota badan seseorang yang melanggar hukum (spt pemotongan anggota badan, pencambukan, atau cap bakar).

-- denda adalah pidana berupa pembayaran sejumlah uang oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. --kurungan adalah pidana berupa hilangnya kemerdekaan yang bersifat sementara bagi seseorang yang melanggar hukum. Dan seterusnya dan seterusnya.. ......dst.

Jikalau "pidana" itu diartikan sebagai "kejahatan" mengapa pidana (kejahatan) pada contoh dalam KBBI itu bisa dikenakan thd anak-anak, badan, dan denda? Menurut pemahaman saya, "anak-anak, badan, denda, dan kurungan, dst" dalam contoh pada kamus itu bukan kejahatan atau pidana.

Sekilas tampak, kata "pidana" itu sudah menjalar-jalar kian kemari sehingga dapat disimpulkan dengan arti "hukuman". Contohnya, pidana badan, pidana denda, dan pidana kurungan. Tetapi, KBBI tidak memberi arti "hukuman" pada lema pidana.

Saya mungkin keliru membaca kamus, tetapi pada kenyataanya memang begitulah yang tertulis ketika para wartawan menyiarkan berita mengenai pengadilan.

Tinggallah kusendiri terpaku menatap langit....Bingung!

Januari 2007

I. Umbu Rey

Piala Citra

Kantor berita Antara menurunkan sebuah berita berjudul Masyarakat Film Serahkan Piala Citra ke Menbudpar. Mereka mengembalikan piala itu untuk memprotes para juri yang dianggap tidak adil dalam Festival Film Indonesia karena telah memenangkan film yang dianggap jiplakan (plagiat).

Tetapi, yang mereka serahkan kembali itu menurut saya bukan piala, sebab benda yang merupakan lambang keberhasilan orang-orang film itu sedikitpun tidak mirip dengan piala. Lalu, kenapa disebut piala?

Piala itu adalah tempat minuman (cawan) yang dibuat dari kaleng, gelas, atau kaca. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menjelaskan piala adalah cawan berkaki dibuat dari emas atau perak, dipakai sebagai tempat minum raja-raja.

Mungkin karena dipakai hanya oleh raja-raja, maka piala itu dianggap bernilai tinggi dan kemudian digunakan sebagai tanda penghargaan dalam kejuaraan olahraga.

Piala itu "bersaudara dekat" dengan mok, dan cangkir, karena mirip bentuknya dan sama-sama pakai telinga sebagai pegangan. Mangkuk dan piring itu bukan piala. Dandang, panci, periuk, dan belanga tidak bisa disebut piala. Hitam lagi. Fungsinya juga lain.

Dalam suatu kejuaraan atau turnamen atau kompetisi olahraga, orang (atlet) atau pihak yang menang biasanya mendapat penghargaan kenang-kenangan berupa piala. Bentuk penghargaan itu memang mirip atau sama dengan piala.

Lambang kemenangan dalam kejuaraan bulu tangkis disebut Piala Thomas dan Piala Uber karena bentuknya memang seperti piala juga. Demikian juga penghargaan dalam kejuaraan dunia sepakbola bentuknya piala. Ada piala tetap, ada juga piala bergilir.

Piala tetap berhak dimiliki seorang pemenang dalam dalam suatu kompetisi, atau turnamen, tetapi piala bergilir diperoleh dalam suatu kejuaraan. Atlet atau tim yang menang berhak mendapatkannya, tetapi jika kalah pada kejuaraan berikutnya maka piala itu harus diserahkan kepada pihak yang mengalahkannya.

Tetapi menurut pengamatan saya, penghargaan yang diberikan kepada artis film itu bukan piala, mirip piala pun tidak. Mungkin bisa disebut trofi, dari bahasa Inggris "trophy". Tanda kenang-kenangan ini pada umumnya diberikan kepada seseorang sebagai penghargaan dalam festival, atau pada pesta paduan suara (keroncong atau pop dll) atau sayembara keterampilan yang lain.

Bentuknya berupa patung kecil, atau piringan, atau vandel. Biasanya dimiliki secara tetap oleh yang memenangi festival itu. Jadi tidak ada trofi bergilir.

Cuma, penyebutan Piala Citra itu kalau diganti dengan Trofi Citra mungkin sekali akan mendapat protes dari insan perfilman, sebab namanya memang sudah begitu dari dulu.

Jadi.., tauk akh! Saya bingung, soalnya orang Indonesia memang suka bilang Piala Citra.

Januari 2007

I. Umbu Rey

Selama-lamanya

"Selama-lamanya" diturunkan dari kata dasar "lama". Kata ini sangat kerap digunakan dalam sidang Pengadilan Negeri ketika seorang terdakwa dijatuhi hukuman oleh Majelis Hakim setelah terbukti bersalah.

Di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) kata "selama-lamanya" itu biasanya diikuti dengan waktu atau masa hukuman. Misalnya, hakim menjatuhkan hukuman penjara "selama-lamanya dua tahun". Dengan demikian, pengertian "selama-lamanya" itu berarti "paling lama" dua tahun.

Dalam kitab yang lain (misalnya kitab suci) kata "selama-lamanya" itu selalu berhubungan dengan kekuasaan atau keberadaan Tuhan. Maka kata "selama-lamanya" tidak boleh diikuti dengan jumlah waktu yang tertentu. Jadi, tidak mungkinlah kita berkata Tuhan berkuasa "selama-lamanya" dua tahun. Tuhan tidak kenal sistem demokrasi. Lagi pula, apa kata ustaz dan pendeta atau pastor nanti. Itu sesat!

Demikian pula setiap kali ada orang meninggal dunia, kita selalu berkata "dia pergi untuk selama-lamanya". Dalam pengertian ini, kata "selama-lamanya" juga tidak lazim diikuti dengan jumlah angka tertentu, misalnya dua tahun. Sebab, mana ada orang mati "selama-lamanya" dua tahun. Kalau itu boleh terjadi, saya terus terang ingin mati sekarang juga dan setelah dua tahun bangkit lagi dari liang kubur. Jadi, mati selama dua tahun ini artinya menggunakan hak cuti dari kehidupan. Umur saya diperpanjang dua tahun.

Tetapi, kalau Mbak Ajiek, Apollo, Djoni Herfan, atau Uu Suhardi, Kang Tendy Somantri atau lagi Pak TD Asmadi atau siapa pun anggota milis guyubbahasa ini tidak setuju dengan pendapat saya, silakan mati "selama-lamanya". Dalam pengertian ini "selama-lamanya" itu artinya engkau pergi tak kembali lagi.

Dalam percakapan sehari-hari, kita biasa juga mengatakan terima kasih yang sebesar-besarnya, atau menyatakan dukacita yang sedalam-dalamnya, atau penghormatan yang setinggi-tingginya. Ini pun tidak dapat ditentukan berapa besar terima kasih dan berapa tinggi penghormatan itu.

Pernahkah Anda mendengar orang berkata "terima kasih yang sebesar-besarnya satu juta rupiah tunai, atau menyatakan dukacita sedalam-dalamnya dua meter, atau penghargaan setingginya dua setengah meter?"

Demikian juga di dalam kehidupan perkantoran dan ketatanegaraan tidak lazim ada jabatan yang setinggi-tingginya. Presiden itu jabatan "paling tinggi" dalam negara berbentuk republik, dan demikian juga direktur utama itu adalah jabatan "paling tinggi" dalam suatu lembaga perusahaan. Dengan kata lain, kita tidak mengenal jabatan setinggi-setingginya dalam negara atau dalam perusahaan.

Paling lama adalah bentuk superlatif atau tingkat perbandingan yang dapat dihitung atau diukur. Kata "paling" biasanya dapat kita gantikan dengan awalan "ter". Tetapi, semua kata sifat (yang diulang, misalnya lama-lama, tinggi-tinggi, besar-besar dsb) yang diberi berawalan "se" dan berakhiran "nya" sebenarnya memberikan pengertian yang tak terukur atau tak berhingga.

Dengan demikian, selama-lamanya, setinggi-tingginya, sebesar-besarnya, dan sedalam-dalamnya tidak boleh diikuti dengan jumlah waktu tertentu.

KBBI Edisi ketiga halaman 629 menyatakan "selama-lamanya adalah (1) paling lama; ia dapat dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya dua tahun (2) tidak habis-habisnya, sepanjang masa, kekal.

Karena itu, saya menggugat KBBI yang memberikan arti paling lama pada kata "selama-lamanya", sebab hukuman penjara dua tahun itu bukan hukuman selama-lamanya, bukan pula hukuman sepanjang masa atau hukuman yang kekal.

November 2007

I. Umbu Rey

Menjerat

Sebuah berita dari daerah masuk ke layar komputer saya. Judulnya "Polisi Menjerat Pembunuh Istri Dengan Pasal Berlapis". Saya heran, mengapa polisi kok tega-teganya berbuat kejam sampai menjerat orang. Itu melanggar HAM.

"Menjerat" itu menurut pendapat saya adalah pekerjaan mencekik lawan dengan tali agar tidak dapat lari. Mungkin ini sebuah kiasan saja, tetapi rasa-rasanya perbuatan yang biasa dilakukan oleh "cowboy" atau gembala sapi itu tidak cocok dianalogikan dengan pekerjaan polisi.

Jikalau polisi menjerat dengan pasal berlapis-lapis, maka dapatlah kita membayangkan penderitaan orang yang dijerat itu. Alangkah sengsara hidupnya. Sengsara yang begini tidak bakal membawa nikmat. Apalagi kalau terbukti bersalah, masuk penjara sepuluh tahun, pulang tinggal tulang.

Lain halnya dengan penjahat kelas kakap semisal Tomy Soeharto atau yang belakangan ini Ketua PSSI Nurdin Khalid. Hukuman penjara lima tahun, apalagi cuma dua tahun bagi mereka itu ibarat orang mengambil "verloop", cuti besar. Soalnya di penjara cuma tidur-tiduran sambil nonton teve.

Salahkah kata "menjerat" itu?

Menjerat dari kata dasar "jerat" juga berarti tipu muslihat untuk menyusahkan atau mencelakakan orang lain. (Lihat KBBI edisi ketiga halaman 471). Kalau itu dilakukan pula oleh polisi terhadap penjahat kelas teri, alangkah nistanya perbuatan itu.

Menurut Undang-undang di Indonesia, yang boleh menjatuhkan hukuman hanyalah hakim. Jaksa itu kerjanya cuma menuntut, dan polisi itu kerjanya bukan menjerat. Dia cuma menangkap lalu menahan. Karena itu orang yang ditahan atau ditangkap polisi itu tidak lebih dari tersangka, walaupun sudah jelas dan nyata dia melakukan kejahatan.

Menjerat mungkin sekali menyusahkan orang lain, sama seperti kita menjerat burung, maka burung itu pun akan menjadi susah dan stres, karena tidak akan bebas lagi walaupun berada dalam sangkar emas.

Tetapi, penggunaan kata "menjerat" itu di dalam konteks polisi menjerat dengan pasal berlapis saya pikir tidaklah salah, apalagi jika digunakan untuk masalah orang yang berbuat jahat. HAM atau Hak Asasi Manusia memang tidak diberlakukan di sembarang kasus. Tuhan pun tidak pernah memedulikan HAM ketika gempa bumi memorak-porandakan kehidupan manusia. Maka kita menyebut "ribuan orang mati bergelimpangan".

Dulu waktu zaman Orde Baru, orang senang sekali menghalus-haluskan pengertian. Waktu masih jadi reporter, saya pernah menulis laporan bahwa HR Darsono, mantan Pangdam Siliwangi itu meringkuk di penjara Cipinang.

Kata "meringkuk" itu rupanya dianggap kesalahan besar, dan karena itu saya dimarah-marahi oleh senior saya ketika itu. Saya dianggap tidak sopan karena menggunakan kata yang tidak tepat makna karena terlalu kasar untuk seorang pejabat tinggi ketentaraan.

Padahal, menurut pendapat saya, kata "meringkuk" itu bukanlah metafora atau kata kiasan untuk menjelekkan orang jahat. Kata meringkuk tepat digunakan untuk orang yang masuk penjara, baik itu penjahat kelas teri atau seorang pejabat yang terbukti bersalah, baik tokoh penting maupun tukang pengangkut sampah.

Meringkuk itu artinya masuk ke dalam penjara (Lih KBBI edisi ketiga hal 957). Pada zaman bahari, penjara itu dibuat demikian sempitnya sehingga orang (terhukum) yang dijebloskan ke dalamnya harus merunduk-runduk atau membungkuk-bungkuk. Di dalam penjara dia hanya bisa melipat lutut, berdiri pun tak sempurna. Dari sebab itu orang yang masuk penjara disebut "meringkuk".

Grup band De Loyd pada awal tahu 1970-an mengumandangkan lagu Penjara Tangerang. Sam, pelantun lagunya, dengan suara merdu berkata, "Apalagi penjara Tangerang, masuk gemuk pulang tinggal tulang". Enak benar di telinga para penikmat lagu, termasuk saya.

Tetapi Pak Hato, penguasa Orde Baru yang berjaya ketika itu, resah bukan main, dan marah luar biasa. Dia lalu melarang lagu itu dinyanyikan lagi, karena dianggapnya tidak manusiawi. Sejak itu kata "penjara" diganti dengan kata yang lebih afdol atau lebih halus pengertiannya dan terciptalah istilah "lembaga pemasyarakatan" atau disingkat LP atau lapas.

Rupa-rupanya, Pak Harto melarang penggunaan kata "penjara" dan menggantinya dengan "lembaga pemasyarakatan" untuk mengantisipasi masa depannya sendiri supaya kalau masuk penjara tetap nyaman. Ternayata memang benar, anak kesayangannya Tomy tidak pernah "meringkuk" dalam penjara.

Dia kita ketahui masuk masuk lembaga pemasyarakatan Nusa Kambangan sekadar untuk beristirahat. Sewaktu dalam penjara pun dia boleh keluar untuk melancong dan bahkan boleh kawin lagi dengan artis dan model Sandy Harun, yang konon pernah membantunya ketika dalam masa pelarian.

Lalu, apa salahnya dengan kata "menjerat" di atas? Kata itu agaknya pantas juga digunakan jikalau kita hendak menghukum orang supaya jera. Sebab kalau tidak dijerat, orang tahanan kelas Nurdin Khalid gampang lari dari penjara. Buktinya, Edy Tanzil. Orang ini memang tidak pernah dijerat hukum, maka itu dia gampang lari dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya.

Penggunaan kata yang tepat makna mestinya dapat dan harus digunakan lagi. Selama lebih dari 30 tahun kita dididik dalam cara berbahasa yang tidak tepat makna untuk menghaluskan pengertian. Akhirnya kalimat kita tidak pernah mencapai pengertian sesungguhnya, dan akibatnya cara kerja kita pun tak menampakkan kemajuan. Bahasa kita pun menjadi amburadul, persis seperti bahasa manusia dalam Kisah Menara Babel.

Kita dicekok dengan dogma kebohongan lewat penggunaan istilah yang membodoh-bodohkan pikiran. Akal kita dijungkir-balikkan dengan kata yang tidak semestinya, tidak pas dalam konteks. Akibatnya, kata "meringkuk" mungkin tidak lagi dikenal orang. Anak-nak zaman saiki kebingungan kalau kita menyebut orang masuk "bui". Maka itu lembaga pemasyarakatan atau "rumah tahanan" itu kita kembalikan menjadi "bui" atau "penjara".

Kalau suatu saat seorang jenderal, presiden atau anak presiden atau tokoh masyarakat yang korup dan pernah meringkuk dalam bui putus napasnya karena sakit, tidak perlu kita mengatakan "dia berpulang ke Rahmatullah" atau wafat dan mangkat.

Istilah yang ini lebih keliru lagi, "koruptor itu akhirnya dipanggil Tuhan". Itu sih bahasa agama. Mosok, orang yang sudah terbukti bersalah karena korupsi kok dipanggil Tuhan. Mengapa tidak kita gunakan saja kata "mati" atau kalau pejabat korup tertembak maka kita sebut juga "mampus" ditembus peluru. Itu lebih tepat daripada mangkat atau wafat.

Dulu, yang wafat atau mangkat itu cuma raja, tetapi orang awam kalau putus napasnya kita sebut "mati".Demikian juga putra dan putri itu cuma sebutan untuk anak raja. Pak Bejo yang petani tembakau di Jawa Tengah itu cuma bisa punya anak, tidak mungkin dia memiliki putra dan putri, sebab istrinya itu adalah perempuan biasa dan bukan permaisuri.

Maka saya pikir, orang jahat itu tidak lagi patut dihormati dengan kata-kata metafora yang indah-indah. Sebab tidak tepat makna dalam konteks dan keadaan atau situasi yang berlaku.Kalau penjahat atau koruptor masuk lembaga pemasyarakatan, tak akan pernah jera dia. Soalnya enak di dalam lembaga itu.

Tidak percaya? Lakukanlah korupsi! Lima tahun dalam bui, makan tidur perdeo.

September 2007

I. Umbu Rey

Penghijauan hutan?

Hijau itu warna. Penghijauan itu turun dari kata: hijau -> menghijau(kan)-> penghijau -> penghijauan -> hijaun. Demikian juga kata gundul ->menggundul(kan) -> penggundul -> penggundulan -> gundulan.

Sebenarnya kata "penghijauan" itu sama dan sepadan dengan "reboisasi", yakni penanaman kembali hutan yang telah ditebang. Dengan kata lain, penghutanan kembali.

Penghijauan artinya proses atau cara supaya menjadi hijau. Maka "penghijauan hutan" artinya menghijaukan hutan. Berarti kita membuat hutan itu supaya menjadi hijau. Kalau kita melakukan "penghijauan hutan" itu seakan-akan kita mengoles-oles hutan dengan kuas (mengecat) dengan zat penghijau supaya hutan itu menjadi berwarna hijau.

Demikian juga kata gundul -> menggundul(i) -> penggundul ->penggundulan --> gundulan. Tetapi, KBBI tidak mengenal kata "penggundul"dan "gundulan". Jadi, apa itu penggundul dan gundulan Anda tebak sendiri sajalah.

Yang menjadi masalah dalam berita di bawah ini:

1. Mengapa Presiden SBY menyuruh masyarakat untuk menghijaukan hutan? Bukankah hutan itu sudah berwarna hijau. Mengapa pula dihijaukan? Jikalau kita menghijaukan hutan artinya kita melakukan pekerjaan yang sia-sia (tidak ada gunanya). Sama seperti kita menggarami laut yang sudah asin.

2. Mengapa Presiden SBY menyuruh masyarakat menanam pohon agar tidak terjadi penggundulan hutan? Kalau kita menebang pohon terlalu banyak, mengapa justru hutan itu yang menjadi gundul? Saya masih ingat kata guru di kampung bahwa yang gundul itu adalah bukit atau gunung atau lahan karena gersang. Sebab tidak ada pohon lagi yang tumbuh di situ.

Analogi: jika kita hendak mencukur rambut sampai habis semua, maka yang menjadi gundul itu adalah kepala, bukan rambut. Karena itu, kita tidak bisamengatakan "penggundulan rambut". Seharusnya penggundulan kepala sehingga kepala menajdi gundul.

Yang harus diingat: "barber shop" itu adalah toko/tempat tukang pangkas rambut. Bukan tukang pangkas kepala. Jadi supaya gundul maka rambut harus dipangkas, bukan kepala yang dipangkas atau dicukur. Supaya klimis, kumis dan jenggot sekalian dicukur juga. Bukan cukur bibir dan dagu.

Grup band musik The Rollies pada tahun 1970-an melantunkan lagu yang syairnya berbunyi: "mengapa/mengapa hutanku hilang/dan tak pernah tumbuhlagi". Jadi sebenarnya tanah atau gunung dan bukit itu menjadi gundul karena hutannya hilang dan tak pernah tumbuh lagi.

Setahu saya yang dimaksudkan dengan gundul itu selalu adalah kepala. Orang yang kepalanya gundul adalah orang yang rambutnya sudah rontok semua (mungkin) karena ketombe atau karena rambutnya sudah dicukur sampai habis.

Setakat ini orang lebih banyak berkata bahwa "kepala saya mau dicukur supaya gundul". Mosok kepala saya kok mau-maunya dicukur? Wartawan olahgara sering kali berkata "mencukur gundul" dan bukan mencukur rambut.

Bahasa olahraga model begini biasanya terbawa-bawa juga ketika orang berbicara dalam forum resmi. Maka terjadilah "penghijauan hutan" dan "penggundulanhutan" itu. Inilah yang disebut salah kaprah.

Karena itu, di belakang kata "penghijaun" tidak perlu lagi kita tambahkan kata "hutan" sehingga menjadi "penghijauan hutan". Demikian juga kita tidak perlu menambahkan kata "hutan" di belakang kata "penggundulan".

Pada teras berita di bawah ini, cukuplah kita mengatakan:

1. Presiden SBY mengimbau masyarakat untuk menggalakkan gerakan penghijauan agar tidak terjadi penggundulan (bukit).

2. Presiden SBY mengimbau masyarakat agar menanami lahan dan bukit yanggundul dengan menggalakkan gerakan penghijauan.

Jikalau kita menyimak berita di bawah ini maka ada tiga kemungkinan:

a/ Presiden SBY tidak (mungkin) keliru karena dia telah dinobatkan oleh Pusat Bahasa dan FBMM sebagai pejabat negara penutur bahasa Indonesia yang baik.

b/ Pewarta Kantor Berita Antara tidak (mungkin) benar.

c/ Saya mungkin juga sekali keliru.

Perhatikan berita ini:

PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO MINTA MASYARAKAT GERAKAN PENGHIJAUAN HUTAN

Cilegon, 27/12 (ANTARA) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memintamasyarakat agar menggerakan penghijauan hutan dengan menanam pohon ,sehingga tidak terjadi penggundulan hutan.

"Jika hutan sudah gundul maka akan membawa malapetaka bencana alam seperti banjir dan longsoran tanah," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saatmenghadiri simulasi "Tsunami Drill" di Kelurahan Gunung Sugih,KecamatanCiwandan,Kota Cilegon,Banten, Rabu.

Dia mengatakan, gerakan penghijauan salah satu upaya untuk mencegahkerusakaan hutan dan lahan. Sebab, kata dia, jika hutan gundul tentu akan menghancurkan ekosistem lingkungan juga membunuh masa depan anak-anak dancucu kita.

Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada elemen masyarakat beserta pemerintah daerah agar peduli untuk menanam pohon di lahan-lahan gundul agar terhindar dari kerusakan bumi itu.

Menurut dia, penghijauan juga bumi tidak menimbulkan panas dan dapatmelestarikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat banyak. Akan tetapi, sebaliknya jika hutan menjadi kritis akan berdampak terhadap kehidupan manusia. Karena itu, perlu adanya penghijauan hutan agar tidakmembawa sengsara bagi masyarakat.

"Saya minta gerakan penghijauan ini terus dilakukan sehingga tidakmenimbulkan bencana alam," katanya. Selain itu, lanjut Presiden, peragaan simulasi Tsunami Driil diharapkan masyarakat dapat menyelamatkan diri jika terjadi tsunami, sehingga perlu berlatih untuk mengetahui tanda-tanda bagaimana menghindari gelombang tsunami.

"Kita perlu adanya pelatihan semacam ini, bahkan simulasi tsunamidilaksanakan secara nasional,"kata Kepala Negara.

Desember 2007

Umbu Rey

Adam Air Menghilang?

Sebenarnya berita tentang kecelakaan atau musibah Adam Air awal Januari 2007 tidak perlu disebut misteri. Itu kecelakaan biasa, lantaran memang bisa terjadi di mana-mana dan kapan saja. Kalau tidak menabrak gunung pastilah mencebur di laut.

Peristiwa kecelakaan Adam Air itu tampaknya menjadi luar biasa ketika beritanya ditulis dengan istilah dan tata bahasa yang diselewengkan. Media massa (termasuk elektronik dan Kantor Berita Antara) menulis: Pesawat Adam Air Menghilang.

"Hilang" artinya lenyap, tidak ada lagi, tidak kelihatan (lihat contoh KBBI: tiba-tiba benda itu hilang dari pemandangannya). "Hilang" adalah suatu keadaan ketika kita sadar bahwa suatu benda atau seseorang entah berada di mana karena sudah di luar pandangan mata kita. Lenyap, atau tidak kelihatan lagi. Mungkin tersesat, tercecer atau telah dicuri orang.

Kata "menghilang", kata guru saya di kampung, adalah tindakan seseorang atau makhluk lain (binatang atau genderuwo, kuntilanak) untuk tidak memperlihatkan dirinya atau melenyapkan dirinya di tempat keramaian atau di tempat yang gelap. Bersembunyi supaya tidak dilihat orang.

Jika pesawat terbang Adam Air itu "menghilang" maka yang terlintas di dalam pikiran kita adalah pilot pesawat itu melakukan tindakan yang disengaja supaya tidak terlihat orang. Sama halnya dengan pencuri yang bersembunyi atau melarikan diri dari kejaran polisi. Kalau itu yang
terjadi, maka peristiwa pesawat Adam Air sebenarnya bukanlah musibah atau kecelakaan.

Di luar negeri, pesawat yang "menghilang" itu biasanya dilakukan oleh pilot pesawat tempur (misalnya "Stealth") yang hendak menghindar dari tangkapan radar musuh. Pilot pesawat komersial seperti Adam Air tidak mungkin melakukan hal itu karena setiap saat dia harus selalu berhubungan dengan menara pengawas di bandara.

Di dalam negeri (Indonesia) yang "menghilang" itu bukan tindakan pilot pesawat terbang tempur, tetapi tabiat pencuri atau koruptor kelas kakap untuk menghindari hukum. Tokoh terkenal di Indonesia yang pernah melakukan tindakan "menghilang" adalah Tommy Soeharto dan
pengusaha besar Edy Tanzil.

Tommy Soeharto "menghilang" selama hampir setahun (tetapi kemudian tertangkap) sebab dia tidak mau dihadapkan di depan meja hijau Pengadilan Negeri Jakarta. Sebelumnya, Edy Tanzil "menghilang" juga dan sampai sekarang tidak pernah menampakkan diri karena tidak
mau hidup meringkuk di dalam penjara Cipinang.

Tetapi dalam peristiwa hilang-menghilang itu, Edy Tanzil ternyata lebih lihai daripada Tommy Soeharto, sebab pengusaha besar keturunan Cina itu sampai sekarang tidak pernah lagi ditemukan atau tertangkap. Entah sekarang dia berada di mana.

Dalam kasus sepeti ini, kita tentu tidak dapat berkata bahwa si Tukul tidak bisa lagi menulis surat karena pulpennya telah "menghilang". Si Tukul cuma lupa saja, sebab dia tidak ingat lagi pulpennya itu entah di mana letaknya. Mungkin jatuh tercecer, mungkin juga dipinjam
temannya. Pulpen milik si Tukul "hilang".

Jadi, sama seperti pulpen si Tukul, pesawat Adam Air juga mestinya "hilang" sebab tidak kelihatan, atau tiba-tiba lenyap, atau tidak diketahui lagi oleh petugas di menara pengawas. Belakangan baru diketahui bahwa bangkai pesawat itu ternyata sudah berada di dalam laut.

Anehnya, wartawan kemudian menulis berita dengan judul besar-besar: "Serpihan pesawat Adam Air berhasil ditemukan". Mengapa setiap kali menulis kalimat seperti itu wartawan selalu menyisipkan kata "berhasil"?

Guru saya di kampung mengajari saya mengenai hukum DM, yaitu sesuatu yang Diterangkan selalu terletak di depan kata yang Menerangkan. Hukum DM itu berlaku baik dalam frasa maupun dalam kalimat.

Lantas, kata "berhasil" dalam kalimat judul itu menerangkan apa? Mungkinkah serpihan pesawat itu berhasil?

Beberapa bulan sebelum peristiwa kecelakaan itu, pesawat Adam Air juga pernah "hilang" karena alat navigasinya dikabarkan rusak (mati total). Pesawat yang berangkat dari Jakarta menuju Makasar itu kemudian dinyatakan "menghilang" padahal sebenarnya "hilang" sebab kehilangan arah, kesasar.

Pilotnya beruntung dapat mendaratkan pesawatnya di bandara kecil yang tidak pernah dia kenal sebelumnya). Pesawat itu belakangan diketahui telah berada di bandara Tambolaka di Kabupaten Sumba Barat, di Pulau Sumba NTT. Semua penumpangnya selamat meskipun
petugas di bandara itu sempat dibuat bengong.

Awal Januari 2007

I. Umbu Rey