Sabtu, 17 April 2010

Semen Cibinong


Tuan dan puan yang terhormat, maafkan saya. Coret-coretan saya ini bukan untuk memperkenalkan iklan pabrik semen atau untuk menyoroti masalah yang tabu dibicarakan. “Semen cibinong” yang saya bicarakan ini hanyalah sebuah akronim yang muncul dari kreativitas orang awam yang mungkin sekali kekurangan perbendaharaan kata-kata dalam bahasa Indonesia.

Akronim lazimnya dibuat untuk menghemat ruang dan waktu terutama dalam bahasa tulisan. Yang paling banyak menggunakan akronim menurut amatan saya adalah lembaga pemerintah seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian.
Pada awalnya akronim dibuat untuk kalangan sendiri dan biasanya untuk menyingkat nama instansi atau istilah kepangkatan yang dianggap terlalu panjang untuk ditulis atau diucapkan. Di TNI belakangan muncul “alutsista” yakni singkatan dari “alat utama sistem persenjataan”.
Di lembaga Kepolisian akronim itu tak terhitung banyaknya, dan ketika seorang jenderal polisi berbintang tiga, Komjen Susno Duadji, membongkar kasus mafia hukum dan korupsi uang pajak di tubuh Polri, orang awam pun terbengong-bengong membaca “Bareskrim”. Kedengarannya aneh, dan kalau akronim itu dieja "bar-es-krim" seakan-akan menyebut polisi jualan es krim.
Sebenarnya akronim sudah dikenal sebelum itu, dan yang paling getol bikin akronim adalah Presiden Pertama RI Bung Karno. Contohnya, Manipol USDEK (Manifesto politik USDEK), dan Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), Ganefo (Games of the New Emerging Forces), dan Jas Merah (Jangan sekali-kali melupakan sejaah). Masih banyak yang lain.

Frasa "pemilihan umum" yang kita kenal sekarang ini sebenarnya sudah cukup singkat dan jelas, tetapi masih perlu disingkat lagi dengan akronim "pemilu". Ini akromin sembrono karena dibuaat secara tidak adil, sebab dari kata "pemilihan" diambil lima huruf "p-e-m-i-l" sedangkan kata "umum" hanya diambil "u"-nya doang. Yang lebih bikin bingung, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia hanya disingkat dengan huruf "A" untuk memperpendek ABRI Masuk Desa  menjadi AMD.    
Akronim semakin ganas melanda Indonesia tetapi juga menjadi trendi, dan bahkan setiap orang menjadi keranjingan bikin akronim. Anehnya, hampir setiap kata dalam bahasa Indonesia adalah akronim. Sekadar untuk lucu-lucu, kata “sedap” dipakai sebagai akronim dari “sejengkal di atas pusat”. Sebenarnya yang dimaksud adalah payudara perempuan. Lebih vulgar lagi jika “sedap” diberi kepanjangan “sejengkal di atas paha”. Anda tahulah maksudnya apa itu.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Misalnya letkol (letnan kolonel), rudal (peluru kendali), dan Kowani (Kongres Wanita Indonesia).
Susahnya, tak ada aturan yang baku secara terinci tentang cara membuat akronim. Karena itu akronim adalah kependekan dari nama atau istilah yang dibikin oleh seseorang seenak perutnya saja. “Makelar kasus” yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik, disingkat tanpa aturan dan menjadi “markus”.
Di kalangan orang kebanyakan, akronim juga dibuat untuk tujuan menyindir atau mengolok-olok suatu hal yang berhubungan dengan keadaan sosial yang menyimpang. Kota Jakarta yang penuh dengan tipu daya dan kriminalitas dianggap sebagai akronim dari "Jambret Ada Koruptor Ada Rampok Tentu Ada".
Ada kalanya nama seseorang disingkat dengan akronim agar lebih terkenal. Seorang artis perempuan yang konon dicalonkan menjadi bupati Kabupaten Pacitan Jawa Timur bernama asli Julia Rahmawati. Itu nama yang tertera dalam kartu tanda penduduk (KTP). Karena raut wajah yang aduhai dan tubuhnya yang molek dia pun dikenal dengan nama Julia Perez. Tetapi, dia lebih terkenal lagi dengan nama akronim Jupe. Itu nama yang tertera di dada kirinya ketika tampil di layar TvOne sewaktu diwawancarai oleh Bang One, belum lama ini.
Kantor Berita Antara pernah menyingkat nama jabatan menteri dalam Kabinet Presiden SBY. Konon, jabatan menteri perekonomian memang dari sananya dibakukan dengan akronim Menteri Perek. Akronim itu tentu saja memberikan kesan tidak etis lantaran masyarakat sudah telanjur mengenal “perek” sebagai akronim dari “perempuan eksperimen” atau pelacur penjaja seks. Kebetulan Menteri Perekonomian dalam Kabinet SBY adalah seorang perempuan bernama Sri Mulyani Indrawati.
Pada awal tahun 1980-an Indonesia kejangkitan virus bernama Aids. Kepanjangannya dalam bahasa Inggris adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, tetapi orang Indonesia mengalihkannya dalam bahasa Indonesia dengan olok-olok “Aku Ingin Dekat Susi”. Setelah diketahui umum bahwa salah satu penyebab penyakit itu karena hubungan seks yang berganti-ganti pasangan, akronim itu dalam bahasa Indonesia semakin vulgar pula, “Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan”.
“Semen cibinong” yang saya tulis pada judul karangan ini adalah akronim yang dibuat untuk maksud menertawakan karut-marut suasana dalam rumah tangga, dan seingat saya beredar hampir bersamaan dengan Aids pada awal dekade tahun 1980-an meskipun masih dalam kalangan terbatas.
Akronim “semen cibinong” tak diketahui siapa yang menciptakannya, dan agaknya diucapkan begitu saja karena orang awam ketika itu belum mengetahui istilah “selingkuh”. Dari mana asal kata ”selingkuh”saya tidak tahu, mungkin sekali dari bahasa Jawa. Selingkuh itu artinya tidak jujur, atau tidak berterus-terang. Bisa juga berarti korupsi.
Zaman dulu ketika terjadi penyelewengan dalam rumah tangga karena sang suami bermain cinta dengan istri tetangga maka istilah yang digunakan adalah “ada main serong”. Pada dekade tahun 1960-an, istilah main serong dalam rumah tangga disebut “escort”.
Sebenarnya “escort” itu merek rokok yang sezaman dengan “kansas”. Kansas diberi kepanjangan “kami anak negeri suka akan Sukarno”, tetapi “escort” diberi kepanjangan “enak sekali corupsi rumah tangga” dan dipakai untuk mencela permainan serong dalam rumah tangga.
Permainan cinta seorang suami dengan istri tetangga biasanya berjalan lancar kalau tidak ketahuan, tetapi kalau terendus oleh bininya sendiri maka timbullah kasus percintaan ilegal yang kemudian disebut “semen cibinong”. Kalau terjadi ribut-ribut di rumah tetangga karena sang istri mengamuk-ngamuk sampai piring dan mangkuk beterbangan, maka orang akan mengatakan, “Oh, itu gara-gara semen cibinong”.
Pada awalnya orang menyangka si suami terlibat kasus korupsi di pabrik Semen Cibinong, padahal sang istri memergoki suaminya sedang bermain cinta dan dan kedapatan sedang mencium istri tetangga. Itu sebabnya orang menyebut “semen cibinong” sebagai akronim dari frasa “Sementara Ciuman, Bini Nongol”.
Akronim ini juga diucapkan orang untuk menyindir ketika permainan cinta sudah menjurus ke masalah seks. Dulu, istilah “pelecehan seks” belum dikenal atau belum populer. Istilah yang juga dari bahasa Jawa ini pernah didiskusikan karena dianggap tidak cocok atau salah kaprah. Pelecehan seks sebenarnya tidak tepat untuk maksud memandang rendah atau menghina seseorang sebab soal seks adalah masalah kebahagiaan.
Seorang pemuda sebenarnya tidak sedang melecehkan seorang perempuan ketika dia meraba-raba pantat seorang wanita cantik di depan umum. Pemuda itu sesungguhnya sedang menikmti kebahagiaan dari sentuhan pantat perempuan atau gadis cantik itu. Sebaliknya, gadis itu sedang “dirundung” penderitaan atau mengalami “perundungan” karena terhina atau dianggap remeh oleh lawan jenisnya.

Prof. Dr. Anton M. Moeliono dalam diskusi bahasa di Kantor Berita Antara pada tahun 1980-an pernah memperkenalkan istilah “perundungan seksual” untuk mengganti istilah “pelecehan seksual”. Istilah itu tampaknya tidak berterima dan kata “perundungan” pun tidak masuk dalam KBBI Pusba edisi keempat.
Karena pada saat itu tidak ada istilah yang baku, orang awam tetaplah menggunakan akronim “semen cibinong”. Tetapi, berbeda dari persoalan main serong, kalau permainan cinta dengan istri tetangga sudah sampai ke soal seks maka akronim “semen cibinong” adalah singkatan dari “Sementara Ciuman, Biji Nongol” (bini diganti dengan biji).
Akronim memang lebih sering bikin orang pusing kepala karena sulit dimengerti, dan karena itu sebagian orang di kalangan wartawan menghendaki agar diberantas sampai tuntas. Pokoknya, akronim tidak boleh lagi digunakan karena membodohi pembaca, dan diciptakan karena kemalasan berpikir.
Apa pun alasannya, akronim telah hidup dan telah pula memberikan sumbangan untuk pembentukan sebuah kata. Pusat Bahasa juga menggunakan akronim untuk membuat kata baru, mungkin karena kesulitan mencari padanan kata Inggris dalam bahasa Indonesia. Jadilah kata “daring” (dalam jaringan) untuk padanan kata “on-line” dan “luring” (luar jaringan) untuk kata “off-line”.
Polisi lalu-lintas menciptakan “tilang” yang sudah diterima menjadi sebuah kata baru dalam bahasa Indonesia yang bersinonim dengan hukuman denda dalam tindak pidana ringan atau “tipiring di jalan raya. Orang tidak lagi mempermasalahkan bahwa “tilang” sesungguhnya akronim dari “bukti pelanggaran” (di jalan tertentu). Tilang pun telah masuk dalam KBBI sebagai sebuah lema.
Bagaimanapun, akronim ada manfaatnya asalkan digunakan secukupnya menurut keperluan. Pada pemakaian yang berlebihan dan tanpa aturan, akronim pun akan sama halnya dengan penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya atau narkoba. Bisa rusak bahasa Indonesia. 
Maka ada  baiknya setiap singkatan atau akronim yang dibuat haruslah mempertimbangkan "situasi, kondisi, toleransi, pandangan dan jankauan". Bolehlah frasa itu kita singkat dengan akronim "sikontol panjang".
Umbu Rey

Selasa, 30 Maret 2010

Kebangkitan, bukan situs kubur

Para pemuka agama, pendeta, atau pastor tidak pernah mempersoalkan situs Kalvari dan kuburan atau peninggalan kuno apa saja yang berhubungan dengan hikayat kitab Injil jika mereka berkhotbah di gereja-gereja. Tetapi, para ahli purbakala di Timur Tengah masih terus mencari kebenaran hikayat kitab suci, dan berusaha menggali situs tempat Yesus Kristus disalibkan dan dikuburkan.

Kaum Kristen mendasari iman mereka pada satu nats sabda Yesus dalam Yohanes 2:29 yang mengatakan “….berbahagialah orang yang tidak melihat tetapi percaya.” Karena itu, situs peninggalan kuno dalam riwayat suci Alkitab tidaklah terlalu penting untuk dibicarakan dalam khotbah kebaktian ritual orang-orang Kristen.

Peristiwa pembuatan bahtera raksasa pada zaman Nuh tidak lagi dianggap masuk akal oleh manusia pada abad ultra canggih zaman saiki. Tetapi umat Kristen percaya bahwa peristiwa besar pada zaman kuno itu memang telah terjadi.

Yang lebih penting bagi mereka adalah keyakinan bahwa pekerjaan besar pada zaman purbakala itu sebenarnya bukanlah perbuatan tangan manusia. Sebab, semua kisah kejadian dalam kitab Taurat dan Injil diyakini sebagai suatu bentuk bahasa atau kemunikasi antara Tuhan dengan manusia menurut akal dan perkembangan akal manusia ketika itu.

Tetapi, tiap-tiap kisah dalam Alkitab baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru justru merupakan bahan perhatian sangat menarik bagi para ahli purbakala untuk digali dan diteliti.

Penggalian pun sudah banyak dilakukan, mulai dari situs peninggalan kuno bahtera Nuh, mahkota dan senjata serdadu raja Firaun di dasar laut Teberau sampai pada perkiraan wajah Yesus pada bekas kain kafan penuh bercak darah yang tertinggal di dalam kubur ketika Dia bangkit dari kematian.

Pada tahun 1980, serombangan penginjil dan arkeolog dari Australia datang ke Jakarta dan berkhotbah beberapa lama di Istora Senayan tentang kebenaran riwayat Injil berdasarkan pembuktian para arkeolog dari hasil penggalian situs purbakala. Setelah melakukan penggalian bertahun-tahun, kata penginjil, para arkeolog telah menemukan situs purbakala di Gunung Ararat, kira-kira di dalam wilayah Iran sekarang ini.

Menurut cerita Injil, sebuah bahtera besar terdampar di atas gunung itu setelah lebih kurang 40 hari lamanya terkatung-katung di air bah. Nuh dan ketiga anaknya, Sem, Ham dan Yafet beserta dengan istri mereka masing-masing berada dalam perahu besar itu. Mereka dan segala jenis binatang baik yang melata dan berkaki serta segala jenis burung diselamatkan ketika Tuhan murka dan menghancurkan bumi.

Penggalian situs di atas gunung Ararat, kata para arkelog, telah membuktikan kebenaran cerita dalam Kitab Kejadian 8:4 yang menyebutkan bahwa “dalam bulan yang ketujuh pada hari yang ketujuh belas bulan itu, tersandarlah bahtera itu pada pergunungan Ararat”.

Dalam serial film “Believe It or Not” yang ditayangkan oleh satu-satunya televisi di Inddonesia TVRI pada akhir dekade tahun 1970, pewara (presenter) Jack Pelens juga bercerita tentang situs peninggalan kota Yerusalem kuno. Dia juga juga bercerita tentang danau berkadar garam sangat tinggi di wilayah Israel. Danau garam yang sekarang disebut Laut Mati (karena tak ada
sejenis hewan air dapat hidup di situ) diyakini sebagai bekas kota Sodom dan Gomora dalam cerita Injil yang dihancurkan Tuhan dengan api dan belerang.

Dalam tahun 1985, wartawan Kantor Berita Reuters di Yerusalem, Bernard Edinger, melaporkan bahwa seorang arkeolog Italia telah pula menemukan situs Gunung Sinai yang menurut kisah Injil Perjanjian Lama, di tempat itulah Musa menerima dua loh batu yang berisi Sepuluh Perintah Tuhan atau Ten Commandments.

Ahli purbakala berkebangsaan Italia bernama Emmanuel Anati itu mengatakan Gunung Sinai tiada lain dari sebuah bukit yang kini bernama Har Karkom. Bukit itu terletak pada ketinggian 850 meter di Gurun Negev di wilayah Israel.

Anati mengatakan di situs kaki gunung Sinai terdapat 12 batu besar yang tersusun menyerupai altar tempat persembahan. Dia berkesimpulan bahwa itulah mezbah persembahan yang didiriknn oleh Musa menurut jumlah suku bangsa Israel, persis seperti tertulis dalam Kitab Injil Keluaran 24:4.

Menurut penelitian Anati, di puncak gunung itu terdapat pula satu lekukan tanah yang mungkin sekali berhubungan dengan nats Injil Keluaran 33:21-22, “….engkau dapat berdiri di atas gunung itu dan apabila kemulian-Ku lewat, Aku akan menempatkan engkau dalam lekukan itu.”

Anati, (65 tahun pada 1985) yang memimpin sebuah pusat penyelidikan purbakala dekat Milan mengatakan Har Karkom berisi lebih dari 35 ribu batu berukir yang kebanyakan menggambarkan tema-tema religius seperti yang diungkapkan dalam Kitab Keluaran.

Bukit tempat tempat altar suci Musa itu dahulu dianggap sebagai tempat keramat oleh suku-suku bangsa Amalek, Median, dan Ibrani yang mendiami daerah sekitarnya, kata Anati.

Lantas, di manakah Yesus Kristus juru selamat umat Kristen disalibkan dan dikuburkan? Dua pristiwa itu semula dipandang amat penting karena di tempat Yesus dikuburkan lalu bangkit pada hari Paskah, di situ pula orang-orang penganut ajaran Injil biasanya berkumpul untuk bersembahyang atau melakukan ritual.

Kantor Berita United Press International (UPI) dalam tahun 1985 juga melaporkan dua situs yang letaknya terpisah satu dengan yang lain berdasarkan penelitian ahli purbakala Dan Bahat dan seorang pendeta Gereja Anglikan dari Dorset, Inggris bernama Rev. Bill White.

UPI melaporkan, di sebelah gerbang kota tua Damaskus terdapat taman yang ditumbuhi pohon lemon, aleppo, dan pohon cemara. Taman purbakala itu dikenal dengan nama Garden Tomb. Di dekatnya terdapat sebuah bukit berbatu gamping yang tersusun menyerupai tengkorak manusia.

Pada ambang pintu gerbang di taman perkuburan Garden Tomb itu tertera tulisan seperti yang terdapat dalam Kitab Injil Perjanjian Baru, “Dia tidak ada di sini. Dia telah bangkit”.

Kira-kira setengah mil jaraknya dari Garden Tomb di sekitar areal kota kuno Damaskus terdapat gereja angker yang disebut Church of Holy Sepulchre atau Gereja Nisan Suci. Gereja itu pengap dan gelap. Bau kemenyan merebak memenuhi sudut ruangan sehingga orang-orang yang pergi berdoa ke tempat itu ngeri ketakutan.

Kedua tempat keramat itu dalam minggu-minggu suci menjelang Paskah biasanya dipadati oleh para peziarah, yang menurut Kementerian Pariwisata Israel dapat mencapai 45 ribu orang, kata UPI (laporan tahun 1985).

Tempat dan waktu peribadatan untuk mengenang peristiwa kebangkitan Yesus itu pun berbeda-beda menurut versi aliran dalam agama Kristen. Orang Kristen Evangelis berdoa di Garden Tomb, kaum Katolik Latin mengadakan kurban misa pada hari Minggu di Gereja of Holy Sepulchre (Gereja Nisan Suci), dan umat Kristen Syria dan Koptik juga bersembahyang di gereja angker itu, tetapi seminggu kemudian. Itu terjadi karena perbedaan almanak penanggalan Gregorian dan Julian.

Para sarjana purbakala Kristen dan Yahudi menyatakan kira-kira tahun 200 Sesudah Masehi para penganut Kristen telah menetapkan kepercayaan bahwa Juru Selamat mereka dikuburkan dan bangkit di situs gereja angker Church of Holy Sepulchre itu. Arkeolog Dan Bahat di Distrik Yerusalem juga menyatakan keyakinannya bahwa Yesus memang telah dikuburkan di situ.

Keempat kitab Injil dalam Perjanjian Baru menyatakan Yesus dibawa ke suatu tempat di luar kota, yakni di atas sebuah bukit bernama Golgota atau “tempat tengkorak”. Setelah Yesus mati di kayu salib, jenazah-Nya lalu diturunkan dan dikuburkan di sebuah gua pahatan yang masih baru, tetapi tidak disebutkan di Garden Tomb atau di Church of Holy Sepulchre.

Orang-orang Kristen Evangelis mengatakan taman perkuburan Garden Tomb yang terletak kira-kira sedikit di luar tembok kota tua di pinggir jalan menuju ke Nablus, Jericho, dan Jaffa (sekarang Tel Aviv), cocok benar dengan cerita dalam kitab Injil.

Tempat tengkorak yang disebut juga Golgota itu, menurut mereka, kira-kira terletak berhadapan dengan terminal bus yang sekarang dipadati banyak kendaraan.

Pendeta Bill White, sekretaris jenderal perkumpulan antar-sekte masyarakat di Inggris, yang juga pemilik perkuburan Garden Tomb itu adalah salah satu dari banyak pemuka agama yang percaya bahwa Yesus Kristrus disalibkan di lokasi di sebelah atas terminal bus itu.

Menurut pendapatnya, setelah Yesus wafat, jenazah-Nya lalu diturunkan dari kayu salib dan dibawa ke tempat pemakaman Garden Tomb. Tetapi White lebih menaruh perhatiannya pada pesan spiritual daripada argumentasi penggalian dan penelitian para ahli purbakala di sekitar Garden Tomb.

Bagaimanapun, penelitian para ahli purbakala itu telah memberikan bantuan visual yang lebih baik tentang riwayat Paskah, kata White. “Tanpa peristiwa penyaliban dan kematian itu tak akan pernah ada gedung gereja dibangun di sini, Puji Tuhan,” katanya. Semua penelitian akan memberikan pertolongan bagi mereka yang ingin membangun gereja atau sinagoga berdasarkan cerita Injil di Tanah Suci.

Meski demikian, para peneliti arkeologi mengakui bahwa suatu cerita dari kebiasaan atau kesaksian dari orang-orang yang hidup berdekataan dengan saat-saat peristiwa itu terjadi sebenarnya jauh lebih otentik daripada penemuan situs yang terbaru.

Sebuah waduk yang dapat menampung 250 juta galon air dan sebuah tempayan anggur yang terdapat dalam taman perkuburan Garden Tomb itu menunjukkan saat ketika Yesus menjalankan tugas-tugas kerasulan di bumi, tetapi sampai dengan tahun 1883 tidak ada bukti-bukti penelitian yang menyebutkan waktu kematian Yesus.

Di samping itu, gereja angker Church of Holy Sepulchre itu diperkirakan dibagun dalam tahun 327 sesudah Masehi, ketika Constantine dan istrinya Helena yang menganut kepercayaan Kristen pergi ke tanah suci itu dan menemukan situs tempat penyaliban dan kebangkitan.

Para sarjana dan pemuka agama menjelaskan bahwa gereja angker itu dibagun di atas bekas perkuburan orang-orang Yahudi pada abad pertama.

Dalam tahun 1972, kira-kira 30 kaki di bawah gereja Constantine milik sekte Armenia itu para arkeolog telah menemukan lagi batu bertulis yang menggambarkan sebuah perahu yang kira-kira dilukis pada tahun 200 Sesudah Masehi.

Dan Bahat memperkirakan perahu itu dilukis oleh para peziarah Kristen barat untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa pada masa kehidupan Kristus, di sebuah tebing di bawah bukit Golgota, tempat mereka berkumpul untuk melakukan upacara keagamaan. Karena itu, Dan Bahat yakin para peziarah itu bersembahyang di situ sebab di situlah Yesus Kristus bangkit kembali dari kematian.

“Saya yakin sekali bahwa peristiwa penguburan dilakukan di tempat itu,” kata
Bahat.

Sesungguhnya kontroversi tentang situs kubur dan tempat Yesus disalibkan tidaklah merupakan persoalan penting. Para pemuka agama dan arkeolog Dan Bahat, atau pendeta White pada akhirnya lebih percaya pada pesan spiritual iman kepercayaan daripada penemuan peninggalan benda-benda dan situs kuno.

“Kubur itu tidak penting,” kata pendeta White. Semua peninggalan kuno yang digali oleh para arkeolog hanyalah sebuah gambaran visual tentang kebenaran mengenai kisah Injil, katanya.

“Kristus telah bangkit. Itulah sesungguhnya pesan yang hendak dikemukakan dalam penggalian benda-benda dan situs kuno itu. Lagi pula, dapatkah Anda menemukan kepompong jikalau kupu-kupu itu telah terbang dan hilang?” kata White.

Umbu Rey

MemBER-(D)-kan yang keliru

Pada umumnya kita menggunakan dua awalan yakni “me-“ dan “di-“ dalam percakapan setiap hari di samping awalan “ber-“, dan agak jarang kita gunakan awalan “ter-“. Awalan yang terakhir ini lebih sering diganti begitu saja dengan awalah “ke-“ sehingga terbentukl;ah ketimpa (tertimpa), ketangkap (tertangkap), kelewat (terlewat atau terlampau), ketua (tertua), kekasih (terkasih), kepukul (terpukul), ketemu (tertemukan), kegencet (tergencet), dan kejedot (terjedot atau terantuk), dan keceplos, dst.

KBBI Pusba edisi keempat akhirnya menciptakan pula awalan “ke-“ yang merangkai kata “tahu” sehingga menjadi “ketahu” meskipun dalam percakapan sehari-hari kata tersebut --menurut amatan saya-- tidak pernah ada. Yang ada, “ketahuan” dengan makna yang sama dengan kelihatan dan kedengaran. Dalam KBBI edisi sebelumnya, “ketahu” itu tidak saya temukan.

Dalam penutur bahasa kelompok menengah ke atas, sering pula terdengar awalan “memper-“ yang lazimnya mengawali kata dasar (D) sifat dengan makna “menjadikan lebih (D)". Jadi, memperbesar artinya menjadikan sesuatu lebih besar, dan memperpanjang artinya menjadikan sesuatu lebih panjang.

Menurut tata bahasa, kita kenal juga imbuhan “memPER-kan” yang pada umumnya mengapit kata dasar (D) dari turunan kata kerja berawalan “ber-“. Ini contohnya.

1) Dagang --BERdagang -- memPERdagangkan – perdagangan -- pedagang
2) Juang – BERjuang – memPERjuangkan – perjuangan --pejuang
3) Taruh – BERtaruh – memPERtaruhkan –pertaruhan – petaruh
4) Temu – BERtemu – memPERtemukan –pertemuan -- petemu

Dalam contoh pada butir (1) memperdagangkan ialah melakukan pekerjaan BERdagang, perdagangan adalah perihal Berdagang, dan pedagang adalah orang yang BERdagang. Maka makna kata pada butir (2), (3), dan (4) begitu pula hendaknya, selalu mengacu pada kata kerja berawalan BER.

Tetapi, dalam percakapan sehari-hari muncul pula imbuhan “memBER-kan” (yang entah dari mana asal-muasalnya) diucapkan orang begitu saja sebagai kelaziman. Terbentuklah kata berimbuhan “memberdayakan, memberhentikan, memberlakukan, dan memberolahragakan”. Karena sangat kerap diucapkan orang banyak saban hari, tercatatlah kata itu dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang dikeluarkan oleh Pusat Basa Departemen Pendidikan Nasional, dan dianggap benar saja.

Jikalau contoh kalimat pada butir (1) sampai dengan (4) tersebut di atas kita sepakati sebagai bentuk kaidah yang baku maka “memberdayakan, memberhentikan, memberlakukan, dan memberolahragakan” itu adalah bentuk penyimpangan dan secara tata bahasa hendaknya dianggap keliru, dan bukan pengecualian”.

Orang telanjur memahami pengertian “memBERdayakan” dalam arti membuat berdaya (seakan-akan kata berdaya itu adalah kata dasar). Anehnya, sublema “memperdayakan” diartikan orang dengan makna tipu muslihat atau tipu daya (seperti tersebut pula dalam KBBI).

Kata “berdaya” sesungguhnya bukan kata dasar atau lema (lihat KBBI). Dia adalah sublema atau turunan dari kata dasar DAYA yang diberi berawalan BER. Jika demikian maka:

(5) Daya – BERdaya – memPERdayakan – perdayaan – pedaya.

Menurut kaidah ini, memPERdayakan artinya membuat orang supaya BERdaya dan bukan melakukan tipu daya seperti yang dipahami oleh banyak orang.

Dalam milis ini beberapa tahun yang lalu saya sudah menguraikan kata “memPERdayai” sebagai padanan kata “mengerjai” (yang berkembang dalam masyarakat) untuk maksud tipu daya itu. Dalam diskusi akhir tahun bulan Desember tahun lalu, telah pula saya ulangi keterangan ini di hadapan Prof. Dr. Anton Moeliono. Tak ada tanggapan, baik oleh para panelis maupun peserta diskusi (boleh jadi artinya disetujui).

Karena itu, selanjutnya ada baiknya kita kembalikan kata berimbuhan “memBER-kan” yang salah kaprah itu seperti berikut.

(6) Henti – BERhenti – memPERhentikan – perhentian – pehenti
(7) Laku – BERlaku – memPERlakukan – perlakuan – pelaku
(8) Olahraga – BERolahraga – memPERolahragakan – perolahragaan – peolahraga.

Uraian tersebut di atas mungkin sekali tidaklah mutlak benar, sebab makna kata tuturan berlaku menurut kebiasaan atau kelaziman. Itu sebabnya orang selalu berkilah, “Kan, biasanya begitu. Terus, kita mau bilang apa lagi!?”

Saya kemukakan masalah ini untuk mencari kesepakatan makna menurut ”tata bahasa” sebab arti kamus atau makna leksikal sering sekali diselewengkan menurut pengertian si penutur. Ahli perkamusan di Pusat Bahasa mencatatnya juga dalam KBBI sebab mereka hanya “merekam” arti yang tersebar dalam masyarakat.

Kalau Anda sepakat dengan saya, selanjutnya bolehlah kita “mendarat” di suatu tempat untuk membicarakan makna kata yang tidak lagi sesuai dengan makna leksikal dan makna kata menurut tata bahasa yang baku.

Dalam sidang paripurna Pansus Angket Century belum lama ini para anggota DPR-RI berebut-rebutan melakukan interupsi –entah mungkin karena sadar mereka disorot kamera televisi sekadar untuk melontarkan pertanyaan tak bermakna apa-apa.

“Pimpinan, pimpinan----interupsi, pimpinan..!!!!” Siapakah yang mereka maksudkan dengan panggilan “pimpinan” itu. Padahal di depan meja Pak Marzuki Alie sebagai pemimpin sidang tertera jelas kata KETUA dan bukan PIMPINAN.

Menurut saya, “ketua” artinya orang yang dituakan atau tertua atau yang dianggap tua, sebab ada kebiasaan keluarga orang Indonesia bahwa dalam sebuah pertemuan maka yang memimpin itu selalu diambil dari orang yang tertua atau yang dianggap paling matang. Yang kakak selalu diwajibkan memimpin adik-adiknya yang lebih muda.

Umbu Rey

Rabu, 24 Maret 2010

Oknum, Markus, dan Petrus

Sudah banyak tulisan mengenai kata “oknum” tetapi tidak jelas benar asal muasalnya. Mendengar bunyinya, kata “oknum” itu tak pasti Arab. Inggris pun bukan. Susahnya, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sampai edisi yang keempat tak pula menjelaskan dari mana kata itu dipungut.

Kalau ditilik dari maknanya yang pertama, maka “oknum” itu pastilah datang dari bahasa Latin sebab dia masuk ke dalam kosa-kata Indonesia lewat Gereja Katolik. Dalam Gereja Protestan “oknum” itu tidak pernah disebut-sebut dan karena itu nyaris tak terdengar.

Oknum sebenarnya adalah gambaran personafikasi Tuhan dalam diri Bapa, Putra, dan Roh Kudus, yang menurut ajaran Gereja merupakan tugas ketuhanan yakni “mencipta, berfirman, dan memelihara”. Ketiga tugas itulah yang lalu diwujudkan dalam pengertian Trinitas atau Tiga Allah yang Sah, atau Tiga Yang Esa. Artinya Tuhan itu tetaplah satu tetapi datang ke dunia dengan tiga tugas untuk penyelamatan dunia.

Oknum dan Trinitas adalah sebutan atas tafsiran para ahli agama saja sebab kata-kata tersebut sama sekali tidak tertera dalam kitab suci Injil Perjanjian Baru baik dalam versi terjemahan lama maupun dalam terjemahan baru.

Tafsir pemuka agama Kristen yang begini ini mirip-mirip juga dengan istilah Trimurti dalam agama Hindu (mohon koreksi kalau saya keliru) yang mewujudkan tugas Tuhan dalam sifat sosok dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Tetapi dalam agama Hindu istilah “oknum” itu tidak ada.

Apa pun maksudnya, sebutan "oknum" itu pada mulanya adalah suci dan berlaku hanya di dalam Gereja. “Oknum” itu pun awalnya –dan sampai kini-- tak terpengaruh oleh imbuhan bahasa Indonesia. Jadi, tidak ada sublema “mengoknumkan, atau dioknumkan, atau pengoknuman”.

Belakangan kata itu lalu disinonimkan dengan kata “pribadi” yang berasal dari bahasa Sanskerta, tetapi dirasa kurang tepat sebab kita mengenal kata “kepribadian” tetapi kita tidak pernah mendengar orang mengucapkan “keoknuman”. Dalam KUBI (Kamus Umum Bahaasa Indonesia) ada tetapi tidak diberi penjelasan.

Entah kapan awalnya, dan siapa yang iseng menggunakan kata itu pada mulanya saya tidak tahu. Mungkin sekali kata “oknum” itu dipakai untuk melindungi orang yang diduga tak bersalah dari instansi tempat dia bekerja ketika terjadi delik kejahatan. Jadi, kalau ada orang dalam suatu instansi pemerintah atau ABRI disangka melakukan penyimpangan atau korupsi maka orang itu berhak menyandang “oknum” untuk menerapkan asas “praduga tak bersalah”.

Pada zaman pemerintahan Pontius Pilatus 2000 tahun lalu, salah satu oknum Tuhan yakni Yesus Kristus, menurut riwayat Injil Perjanjian Baru memang pernah menjadi terdakwa atas sangkaan jahat dan kemudian disalibkan. Tuduhan palsu yang diajukan oleh para ahli Taurat Yahudi kemudian melahirkan peristiwa Paskah ketika Oknum itu bangkit dari kematian. Tetapi, dalam riwayat ketika Yesus disesah dan dera, Injil sama sekali tidak menggunakan istilah “oknum”.

Sejak zaman Orde Baru –seingat saya,-- “oknum” menjadi sangat populer berbarengan dengan semarak dan semangat korupsi hampir di semua instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Siapa pun yang sudah disebut oknum hampir pasti terlibat pidana makan uang negara atau melakukan kejahatan yang dapat dihukum. Hanya orang yang melanggar peraturan (dalam buku ketiga KUHP) bebas dari dari sebutan oknum. Sebab dia hanya melakukan pidana ringan atau “tipiring” yang hukumannya paling-paling cuma denda tilang.

Tetapi, oknum Trinitas yang sekarang ini tak ada lagi hubungannya dengan penyiksaan dakwaan Pontius Pilatus. Karena itu, kalau bisa berbicara maka saya pastikan si Oknum akan bilang, “Pak Polisi, saya ini kan nggak ikut mencuri dan korupsi, kenapa dituduh dan menjadi tersangka? Semua orang tahu, saya ini cuma mengurus Gereja setiap hari, mengapa pula nama saya dicatut. Yang mencatut nama saya kok Anda tidak menindak?”

Akhir-lahir ini muncul pula “markus”. Dia bukan kata Indonesia meskipun banyak orang Indonesia penganut Kristen menggunakannya sebagai nama baptisan. Maklumlah, Markus sudah sangat dikenal sebagai nama salah satu dari empat penulis Injil Pernjajian Baru.

Markus belakangan ini muncul bersamaan dengan merebaknya kasus Bank Century --yang diduga melibatkan Wapres dan Menteri Keuangan dalam kasus dana talangan yang dianggap menyimpang. Markus itu hanyalah akronim dari dua kata gabungan “makelar kasus”. Tetapi karena tata bahasa Indonesia tidak mengatur cara membuat akronim, maka seenaknya perut oranglah kata itu disingkat-singkat.

Presiden SBY --yang agaknya tak enak rasa menyebut markus-- mengimbau semua pihak dalam urusan hukum agar tidak lagi menggunakan istilah “markus” sebagai akronim “makelar kasus” karena nama itu dianggap merupakan nama besar dalam kitab suci Injil. Ada yang mencoba membuat akronimm baru “calkus” atau “lokus” tetapi tampaknya tak berterima.

“Markus” sudah bercokol kuat dalam konsensus umum dan menjadi kelaziman. Soalnya, yang punya nama Markus Horizon semisal penjaga gawang sepakbola nasional Indonesia malah cuek-cuek bebek saja, tak peduli. Mungkin dia bilang,” Akh, saya kan kiper PSSI. Apa hubungannya dengan kasus Bank Century?”

Zaman dulu –awal tahun tahun 1980—waktu Pak Jenderal Beny Moerdani masih memimpin ABRI, ada program untuk bikin aman Ibu Kota Jakarta yang ketika itu ingar-bingar karena macam-macam kejahatan sehingga sangat meresahkan warga. Tiba-tiba terjadi semacam serangan yang entah siapa pelakunya dan saban hari pula surat kabar memberitakan kematian orang bertato yang tak dikenal pula.

Karena penembak dan yang ditembak mati tak pernah diketahui identitasnya maka wartawan pun mempopulerkan istilah “petrus” dari akronim “penembakan misterius”. Jakarta pun tiba-tiba menjadi aman tenteram dari ancaman penggarongan dan penodongan, dan hampir semua orang bertato ketakutan meskipun bukan penjahat.

Petrus itu pun sebenarnya nama suci dalam kitab Injil. Dia salah satu murid Yesus yang kurang teguh iman, dan gurunya sendiri disangkalinya untuk cari selamat. Meski istilah itu merebak, semua orang penganut Kristen plus Pak Presiden Soeharto adem-adem saja, tidak peduli, dan bahkan tak mengeluarkan komentar sedikit pun. Yang penting Jakarta aman.

Bertahun-tahun kemudian nasib serupa menimpa pula kata yang lain bernama “rekayasa”. Konon, menurut penciptanya Prof. Dr. Anton M.Moeliono, kata itu lahir pada masa ketika dia menjadi kepala Pusat Bahasa awal tahun 1980.

Suatu ketika orang Istana Merdeka bertanya apa padanan kata bahasa Inggris “engineering”. Sepuluh menit kemudian terciptalah kata “rekayasa” itu. Maksudnya seperti tercantum dalam KBBI adalah penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelayanaan (seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan dan sistem yang ekonomis dan efisien).

Lagi-lagi setelah zaman semakin kotor oleh tindakan koruptor, kata “rekayasa” itu menyebar dan makin populer seperti artis dangdut tahun 1990-an Inul Daratista naik daun eh, naik panggung.

Sebenarnya, “rekayasa” itu lebih anggun daripada Inul, tetapi sayangnya malah terjerumus pula ke dalam kekotoran tangan koruptor di negeri ini. Maka bergeserlah arti kata “rekayasa” itu maksud yang sebenarnya. Orang lalu menulis di jalan-jalan ketika berunjuk rasa dan menyebut-nyebut “rekayasa” sebagai “rencana jahat atau persengkongkolan untuk menguntungkan diri sendiri atau korupsi kasus dana talangan Bank Century.

Di negeri lain seperti di Jawa atau di suku-suku yang lain, kalau kita mengucapkan sebuah kata secara keliru walaupun cuma beda-beda tipis saja, langsung ditegur supaya diperbaiki. Sebab salah ucap itu berarti penghinaan. Cobalah kata “kentut” kehilangan bunyi “t” di belakangnya, pengertiannya beda lagi dan semakin jelek.

Yang heran, orang Jawa atau Batak atau apa pun sukunya, bahkan enggan memperbaiki salah kata dan salah arti dalam bahasa persatuan Indonesia, meskipun dia orang Indonesia juga. Giliran orang Malaysia bilang “Indon”, beranglah orang Indonesia padahal kata Indon itu cuma singkatan nama juga untuk menghemat ruang dan waktu, dan rasanya tidak berdampak negatif sama sekali bagi mayoritas bangsa ini.

Meski begitu, nasib “rekayasa” masih lebih beruntung sebab paling-paling cuma diucapkan dengan makna yang salah kaprah di jalan raya. Yang saya kasihan si Oknum itu. Dulu dia cuma mengurus Gereja, tetapi sekarang sudah menjadi penghuni bui semua.

Maka itu kalau anak Anda lahir laki-laki ke bumi tahun ini jangan sekali-kali kasih dia nama Oknum. Bisa celaka nanti. Kalaupun Anda suka nama Oknum, pelesetkan sedikit supaya jangan kedengaran seperti orang jahat. Misalnya, kasih saja nama Roknuman atau kalau perempuan Roknumin. Ada Oknumnya juga sih, tetapi kan lebih enak didengar.

Paling pas, kasih saja nama Rekayasa, lalu panggil nama kecilnya Yasa atau Yoso. Tetapi Anda itu tetap Pak Rekayasa sebab Anda itu bapaknya yang bertanggung jawab. Lha, kan Anda yang merekayasa sampai itu anak lahir ke bumi.

Umbu Rey