tag:blogger.com,1999:blog-57785535878120811042024-02-20T14:24:12.237-08:00Nenek MoyangNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.comBlogger148125tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-83053348441465684262012-08-07T19:30:00.000-07:002012-08-07T19:30:07.768-07:00Anjing Perempuan<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pak Andy Noya menyambut kedatangan tamunya ke pentas acara
Kick Andy di layar teve Metro (27 Juli 2012). Tamunya itu ahli melatih anjing. Bertanyalah
Andy sebagai kata pembuka, “Ini anjing laki atau perempuan?” Sang pelatih
bernama Pak Aang,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>spontan menjawab, “Perempuan!”
Nama anjing itu pun mirip pula dengan nama seorang perempuan. Anjing perempuan
tentu saja yang dimaksudkan Pak Andy adalah anjing dari jenis kelamin betina.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Berserulah saya dalam hati, “Wahai kamu sekalian
anjing-anjing dari segala jenis ras dan dari berbagai bentuk moncong dan monyong
di seluruh Indonesia
dan di muka bumi, berbahagialah kamu karena derajatmu telah terangkat menjadi
sama dengan manusia. Pada hari ini dan seterusnya kamu telah disebut “anjing perempuan”
dan “anjing laki-laki’. Maka pantaslah kamu dipanggil Heli, dan temanmu yang
perempuan diberi nama Hesti. Kelak jika engkau melahirkan anak lelaki, namakanlah
dia Fransiskus, dan jika anakmu perempuan namakanlah dia Siti Maryam binti Hesti.”</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Alkisah, pada zaman dahulu kala ketika bahasa Melayu belum
lagi diakui sebagai bahasa Republik, tersebutlah kata <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“empu”</b> yang menunjuk ke bentuk netral, berhubung bahasa ini sesungguhnya
tak mengenal jenis kelamin. Itu sebabnya setiap kata ganti yang menunjuk
perempuan atau lelaki sama saja disebut “dia” atau “ia”, tidak seperti bahasa
Inggris yang menyebut “he” untuk menunjuk jenis jantan atau lelaki, dan “she”
untuk betina atau perempuan. Anak laki-laki disebut “son” dan yang perempuan “daughter”.
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Nenek selalu menunjuk kepada jenis kelamin perempuan dan lelaki
juga. Nenek moyangku itu apakah pelaut atau petani adalah orang lelaki sekaligus
perempuan. Kakek yang disebut sebagai nenek berjenis kelamin lelaki baru datang
kemudian, entah dari bahasa apa. Demikianlah pula “cucu” itu bisa perempuan dan
lelaki juga. Bapak ibu atau ayah bunda bukan jenis kelamin, tetapi panggilan
kepada orang si pencari nafkah dan orang yang melahirkan anak dalam kelompok <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>keluarga.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Empu</b> berarti tuan
atau pemilik, atau ahli di bidang tertentu. Maka tersohorlah dalam kisah sejarah
zaman baheula orang-orang bernama Empu Gandring, Empu Tantular, Empu Sendok,
dan empu yang lain-lain lagi sebagai gelar kehormatan. Ketika kuasa atau benda
tak ternilai harganya ada yang memiliki, maka tuan atau pemiliknya itu lalu disebut
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“yang empunya”</b>. Setakat ini, sebutan
“yang empunya” tak lagi lazim diucapkan orang dalam percakapan sehari-hari
kecuali dalam bahasa tulisan karya sastra. Buku yang kini masih menggunakan
kata “yang empunya” mungkin hanya Alkitab atau Injil (Perjanjian Baru),
“…karena Engkaulah <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">yang empunya</b>
kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.”</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-top: 12.0pt;">
Karena lidah penutur bahasa zaman
saiki sulit atau tak terbiasa lagi mengucapkan “yang empunya”, maka
terpelesetlah lidah (mungkin) oleh sebab dipaksa menggunakan awalan /mem/
sehingga terjadilah <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“me(m)-empunya-i”</b>
dan selanjutnya kini kita kenal kata kerja berimbuhan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“mempunyai”</b>. Mengapa kata dasar “empunya” tidak menurunkan kata
kerja “me(ng)-empunya-i” mengikuti aturan tata bahasa, barangkali karena bibir
orang Indonesia
lebih enak menyebut <i style="mso-bidi-font-style: normal;">mempunyai</i>.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kata <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“empu”</b> menurunkan
kata “empuan” atau “perempuan” yang berarti <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“permaisuri”</b> yakni sebutan bagi istri raja. Perempuan atau “per –
empu –an” atau per-tuan-an atau yang dipertuankan adalah Tuan Putri, dan karena
dia adalah istri raja maka jadilah perempuan sebagai jenis kelamin lawan dari
lelaki. Sebab, tak mungkinlah permaisuri itu lelaki. Tetapi, jenis kelamin perempuan
dan lelaki itu sejak dulu hanya dimaksudkan untuk manusia atau orang saja.
Hewan dan makhluk lain yang hidup berkawin-mawin seperti manusia disebut <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">jantan</b> untuk jenis kelamin laki-laki, dan
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">betina</b> untuk jenis kelamin
perempuan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga,
perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil,
melahirkan anak, dan menyusui. Laki-laki adalah orang (manusia) yang mempunyai
zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis. Secara naluriah,
puki perempuan pun menjadi incaran pemuas nafsu berahi. Karena itu, dari zaman
ke zaman ribuan tahun silam hingga saat ini, kata “perempuan” banyak kali berkaitan
atau dihubung-hubungkan dengan pelacuran atau persundalan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tercatatlah dalam Kitab Keluaran (Perjanjian Lama) seorang
bernama Rahab yang disebut “perempuan sundal” karena profesinya memang bersundal.
Kakak beradik Ohola dan Oholiba adalah perempuan yang bersundal di Mesir sejak
masa mudanya. Di sana
susunya dijamah-jamah dan dada keperawanannya diraba-raba, begitulah riwayatnya
dalam Kitab Yehezkiel. Dan lagi, raja Israel kedua bernama Daud --yang oleh
kitab suci yang lain disebut nabi orang Yahudi-- telah mempersundalkan Batsyeba,
istri dari Uria panglima perangnya sendiri. Dirangkulnya perempuan molek bahenol
itu ke atas sotoh rumahnya lalu bercumbu rayu dan bersundal-sundalan di ranjang
persundalan istana kerajaan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tak terhitung banyaknya orang dari segala macam bangsa dan agama
baik yang ningrat maupun yang budak menggunakan kelamin perempuan hanya sebagai
alat untuk persundalan. Sampai-sampai anggota DPR yang terhormat di Senayan Jakarta
pun terlibat kasus porno, dan sasarannya selalu perempuan. Itulah (mungkin) sebabnya
dalam bahasa Indonesia,
istilah “perempuan” telah dianggap buruk atau aib dan tidak lagi disukai oleh
kaum feminim di Nusantara ini.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kaum ibu menganggap sebutan “perempuan” itu tidak beradab,
kasar dan merendahkan sesama manusia ciptaan Tuhan. Apalagi kalau mereka
dikata-katai atau diumpat dengan kalimat “akh…dasar perempuan lu!” maka
pastilah semua ibu se-Indonesia serentak tersinggung. Untuk membedakannya
dengan kaum lelaki, sebutan kaum <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“wanita”</b>
agaknya lebih mulia, sebab orang tidak akan berkata, “…dasar wanita lu!”<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Itu sebabnya sebutan “wanita” telah menggantikan “perempuan”
untuk tidak memandang rendah kaum Hawa. Dahulu ada Kongres Perempuan tetapi
kemudian diganti dengan Kongres Wanita. Tak boleh lagi ada “pengusaha
perempuan” dan mestinya disebut “wanita pengusaha”, atau wanita karier. Polwan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>itu adalah polisi wanita dan Wara berarti
wanita angkatan darat. Dalam susunan kabinet ada Menteri Urusan Peranan Wanita,
mungkin kalau disebut “peranan perempuan”, Ibu Menteri merasa risi atau malu
tak enak hati. Aduh, kenapa kata perempuan “pelacur” dihalus-haluskan menjadi
WTS atau Wanita Tuna Susila? Meskipun wanita, kerja mereka toh melacur juga.
Oh, masih terdengar terlalu kasar, maka WTS dihaluskan lagi dengan istilah PSK
--Pekerja Seks Komersial.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kata “lelaki” lantas dihalus-haluskan pula menjadi “pria”
tetapi tetap saja dia menjajah wanita sejak dulu, dan menjadikannya perhiasan sangkar
madu. Meskipun kadang-kala pria tak berdaya dan bertekuk lutut di sudut kerling
wanita, sang pria tetaplah berkuasa menekuk-nekuk lutut wanita. Begitu lutut sudah
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">ketekuk</i>, sang wanita pun pasrah berserah
diri di gelanggang persetubuhan. Itu mungkin sebabnya “lelaki” tetaplah begitu.
Kadang-kadang lelaki disebut (hewan) jantan sebagai lambang keperkasaan. “Akh,
dasar laki-laki buaya!” tak ada yang tersinggung.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Maka terjadilah kejanggalan bahasa ketika seorang ibu muda
melahirkan seorang anak <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>“wanita”.
Bukankah <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">wanita itu adalah perempuan
yang sudah dewasa</b>? Bagaimana mungkin seorang ibu muda bisa melahirkan
wanita. Pak Bejo pun ikut-ikutan berkata bahwa istrinya telah melahirkan seorang
putra dan seorang putri, padahal dia hanya seorang tukang bakso. <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Putra dan putri</b> itu adalah bahasa
Sanskerta untuk menyebut <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">anak raja</b>,
bukan anak petani atau anak buruh pelabuhan, dan bukan pula anak pegawai
negeri.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tanpa kita sadari, perkara halus-menghaluskan sebutan jenis
kelamin itu telah memindahkan kata “perempuaan” kepada anjing atau ternak dan
hewan liar. Keagungan wibawa perempuan yang awalnya berarti <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">permaisuri</b> kini tergredasi, dan istilah
“perempuan” telah disandang oleh kaum anjing. Pantaslah Andy F. Noya dalam
acaranya itu menyebut “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">anjing perempuan”.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></b></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Bahasa Indonesia demokratis sifatnya, setiap istilah boleh
diterapkan di mana dan kepada siapa saja menurut maksudnya. Jikalau presiden <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">bersantap</b> bersama tamunya di istana
negara maka anjing pun boleh <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">menyantap</b>
makanannya di kolong meja. Demikian pun putra dan putri itu bukan lagi hanya
anak raja, dan karena itu lelaki dan perempuan boleh dipakai untuk membedakan
jenis kelamin binatang, sama seperti bahasa Inggris menyebut <i style="mso-bidi-font-style: normal;">male and female</i> untuk manusia dan
binatang. Anjing wanita tidak ada, Brur!</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Anehnya, kaum wanita mulia yang kini sudah sederajat dan
sama hak dan kedudukannya dalam segala bidang kehidupan dengan kaum pria, sesungguhnya
sama saja kelakuannya dengan perempuan sundal. Ada banyak wanita, baik yang berprofesi
pengusaha, direktur, politisi maupun dosen bergelar profesor tetap saja
bersundal. Mereka melacuri dirinya atau bersundal dengan uang demi jabatan dan kuasa. Kaum lelaki ditaklukkannya dengan uang suap jutaan bahkan miliaran
rupiah. Jaringan korupsi <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kelas kakap bahkan
telah berada di bawah duli Tuanku Wanita Putri.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Lihatlah wahai Tuanku Wanita mulia, ibu dari anak-anakmu
yang sekarat melarat di desa dan di dusun-dusun. Indonesia kini sedih menangisi dikau,
sebab walaupun engkau telah disanjung dengan sebutan “wanita”,<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kelakuanmu kok lebih sadis daripada perempuan
sundal. Engkau lebih jorok daripada WTS alias Wanita Tuna Susila, sebab
perempuan dursila tak pernah memakan hak orang miskin. Kalau begitu, di manakah
kemuliaan wanita?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tengoklah, sudah ada berapakah wanita Indonesia kini dalam pemeriksaan Komisi
Pemberantasan Korupsi -KPK. Selalu saja ada alasan untuk membantah bahwa tidak
semua wanita begitu. Aha, wanita yang lain hampir pasti sudah punya niat,
mungkin kesempatan saja belum ada. Meski sekarang ini baru beberapa wanita
terlibat kasus korupsi dan diperiksa KPK, Presiden SBY toh sudah bilang,
“Karena nila setitik rusak susu sebelanga.” </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
I. Umbu Rey</div>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-24958587555168884582012-07-30T01:49:00.002-07:002012-07-30T01:49:50.292-07:00Pegadaian<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="//img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" />
<style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style>
<![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ini nama sebuah lembaga atau kantor, maka sebenarnya tak
usahlah dipersoalkan mengapa dia bernama Pegadaian. Sama seperti teman saya si Mulyo,
tak perlulah kita persoalkan mengapa dia bernama begitu, meskipun ditilik dari
persoalan kaidah bahasa mestinya namanya dipanggil Mulia. Bukankah orang Batak
juga bernama Todung <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Mulia</b> Lubis?
Lha, bapaknya itu anak kan
orang Jawa, maunya dikasih nama <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Mulyo</b>,
lantas kita mau bilang apa? Terserah dialah!</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Akan tetapi nama <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Pegadaian</b>
masih pantas kita gugat dari sudut pandang tata bahasa, lantaran kantor itu sudah
milik umum yang menyangkut masalah penggandaian atau gadai-menggadai. Lagi pula,
kata “pegadaian” sudah menjadi konsensus umum dan masuk pula dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Di dalam kamus kata pegadaian diberi arti <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tempat bergadai, atau rumah gadai</i>. Itu
yang jadi masalah.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Motonya disebutkan dalam iklan televisi dan spanduk di
mana-mana “mengatasi masalah tanpa masalah”, tetapi bertahun-tahun saya gelisah
lantaran kata “pegadaian” justru telah menimbulkan masalah yang tak teratasi di
benak saya. Meski dapat mengatasi masalah tanpa masalah, kantor itu ternyata hanya
dapat mengatasi masalah penggandaian saja. Anda<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>tak akan mungkin mengatasi konflik politik atau masalah dugaan korupsi
di proyek pembangunan pusat latihan atlet Hambalang lewat Kantor Pegadaian.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Bagi saya, nama Pegadaian itu perlu pula kita atasi juga sebab
telah melanggar kaidah tata bahasa. Orang yang menggandaikan barangnya ke situ boleh
saja “cuek bebek” dengan nama kantor itu, <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>sebab bagi mereka yang penting dapat uang
dengan cara yang mudah dan cepat. Tetapi sampai sekarang saya tetap saja bingung
mendengar nama itu. Kenapa bingung, karena saya bukan bapaknya si Mulyo. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kantor Pegadaian adalah tempat rakyat jelata (kebanyakan
kaum tidak mampu) menggadaikan barang miliknya lantaran hampir setiap saat “kepepet
duit” akibat <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>keperluan mendadak. Mereka lalu
menyerahkan barang-barang miliknya yang paling berharga untuk ditukar dengan
uang dengan nilai yang pantas. Rakyat jelata meminjam uang ke bank agak susah
karena tak punya harta berupa tanah atau mobil sebagai jaminan atau agunan.
Maka yang paling cepat menolong mereka adalah Pegadaian.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Di Pegadaian orang boleh menggadaikan barang miliknya apa
saja, dan sebentar kemudian juru taksir menentukan berapa nilai uang yang akan diberikan
kepada si penggadai. Si penggadai pun pulang dengan hati lega. Dalam waktu yang
ditentukan kalau barang tidak bisa ditebus atau dilunasi, maka barang yang
digadaikan itu akan dilelang. Yang tak bisa menebus barang gadaiannya pasrah
saja kalau barang tak kembali, sebab masalah utama yakni terbebas dari beban
“kepepet duit” untuk keperluan mendesak sudah teratasi. Pada umumnya barang
gadaian dapat ditebus karena angsuran pengembalian sangat ringan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Andai kata di dunia ini ada badan keuangan resmi bernama
Dana Pegadaian Internasional (DPI) rasa-rasanya Republik Indonesia tak perlu kesulitan
membayar subsidi BBM untuk rakyat tak mampu. Hubungi saja DPI, lalu gadaikan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Pulau Jawa beserta dengan segala isinya di
dalam dan di atasnya. Pulau Jawa ditaksir sekian dolar, oke sajalah, dolar pun kita
terima. Sampai batas waktunya, bisa ditebus kembali. Kalau tidak bisa ditebus,
selesailah masalahnya, karena kita telah mengatasi masalah tanpa masalah. Itu
lebih baik daripada pulau Sipadan dan Ligitan dicomot begitu saja oleh negara
jiran tanpa proses penggadaian. Rugi kita, sebab tidak dapat duit.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Yang mungkin tak bisa diatasi Pegadaian adalah masalah cinta
yang tergadai, sebab cinta bukan barang konkret yang bisa ditaksir dengan nilai
uang. Orang –biasanya laki-laki—yang<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>cintanya tergadai mungkin bisa stres dan gelisah tak bisa tidur selama
tiga hari tiga malam dan mengomel-ngomel sampai seminggu karena uang belanja tekor.
Gaji sebulan ludes habis untuk ongkos berpacaran.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Itu mungkin sebabnya Gombloh menciptakan lagu “Kugadaikan
Cintaku”. Habis mendengar lagu kesayangannya di radio, pukul tujuh dia apel ke
rumah sang pacar. Eh, si pacar kelihatan di depan mata sedang duduk berdua-duaan
dengan lelaki yang lain lagi sambil bercium-ciuman. “Mimpi apa aku semalam?”
katanya. Begitulah cinta Gombloh telah tergadai, dan tak mungkin bisa ditebus
di Kantor Pegadaian.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Suatu ketika dua orang sahabat bercanda dalam senda gurau.
Bertanyalah seorang di ataranya, mengapa di dalam masjid tidak ada organ. Maka
sahut temannya, “Sandal jepit saja hilang …apalagi organ.” Sahabatnya itu
kebetulan beriman Kristen, dengan serta merta membalas, mengapa pada hari Natal semua Kantor
Pegadaian ditutup. Jawabnya, “….sebab pada hari Natal Sang Penebus telah datang.” Akh, mosok
Dia datang untuk menebus barang-barang gadaian.<span style="mso-spacerun: yes;">
</span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Itu soal gadai-menggadai dan tergadai. Nama Pegadaian itu
dapatlah dipastikan, atau tentulah berawal dari kata “gadai”. Dari kata dasar
“gadai” akan muncul kata kerja aktif “menggadai” atau “menggadaikan”. Proses
menggadaikan itu kita sebut “penggadaian”. Maka seharusnya kita sebut kantor
itu Kantor <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Penggadaian</b>, karena telah
terjadi proses menggadai di situ. Lalu mengapa kantor itu disebut <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“Pegadaian”</b>?
Jangan-jangan “Pegadaian” telah kehilangan huruf <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>/ng/ karena telah tergadaikan dan tidak bisa
ditebus.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Meminjam uang dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan
disebut juga “bergadai’. Sekarang ini kata “bergadai” tidak lagi terdengar atau
terucapkan orang banyak. Kata “bergadai” akan memunculkan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kata<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>berimbuhan “mempergadaikan” dalam arti membuat atau memaksa orang untuk
bergadai (karena kepepet uang juga). Karena itu tempat orang <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">ber</i></b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">gadai</i> mestinya disebut Kantor<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"> Pergadaian</b>, dan bukan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Pegadaian. </b>Sebagai bandingan, tempat <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">ber</i></b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">mukim</i> itu kita sebut “<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">per</b>mukim<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">an</b>” dan tempat <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">ber</i></b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">lindung</i> kita sebut <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">pe<i style="mso-bidi-font-style: normal;">r</i></b><i style="mso-bidi-font-style: normal;">lindung</i><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">an</b>.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Rupa-rupanya kata “pegadaian” itu pun telah kehilangan huruf
/r/. Mungkin juga karena telah tergadai dan tidaka pernah ditebus. Sebab itu
orang banyak menyebutnya kini sebagai Kantor <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Pegadaian</b> saja. Sialnya, KBBI dan kamus KUBI (Kamus Umum Bahasa
Indonesia) di lemari buku saya hanya mencatat kata <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pegadaian </i>sebagai kesepakatan umum, tetapi di situ tidak tercantum kata
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">pergadaian</i>. Jikalau ada kata <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“bergadai”</b> maka haruslah ada <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“pergadaian”</b>. Salah kaprah, tetapi kita
mau bilang apa?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
I. Umbu Rey<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-84662824732744951812012-07-02T00:56:00.000-07:002012-07-02T00:56:22.367-07:00Polisi Berhasil Bekuk DPO<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="//img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" />
<style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style>
<![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style>
<![endif]-->
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Baru kali ini saya mendengar, ada polisi berhasil membekuk
daftar. Ini bahasa wartawan atau siapa? Kalau wartawan yang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>bikin berita saya tanya, pastilah dia
mengatakan itu bahasanya polisi. Si wartawan tidak akan mungkin mengubah
pernyataan polisi yang dikutipnya itu dalam berita, sebab begitulah
kenyataannya. Itu fakta, kata wartawan yang menulis berita itu.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Maka saya berkesimpulan bahwa wartawan dan polisi sama-sama
suka bikin bingung orang. Mana ada polisi, sepintar apa pun dia, bisa membekuk
daftar. Tak tahulah saya, apakah polisi atau wartawan itu mengerti arti kata
daftar. Semua orang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>pastilah tahu bahwa
daftar itu adalah catatan, dan catatan apa pun tak mungkinlah dapat dibekuk
oleh polisi. Membekuk itu artinya menangkap (biasanya penjahat). Penjahat yang
ditangkap polisi pun tak pernah membawa daftar. Lantas, polisi sebenarnya
membekuk atau menangkap apa? Polsi berhasil membekuk DPO terasa amat ganjil., sebab sama saja artinya polisi membekuk daftar.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Polisi kalau bicara memang sering<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>bikin bingung lantaran terlalu sering menggunakan singkatan atau akronim. Wartawan penulis berita pun ikut-ikut bikin bingung
karena tidak berani mengubah atau memperbaiki pernyataan polisi. Dikutipnya
mentah-mentah pernyataan polisi, mungkin karena takut salah, atau dia sendiri
juga sedang bingung, tidak tahu bagaimana membahasakan pernyataan polisi secara
benar. Yang paling menderita adalah sidang pembaca atau pemirsa atau pendengar,
yang sampai sekarang mungkin masih terus bingung. Bagaimana mungkin polisi bisa
membekuk atau menangkap DPO.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">DPO</b> itu sudah
umum diketahui orang adalah singkatan dari <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Daftar
Pencarian Orang</b>. Kalau juru bicara polisi mengumumkan bahwa polisi berhasil
membekuk satu DPO, artinya dia sedang mengatakan polisi berhasil menangkap catatan
atau daftar (pencarian orang). Padahal, orang awam pastilah mengerti bahwa
catatan atau daftar itu selalu ada di kantor polisi, tersimpan rapi di dalam
laci<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>lemari. Karena itu DPO tidak perlu
dicari, diburu atau dikejar, ditangkap lalu dibekuk.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ketika polisi bikin bingung, orang awam yang gagap teknologi
telefon genggam pun ikut-ikut bikin bingung ketika mereka mengirim SMS. Mereka
biasanya berkata, ”Saya kan
sudah kirim SMS. Apa sudah diterima?” Pesannya mungkin sekali tak pernah sampai
ke alamat sebab yang dikirimnya itu adalah “service”. SMS adalah singkatan dari
Short Message Service, maka orang yang mengirimkan SMS sebenarnya sama saja
dengan mengirimkan “service”. Idem dito dengan DPO, sama-sama keliru.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
DPO (Daftar Pencarian Orang) <i style="mso-bidi-font-style: normal;">adalah daftar tentang bagaimana (proses, atau cara) polisi mencari
orang</i>. Dalam daftar ini orang yang sedang dicari polisi tidak tentu, siapa
saja yang dianggap salah, bukan hanya penjahat atau teroris saja. Anda yang
naik motor atau sedang mengemudi mobil bisa-bisa juga masuk dalam DPO. Polisi
memang gemar mencari-cari mangsa untuk masuk dalam DPO. Setiap saat polisi
berjaga-jaga di perempatan jalan. Kalau Anda dianggapnya menerobos lampu merah,
atau melanggar peraturan lalu-lintas, maka masuklah engkau dalam perangkap DPO.
Anda tidak berhasil kasih tunjuk SIM, isi dompet ludes habis kena tilang.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Jangankan kau yang tidak punya SIM kena<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tilang, polisi makan polisi pun sudah biasa,
sesama polisi pun bisa masuk dalam DPO. JE Sahetapi, itu guru besar dan ahli
hukum pidana dari Universitas Airlangga secara terus terang dan sangat jelas tegas
lugas menyatakan dalam acara Indonesia Lawyers Club di layar Tvone (5 Juni
2012) bahwa polisi adalah aparat paling busuk di negeri ini. Barangkali cuma
Gus Dur (presiden ke-4 RI) yang masih menyisakan polisi tidur, patung polisi,
dan mantan Kapolri Hugeng Iman Santoso saja yang terbilang jujur. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
DPO yang dibikin polisi itu pun sejak awal sudah salah
kaprah. Daftar sama artinya dengan catatan, di dalamnya adalah catatan polisi mengenai
“pencarian orang”. Itu urusan polisi. Orang awam tak mau tahu bagaimana (proses) pencarian
atau bagaimana dan dengan cara apa polisi mencari lalu membekuk penjahat. </div>
<div class="MsoNormal">
Yang perlu diketahui orang banyak adalah daftar atau catatan
polisi itu seharusnya berisi nama, ciri-ciri dan jumlah orang (penjahat atau
teroris) yang dicari-cari polisi supaya dikenali umum. Dengan begitu, orang
umum dapat membantu atau memudahkan proses “pencarian orang” yang dilakukan
polisi. Banyak kali, polisi berhasil membekuk penjahat (yang dicari-cari)
berdasarkan laporan atau keterangan orang banyak menurut ciri yang ada dalam
daftar polisi.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Orang yang dicari-cari polisi biasanya disebut “buron” <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">yang sudah tertentu</b>. Buron itu kata dari
bahasa Jawa yang (karena kebiasaan) ditambah lagi dengan akhiran “an” sehingga
menjadi “buronan”. Kata buron atau buronan masuk dalam khazanah kosa-kata bahasa
Indonesia entah sejak kapan saya tidak tahu. Sebenarnya kata “buron” sama saja
dengan “buru” atau “kejar”. Tetapi, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia IV) mencatat
sublema “memburon” tidak sama artinya dengan mengejar atau memburu. Memburon
artinya menjadi buron.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dalam masalah ekonomi sudah lama kita kenal juga istilah <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“Daftar Orang Tercela”</b>. Maksudnya
adalah daftar orang yang memenuhi kriteria perbuatan tercela di bidang
perbankan sehingga mereka dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank
(KBBI Pusba hal. 285). Daftar Orang Tercela kalau mau disingkat maka akan
jadilah <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">DOT.</b> </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Orang tercela yang masuk dalam DOT adalah orang yang dicela,
sama juga artinya dengan<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>“orang celaan”.
Maka singkatan itu boleh juga menjadi <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">DOC</b>
atau <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Daftar Orang Celaan</b>. Dalam
istilah ekonomi tidak dikenal <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Daftar
Pencelaan Orang</b> atau <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">DPO</b>, karena
menyalahi logika. Daftar itu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">bukan
tentang bagaimana (proses, atau cara)<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>mencela orang</i>, tetapi tentang orang-orang tertentu yang dinyatakan
telah melakukan perbuatan tercela dalam bidang perbankan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Menurut tata bahasa Indonesia, kata “buru” atau “kejar” akan
mendapat imbuhan “pemburuan” dan “pengejaran” dalam arti proses atau cara
memburu atau mengejar. Hasilnya adalah “buruan” atau “kejaran”. Buruan adalah
sesuatu yang diburu, atau orang atau penjahat yang dicari polisi untuk
ditangkap.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>“Buruan” atau
“buronan” sama saja artinya. Jadi, catatan atau daftar polisi itu bukan DPO
tetapi seharusnya disebut DB atau Daftar Buronan, atau Daftar Orang yang dicari atau <b>Daftar Orang Carian</b>
disingkat dengan <b>DOC</b>. Orang carian adalah orang (penjahat) yang dicari polisi,
dan yang dicari polisi itu sudah ditentukan. Siapakah yang dibekuk polisi dalam
judul tulisan ini? Tentu saja buruan atau buron atau buronan yang dicari-cari. Mengapa
polisi mengatakan berhasil membekuk DPO? Itu yang bikin bingung.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Anda tidak bingung? Kalau begitu Anda sama saja dengan
polisi. Pembikin bingung juga.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
I.Umbu Rey</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-88984420255015435192012-06-28T01:52:00.000-07:002012-06-28T01:52:13.704-07:00Ketua Dewan Pembina (harus punya hoki)<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if !mso]><img src="//img2.blogblog.com/img/video_object.png" style="background-color: #b2b2b2; " class="BLOGGER-object-element tr_noresize tr_placeholder" id="ieooui" data-original-id="ieooui" />
<style>
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
</style>
<![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pak SBY adalah Ketua Dewan Pembina dari partai berkuasa.
Dialah salah seorang dari, konon, <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">sembilan</b>
pengagas dan pendiri Partai Demokrat yang menjadi pemenang pemilu dua periode.
Mungkin karena dia berperawakan besar dan ganteng pula, maka terpilihlah dia menjadi
ketua dewan pembina, dan selanjutnya menjadi presiden Republik Indonesia.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Apa tolok ukur seorang menjadi ketua dewan pembina dalam
partai itu saya tidak tahu, sama halnya saya tidak tahu pula mengapa SBY menjadi
presiden Republik Indonesia
keenam. Ada
yang mengatakan hidup ini adalah wujud dari hasil kerja keras dan cerdas otak, tetapi
ada pula yang mengatakan karena peruntungan. Anehnya, kerja keras dan cerdas
akal pun tak mesti menentukan orang bisa memperoleh keberhasilan, kalau tidak
disertai hoki. Maka berkatalah seorang pendeta yang menyebut dirinya “drunken
priest” “Kalo lo kagak punya hoki, jangan harap lo masok sorga”.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Hoki itu bahasa Tionghoa yang dalam bahasa Indonesia kita
sebut peruntungan atau nasib. Nasib bisa mujur tetapi bisa juga sial atau apes.
Dunia kehidupan adalah ibarat gelanggang lomba bagi manusia yang telah
ditentukan nasibnya menurut takdir. Yang terdahulu akan kemudian dan yang kemudian
akan terdahulu. Kalau hoki menyertainya, dia mujur, dan kalau dalam perjalanan
takdir dia<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>tidak memperoleh hoki, maka
apeslah dia. Banyak orang cerdas pandai mengatakan hidup ini pilihan, tetapi
pastilah tak ada manusia yang memilih hidup menjadi apes melulu. Itu mungkin sebabnya
orang selalu saja mengharapkan nasib baik atau peruntungan dalam segala
pekerjaan. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dalam tayangan Kick Andy di layar teve Metro (15 Juni 2012),
seorang Dahlan Iskan telah menjadi kaya dan ditunjuk pula oleh Presiden<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>SBY dalam kabinetnya sebagai menteri BUMN.
Sebelumnya, dia memangku jabatan direktur utama PLN. Ketika kecil dia hidup
miskin papa, tak punya apa-apa. Lahirnya kapan tak jelas pula. Dia menaksir
umurnya dalam tahun 2012 adalah 61 tahun. Ayahnya mengatakan dia baru mulai
merangkak waktu Gunung Kelut meletus, dan itu terjadi pada tahun 1951. Bulan
dan tanggal lahir, dicatatnya saja sendiri sama dengan tanggal kelahiran RI, 17
Agustus.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Hidup dalam kemiskinan yang tak tentu arah macam Dahlan
jumlahnya tak sedikit di kampungnya, tetapi hanya Dahlan saja yang ditentukan
oleh hoki untuk menjadi menteri. Beberapa orang yang<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>lain mungkin juga jadi orang baik dan
berhasil punya perusahaan besar dan hidup bermegah dalam kemewahan berlimpah,
tetapi sisanya lebih banyak masih tertatih-tatih dalam alam “kere” yang mungkin
tak kan
berkesudahan. Mereka pun telah bekerja keras dan cerdas pula dalam perjalanan takdir
kehidupannya. Tak diceritakan apakah menjadi menteri adalah cita-cita Dahlan
kecil ketika masih sekolah di madrasah dulu dan bagaimana dia berusaha kerja
keras dan cerdas untuk mencapai kedudukan menteri. Dia cuma mengatakan
kemiskinan itu dinikmatinya saja apa adanya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Barangkali Pak SBY pun demikian, hoki agaknya selalu saja menyertai
perjalanan hidupnya dalam takdir yang tidak dia ketahui. Takdir adalah
ketentuan atau ketetapan Tuhan (KBBI Pusba), dan karena itu orang mau jadi apa
kemudian sesungguhnya adalah ketetapan Tuhan juga. Maka berkatalah Pengkhotbah,
apa yang terjadi sekarang sesungguhnya telah ditentukan sebelumnya. Konon, SBY bercita-cita
menjadi tentara seperti ayahnya, dan dia berhasil menjadi jenderal pula. Tetapi,
hoki menyertai orang dalam perjalanan hidupnya untuk menjadi sesuatu yang tak
pernah ada dalam angan-angannya ketika kecil. SBY pun menjadi presiden RI. Dia
Ketua Dewan Pembina (Partai Demokrat) kini.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Ketua Dewan Pembina artinya ketua yang memimpin atau bertugas
mengetuai dewan atau majelis atau badan yang terdiri atas beberapa orang
anggota yang pekerjaannya memberikan nasihat, memutuskan suatu hal, dsb dengan
jalan berunding (KBBI Pusba). Apakah SBY berhasil membina atau memimpin,
mungkin pembaca coretan ini sudah banyak tahu.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pada kenyataannya<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>SBY
tampak geram ketika dia berpidato di layar televisi, lantaran partainya turun
peringkat elektabilitas di mata rakyat, nyaris sampai pada titik paling nadir.
SBY membina partainya untuk berdiri di atas asas cerdas, bersih, dan santun,
tetapi orang pintar, cerdas, dan santun binaannya justru tidak jujur, dan melenceng
dari asas itu, dan menjadi manusia paling <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>korup dan merusak citra partai Demokrat.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
SBY pun berkata, “Karena nila setitik rusak susu sebelanga”.
Walaujpun begitu dia berkilah, persentase jumlah koruptor dalam partai yang
dipimpinnya jauh lebih kecil <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>daripada
partai besar lain, dengan menyebut data hasil survai entah dari mana sumbernya.
Tetapi, para pengamat politik mengatakan nilai korup paling besar sampai
mencapai triliunan rupiah justru dilakukan oleh hanya segelintir oknum Partai
Demokrat.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dari segi tata bahasa, SBY disebut memegang jabatan di
partainya sebagai Ketua <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Dewan</b> <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Pembina</b>. Itu logika yang lurus, sebab
dia adalah ketua yang memimpin dewan pembina. Bukankah dewan pembina itu adalah
badan atau sekelompok<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>orang yang membina
atau memimpin anggota partainya supaya berjalan lurus menurut asas yang telah
ditentukan?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pada umumnya<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>partai
lain menyebutkan jabatan Ketua <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Dewan
Pimpinan</b> Pusat (DPP), Ketua <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Dewan
Pimpinan</b> Daerah (DPD) dan Ketua <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Dewan
Pimpinan</b> Cabang (DPC). Ini logika yang miring pengertiannya. Ketua Dewan
Pimpinan Pusat boleh jadi juga berarti ketua dewan atau majelis yang dipimpin
oleh pusat karena kata “pimpinan” berarti (orang) <i style="mso-bidi-font-style: normal;">yang dipimpin</i> atau hasil memimpin.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kalau kita menyebut “dewan pimpinan pusat” maka “pusat” itu
boleh kita pertanyakan siapakah dia, dan apakah jabatan dia sesungguhnya. Tentu
saja dapat kia katakan bahwa “pusat” itulah yang memimpin dewan. Kalau begitu,
“pusat” itu adalah ketua juga lantaran dialah yang memimpin dewan. Lantas,
“ketua dewan pimpinan pusat” itu apa maksudnya. Ketua dewan yang dipimpin oleh
pusatkah, atau ketua dewan pimpinan itu berada di pusat.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Kata “pimpin” seharusnya sama atau identik dengan “bina”
karena keduanya berarti hasil memimpin dan hasil membina. Baik “pimpinan”
maupun “binaan” bukanlah pemimpin atau<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>pembina. Jikalau Partai Demokrat memberikan SBY jabatan sebagai <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“Ketua Dewan Pembina”,</b> mestinya partai
yang lain pun menyebut <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">“Ketua Dewan
Pemimpin</b> Pusat”. Demikian pun Ketua Dewan Pemimpin Daerah itu adalah ketua
dewan yang memimpin di daerah atau di cabang. Mereka itu bukan pimpinan atau
orang yang dipimpin. Mereka pemimpin dan bertugas memimpin di daerahnya. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Logika “dewan pimpinan’ ini miring jalannya lantaran kata
“pimpinan” telah umum atau telanjur dimengerti atau diberi pengertian sebagai
“kumpulan para pemimpin”. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia IV) mengartikan
“pimpinan” adalah hasil <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>memimpin; bimbingan;
tuntunan. Tentu saja “binaan” juga berarti hasil membina. Demokrat itu adalah
partai binaan (yang dibina, dibangun oleh) SBY, artinya SBY adalah pembina
Partai Demokrat.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
SBY membangun partai dengan <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">bahasa terang, </b>logikanya lurus langsung. Logika yang lurus ini
agaknya tak menentukan suatu partai yang dibina akan otomatis menjadi baik dan
lurus pula jalannya sesuai asas yang telah ditentukan. Di negara demokrasi
lain, semisal Amerika Serikat, logika menentukan jalannya kehidupan yang baik
sebab bahasa mereka nalar untuk sampai pada tujuan dan mewujudkan cita-cita,
tetapi di Indonesia
logika masih harus ditentukan oleh hoki, peruntungan, atau nasib mujur.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Orang mewujudkan hoki dengan simbol-simbol baik benda maupun
angka. SBY senang akan angka 999 menurut buku seri PAK BEYE karangan Wisnu
Nugroho. Di mana-mana lambang angka 999 akan muncul, bahkan nomor telefon
genggamnya pun bernomor buntut 9949. Itu tanggal lahirnya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Benarkah tanggal lahir menentukan hoki seseorang? Pak
Menteri Dahlan Iskan tak jelas tanggal lahirnya, toh jadi orang kaya juga dan
menteri pula. Hoki bagi orang yang lain lagi mungkin menggunakan benda lain
sebagai simbol peruntungan. Tomy Soeharto memiliki kekayaan berlimpah konon
karena warisan hoki ayah bundanya. Dia mendirikan perusahaan bernama HUMPUSS tetapi
orang banyak lalu memelesetkan nama perusahaan itu dari singkatan Hasil Usaha
Mama Papa Untuk Saya Semua. Hokinya bagus betul dan simbol peruntungan adalah
kekayaan itulah.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
SBY teguh kokoh berdiri dalam lindungan hoki, meskipun
partainya gonjang-ganjing diterpa isu korupsi. Satu dua kader sudah masuk bui
KPK karena status tersangka dan narapidana, dan ketika kekuasaan SBY sudah
hampir sampai pada kesudahan, ketua umumnya Anas Urbaningrum pun tergoncang
badai korupsi.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Adakah Anas berambisi menggantikan SBY, agaknya iya,
meskipun belum pasti betul. Usahanya untuk naik singgasana ketua umum Partai
Demokrat, konon, dilakukannya dengan cara di luar asas cerdas, bersih, dan
santun. Dia diduga kuat melakukan suap. Maka berkatalah pula Pengkhotbah,
“Ketika orang bijak melakukan penipuan, sesungguhnya dia berlakon layaknya
orang bodoh. Uang suap itu akan merusakkan keagungan wataknya.”</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Berkatalah SBY dengan suara geram tetapi santun,
“Perhatikan, kalau ada kader yang merasa telah melakukan perbuatan tercela,
saya mohon keluar dari partai ini sekarang juga.” Para
pengamat politik mengatakan SBY sedang menasihati seluruh kadernya, tetapi seorang
ahli mengatakan itu sindirin lurus tepat ke sasaran Anas Urbaningrum, supaya
dia mengundurkan diri saja. Agaknya hanya Ketua DPP bidang komunikasi Partai
Demokrat saja yang mampu membaca pernyataan SBY. Sebelum SBY geram Ruhut sudah
lebih dahulu meminta secara terang-terangan agar Ketua Umum Anas Urbaningrum mundur
sementara. Dia telah ditegur oleh atasannya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Anas telah diperiksa KPK, tetapi mungkinkah Anas tetap teguh
di kursi ketua umum? Tergantung hoki.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Umbu Rey</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-18904248707051462622012-05-17T04:50:00.000-07:002012-05-18T22:39:09.331-07:00NEGARA PALING BERAGAMA<br />
<br />
<div class="MsoNormal">
Seorang pendeta bernama Andar Ismail bercerita tentang
Republik Suap di negeri Yahuda berdasarkan kisah Alkitab. Cerita di negeri itu ditulisnya secara singkat dalam buku
kecil seri Selamat Berkarunia. Asyik betul saya menyimak cerita itu lantaran
praktik suap rupanya sudah berlangsung ribuan tahun sebelum Masehi. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Syhadan, dia bilang di dalam itu negeri hakim dapat disuap,
pembesar memberikan putusan sekehendaknya, dan hukum mereka putar balikkan.
Semua urusan harus pakai suap. Ironisnya, yang kasih suap dan yang menerima
suap adalah orang-orang yang beragama semuanya. Ternyata praktik suap menyuap
dan sogok-menyogok memang sudah terbiasa dilakukan oleh orang yang beragama.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Orang-orang beragama itu amatlah saleh bertakwa dan khusuk sekali
berdoa (kelihatannya begitu), tak pernah lupa melakukan ritual sembahyang ke
sinagoga pada saatnya. Jumlahnya begitu banyak sampai luber ke pekarangan rumah
ibadah karena terlalu penuh. Maka itu berkatalah sang pengkhotbah dengan
bangga, “Negara kita ini adalah negara yang paling beragama!” </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Cerita suap di negeri Yahuda itu mirip betul dengan praktik korupsi
di negara Republik Indonesia
sekarang ini. Saking maraknya korupsi dipraktikkan kelewat batas, maka penilaian
internasional sampai menempatkan RI pada peringkat nomor wahid di antara
negara-negara paling korup di Asia Tenggara, dan yang keempat di dunia.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tetapi, pendeta yang cerdas ini mengatakan keliru kalau
negara kita ditempatkan di peringkat paling atas dalam daftar negara-negara
paling korup di dunia. Itu mungkin cuma salah ucap atau salah cetak saja.
Barangkali yang dimaksud adalah bahwa negara RI termasuk peringkat “negara yang
paling beragama”. Ya, paling beragama.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Suap-menyuap sesungguhnya bagian dari praktik korupsi juga,
yakni penyelewengan atau penyalahguaan uang negara (perusahaan, organisasi,
yayasan, dsb) untuk kepentingan sendiri atau orang lain. Begitulah kata Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kalau demikian, apalah bedanya Republik Suap dan Republik Indonesia? Rakyat di kedua negara itu
toh sama-sama beragama dan melakukan praktik suap juga.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Karena beragama, maka semua kegiatan yang berhubungan dengan urusan kenegaraan
harus dijalankan dengan ritual agama atau dengan melibatkan Tuhan. Para menteri dan pejabat tinggi kalau dilantik Presiden haruslah
mereka bersumpah atau mengangkat sumpah lebih dahulu demi Allah. Presiden pun
harus bersumpah demi Allah. Demikian juga halnya dengan anggota DPR dan para
hakim harus “disumpah” dahulu sebelum menjalankan tugas mulia yang dibebankan
kepadanya. Orang yang menjadi saksi di pengadilan negeri pun harus mengangkat
sumpah. Demi tuhannya juga.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Setelah habis bersumpah atau mengangkat sumpah? Terserah dia…,
suka-suka dialah! Setelah itu, kabar yang terdengar adalah Presiden diisukan
terlibat kasus Bank Century, anggota DPR-RI melalui Banggar (Badan Anggaran)
terima uang suap dan menjadi kaya raya, dan sebagian sudah dihukum penjara. Dan,
apalagi hakim dan jaksa yang makan uang sudah dijebloskan juga ke dalam
penjara. Apakah ini hanya akal-akalan supaya dunia luar mendengar, tak tahulah
kita, sebab nyatanya si terpidana hanya sebentar saja di penjara. Mereka bebas
lagi karena bantuan HAM dan remisi. Tetapi, dana hasil korupsi sudah menumpuk abadi
di rekening pribadi. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Di negara paling beragama ini setiap anggota masyarakat tidak
boleh tidak harus mempunyai agama. Paling sedikit di dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) harus tertera
agama apa yang dia anut (meskipun mungkin cuma bohong-bohongan saja). Siapa
tahu kelak jika menjadi pejabat atau kalau diperlukan menjadi saksi di
pengadilan maka yang bersangkutan harus pula bersumpah demi tuhannya. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Jikalau pejabat dilantik tanpa sumpah dan orang bersaksi di
pengadilan tanpa sumpah demi tuhannya maka jabatannya atau kesaksiannya itu
tidaklah sah. Tetapi, pengakuan di bawah sumpah walaupun diucapkan sebagai bohong-bohongan
saja tetaplah resmi dan diakui negara. Siapa yang tahu bahwa orang yang
mengucapkan sumpah jabatan itu serius dan jujur?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sesungguhnya sumpah itu hanya sebuah pernyataan keteguhan
hati atau kebulatan tekad seorang pejabat untuk mewujudkan sesuatu yang akan
dikerjakannya kelak. Susahnya, kalau sumpah dicampuri dengan ritual agama dan
atau melibatkan tuhan di dalamnya, maka sumpah itu patutlah dicurigai sebagai
sumpah palsu. Demi Allah saya bersumpah, padahal demi kepentingaan
dia sendiri.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dulu, waktu zaman ORBA, ada tersedia lima agama yang diakui negara dan satu
Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang terakhir ini terkenal mengajari
pemirsa teve RI dengan istilah “eling”. Pokoknya eling sajalah. Ketika
kekuasaan Pak Harto runtuh maka “eling” pun lenyaplah sudah. Koruptor mana ada
yang eling, karena itu korupsi semakin merajalela di segala bidang kehidupan.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Gus Dur waktu naik takhta kepresidenan RI pada akhir abad 20
langsung bikin gebrakan untuk memberantas korupsi. Agama sebagai keyakinan ditambahnya
lagi satu, yakni Konghucu, maka hari Imlek pun tercatat di kalender penanggalan
sebagai hari libur resmi. Bahkan dua departemen, yakni Departemen Penerangan
dan Departemen Sosial dihapusnya dari kabinet karena dinilai paling banyak makan
uang rakyat. Konon, Departemen Agama yang juga menjadi pusat praktik korupsi
gagal dibubarkan. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Total agama yang mesti dianut umatnya di republik ini sekarang
ada enam. Terlalu sedikit agaknya jikalau dibandingkan dengan jumlah manusia
yang sudah mencapai 250 juta jiwa di negeri yang begini luas. Agama yang
sedikit itu pada kenyataannya tidak mampu memperbaiki moral bangsanya. Tiap
sebentar pejabat dilantik, dan saban hari mereka mengucapkan sumpah demi tuhan
berdasarkan agama yang diyakininya tetapi korupsi juga mereka lakukan secara
berjamaah tanpa rasa berdosa. Seakan-akan sumpah itu telah mengesahkan
kejahatan korupsi dan menjadi kegiatan rutin setiap hari. Negara semakin parah
dilanda wabah korupsi, lantaran tabiat rakyat dan moral pejabat sama saja.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Rakyat jelata dan mahasiswa lulusan perguruan tinggi apakah
suci tanpa dosa korupsi? Orang bilang tergantung niat dan kesempatan saja. Niat
pastilah sudah siap, tinggal kesempatan yang belum terbuka. Sedikit saja ada
peluang, niat lalu mendorong mereka untuk masuk menjadi anggota tetap “perkumpulan
para koruptor.” Sangat gampang masuk ke situ, sama gampangnya dengan seekor unta masuk
melalui lubang jarum.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Semuanyakah begitu? Tentu tidak juga, sebab mereka yang
niatnya baik dan jujur hanya menjadi kaum minoritas yang tidak terpilih, bahkan terbuang
sampai tak bisa berbuat apa-apa lagi. Apakah mereka menjadi baik berkat peran
agama? Sulit untuk menjawab ya, sebab di negeri yang dianggap kafir tak
beragama sekalipun, lebih banyak orang yang moralnya sangat baik dan jujur, bukan karena mendapat pendidikan agama. Agama sama sekali tak berperan di dunia orang kafir, tetapi praktik korupsi mungkin hanya sedikit dilakukan. Mereka bahkan telah berperan membantu orang beragama yang
kesulitan dan yang miskin papa. Pesawat terbang buatan tangan mereka telah
banyak menyokong kelancaran ibadah orang beragama negeri ini. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Lantas bagaimana kalau agama ditambah supaya banyak? Akh,
agama dibatasi hanya enam saja dengan harapan tuhannya esa atau tunggal supaya
negara teratur pun sudah amburadul tidak karu-karuan, apalagi banyak. Agama
yang semakin banyak akan “menciptakan” tuhan menjadi banyak pula, maka yang
mengatur umatnya pun tidak lagi Tuhan Yang Maha Esa. Tiap agama memiliki
tuhannya sendiri, dan setiap tuhan akan akan berjuang hanya untuk kepentingan agamanya. Kok, tuhan jadi kayak anggota DPR-RI.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Untuk mengurus negeri yang penuh koruptor ini, tuhannya agama A pastilah
tidak sependapat dengan tuhannya agama B, atau C. Demikian pun tuhan agama D
menolak argumen tuhannya agama E dan F. Maka perdebatan antar-tuhan terjadilah
untuk memberantas korups di negara paling beragama ini, sampai mungkin terjadi seakan-akan tuhan berantam sesama tuhan dan
kekacauan moral di republik ini semakin menjadi lebih buruk. Meskipun disebut
“Yang Maha Esa” tak mungkinlah agama yang satu menaruh kepercayaannya pada
Tuhan agama yang lain. Dalam kelompok agama Abrahamik sekalipun, yang satu
menolak dogma yang lain meskipun tuhannya disebut Allah juga.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
AGAMA menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) adalah
segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dst) serta dengan ajaran kebaktian
dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dalam tanda
kurung ada “dst” yang munngkin dapat ditafsirkan bahwa bukan kepada Tuhan atau
Dewa saja orang menganut kepercayaan. Boleh juga orang percaya pada pohon
beringin atau pada kepala banteng atau pada bintang biru bersudut tiga sebagai
agama. Terserah dialah.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) agaknya melokalisir
pengertian agama hanya terbatas pada persoalan ajaran atau sistem yang mengatur
tata iman dan peribadatan. Mungkin karena kata “agama” terambil dari bahasa
Sanskerta yang berarti mengatur supaya tidak kacau. “A” berarti tidak, dan “gama”
berarti kacau, sejalan dengan pola pembentukan kata “aneka” dan “asusila” atau
bahkan “asu”. Maka agama sebenarnya bukanlah kepercayaan, dan bukan pula iman.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dua kamus ini juga sama-sama memberikan pengertian pada kata
“beragama” dalam arti memuja-muja sesuatu. Dalam bahasa percakapan sehari-hari kata
“beragama” dapat berarti memuja uang dan harta benda sebagai tuhannya. Maka itu
sebabnya, sebagai tersebut di atas, agama telah “menciptakan” tuhan
bermacam-macam jenisnya menurut kepentingan penganutnya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Anehnya, agama kini cendrung menjadi identik dengan tuhan
dan dibela mati-matian oleh umatnya, kalau perlu, sampai titik darah penghabisan kalau ada orang
lain atau agama lain menyinggung perasaan keberagamaannya. Agama kini tampaknya telah
menggantikan peran tuhan. Karena itu peraturan, kebiasaan, dan upacara
keagamaan adalah mutlak benar tanpa cacat cela atau keliru. Di luar agamanya,
semua dianggap salah. Maka jadilah agama dipuja-puja dan
disembah sebagai dewa kebenaran. </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Agama dibela berati tuhannya pun dibela. Kok, tuhan dibela?
Ya, karena tuhan adalah ciptaan orang yang beragama. Itu sebabnya umatnya
tidak segan-segan melakukan korupsi lantaran tuhan yang diciptakannya itu
adalah zat yang mahabaik, maha pemurah, maha pengampun, lagi mahabijaksana.
Hari ini koruptor bilang tobat, besok
korupsi diulangnya lagi. Soalnya lusa dia boleh bertobat dan diampuni lagi oleh
tuhannya yang mahabaik itu. Tuhan tidak pernah marah pada umatnya, maka umatnya
boleh sewenang-wenang, bebas berbuat korupsi untuk kepentingan sendiri, sama seperti pada hari-hari kemarin dan kemarin dulu.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pada awalnya manusia percaya bahwa Tuhan pencipta segala
sesuatu. Manusia pun adalah ciptaanNya. Keyakinan itu adalah iman. Dan, "iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang
tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek
moyang kita.” Begitu kata Alkitab orang Kristen (Ibr 11:1-2).</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Karena itu umatnya sibuk meminta pembelaan dari Tuhannya dalam
doa, tetapi tak ada jawaban. Di manakah Tuhan, atau mungkinkah Tuhan telah lama mati? Di mana-mana di
negeri ini kekacauan dipicu oleh agama atau karena membela agama. Bom
merusakkan rumah ibadah, umatnya dianiaya entah karena salah apa. Tetapi
tak ada solusi. Maka berkumandanglah ke seluruh penjuru angin alunan lagu suara
lembut penyanyi Ebiet G. Ade, “Mungkin tuhan mulai bosan melihat tingkah kita/
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa”. Salahnya Ebiet, mengapa
disuruhnya pula kita bertanya pada rumput yang bergoyang? Jangan-jangan dia
juga mengakui rumput yang bergoyang sebagai tuhan. Atau mungkin
Ebiet pun sedang bingung, tuhannya orang beragama ada di mana?</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Agama dapatkah memberantas korupsi? Tampaknya tidak. Para pemuka agama khotbah berapi-api menyampaikan pesan
Ilahi saban hari lewat teve dan pengeras suara, tetapi orang beragama lebih
banyak cuek bebek alias masabodo amat. Ayat-ayat agama malah dijadikan alat
untuk menipu umatnya dengan simbol-simbol suci. Allahuakbar, Insya Allah, Puji
tuhan dan Haleluya tiap sebentar diucapkan hanya sebagai pemanis bahasa agar dia dipercaya.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Hari ini seorang menteri mengucapkan sumpah suci atas nama
Tuhan Yang Maha Esa. Ini hari dia bilang “demi Allah” besok dia juga yang duduk
di kursi pengadilan dan menjadi terdakwa karena terlibat kasus korupsi
berjamaah. Menteri Agama pun terperosok ke dalam kamar bui. Seorang pejabat yang
bersumpah palsu sesunguhnya telah berdosa karena menghina Tuhan, dan karena
menipu rakyat. Rakyat terkecoh dan berdemonstrasi menuntut pemberantasan
korupsi di mana-mana. Hari ini begitu, besok ada lagi kasus
korupsi, tak henti-henti terjadi.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Bung Karno, proklamator dan pendiri negara RI, sangat tidak
setuju agama jadi urusan negara, sebab katanya, di Turki telah terjadi kenyataan
bahwa agama justru telah menghancurkan negara. Di mana-mana di dunia ini, negara
terpecah lantaran agama. Di negeri inlander ini agama adalah sontoloyo, karena umatnya
menggunakan hukum agama untuk berzina dan korupsi. Agama (yang benar itu) telah
dipakai umatnya untuk mengelabui mata Tuhan, kata Bung Karno.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Agama dapatkah memperbaiki moral manusia? Agaknya juga
tidak. Lewat iklan partai berkuasa mereka berteriak-teriak dengan suara keras tegas,
supaya meyakinkan orang banyak, “Katakan TIDAK pada korupsi.” Si cantik jelita
mantan putri Indonesia
mengucapkan “TIDAK, TIDAK, TIDAK PADA KORUPSI”, berulang-ulang sambil
mengacungkan simbol partai yang suci. Rakyat percaya dan terpilihlah sang putri
menjadi anggota DPRRI yang terhormat.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sang putri malah telah menganut dua agama, yang pertama
Kristen, dan karena terlibat asmara
dia menjadi mualaf dan menganut Islam, maka rakyat semakin percaya korupsi akan
diberantas lewat tangan si putri. Tetapi apalacur, sekarang rakyat pemilihnya malah
gigit jari ketika melihat sang putri pujaannya diseret KPK masuk bui sebab
sudah menjadi tersangka kasus korupsi Wisma Atlet bernilai miliaran rupiah.
Agama ternyata tak sanggup menunjuk jalan kebenaran bagi manusia, juga bagi
sang putri. Atau barangkali agama itu adalah muslihat sang Putri untuk kepentingan sendiri, atau kelompok.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Masih ingat iklan kampanye Partai Demokrat di harian
Republika sehalaman penuh pada Selasa, 23 Juli 2009? “TEGAS MEMBERANTAS
KORUPSI, TIDAK CEPAT MEMPERKAYA DIRI”. Frasa pertama pada kalimat iklan itu
jelas, partai ingin memberantas korupsi. Frasa kedua juga jelas sekali, anggota
partai juga ingin memperkaya diri, walaupun tidak cepat-cepat. Menerima uang suap bukankah
itu usaha memperkaya diri? </div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Adakah lagi yang perlu diungkap dari negara paling beragama
ini? Kasus korupsi saja tak habis dibicarakan lantaran terjadi di mana-mana dan
di segala jabatan. Tuhan yang dulunya pemberang dan kejam menjatuhkan hukuman
seberat yang tidak dapat dipikul manusia, kini agaknya telah lenyap dari
sejarah, dan perannya digantikan agama. Kisah Sodom dan Gomora dan air bah adalah
bukti kekejaman Tuhan, dan karena itu umat yang beriman berbuat sesuatu hanya karena
panggilan Tuhan, lalu bekerja karena “takut akan Tuhan”.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tetapi sekarang, tsunami menelan ratusan ribu manusia
hidup-hidup, lalu gempa bumi mengguncang tanah, banjir menghancurkan ladang dan sawah sementara
letusan gunung berapi merusakkan rumah tinggal sampai berantakan. Semua bencana dianggap biasa saja. Korbannya hanya
bilang “apes”, tidak ada hubungannya dengan ajaran agama. Kata ayat agama,
tuhan itu mahabaik, maha pengampun, dan maha pemurah. Besok kan bisa korupsi lagi, tuhan tidak marah.
Agama tetaplah terus menjadi tumpuan dan arah hidup, tetapi korupsi entah sampai
kapan dapat diberantas.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Umbu Rey</div>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-59073618151900380452012-01-30T06:19:00.000-08:002012-01-30T06:33:00.057-08:00Jiplak<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"><br />Zaman dulu ketika saya masih duduk di Sekolah Rakyat (SR) di kampung, Pak Guru biasanya mengharuskan murid-muridnya menggambar peta sebuah pulau tatkala dia mengajar ilmu bumi. Kalau Pak Guru menerangkan mengenai Pulau Jawa misalnya, maka gambar pulau itu harus ditempelkan di buku catatan ilmu bumi murid-muridnya.</span> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dengan begitu, murid-murid terbiasa melihat peta dan mengetahui persis letak kota dan wilayah di pulau itu dengan hanya melihat titik-titik yang tertera pada gambar itu. Peta yang dibuat murid-murid itu disebut<span style="mso-spacerun:yes"> </span>“peta buta”.<br /></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Untuk menggambar bentuk pulau itu secara lebih tepat, kami menempelkan kertas tipis transparan di atas gambar Pulau Jawa dalam peta atau atlas lalu menarik garis mengikuti bentuk pulau yang ada di bawah kertas tipis itu. Hasilnya dipindahkan ke buku catatan ilmu bumi milik murid pada bagian atau bab mengenai Pulau Jawa.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Pekerjaan memindahkan gambar Pulau Jawa dari peta atau atlas ke buku catatan ilmu bumi melalui kertas putih transparan itu disebut “menjiplak atau penjiplakan”. Proses menjiplak itu kemudian disebut<span style="mso-spacerun:yes"> </span>juga sebagai “mencontek”, dan belakangan berkembang pula pengertiannya menjadi “mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai karangan sendiri”.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dahulu, menjiplak adalah pekerjaan yang boleh-boleh saja dilakukan oleh para murid SR karena pada umumnya mereka tidak pandai menggambar peta. Tetapi, ketika pengertiannya berkembang menjadi “mencuri karangan orang lain” maka perbuatan menjiplak itu masuk kategori pidana atau kejahatan melalui tulisan. Itu sebabnya orang yang menjiplak karangan atau tulisan orang lain dapat dituntut ke muka pengadilan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Setakat ini banyak calon sarjana melakukan hal itu baik secara keseluruhan maupun sebagian saja. Maka supaya terhindar dari tuduhan penjiplakan, pada catatan kaki skripsinya selalu ditulis sumbernya. Kalau tidak begitu, si calon sarjana bisa dituduh mencuri karangan orang lain dan gelar sarjana bisa dibatalkan dan bahkan mahasiswa penjiplaknya dapat dijeboskan ke dalam penjara karena penipuan.<br /></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Perbuatan menjiplak itu sebenarnya bukanlah perbuatan tercela selama dilakukan dengan jujur. Orang menyalin karangan orang lain asalkan tidak disebarkan dan diperjualkanbelikan tanpa sepengetahuan (izin) pemiliknya dengan maksud untuk kepentingan sendiri tak akan menimbulkan dampak kejahatan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Uang kertas yang ada di tangan Anda itu bukankah hasil penjiplakan juga? Aslinya hanya ada satu saja dari tiap-tiap nilai pecahan rupiah, dan yang lain-lain itu walaupun kelihatannya sama persis dengan aslinya, sesungguhnya palsu semua. Pada zaman Orde Lama di dalam uang kertas tertera tulisan <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“Barangsiapa meniru atau memalsukan uang kertas dan barangsiapa mengeluarkan dengan sengaja atau menyimpan uang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan akan dituntut di muka hakim.”</i></b><span style="mso-spacerun:yes"> </span></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Lalu, siapakah “yang meniru atau memalsukan” uang kertas<span style="mso-spacerun:yes"> </span>itu, tentulah pemerintah juga. Yang mengeluarkan dengan sengaja pemerintah juga, yang menyimpan yang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan adalah pemerintah juga. Kalau begitu yang dituntut di muka hakim, seharusnya <span style="mso-spacerun:yes"> </span>pemerintah juga, tetapi polisi diam saja, tidak ada yang dituntut di muka hakim.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Pada zaman Orde Baru kalimat pada uang kertas itu diperbaiki, <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“Barangsiapa meniru, memalsukan uang kertas dan atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang</i></b> <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span style="mso-spacerun:yes"> </span>kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara.”</i></b> Sama saja dengan uang Orde Lama. Perbedaan paling mendasar terbaca pada frasa terakhir <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“dituntut di muka hakim”</i></b> diganti dengan <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">“diancam dengan hukuman penjara”.</i></b> Pelaku kejahatan dia-dia juga (pemerintah), tetapi tidak diancam dengan hukuman penjara. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Itu sebabnya pada zaman Reformasi tulisan di uang kertas sudah dikoreksi dan diganti dengan kalimat <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai....”</i></b> Dengan begitu penjiplakan uang menjadi sah atau resmi. Pemerintah yang menjiplak uang kertas itu pun tak akan pernah dituntut di muka hakim, juga tak ada ancaman penjara. Kalau penjiplakan dilakukan oleh masyarakat umum dengan maksud memalsukan untuk kepentingan sendiri barulah polisi akan bertindak.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kalimat dalam uang kertas pada zaman Reformasi sekarang ini tampaknya ingin meniru-niru uang kertas dolar Amerika Serikat, tetapi kelihatan agak malu-malu karena nanti dikira menjiplak. Di dalam uang kertas dolar Amerika Serikat<span style="mso-spacerun:yes"> </span>tertulis <b style="mso-bidi-font-weight:normal">IN GOD WE TRUST. </b>Hanya empat kata, maka resmilah uang kertas itu sebagai alat pembayar. Tak perlu pakai tulisan ancaman penjara sebab pastilah itu terjadi kalau polisi telah menangkap para pemalsu uang kertas.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Saya agak ragu untuk mengatakan bahwa seorang profesor di Indonesia telah menemukan sesuatu yang baru dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doktor sebab yang ditulisnya itu sesungguhnya penuh dengan catatan kaki dari teori-teori ilmuwan sebelumnya. Jadi, gelar doktor yang diraihnya adalah hasil penjiplakan juga, yakni karangan orang lain yang dikutip lewat catatan kaki.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Penjiplakan itu bahasa kerennya adalah “plagiarism” dari kata kerja “plagiarize” (Inggris). Orang yang menjiplak disebut “plagiarist” atau plagiator , sama juga artinya dengan penjiplak atau tukang jiplak. Kalau tak ada catatan kaki atau sumber tulisan, sang doktor pun bisa dituduh melakukan kejahatan lewat tulisan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Mesin fotokopi dibikin untuk memudahkan pekerjaan menyalin sebab sebelum mesin –yang berkembang menjadi faksimile--- itu ditemukan, orang hanya melakukan pekerjaan menyalin atau menulis ulang di kertas lain. Mengetik dengan menggunakan karbon dapat juga disebut menyalin. Itu sebabnya salinan dari hasil pengetikan disebut juga tembusan atau tindasan dalam surat menyurat resmi. Disebut “tembusan” karena diketik sampai menembus ke kertas tik di belakangnya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Ketika mesin fotokopi perlahan-lahan tergantikan oleh sistem kerja komputer maka pekerjaan menyalin tulisan atau gambar menjadi lebih mudah dilakukan. Dewasa ini, proses penyalinan dilakukan hanya dengan menekan jari telunjuk pada tetikus atau “mouse” komputer. Dalam hitungan detik saja pekerjaan penyalinan tulisan selesai dilakukan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Proses yang begini ini lazim disebut dalam istilah komputer “copy paste”. Dalam bahasa Indonesia sudah mulai diperkenalkan istilah “salin tempel” sebagai padanannya, yakni memindahkan suatu tulisan atau gambar lalu menempelkannya pada halaman lain. Sebenarnya sama juga artinya dengan “menjiplak”. Teknologi ”salin tempel” itu dibuat untuk memudahkan pekerjaan manusia lantaran waktu terasa semakin sempit dan usia manusia yang dirasakan terlalu singkat.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Sayangnya, teknologi itu ketika masuk ke dunia orang go-block (apa pun agamanya) telah menjadikan mereka semakin jauh tertinggal ratusan tahun di belakang kecerdasan komputer. Mereka tidak bisa mencipta karena semua yang terjadi dan yang akan tercipta kelak bergantung pada kehendak Tuhan menurut keyakinan mereka.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">“Kita tidak boleh mendahului Tuhan,” begitu kata-kata klasik yang keluar dari mulut<span style="mso-spacerun:yes"> </span>mereka yang fanatis karena menganggap pekerjaan mencipta sesuatu oleh manusia adalah perbuatan syirik. Maka yang mereka lakukan saban hari adalah meminta-minta dan mengemis-ngemis pada tuhannya dalam sujud doa ritual agama. Tetapi tak ada yang jatuh dari langit sebagaimana ayat-ayat suci yang dipercaya diturunkan dari langit.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Anehnya, doa pun banyak dilakukan dengan menjiplak sesuatu yang telah diucapkan oleh orang lain sebelumnya, dan diulang-ulang pula sampai ratusan kali. Semua yang hendak berdoa hampir pasti menggunakan istlah “memanjatkan”doa, dan karena itu Gus Dur pernah kasih komentar, “Kita seharusnya banyak-banyak memanjatkan doa, sebab doa memang tidak bisa memanjat sendiri.” Kalau doa saja mesti dijiplak, Tuhan pun tentu saja marah. Pantas doa bangsa ini tak pernah terkabul. Lha, kan doa jiplakan, dan mana pula ada doa pakai catatan kaki.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"> </span>“Copy paste” atau salin tempel kini digunakan untuk melakukan penipuan dalam tindak perbuatan jiplak-menjiplak. Di dunia artis<span style="mso-spacerun:yes"> </span>Indonesia, jiplak-menjiplak dilakukan di mana-mana dan kapan saja. Amerika bikin “breakdance” kita jiplak, orang kulit hitam bikin musik jazz kita jiplak, belakangan mereka bikin musik “mengomel-ngomel” yang disebut “rap” kita jiplak juga. Anehnya, musik keroncong dan campur sari serta dangdut tak pernah dijiplak orang bule. Yang kita klaim sebagai milik asli bangsa ini ternyata jiplakan juga. Di dunia film sama juga begitu.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Sebuah grup band anak-anak muda Indonesia menamakan dirinya G-Pluck untuk mengangkat popularitas dirinya di kancah persaingan dunia hiburan. Sebenarnya nama G-Pluck itu tak ada artinya apa-apa, tetapi ketika nama itu diucapkan dalam ejaan Inggris maka terdengar dalam bahasa Indonesia kata “ji-plak”. Mereka ternyata menjiplak gaya dan lagu pemusik “The Beatles” asal Liverpol, Inggris yang legendaris itu. Massih untung mereka menyebut penciptanya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kita paling getol menuduh Malaysia menjiplak lagu atau hasil budaya Indonesia, tetapi kita tidak pernah sadar bahwa kita sendiri pun menjiplak lagu “What A Friend We Have In Jesus” dan menggantinya dengan “Kulihat Ibu Pertiwi”. Begitu juga lagu yang dinyanyikan pada saat mengheningkan cipta pada acara kenegaraan, seratus persen adalah jiplakan lagu rohani yang dinyanyikan di gereja-gereja. Di dunia teknologi bagaimana. Ternyata kita tidak bisa menjiplak, kita tertinggal jauh sekali.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Jiplak itu berbeda dari meniru atau mencontoh. Proses penjiplakan akan menghasilkan bentuk yang sama persis tetapi meniru atau mencontoh paling-paling hanya menghasilkan wujud yang mirip-mirip dengan aslinya. Anda boleh saja meniru sebab setiap orang menjadi tahu karena meniru atau mencontoh tetapi hasilnya tak akan sama persis dengan yang yang ditiru.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Belajar adalah proses meniru juga, dan anak-anak menjadi dewasa karena meniru-niru orang-tuanya, tetapi jiplak atau penjiplakan atau plagiat cenderung dilakukan untuk kejahatan sebab biasanya dengan maksud mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai karangannya sendiri. Kalau tidak ketahuan, perbuatan penjiplakan akan menghasilkan keuntungan uang sangat banyak.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Agama ternyata tak bisa mengatur umatnya untuk tidak menjiplak lantaran ternyata ada agama yang terbentuk karena jiplakan dari agama yang sudah ada lebih dahulu. Umatnya fanatis melakukan ritual sampai ke sumbernya di Timur Tengah –katanya untuk membela agama, meneguhkan keyakinan, dan menghapus dosa-- tetapi<span style="mso-spacerun:yes"> </span>sesampainya di negeri sendiri, ritual penjiplakan juga dimulai, tanpa rasa salah tanpa rasa dosa. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Jangan heran, seorang pemimpin redaksi di perum penerbitan pers pun melakukan penjiplakan tanpa rasa bersalah. Dia sajikan makalah jiplakan seratus persen dari karangan orang lain yang telah diterbitkan tiga tahun sebelumnya dan diakui sebagai karangannya sendiri.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Pada akhir makalah jiplakan itu ada tambahan catatan kaki yang menerangkan bahwa penulisnya adalah pemimpin pedaksi dan pernah menjabat kepala biro luar negeri. Seakan-akan dia hendak meyakinkan para peserta disikusi bahwa dialah penulis makalah yang disajikannya itu. Padahal semuanya penipuan belaka. Jadi apa boleh bikin.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Emangnya yang saya tulis itu ada? Ada, ada faktanya! Suatu bukti bahwa kita ternyata baru bisa menjiplak, mencuri karangan orang lain sajalah. Dosa? Akh, kan bisa terhapus kalau bilang “tobat”.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">I. Umbu Rey</span></p>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-41434607349838052572012-01-24T09:14:00.000-08:002012-01-24T09:42:19.304-08:00Lembaga Pemasyarakatan Cipinang<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"></span> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Frasa “Lembaga Pemasyarakatan” kedengaran di telinga saya rada-rada aneh, sebab tak sesuai dengan pernalaran akal dan budi. Setiap kali saya bertanya-tanya, itu lembaga sebenarnya mau memasyarakatkan apa, dan untuk apa? </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dahulu penjara atau bui itu tempat menahan orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri karena melakukan tindak kejahatan. Sejak awal dekade tahun 1970-an istilah penjara itu diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan, dan dikenal dengan singkatan lapas atau LP saja.<span style="mso-spacerun:yes"><br /></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Mungkin istilah penjara dianggap tidak manusiawi karena tidak sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab menurut<span style="mso-spacerun:yes"> </span>sila kedua Pancasila. Sebenarnya kata “penjara” itu sudah terpeleset pula dari kata aslinya <b style="mso-bidi-font-weight: normal">“penjera”</b> yakni tempat orang dihukum supaya jera.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dahulu, kalau orang meringkuk dalam penjara Tangerang, masuk gemuk pulang tinggal tulang karena kerja secara paksa. Begitulah gambaran keadaan dalam bui yang disampaikan dalam syair lagu D’Loyd. Itu sebabnya orang jahat suka melarikan diri dari kejaran aparat penegak hukum sebab takut disiksa, dan banyak orang takut melakukan perbuataan yang melawan hukum.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Penjara sebenarnya dibuat supaya orang yang terbukti melakukan tindak pidana kejahatan dapat dibikin jera dan bertobat sehingga kelak di kumudian hari jika dia lepas kembali tidak lagi mengulangi perbuatannya. Banyak dari mereka yang telah mendekam bertahun-tahun terbukti bertobat, meskipun sebagian lagi tetap mengulangi lagi kejahatannya. Dalam istilah hukum mereka itu disebut residivis.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Setelah keluar dari penjara bekas orang tahanan itu tetap menganggur karena tidak ada pekerjaan dan tidak dibekali apa-apa untuk mencari nafkah. Mencari pekerjaan halal sulit lantaran nama mereka sudah tercemar sebagai orang jahat yang ditakuti oleh lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Tak ada lagi orang yang percaya, dan karena (mungkin) nama sudah tercemar dan tidak ada lagi jalan lain, terpaksalah mereka mengikuti jalan nasib, kembali jadi orang jahat untuk melakukan pekerjaan pidana rutin, siapa tahu mujur nasib bisa berubah. Kalau tertangkap kembali paling-paling masuk bui lagi, dan makan gratis kalau perlu seumur hidup. Mereka itulah yang disebut penghuni hotel prodeo, atau istilah sekarang “romantis”, rombongan makan gratis.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Sekarang ini pemerintah berupaya memanusiakan mereka agar kembali ke dalam masyarakat supaya hidup baik-baik sebagaimana layaknya masyarakat biasa. Karena itu orang jahat dimasukkan ke dalam LP atau Lembaga Pemasyarakatan dan bukan lagi masuk penjara. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Penjara atau bui adalah bangunan tempat mengurung orang hukuman (lihat KBBI – Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV). Jelas pengertiannya. Tetapi lembaga pemasyarakatan --bagi saya-- tak jelas benar arti maksudnya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Menurut <span style="mso-spacerun:yes"> </span>KBBI<span style="mso-spacerun:yes"> </span>“lembaga” berarti <i style="mso-bidi-font-style:normal">asal mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, atau tumbuhan).</i> Jadi, lembaga pemasyarakatan mungkin sekali mengacu pada pengertian bakal manusia yang menjalani proses pemasyarakatan. Tetapi narapidana atau orang hukuman itu bukan bakal manusia, sebab mereka itu adalah manusia dewasa yang karena kejahatannya, ketangkap polisi lalu masuk bui.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Bakal manusia itu sesungguhnya masih berupa janin atau embrio dalam kandungan ibunda. Jadi, pengertian “lembaga pemasyarakatan” sama saja dengan janin atau embrio yang hendak menjalani proses memasyarakatkan manusia. Tak mungkinlah janin dimasyarakatkan? Untuk apa?</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kamus Tesaurus bikinan Eko Endarmoko (cetakan kedua 2007) menyatakan lembaga bersinonim dengan badan, dewan, institusi, institut, majelis, organisasi, dinas, instansi, <span style="mso-spacerun:yes"> </span>jabatan, jawatan, kantor, maktab. Karena bersinonim, maka saya ambil saja salah satu kata yang mirip artinya dengan “lembaga”, yakni dinas, jawatan,<span style="mso-spacerun:yes"> </span>atau institusi.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dinas adalah bagian kantor pemerintah yang mengurus pekerjaan tertentu, dalam hal ini mengurus orang jahat atau narapidana. Maka <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">Lembaga Pemasyarakatan</i></b> itu adalah dinas yang bertugas untuk memasyarakatkan narapidana. Dalam benak saya, pengertian ini pun janggal sekali. Untuk apa narapidana itu dimasyarakatkan? Bukankah narapidana atau orang hukuman itu sebelumnya memang sudah anggota masyarakat?</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Menurut KBBI,<span style="mso-spacerun:yes"> </span>masyarakat adalah <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama</i></b>. Tetapi, mereka itu juga terdiri atas manusia yang mempunyai berbagai perangai atau watak. Ada yang baik dan ada pula yang jahat. Anggota masyarakat yang baik akan melakukan hal yang baik menurut budayanya, tetapi yang wataknya jelek akan tetap jelek dan tidak mungkin <span style="mso-spacerun:yes"></span>diselamatkan oleh ayat agama apa pun.<br /></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">masyarakat</i></b> jika mendapat imbuhan, turunannya begini:</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">(1).<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"> <span style="mso-spacerun:yes"> </span>Masyarakat – pemasyarakat – memasyarakatkan – pemasyarakatan – masyarakatan.</i></b></span></p> <p class="MsoNormal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Masyarakat</span></i><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"> itu jelas artinya. <i style="mso-bidi-font-style: normal">Pemasyarakat</i> adalah orang atau dinas yang memasyarakatkan. <i style="mso-bidi-font-style:normal">Pemasyarakatan </i>adalah proses, cara, atau perbuatan memasyarakatkan atau memasukkan dalam masyarakat (KBBI), sedangkan <i style="mso-bidi-font-style:normal">masyarakatan </i>adalah hasil dari proses memasyarakatkan atau yang dimasyarakatkan (istilah <i style="mso-bidi-font-style: normal">masyarakatan</i> itu belum berterima sampai<span style="mso-spacerun:yes"> </span>kini dan karena itu belum tercatat dalam KBBI edisi keempat).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Frasa <b style="mso-bidi-font-weight:normal">Lembaga Pemasyarakatan Cipinang </b>yang saya tulis sebagai judul coret-coretan ini terasa janggal juga ditinjau dari sudut tata bahasa. Lembaga pemasyarakatan itu sebenarnya hendak memasyarakatkan apa? Jikalau lembaga pemasyarakatan itu kita perlakukan sebagai subjek maka yang hendak dimasyarakatkan adalah Cipinang (objek penderita). Mengapa Cipinang hendak dimasyarakatkan? Tujuannya apa? Cipinang itu bukankah nama tempat di Jakarta Timur, dan semua orang pastilah sudah tahu. Sudahlah, mungkin ini terlalu mengada-ada sebab kita toh semua tahu bahwa Cipinang adalah nama Lembaga Pemasyarakatan itulah.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Jikalau mengikuti logika, frasa pada judul tulisan di atas seharusnya tertulis <b style="mso-bidi-font-weight:normal">Lembaga Pemasyarakatan Narapidana di Cipinang. </b>Frasa ini menurut saya benar jika kita mengikuti logika tata bahasa, karena yang hendak dimasyarakatkan tentulah narapidana. Yang jadi persoalan, mengapa narapidana itu dimasyarakatkan, dan untuk apa? Toh, kalau dia kembali ke masyarakat akan menjadi penjahat juga. Orang naik haji saja pergi tobat pulang kumat, karena itu biasanya disebut Haji Tomat. Apalagi narapidana bebas dari kungkungan lapas.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kalau Pak Harto dulu mengucapkan frasa “memasyarakatkan olahraga” maka itu artinya olahraga mesti digalakkan di dalam masyarakat supaya orang dapat hidup lebih sehat, sebab pada dasarnya olahraga itu memang kegiatan yang menyehatkan. Sejalan dengan itu, jikalau LP hendak “memasyarakatkan narapidana” juga, maka itu artinya narapidana atau orang jahat itu akan lebih digalakkan lagi dalam masyarakat. Tetapi, narapidana itu sesungguhnya tidak menyehatkan karena sudah dicap sebagai orang jahat.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Maka pantaslah tabiat jahat napi kumat lagi kalau sudah keluar dari penjara, atau dimasyarakatkan kembali, bahkan mungkin lebih jahat lagi. Peri bahasa mengatakan orang jahat itu ibarat anjing, biar dirantai dengan rantai emas sekalipun, kalau lepas ke tempat sampah pula dia kembali. Sama juga dengan narapidana yang jika lepas dari lapas akan tetap menjadi jahat.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Contohnya narapidana pengguna narkoba --di mana-mana bahkan di kalangan artis pun banyak-- susah meninggalkan kebiasaannya. Sesudah lepas dari lembaga<span style="mso-spacerun:yes"> </span>pemasyarakatan, kembali pula ia menenggak narkoba. Akhirnya banyak yang mati terkapar karena penyakit AIDS.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Ada yang bisa melupakan kebiasaan buruknya itu setelah lepas dari penjara tetapi bukan karena pengaruh ritual agama, tetapi karena siksaan perbuatannya sendiri. Mereka itu tersiksa karena menenggak narkoba, tersiksa karena dikejar bayangan menakutkan karena dia telah merampok dan membunuh orang banyak. Itu sebabnya penjara pada zaman dulu dibuat seperti tempat siksaan supaya orang jadi jera.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Ada penjahat yang menyesal lalu masuk agama tertentu, sesungguhnya untuk mencari perhatian saja, padahal dulunya si pengguna narkoba atau penjahat itu memang sudah beragama. Rupanya dia dipakai untuk mempopulerkan agama tertentu sambil pamer simbol agama di layar teve. Dia disambut oleh pemuka agama untuk memberikan kesaksian, seakan-akan ingin memperlihatkan dirinya sebagai jalan, dan kebenaran, dan hidup. Padahal agama sama sekali tak berperan apa-apa untuk membuat si pengguna narkoba itu menyesal dan bertobat.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">(2). <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">Bermasyarakat – mempermasyarakatkan – permasyarakatan – pemasyarakat</i></b></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Menurut butir (2) di atas, <i style="mso-bidi-font-style:normal">bermasyarakat </i>itu jelas maksudnya. <i style="mso-bidi-font-style:normal">Mempermasyarakatkan </i>artinya membuat supaya bermasyarakat, dan <i style="mso-bidi-font-style:normal">permasyarakatan</i> maksudnya hal bermsyarakat atau tempat bermasyarakat. <i style="mso-bidi-font-style: normal">Pemasyarakat</i> dalam pengertian ini artinya orang yang bermasyarakat.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Jadi, paling tepat seharusnya kita sebut <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">Lembaga Permasyarakatan Narapidana</i></b>, yakni lembaga (penjara) tempat orang bermasyarakat. Jikalau kita ingin mengembalikan narapidana itu ke dalam masyarakat bebas di luar sana, biarkanlah dulu dia bermasyarakat di dalam bui. Di situ si koruptor dapat bergaul bebas dengan penjudi, pengedar narkoba, pembunuh, perampok, maling ayam, pelacur dan sebagainya. Dengan begitu dia tahu bahwa koruptor itu ternyata lebih jahat dan bahkan lebih hina daripada penjambret dan maling ayam. Mudah-mudahan dia sadar lalu bertobat.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Belakangan muncul istilah baru yang lebih keren dan dianggap sangat manusiawi dan konon sungguh-sungguh sesuai dengan falsafah Pancasila. Orang tahanan atau narapidana itu sekarang disebut <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">warga binaan</i></b>. Istilah itu pun tidak masuk akal. Soalnya, mereka itu dibina dulu selama dalam bui supaya mendapat bekal hidup yang baik, dan kalau sudah sampai waktunya mereka akan dimasyarakatkan kembali atau dikembalikan ke dalam masyarakat, dengan harapan moga-moga jadi orang baik-baik. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Yang dibina di dalam penjara pun bukan hanya napi kere kelas teri tak kenal hukum, tetapi termasuk di dalamnya juga Pak Antasari Azhar. Lha, yang membina Pak Antasari siapa? Siapa lagi kalau bukan sipir bui atau kalapas. Ganjil betul kedengarannya istilah <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">warga binaan</i></b> itu. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Semua orang pastilah sudah tahu bahwa Pak Antasari itu orang intelek, ahli hukum yang cerdas pandai. Dia juga mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua orang pun tahu Antasari masuk penjara karena korban kongkaling aparat penegak hukum yang<span style="mso-spacerun:yes"> </span>munafik. Lha, Ketua KPK kenapa harus pula dibina di dalam penjara, oleh sipir bui lagi.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Anehnya lagi, narapidana warga binaan itu semuanya BERAGAMA, begitulah yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Akh, kalau BERAGAMA<span style="mso-spacerun:yes"> </span>mengapa mereka harus menjalani pembinaan dalam LP? Apa peran agama dan mengapa tidak mampu mencegah mereka masuk LP? </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Pada kenyataannya, menjadi orang baik-baik di LP toh harus bayar juga. Tidak semuanya ingin bertobat setelah mendapat binaan. Konon, menurut<span style="mso-spacerun:yes"> </span>penelitian mahasiswa hukum universitas terkenal di Indonesia, tiap-tiap remisi harus dihitung dengan besar uang yang harus dibayarkan kepada petugas supaya lekas keluar dari LP. (sumber: acara Indonesia Lowyers Club di TVone). Kalau<span style="mso-spacerun:yes"> </span>tidak dapat<span style="mso-spacerun:yes"> </span>remisi nanti penjara akan cepat penuh. Penjahat dan koruptor yang lain pada gilirannya tidak dapat tempat, dan tentu saja tidak kebagian pembinaan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Para pengacara berlomba-lomba membela koruptor dengan dalih kliennya teraniaya, atau karena ingin membuka jaringan mafia. Pengacara berkelit mencari celah hukum pembenaran untuk meringankan hukuman sampai seringan-ringannya berdasarkan HAM atau hak asasi manusia.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Mereka, para pembela itu berkelit, HAM tidak bisa dibatasi oleh tembok penjara. Akhirnya, kliennya masuk penjara paling lama lima atau tujuh tahun. Setelah dapat remisi, paling banter kliennya mendekam dua tahun saja, itu pun kamar penjara bisa divermak jadi kamar hotel bintang lima. Enak betul dia. Padahal waktu dia melakukan korupsi, mana pernah dia pakai HAM. Disikatnya habis uang rakyat sampai tuntas. <span style="mso-spacerun:yes"> </span></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Menurut mantan Ketua Umum PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) yang juga mantan narapidana, Nurdin Halid, yang ketika itu enggan turun dari jabatannya itu, orang yang sudah menjalani vonis hukuman penjara artinya dia sudah dipulihkan kembali karena sudah dibina. Karena itu bekas napi (narapidana) itu pun berhak pula menjadi presiden RI.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kalau kita turuti logika Nurdin Halid, maka seharusnya istilah lembaga pemasyarakatan itu sudah waktunya diganti dengan <b style="mso-bidi-font-weight:normal">Lembaga Pembinaan Narapidana.<span style="mso-spacerun:yes"> </span></b>Dalam pengertian ini unsur kejahatan hanya melekat pada kata narapidana, tetapi <span style="mso-spacerun:yes"> </span>setelah usai masa tahanan tidak ada lagi <i style="mso-bidi-font-style:normal">bekas napi</i>, atau bekas orang hukuman. Yang ada <i style="mso-bidi-font-style:normal">bekas binaan </i>sebab sudah terhapus kesalahannya berkat pembinaan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dulu memang dia pernah menjadi napi tetapi sekarang sudah pulih karena sudah dibina, bukan? Padahal kelakuannya tetap rusak juga, karena dari sononya memang sudah rusak. Pokoknya, ungkapan “<b style="mso-bidi-font-weight:normal">mens sana in corpore sano”</b> tak berlaku di dalam LP. Tubuh mereka memang kuat-kuat dan kekar semuanya tetapi di dalamnya terdapat jiwa yang sakit.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Itu sebabnya penjara atau bui dibuat pada awalnya sebagai tempat penyiksaan supaya orang bertobat, kenapa sekarang jadi tempat pembinaan? Bukankah Tuhan juga menyiksa manusia supaya mereka bertobat? Tuhan Yang Mahaadil biasanya menyadarkan dan mengembalikan setiap manusia yang sesat ke jalan yang benar dengan penyiksaan, lantaran mereka telah melecehkan iman dan menghina Tuhan. dalam kitab suci ceritanya begitu.<br /></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Tuhan tidak pernah menggunakan agama untuk menyadarkan manusia. Firaun yang tak pernah sadar dari siksaan sepuluh bala atau malapetaka, akhirnya mati terkubur hidup-hidup di bawah gulungan ombak. Firaun itu beragama apa? Kalau pun dia beragama, agamanya pun tak akan mungkin menyelamatkan Firaun dari kematian. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Anton Medan dan Jhony Indo –dulunya penjahat ulung-- kembali menjadi orang baik sesungguhnya bukan karena agama yang mereka anut. Mereka itu bertobat sebenarnya <span style="mso-spacerun:yes"> </span>karena siksaan perbuatannya sendiri selama hidup, jiwa mereka terkungkung seperti diikat dengan borgol berlapis-lapis. Mereka menderita oleh perbuatannya sendiri, sesudah itu mereka sadar lalu menganut agama untuk cari popularitas.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Banyak orang di negeri ini tidak tanggung-tanggung melakukan kejahatan. Pembunuh bayaran bengisnya bukan main, mafia narkoba bisnis besar merusakkan generasi. Tukang korupsi tidak tanggung-tanggung makan uang rakyat, tilap uang negara bermiliar-miliar, ketangkap masuk LP, paling-paling jadi warga binaan. Soalnya, pengacaranya orang cerdas pandai yang dibayar sangat mahal (dari uang korupsi juga), jadi tak soal masuk bui, sebab nanti dapat remisi. Uang hasil korupsi kan masih bejibun. Keluar penjara kagak kerja duduk ongkang-ongkang bisa hidup sepanjang umur. Contohnya Gayus Halomoan Tambunan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Di dalam LP, ada narapidana mengikuti kuliah, dan sampai waktunya setelah dapat remisi keluarlah dia dengan menyandang titel atau gelar akademik Sarjana Hukum. Habis itu apa kerjanya? Tipu sana tipu sini, rampok sana rampok sini juga, sebab dari sononya memang sudah begitu. Mereka cuma jadi residivis.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"></span>I. Umbu Rey </span></p>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-4699113833684374412012-01-12T06:27:00.000-08:002012-01-12T06:35:59.628-08:00“Ke” dan “Di” yang amburadul<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--><p class="MsoNormal"><b><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"></span></b><span style="font-size: 14pt;" lang="IN"> </span><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> </p><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Kata depan “di” dan “ke” masuk kelas “kata tugas” yang hanya memiliki arti gramatikal saja tetapi tidak mempunyai arti leksikal. Arti suatu kata tugas bukan ditentukan oleh kata itu secara lepas, tetapi oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat. Tugasnya semata-mata memungkinkan kata lain berperanan dalam kalimat.</span> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat, kata tugas dibagi dalam lima kelompok, yakni preposisi (kata depan), konjungsi (kata sambung), interjeksi (kata seru), artikel (seperti “sang, sri, hang, dang”) dan partikel (seperti “kah, lah, tah, dan pun).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Peroposisi atau kata depan adalah kata tugas yang bertugas sebagai unsur pembentuk frasa preposisional. Letaknya di bagian awal frasa dan unsur yang mengikutinya dapat berupa nomina, adjektiva, atau verba. Dengan begitu dari nomina <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">pasar</i></b> dan verba <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">mengail</i></b> dapat kita bentuk frasa <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">ke pasar</i></b> dan <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">dengan mengail</i></b>.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Yang dibicarakan dalam tulisan ini hanya menyangkut preposisi atau kata depan “di” dan “ke” saja, seperti tertulis pada judul tulisan di atas. Dua kata depan ini paling sering atau paling banyak digunakan secara salah kaprah saban hari. Yang dimaksud dengan salah kaprah adalah kesalahan lazim atau umum yang dianggap benar saja oleh si penutur dan pendengarnya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Akibatnya, orang atau para penulis tidak lagi dapat membedakan mana awalan dan mana kata depan dan penulisannya pun ditulis secara serampangan sehingga kita tidak lagi dapat membedakan apakah itu awalan atau kata depan. <span style="mso-spacerun:yes"></span></span></p><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Yang sering terjadi dalam penggunaan adalah kedua kata depan ini ditulis serangkai atau digabungkan dengan kata yang mengikutinya, misalnya <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“disana, disini, disitu, dimana, didalam dirumah, dikantor, kesana-sini, kekantor dan kepasar” dll.</i></b></span> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Secara sederhana, kata depan “di” hanya untuk menandai hubungan tempat berada dan kata depan “ke” menandai hubungan arah menuju suatu tempat. Menurut pedoman umum Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, dua kata depan ini haruslah ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Contoh: -- <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">Di</i></b> mana ada Siti <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">di</i></b> situ ada Sidin</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"> </span><span style="mso-spacerun:yes"> </span><span style="mso-spacerun:yes"> </span>-- Mereka ada <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">di</i></b> rumah</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"> </span>-- Mari kita berangkat <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">ke</i></b> pasar</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"> </span>-- Saya pergi <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">ke</i></b> sana-sini mencarinya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Dalam bahasa lisan atau bahasa tuturan, kata depan “di” dan “ke” mungkin tidak dipedulikan atau dipermasalahkan lantaran orang hanya memahami konteks kalimatnya saja. Jadi, terserah yang bicara saja, pendengarnya pastilah dianggap sudah tahu maksudnya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Media massa elektronik seperti televisi atau radio --yang menggunakan bahasa lisan sebagai pengantar-- tentu saja tidak peduli apakah itu kata depan atau awalan. Dalam layar televisi kita sering melihat tulisan dalam “running text”<span style="mso-spacerun:yes"> </span>yang tidak sesuai dengan aturan EYD, terutama mengenai kata depan “di” dan “ke”.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Tampaknya, yang penting bagi media televisi, apa yang disampaikan oleh pembaca atau apa yang dimaksudkan oleh seorang pewara atau “presenter” dapat dimengerti atau dipahami oleh pemirsa atau pendengarnya. Persoalan taat asas dalam penulisan kata depan ini pun diabaikan saja.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Akibatnya, salah tulis kata depan dianggap biasa saja oleh khalayak ramai sebab mereka menganggap toh sudah pasti dimengerti apa maksudnya. Lagi pula, pengabaian taat asas penulisan kata depan ini dianggap tidak terlalu mengganggu konteks kalimat yang ditulis.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Di kalangan siswa dan pelajar pun salah tulis kata depan tampaknya sudah menjadi kebiasaan umum. Pada umumnya mereka sulit membedakan mana awalan dan mana kata depan lantaran “di” dan “ke” juga dipakai sebagai awalan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Susahnya, tak semua pelajar atau siswa mengetahui apa itu kata benda dan keterangan tempat, dan apa itu kata kerja ketika mereka menulis sebuah karangan. Akibatnya, penulisan kata depan diletakkan secara sembarangan menurut kebiasaan mereka dalam percakapan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Dengan pemikiran paling sederhana, sesungguhnya kita dapat dengan mudah menulis kata depan “di” sebagai kata depan untuk membedakannya dengan awalan. Kata depan “di” selalu dipisahkan penulisannya jika diikuti oleh kata benda (nomina) dan kata keterangan tempat. Sebagaimana namanya (kata depan), maka letaknya pun selalu di depan dan tidak diserangkaikan dengan kata yang mengikutinya. Contoh: <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">di meja, di pohon, di batu, di sana, di atas, di situ dll.</i></b></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Hal seperti itu tidak akan mungkin diabaikan oleh para redaktur media massa cetak<span style="mso-spacerun:yes"> </span>seperti koran atau majalah terpercaya. Kesalahan penulisan sekecil apa pun semisal salah cetak atau salah letak kata depan “di” dan “ke” akan menjadi pembahasan dalam rapat redaksi, karena wartawannya dianggap telah melakukan kebodohan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Salah tulis kalimat dalam bahasa koran dan majalah akan dianggap<span style="mso-spacerun:yes"> </span>menyesatkan para pembaca, karena mungkin sekali akan menimbulkan salah tafsir. Lagi pula, bahasa koran dan majalah memang selalu dipakai sebagai acuan oleh murid, pelajar, dan mahasiswa. Itu sebabnya kalimat bahasa dalam media cetak seperti koran dan majalah tidak boleh menyimpang dari aturan bahasa yang baku. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Koran dan majalah terkemuka semisal KOMPAS dan majalah TEMPO bahkan telah menyediakan redaktur bahasa (Indonesia) yang khusus bertugas untuk mengoreksi kesalahan bahasa, kalimat, dan ejaan sebelum sebuah berita diturunkan ke percetakan untuk diterbitkan. Selalu ada kesalahan kecil di sana-sini yang tak terhindarkan biasanya disebabkan kesalahan teknis.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Kesalahan penulisan kata depan “di” dan “ke” mungkin juga disebabkan oleh kebiasaan menulis dalam “bahasa gaul” di internet atau dalam “short message service (SMS) atau layanan pesan singkat telefon genggam, yang memerlukan kecepatan tetapi hanya tersedia ruang yang sempit. Akibatnya, kata depan pun ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Tanpa sadar, kebiasaan buruk ini terbawa dalam tulisan resmi yang mengharuskan kita menulis dengan ejaan yang benar.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Dalam bahasa tulisan atau surat-menyurat resmi, kata tugas <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">di</i></b> pada frasa <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">dibalik buku</i></b> <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">ini</i></b> (“di” ditulis serangkai dengan kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">balik</i></b>) adalah sebuah kekeliruan. Sebenarnya kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">dibalik</i></b> tidak menunjukkan verba pasif sebab bukan pula lawan kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">membalik</i></b> buku. Kata dasar “<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">balik”</i></b> adalah keterangan tempat. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Frasa “<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">dibalik buku ini”</i></b> mengandung maksud bahwa ada sesuatu di belakang buku ini. Karena itu frasa <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">dibalik buku</i></b> <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">ini</i></b> seharusnya ditulis <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">di balik buku ini</i></b>. Kata dasar <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">balik</i></b> adalah nomina atau kata benda yang berarti <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">sisi yang sebelah belakang dari yang kita lihat</i></b>. (Periksa KBBI –Kamus Besar Bahasa Indonesi--<span style="mso-spacerun:yes"> </span>edisi keempat 2008).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Demikian juga kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">kemeja bapak </i></b>dalam bahasa lisan atau tuturan mungkin sekali menunjuk pada arah <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">meja</i></b> tulis yang biasanya digunakan oleh bapak, tetapi dalam bahasa tulisan kata <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">kemeja</i></b> <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">bapak</i></b> boleh jadi menunjuk pada pengertian pakaian (baju T-shirt) yang biasanya dipakai oleh bapak.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Jika kita hendak menunjuk pada arah meja atau letak meja bapak, maka dalam bahasa tulisan kata depan “ke” hendaknya dipisahkan penulisannya dari kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal">meja</b>, sehingga menjadi <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">ke meja bapak</i></b>. Letak meja tulis bapak mungkin berada di sudut ruangan sebelah timur atau barat.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Menurut amatan saya, kesalahan penggunaan kata depan ini dalam kalimat tulisan, bukan hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga dalam surat-menyurat yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta, atau perorangan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Anehnya, salah kaprah penggunaan kata depan ini bukan hanya dilakukan oleh mereka pada hampir semua tingkat pendidikan, tetapi juga dilakukan oleh semua usia. Bahkan lebih aneh lagi, orang yang lahir setelah tahun 1980-an pun melakukan kesalahan serupa, dalam arti tidak bisa membedakan bagaimana menulis kata depan “di” dan “ke” dan bagaimana menulis awalan “di” dan “ke”.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Bahkan lebih kacau lagi, awalan “di” (yang merupakan awalan, bukan kata depan) malah ditulis terpisah dengan kata verba yang mengikutinya, seperti pada kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">di buang, di kembangkan, di masukkan dst.</i></b><span style="mso-spacerun:yes"> </span></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Padahal, Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) yang telah berlaku sejak awal tahun 1972 menurut Keputusan Presiden No.52 tahun 1972, dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober 1972 No. 0156/P/1972 dengan segala perubahannya, telah mengatur dengan jelas masalah kata depan ini.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Terasa amat janggal, jikalau murid sekolah dasar atau mahasiswa yang belajar tata bahasa setelah tahun 1980-an masih juga tidak dapat membedakan awalan dan kata depan. Mungkinkah salah guru yang mengajar, atau salah suratan takdir?</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Tetapi, kata depan “di” tidak dapat diletakkan di depan kata keterangan waktu. Akan terasa amat janggal jika kita mengatakan <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">di tanggal 5</i></b>,<span style="mso-spacerun:yes"> </span><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">di bulan April</i></b>, <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">di tahun 2011</i></b>, atau <b style="mso-bidi-font-weight:normal">di saat</b> itu. Dalam konteks ini kata depan “di” seharusnya diganti dengan kata tugas <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“pada” </i></b>yang menandai hubungan tempat atau waktu<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">.</i></b> Jadi seharusnya kita mengatakan <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">pada tanggal, <span style="mso-spacerun:yes"> </span>pada tahun, </i></b>atau<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"> <span style="mso-spacerun:yes"> </span>pada saat itu.</i></b></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Penyimpangan ini hanya dapat dilakukan oleh para penyair atau penggubah lagu, karena sesuai dengan profesinya sebagai seniman mereka mendapat kelonggaran menggunakan kata depan “di” untuk menyesuaikan dengan not atau tanda nada tertentu pada musik.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Karena itu para penyair boleh saja mengatakan “<b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">di senja</i></b> <i style="mso-bidi-font-style:normal">kelabu selembab<span style="mso-spacerun:yes"> </span>ini ... aku datang lagi manis”</i>. Demikian pula para penyanyi keroncong misalnya dapat dengan bebas mengucapkan frasa “ <i style="mso-bidi-font-style:normal">Tetapi apalah dayaku...<b style="mso-bidi-font-weight: normal">di saat</b> itu kecewa...yang <b style="mso-bidi-font-weight:normal">kutrima</b> hanyalah sampul kosong belaka”.</i> </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Selain contoh kata depan di atas, kata “di” pada umumnya menunjuk pada awalan yang membentuk kalimat pasif dan karena itu penulisannya pun harus diserangkaikan dengan kata yang mengikutinya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Kata depan “ke” selalu ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya jika menunjukkan hubungan arah. Letaknya pun selalu di depan kata yang mengikutinya. Contoh: <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">ke sana, ke timur, ke laut, dll</i></b>, kecuali dalam gabungan kata yang sudah dianggap sebagai satu kata seperti “<b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">kepada”</i></b>, dan “<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">keluar”</i></b> (sebagai lawan kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">masuk</i></b>).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Kata depan “ke” ditulis terpisah dengan kata “luar” karena menandai arah menuju suatu tempat (luar) dan lazimnya dikenal sebagai lawan kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“di dalam”. </i></b><span style="mso-spacerun:yes"> </span>Tetapi kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“kemari”</i></b> adalah sebuah kata dasar yang bukan lawan kata <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“dimari”. </i></b>Dalam bahasa Indonesia kata “<b style="mso-bidi-font-weight:normal">dimari”</b> tidak dikenal.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Sejak zaman dahulu kita mengenal ungkapan sindiran <b style="mso-bidi-font-weight: normal">“laki-laki mata keranjang”.</b><span style="mso-spacerun:yes"> </span>Pada umumnya orang mengerti secara salah kaprah bahwa kata <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“keranjang”</i></b> menunjuk pada mata laki-laki yang diibaratkan seperti keranjang karena senang atau hobinya suka melihat perempuan cantik.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Lantas, apa hubungan “keranjang” dengan “mata laki-laki” yang diberi makna ‘hobi melihat perempuan cantik’? Tidak ada kaitannya sama sekali. Sesungguhnya kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“keranjang”</b> itu bukan sebuah benda tempat menaruh sampah atau sejenis bakul besar yang terbuat dari pandan atau bambu.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Jadi, tidak masuk akal kalau keranjang sampah diibaratkan dengan mata laki-laki. Sebesar apa pun mata laki-laki akan terasa janggal jika diibaratkan dengan keranjang. Paling-paling kita menyebut laki-laki itu adalah sejenis “genderuwo” yakni hantu yang konon serupa manusia yang tinggi besar dan berbulu lebat. Tetapi, genderuwo tidak mempunyai hobi suka melihat wanita cantik.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Jikalau kita cermat memperhatikan kata “keranjang”, sebenarnya “ke” pada kata “keranjang” adalah kata depan yang ditulis secara salah kaprah. “Ke” seharusnya ditulis terpisah di depan kata “ranjang” sebab<span style="mso-spacerun:yes"> </span>ranjang adalah tempat tidur yang terbuat dari besi, biasanya diberi berkelambu. Ranjang pengantin adalah tempat tidur yang dipakai oleh pengantin baru.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Itu sebabnya metafora di atas seharusnya ditulis dengan bahasa yang benar: <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“<i style="mso-bidi-font-style:normal">Laki-laki mata ke ranjang”</i>.</b> Kata depan “ke” menandai hubungan arah menuju pada suatu tempat (ranjang), dan karena itu harus ditulis terpisah dari kata “ranjang’. Bukankah laki-laki<span style="mso-spacerun:yes"> </span>yang hobinya melihat perempuan cantik, mata dan pikirannya selalu menuju ke arah ranjang? Ada tahulah maksudnya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:14.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">I. Umbu Rey</span></p> <p class="MsoNormal"></p>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-7693765854332172662012-01-06T23:40:00.000-08:002012-01-07T00:02:04.455-08:00Kubang<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"></span> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Di Pulau Sumba ada dua hewan ternak sangat spesial, yakni kerbau dan babi. Binatang ini lebih tinggi harganya daripada kambing dan anjing meskipun sama-sama berkaki empat dan dimakan orang pula. Tinggi harganya karena dua binatang itu harus digunakan dalam adat kawin dan perkabungan atau kematian.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dalam perkawinan pihak lelaki harus membayar kerbau atau babi sebagai mas kawin di samping benda lain semisal tombak, gading, dan emas (mamuli) yang besarnya bergantung pada penawaran. Dalam bahasa Sumba mas kawin atau mahar itu disebut “belis” (lihat KBBI). Tetapi suku kata “be” harus diucapkan seperti kita menyebut “bela” atau “belok”. (KBBI itu salah sebut).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Demikian juga jika ada kematian atau perkabungan, kedua jenis ternak ini akan menjadi korban sembelihan untuk menjamu pelayat yang akan membuka batu kubur. Daging kerbau dipotong-potong dan dibagikan kepada tetamu, dan boleh dibawa pulang, sama seperti pembagian daging korban pada perayaan Iduladha atau Idul Kurban dalam agama Islam. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kerbau biasanya disembelih untuk lauk makanan ribuan orang penarik batu kubur<span style="mso-spacerun:yes"> </span>sedangkan babi lebih banyak disembelih untuk menjamu para pelayat yang datang berdoa atau mendoakan si mayat, semacam tahlilan, waktu “mete” bagi penganut Kristen. Mete itu sebenarnya juga berarti melek sepanjang malam menunggui mayat, biasanya selama tiga malam berturut-turut sebelum penguburan. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kerbau dan babi ada yang hitam ada pula yang belang warnanya. Keduanya adalah binatang berkuku belah, tetapi hanya kerbau yang memamah biak. Kerbau makan rerumputan dan ditelan begitu saja, nanti baru dimuntahkan kembali lalu dimamah atau dikunyah. Babi lebih banyak makan ubi-ubian, sejam kemudian langsung jadi tahi.<br /></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Persamaan khas kedua binatang ini adalah suka “berkubang” dan ini yang mau saya bicarakan. “Berkubang” sebenarnya berarti berguling-guling dalam lumpur, termasuk Anda juga boleh berkubang dalam lumpur. Kalau tidak dalam lumpur bukan berkubang namanya. Kerbau dan babi berkubang karena maunya sendiri sebab kebiasaannya memang begitu. Lumpur itu menutupi kulitnya supaya tidak panas. Itu sebabnya tidak pernah ada orang yang “mengubangkan” kerbau dan babi.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">KBBI Pusba memunculkan kata berimbuhan <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“mengubangkan”</i></b> di bawah lema <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“kubang”</i></b> dan diberi penjelasan “memandikan.....dst”. Kalau memandikan, maka airnya harus jernih dan bersih, dan harus ada usaha manusia yang membuat kerbau itu mandi, lantaran kerbau dan babi tidak biasa mandi. Kalau sudah begitu prosesnya maka seharusnya kita sebut “memandikan kerbau” bukan <span style="mso-spacerun:yes"> </span>“mengubangkan”.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">“Memandikan” beda dari “bermandi”. Ibu biasanya memandikan anaknya. Meskipun anaknya dicemplungkan dalam bak mandi lalu berguling-guling di dalamnya, anak itu tidak bisa disebut “berkubang”, tetap saja mandi. “Bermandi” itu kebiasaan atas kemauan sendiri. Karena itu Mus Mulyadi melantunkan lagu keroncong Dewi Murni. Salah satu kalimatnya berbunyi “....Untuk menyambut<span style="mso-spacerun:yes"> </span>sang Dewi Murni, turun bermandi di telaga Dewa....dst”. Dewi Murni bermandi atas maunya sendiri. Mana ada Dewi yang mau dimandikan. Wah, enak betul yang kasih mandi. Saya sih mau juga. <span style="mso-spacerun:yes"> </span></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Bermandi di telaga harus berair jernih bukan di dalam lumpur. Dalam ritual orang Kristen ada “permandian” yakni hal bermandi atau bersiram. Dalam permandian, seseorang disiram dan dipercik dengan air dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Permandian disebut juga pembaptisan. Sebagian aliran Kristen melakukan pembaptisan dengan mencelupkan seluruh badan dalam kolam, meskipun demikian hal itu tidak bisa disebut “mengubangkan”.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Seingat saya, sejak zaman dahulu dalam bahasa Indonesia hanya ada kata “berkubang” dari lema “kubang”. Buktinya, KUBI tidak menurunkan kata “mengubangkan”. Kata “kubangan” muncul dalam kamus mungkin karena rekaman ucapan yang salah kaprah. Ada peri bahasa lama “setinggi-tinggi terbangnya bangau surutnya ke kubangan juga”. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dalam peri bahasa itu muncul kata “kubangan” yang entah dari mana asal-muasalnya, saya tidak tahu persis. Itu mungkin sebabnya KBBI menurunkan kata berimbuhan “mengubangkan” karena dari situlah terbentuk kata “kubangan”.</span></p> <p class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">1. ** Kubang – pengubang -- mengubangkan – pengubangan – kubangan.</span></i></b></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">KUBI dan KBBI mengartikan “kubangan” idem dito, yakni kubang juga. Mestinya “kubangan” diberi penjelasan “hewan yang dikubangkan”. Pada butir (1) , pengubang adalah orang yang mengubangkan,<span style="mso-spacerun:yes"> </span>pengubangan adalah cara atau proses mengubangkan, dan kubangan adalah hasil dari proses mengubangkan, atau sesuatu (hewan) yang dikubangkan.</span></p> <p class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">2.** Kubang – berkubang -- memperkubangkan – perkubangan – pekubang</span></i></b><span style="mso-ansi-language: IN" lang="IN"></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Pada butir (2), “memperkubangkan” adalah membuat supaya (kerbau, babi) berkubang, dan “perkubangan” adalah hal berkubang atau tempat berkubang, dan pekubang adalah kerbau atau babi yang berkubang.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kalau kita menghendaki kerbau atau babi itu “berkubang” maka seharusnya kita mengatakan “memperkubangkan” dan bukan “mengubangkan”. Demikian juga bangau dalam peri bahasa itu terbang setinggi-tingginya, seharusnya surutnya ke <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">perkubangan</i></b> juga, dan <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">bukan ke</i></b> <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">kubangan.</i></b></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dugaan saya, kata “kubangan” itu ada dalam kamus<span style="mso-spacerun:yes"> </span>KUBI dan KBBI adalah rekaman percakapan orang –orang yang terbiasa mengatakan “kubang” sama dengan “kubangan”. Demikian juga orang terbiasa mengatakan “kubur” sama dengan “kuburan”. Maka KBBI pun mengartikan “kubur” sama saja dengan “kuburan” yakni tanah tempat menguburkan mayat (kuburan) atau lubang di tanah tempat menyimpan mayat (kubur).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">KBBI menyebutkan bahwa dari kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">“kubur”</i></b><span style="mso-spacerun:yes"> </span>turun kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“berkubur”</i></b> artinya mayat yang <span style="mso-spacerun:yes"></span>dimakamkan. Dari kata berkubur itu turun pula kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“pekuburan”</i></b> yang artinya tempat yang luas yang khusus digunakan untuk menguburkan jenazah. Ini pun kebiasaan umum yang dianggap benar dan terekam dalam kamus besar itu.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Sama halnya dengan kata “kubang” di atas, maka:</span></p> <p class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">3.** Kubur </span></i></b><span style="font-family:Wingdings;mso-ascii-font-family:"Times New Roman"; mso-hansi-font-family:"Times New Roman";mso-ansi-language:IN;mso-char-type: symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol; mso-symbol-font-family:Wingdings">--> </span></span><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">berkubur --></i></b></span><b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span style="font-family: Wingdings;mso-ascii-font-family:"Times New Roman";mso-hansi-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:IN;mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings"></span></span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"> memperkuburkan </span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span style="font-family:Wingdings;mso-ascii-font-family:"Times New Roman"; mso-hansi-font-family:"Times New Roman";mso-ansi-language:IN;mso-char-type: symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol; mso-symbol-font-family:Wingdings">---></span></span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span style="mso-ansi-language: IN" lang="IN"> perkuburan --> </span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span style="font-family:Wingdings; mso-ascii-font-family:"Times New Roman";mso-hansi-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:IN;mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings"></span></span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"> pekubur.</span></i></b><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"></span></p> <p class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">“Kubur”</span></b><span style="" lang="IN"> artinya tanah tempat menyimpan mayat, <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“berkubur”</b> artinya dikuburkan, <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“memperkuburkan”</b> artinya melakukan sst supaya dikuburkan atau berkubur dan <b style="mso-bidi-font-weight: normal">“perkuburan”</b> (bukan pekuburan) adalah tanah luas yang khusus tempat mayat-mayat berkubur atau dikuburkan, dan <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“pekubur”</b> adalah orang atau mayat yang dikuburkan.</span></p><p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN">Sama juga halnya dengan kata <span style="font-weight: bold;">"kabung" </span><span style=""> yang seharusnya menurunkan kata berimbuhan berikut:</span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN"><span style=""><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">4.** Kabung --> berkabung --> memperkabungkan --> perkabungan --> pekabung.</span></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes">(Arti kata berimbuhan yang terbentuk dari lema "kabung" semuanya merujuk ke kata "berkabung").<br /></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kalau penjelasan atau buah pikiran saya ini keliru, maka saya dinyatakan “resmi salah” lantaran arti dan pengucapan sebuah kata tidak selalu begitu, banyak kali bergantung pula pada konsesus umum. Artinya begitu orang ramai mengucapkannya maka begitulah kata itu terekam dalam kamus.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Namanya juga buah pikiran. Soalnya, membaca kamus juga kadang-kadang saya bingung.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">I. Umbu Rey</span></p>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-21635495593968535402012-01-05T21:08:00.000-08:002012-01-05T21:24:00.258-08:00KARENA dan DEMI<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"></span> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dalam percakapan sehari-hari dua kata ini --KARENA dan DEMI-- sangat kerap digunakan orang. Sebenarnya dua kata ini tak dapat saling menggantikan sebab tidak sama persis artinya. Paling-paling kita mengatakan bersinonim atau mirip-mirip doang atau<span style="mso-spacerun:yes"> </span>beda-beda tipis.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Ketika seorang pejabat mengangkat sumpah pada acara pelantikannya ia menyebut “DEMI Allah saya bersumpah”. Tidak pernah terdengar seorang pejabat atau saksi dalam kasus perkara di Pengadilan Negeri mengucapkan<span style="mso-spacerun:yes"> </span>“KARENA Allah saya bersumpah”.<br /></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dalam konteks sumpah-bersumpah ini kata “DEMI Allah dan KARENA” Allah mengandung<span style="mso-spacerun:yes"> </span>pengertian bahwa sumpahnya itu diucapkan semata-mata untuk kepentingan Allah atau menurut kehendak Allah, padahal Tuhan tidak mempunyai kepentingan apa-apa dalam sumpah jabatannya itu. Anda diridai Tuhan bukan karena sumpahmu itu, dan<span style="mso-spacerun:yes"> </span>karena itu jangan berharap pula akan masuk Surga lantaran sumpah dan janji atas nama Allah.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">“DEMI Allah“ dimaksudkan tak lain untuk meyakinkan hakim atau pejabat yang mengambil sumpahnya dan kepada orang banyak bahwa yang diucapkan atau yang akan dikerjakannya nanti adalah atas dasar ikhlas dan jujur seakan-akan disaksikan Tuhan Yang Maha Esa. Benarkah demikian? Saya dapat mengatakan bahwa kesaksian atas nama Tuhan adalah ucapan sumpah yang sesungguhnya hanya basa-basi dan kebohongan Orang BERAGAMA.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Sumpah<span style="mso-spacerun:yes"> </span>yang begini ini adalah hiasan acara ritual agama yang tujuannya tak lain untuk menipu orang banyak dan mengelabui mata Tuhan. Padahal, Tuhan tidak pernah mengukur kebenaran manusia ciptaan-Nya dengan sumpah ritual agama.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Sumpah sebenarnya tidak perlu dengan menyebut nama Tuhan atau Allah. Pada zaman Kerajaan Majapahit berdiri, Maha Patih Gajah Mada juga bersumpah bahwa dia tidak akan makan palapa atau rebung (makanan paling enak pada zamannya) sebelum seluruh Nusantara ditaklukkan atau dikuasai Majapahit. Tetapi, sumpahnya itu tidak diucapkan demi nama Dewa atau berhala, apalagi demi Tuhan Allah. Sumpahnya itu terwujud karena keikhlasan dan kesungguhan perbuatannya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Pada 28 Oktober 1928 para pemuda dan pemudi di Nusantara ini juga bersumpah, bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, tetapi sama sekali tidak diucapkan demi nama Tuhan Allah. Toh, sumpah itu terwujud juga dan kita sekarang ini mengakuinya.</span></p><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Pernahkah Anda mendengar ada Orang BERAGAMA yang jujur perilaku dan ucapannya berdasarkan sumpahnya itu? Umar Bakre dalam syair lagu Iwan Fals hanyalah cerita fiksi tentang seorang guru yang jujur berbakti walaupun tidak pernah bersumpah (apalagi demi Allah) sebelum mengajar di depan kelas.</span> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN">Cerita Umar Bakre adalah gambaran kejujuran seorang guru pada zaman Jepang yang<span style="mso-spacerun:yes"> </span>bertekad membangun rakyat yang cerdas berbakti kepada tanah air dan bangsanya. Boleh jadi cerita itu benar (untuk menjadi contoh), sebab demikianlah tekad para penjuang bangsa ini pada zaman itu.</span></p><p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"> Sekarang ini, tidak ada lagi cerita jujur berbakti semisal guru Umar Bakre. Kepala sekolah makan uang dana BOS sudah dianggap lumrah asalkan ada peluang dan niat. Guru agama “makan” murid perempuannya sendiri adalah cerita lama yang sudah terjadi sejak sebelum republik ini berdiri. Apalagi pejabat tinggi atau perwira tinggi, kau tahu sendirilah, perut mereka pada gendut semua KARENA makan uang rakyat setelah mengucapkan sumpah DEMI Allah.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Da’i terkenal dan pendeta serta pastor pun sekarang ini boleh-boleh saja terlibat main seks dengan anak perempuan berumur belasan tahun, meskipun saban malam dia berkoar-koar melantunkan ayat-ayat suci agamanya di layar teve, KARENA dan DEMI nama Allah. Akh, paling juga terhapus itu dosa setelah mulutnya mengucapkan “tobat”. Kan mereka manusia juga. Masa depan korban yang keperawananya sudah terkoyak masa bodoh amat, dia bilang! Suatu bukti bahwa dorongan syahwat di selangkangan ternyata lebih kuat daripada ajaran agama.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Itu sebabnya pengucapan sumpah atau janji atas nama Tuhan --apalagi atas nama batu karang atau pohon beringin-- oleh seorang saksi atau pejabat negara tidak dibolehkan dalam kepercayaan Kristen baik Protestan maupun Katolik. Sumpah dan janji atas nama Tuhan dan batu karang adalah palsu atau omong<span style="mso-spacerun:yes"> </span>kosong belaka. Dan, itu sebabnya pula penganut<span style="mso-spacerun:yes"> </span>Kristen di seluruh dunia hanya diperkenankan mengakhiri kalimat sumpahnya dengan mengatakan “so help me God” atau “kiranya Tuhan menolong saya”.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">KARENA dan DEMI <span style="mso-spacerun:yes"> </span>adalah partikel yang masuk dalam golongan kata tugas. Keduanya tidak mempunyai arti leksikal dan tidak pernah terkena imbuhan<span style="mso-spacerun:yes"> </span>(awalan dan akhiran), juga tak bisa dipengaruhi bahasa asing sebagaimana kata-kata lain seperti lantainisasi, atau sengonisasi dan kentonganisasi (pinjam istilah Menteri Penerangan zaman Orba, Pak Harmoko).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN">Tak pernah kita mengatakan “men-DEMI-kan atau di-DEMI-kan, atau DEMI-nisasi” dalam sebuah konteks kalimat, juga kita tidak lazim kita mengucapkan “meng-KARENA-kan”, dan oleh sebab itu kata kerja pasif<span style="mso-spacerun:yes"> </span>“di-KARENA-kan” pun tidak berterima menurut tata bahasa. KBBI hanya merekam kata “dikarenakan” sebab telah terucapkan sangat kerap oleh mulut manusia secara salah kaprah.<br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="" lang="IN">Dalam pengertian sehari-hari, kata KARENA adalah partikel yang merupakan penanda sebab akibat atau alasan. Sesuatu dialakukan atau diadakan atau telah terjadi adalah akibat atau pengaruh dari sebab yang lain. Maka beginilah pantun nasihat berbunyi:</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"> <span style="font-style: italic;">KARENA apa binasa pandan, kalau tidak KARENA paku, KARENA apa binasa badan, kalau tidak KARENA laku. </span><br /></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">“DEMI” adalah partikel juga, dan dipakai dalam pengertian “atas nama” atau “untuk (kepentingan). DEMI juga mempunyai pengertian lain seperti pada “satu DEMI satu (lihat KBBI), tetapi arti yang lain dari itu jarang sekali digunakan orang dalam percakapan sehari-hari.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Perbedaan KARENA dan DEMI dapat kita telusuri melalui contoh-contoh kalimat di bawah ini:</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">1 a. DEMI kesembuhan anaknya yang semata wayang dia merelakan ginjalnya. (Dalam konteks ini kata DEMI mengandung pengertian “untuk kepentingan” kesembuhan anaknya dia memberikan ginjalnya. Demikianlah Pance Pondaag melantunkan lagu “DEMI kau dan si buah hati, terpaksa aku harus begini”).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"> </span>b. KARENA kesembuhan anaknya yang semata wayang dia merelakan ginjalnya (penggunaan KARENA dalam kalimat butir 1.a. tidak tepat atau <span style="mso-spacerun:yes"> </span>tidak masuk akal. Kata KARENA dalam konteks ini sama artinya dengan akibat).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"></span>2. a. DEMI Tuhan saya<span style="mso-spacerun:yes"> </span>bersumpah. (Artinya atas nama Tuhan saya ingin meyakinkan orang banyak bahwa saya benar atau saya telah melakukan sesuatu sesuai dengan yang sebenarnya, meskipun saya berbohong).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"> </span>b. KARENA Tuhan saya bersumpah .(Frasa ini pun tidak masuk akal sebab tidak ada sumpah “menurut kehendak” Tuhan. Pada hemat saya, Tuhan tidak memerlukan sumpahmu dan tidak pernah menyuruh kau bersumpah sebab semua yang kauucapkan atas nama Tuhan adalah palsu, dan biasanya keluar dari hati orang BERAGAMA yang dusta <span style="mso-spacerun:yes"> </span>munafik). Lihat saja kenyataannya di Indonesia. Bukankah yang melakukan korupsi dan segala macam maksiat adalah Orang BERAGAMA yang telah bersumpah “DEMI Allah” atau semata-mata berbuat dengan dalih “KARENA Allah” sambil memegang kitab suci?</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">3. a. DEMI ayahnya yang pembesar itu, SH menjadi direktur redaksi di sebuah perum pemerintah. (Mungkin saja kata DEMI dalam kalimat ini benar jikalau ayahnya yang pembesar itu adalah pemilik perum. Misalkan SH menjadi direktur atas nama atau DEMI ayahnya maka jabatannya itu sah saja karena perum ini milik ayahnya. Ya, suka-suka dialah, suka-suka bapaknya. Kita mau bilang apa?).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"> </span>b. KARENA ayahnya yang pembesar itu, SH menjadi direktur redaksi. (Nah, kalimat yang menggunakan KARENA seperti ini adalah benar. Tetapi, perum ini kita ketahui milik pemerintah dan bukan milik bapaknya SH. Hanya karena pengaruh bapaknya yang pembesar itu, SH bisa menjadi direktur redaksi. Dulu SH ditunjuk menjadi dirut oleh Presiden Gus Dur semata-mata KARENA bapaknya SH itu pernah jadi ketua PBNU, bukan?). Perhatikan perbedaan kalimat berikut ini:</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">4 a. DEMI kecerdasannya, SH menjadi direktur redaksi.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"> </span>b. KARENA kecerdasannya, SH menjadi direktur redaksi.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Kalimat pada butir 4.a. di atas tidak masuk akal, sebab tidak ada kelaziman bahwa orang diangkat menjadi direktur atas nama atau DEMI kecerdasan. Kalimat pada butir 4.b. memang jelas bernalar dalam hal bentuknya, sebab KARENA kecerdasannyalah SH ditunjuk menjadi direktur.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Menurut amatan saya, hampir semua wartawan di lantai 20 Gedung Wisma Antara bekerja bukan DEMI cita-citanya, tetapi lebih banyak KARENA tidak ada kerja yang lain dan terpaksa jadi wartawan sajalah. Mereka bekerja seperti syair lagu Pance yakni DEMI anak dan istri, atau dengan perkataan lain, “numpang hidup sajalah di perum ini”.</span></p><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Anehnya, mereka tak lupa sembahyang saban hari KARENA Allah atau DEMI Allah supaya mendapat pahala tetapi kerja maksiat jalan terus. Maka itu muncullah sindiran dalam singkatan STMJ (Sembahyang Tekun, Maksiat Jalan). Ini pun mungkin dilakukan DEMI Allah atau Karena Allah?</span> <p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language:IN" lang="IN">Umbu Rey</span></p>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-51552311558601691302012-01-05T05:14:00.000-08:002012-01-05T05:32:01.957-08:00Ketua itu bukan Pimpinan, Pak Pansus!<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"></span> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Saya bingung, mengapa para anggota dewan memanggil pemimpinnya atau ketuanya dengan sebutan “<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">Pak Pimpinan”</i></b>. Mengapa mereka tidak menyebut pemimpinnya itu <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">Pak Ketua?</i></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align:justify"><span style="font-size: 16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"></span>Yang saya paham sejak zaman saya masih sekolah rakyat, “ketua” itu orang yang tertua atau dituakan (karena usia atau karena kaya pengetahuan dan pengalaman) dan biasanya ditunjuk untuk memimpin rapat atau lembaga. Karena sudah kebiasaan lidah mengucapkan, tak ada lagi orang yang sadar bahwa <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“ketua”</b> itu tidak sama derajatnya dengan <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“pimpinan”</b>.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align:justify"><span style="font-size: 16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">Awalnya hanya ada ketua adat, karena itu ada tetua adat yakni orang-orang tua tokoh adat yang biasanya memegang teguh peraturan adat istiadat dan perintahnya ditaati atau dipatuhi di kampung tertentu, supaya tidak kena tulah. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align:justify"><span style="font-size: 16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">Zaman dulu para murid yang paling tua atau yang dianggap paling pandai atau paling menonjol (sikap, atau kelakuannya) biasanya ditunjuk sebagai ketua kelas. Di dalam keluarga, bapak atau ayah adalah kepala atau ketua keluarga, dan anak yang paling kakak selalu diberi hak menjadi ketua untuk memimpin adik-adiknya.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align:justify"><span style="font-size: 16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">Karena itu, <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">ketua</i></b> itu sesungguhnya sama atau sederajat dengan <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">pemimpin</i></b>. Ada ketua sidang, ada ketua dewan, ketua panitia, ketua Rukun Tetangga (ketua RT) atau ketua lembaga dsb. Demikian juga ada pemimpin sidang, ada pemimpin rapat, dan ada pula pemimpin pasukan.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align:justify"><span style="font-size: 16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">Sebaliknya “pimpinan” tak lain dari kelompok orang, lembaga, organisasi atau sesuatu <b style="mso-bidi-font-weight:normal">yang dipimpin (oleh). </b>Kalau kita mengatakan Partai Demokrat <i style="mso-bidi-font-style: normal">pimpinan</i> Anas Urbaningrum, itu artinya Partai Demokrat <i style="mso-bidi-font-style:normal">dipimpin</i> (oleh) Anas Urbaningrum, atau Partai Demokrat yang dipimpin yang dipimpin (oleh) Anas.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align:justify"><span style="font-size: 16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">Dengan perkataan lain, Anas Urbaningrum<span style="mso-spacerun:yes"> </span>memimpin Partai Demokrat. Jadi, posisi Anas adalah pemimpin partai atau ketua partai itu. Pemimpin selalu berada di muka sebagai penuntun dan pimpinan biasanya ada di belakang karena dia dituntun.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align:justify"><span style="font-size: 16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">Begitu juga gerombolan teroris “pimpinan” Nurdin Top adalah gerombolan “yang dipimpin” oleh Nurdin Top. Artinya, Nurdin itu pemimpin atau ketua gerombolan, sedangkan gerombolan teroris adalah pimpinan atau yang dipimpin Nurdin Top.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align:justify"><span style="font-size: 16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">PSSI adalah persatuan sepakbola <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">pimpinan</i></b> Nurdin Halid. Artinya, PSSI itu dipimpin oleh Nurdin Halid. Dengan demikan Nurdin Halid adalah ketua atau pemimpin PSSI, dan bukan pimpinan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Dalam sidang paripurna Pansus Angket Century belum lama ini para anggota DPR-RI berebut-rebutan melakukan interupsi –entah mungkin karena sadar mereka disorot kamera televisi, atau sekadar untuk melontarkan pertanyaan tak bermakna apa-apa.</span></p> <p class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">“Pimpinan, Pimpinan...., interupsi Pak Pimpinan..!!!!”</span></i></b><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN"> begitu mereka berteriak bersahut-sahutan. <span style="mso-spacerun:yes"> </span>Padahal, di depan meja Pak Marzuki Alie sebagai orang yang memimpin sidang itu tertera sangat jelas kata KETUA di atas meja, dan bukan PIMPINAN. Kalau begitu, anggota dewan yang berteriak-teriak itu sebenarnya memanggil siapa?</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Turunan kata dasar “pimpin” itu terjadi seperti berikut:</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">(1) <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">Pimpin – pemimpin -- memimpin – pemimpinan – pimpinan.</i></b></span></p> <p class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">Pemimpin</span></i></b><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN"> adalah orang yang memimpin, <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">pemimpinan</i></b> adalah proses atau cara memimpin, dan <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">pimpinan</i></b> adalah hasil pemimpinan atau yang dipimpin. Jadi, yang dipimpin atau pimpinan itu tak mungkinlah disebut KETUA.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Sama saja dengan kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">didik</i></b> yang berikut:</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">(2)<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal"> Didik – pendidik – mendidik -- pendidikan -- didikan <span style="mso-spacerun:yes"> </span></i></b></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Sejalan dengan butir (1) di atas, maka “pendidik” adalah orang yang mendidik (pemimpin atau guru) dan “didikan” itu adalah hasil proses pendidikan atau orang yang dididik (murid atau pelajar).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Di dalam ruang kelas tak mungkinlah, dan tak pernah terjadi, para murid menginterupsi gurunya dengan mengatakan ,<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">“Didikan,<span style="mso-spacerun:yes"> </span>Didikan...., maaf Pak Didikan, saya mau bertanya!”</i></b> Dalam lingkup ruang kelas itu yang disebut didikan sebenarnya adalah murid-murid itulah. Guru yang mengajar itu disebut pendidik.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Belakangan muncul anggapan atau pengertian bahwa “pimpinan” dimaksudkan sebagai "kumpulan pemimpin-pemimpin". Pengertian ini dipakai sebagai bandingan dengan istilah “lautan” yang berarti kumpulan laut-laut.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Pengertian ini saya temukan penjelasannya dalam lembaran komunikasi Pusat Bahasa, tetapi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat tidak dijelaskan sama sekali. Kamus tebal itu hanya menjelaskan bahwa “pimpinan” adalah hasil memimpin; bimbingan; tuntunan. Demikian juga “didikan” adalah hasil mendidik.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Jikalau “lautan” itu adalah kumpulan laut-laut, lantas Lautan Pasifik itu kumpulan laut-laut apa, dan Lautan Hindia itu kumpulan laut-laut apa? Tak mungkinlah Laut Banda, Laut Arafuru, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Sawu, dan Laut Sulawesi yang ada di Indonesia itu pergi berkumpul atau terkumpul atau mengumpulkan dirinya di Lautan Hindia. Buat apa mereka ke situ? Lagi pula, dongeng ceritanya belum pernah saya dengar.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Jikalau di dunia ini ada Lautan Indonesia, atau Samudera Indonesia mungkin masuk akal jika "lautan" itu adalah kumpulan laut-laut yang ada di Indonesia seperti saya sebutkan di atas. Tetapi Lautan Indonesia itu sampai hari tidak ada dan tidak tertera dalam atlas atau peta dunia. Itu sebabnya Indonesia juga bukan negara <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“lautan”.</b></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Istilah “lautan” sebagai kumpulan laut-laut pun menyimpang dari pernalaran (saya). Indonesia ini bukan saja terdiri atas laut-laut, tetapi juga pulau-pulau. Karena terdiri atas pulau-pulau maka Indonesia disebut negara “<b style="mso-bidi-font-weight:normal">kepulauan”, </b>atau kumpulan pulau-pulau<b style="mso-bidi-font-weight:normal">. </b>Mestinya Indonesia boleh juga disebut negara <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“kelautan” </b>karena terdiri atas laut-laut atau banyak laut. Karena itu, “kelautan” adalah kumpulan laut-laut.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Di dalam laut-laut itu terdapat berjenis-jenis ikan tak terbilang banyaknya. Lantaran itu, maka Indonesia boleh jugalah disebut negara <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“keikanan”</b>. (Istilah ini karangan saya semata-mata, sebab tidak lazim dan karena itu tidak tercatat dalam KBBI).</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Karena ikan-ikan itu adalah potensi kekayaan untuk kesejahteraan rakyat, maka dibentuklah kementerian yang mengurus soal laut-laut dan ikan-ikan itu. Seharusnya pun kementerian dalam kabinet Presiden SBY itu kita sebut “<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">Ke</i></b>menteri<b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">an</i></b> <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">Ke</i></b>laut<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">an</i> </b>dan <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">Ke</i></b>ikan<b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">an”</i></b>.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Imbuhan <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“ke – an”</b><span style="mso-spacerun:yes"> </span>yang mengapit kata benda (nomina) pada umumnya berarti hal tentang banyak (benda) yang tersebut dalam kata dasar. Kelurahan, kecamatan, dan kementerian, bahkan kepresidenan itu adalah hal mengenai banyak lurah, camat, menteri, dan presiden.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Sejalan dan seirama dengan itu ada pula imbuhan <b style="mso-bidi-font-weight: normal">“per-an”</b> yang biasanya mengapit <b style="mso-bidi-font-weight: normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">kata ulang</i></b><i style="mso-bidi-font-style:normal"> dan menyatakan jamak</i>. Contoh:<span style="mso-spacerun:yes"> </span>coba-coba </span><span style="font-size:16.0pt;font-family:Wingdings;mso-ascii-font-family:"Times New Roman"; mso-hansi-font-family:"Times New Roman";mso-ansi-language:IN;mso-char-type: symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol; mso-symbol-font-family:Wingdings">--> </span></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">percobaan; hati-hati --></span><span style="font-size:16.0pt;font-family:Wingdings;mso-ascii-font-family: "Times New Roman";mso-hansi-font-family:"Times New Roman";mso-ansi-language: IN;mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings"></span></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN"> perhatian; undang-undang --></span><span style="font-size:16.0pt;font-family:Wingdings;mso-ascii-font-family: "Times New Roman";mso-hansi-font-family:"Times New Roman";mso-ansi-language: IN;mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings"></span></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN"> perundang-undangan; kota-kota </span><span style="font-size:16.0pt;font-family:Wingdings;mso-ascii-font-family: "Times New Roman";mso-hansi-font-family:"Times New Roman";mso-ansi-language: IN;mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings">--> </span></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">perkotaan; kampung-kampung </span><span style="font-size:16.0pt;font-family:Wingdings; mso-ascii-font-family:"Times New Roman";mso-hansi-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:IN;mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings">--></span></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN"> perkampungan; tanah-tanah </span><span style="font-size:16.0pt;font-family:Wingdings; mso-ascii-font-family:"Times New Roman";mso-hansi-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:IN;mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings">--></span></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN"> pertanahan, <span style="mso-spacerun:yes"> </span>sehingga terbentuk pula ikan-ikan --></span><span style="font-size:16.0pt;font-family:Wingdings;mso-ascii-font-family: "Times New Roman";mso-hansi-font-family:"Times New Roman";mso-ansi-language: IN;mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings" lang="IN"><span style="mso-char-type:symbol;mso-symbol-font-family:Wingdings"></span></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN"> perikanan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Itu sebabnya ada <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“Dinas Perikanan”</b> yang mengurusi ikan-ikan sebagai potensi kesejahteraan rakyat. Bumi dan matahari itu cuma ada satu saja karena itu tidak akan mungkin terbentuk imbuhan “perbumian” dan “permataharian”. </span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Kata berimbuhan “<b style="mso-bidi-font-weight:normal">lautan” </b>dapat juga berarti sesuatu yang dilautkan. Kata itu diturunkan dari:</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">(3) <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style: normal">Laut – pelaut – melaut(kan) – pelautan --lautan</i></b><span style="mso-spacerun:yes"> </span></span></p> <p class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language:IN" lang="IN">L<i style="mso-bidi-font-style: normal">autan</i></span></b><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"> dalam butir (3) di atas mungkin juga berarti kapal atau sampan atau apa saja yang dilautkan atau yang dimasukkan atau diluncurkan ke laut, dari hasil proses pelautan. Tetapi sejak dahulu, kata <b style="mso-bidi-font-weight:normal">lautan</b> sudah diartikan sama dengan laut yang luas sekali atau samudera. Entahlah bagaimana kisah ceritanya, saya<span style="mso-spacerun:yes"> </span>tidak tahu.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Kembali ke istilah “pimpinan” dalam sidang Pansus Century di atas. Jika <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">kepulauan</i></b> dan <b style="mso-bidi-font-weight:normal"><i style="mso-bidi-font-style:normal">kelautan</i></b> itu masing-masing disebut kumpulan pulau-pulau dan kumpulan laut-laut maka seharusnya para pemimpin sidang itu disebut <b style="mso-bidi-font-weight: normal">“kepemimpinan”</b> atau kumpulan pemimpin-pemimpin. Mereka itu bukan <i style="mso-bidi-font-style:normal">pimpinan</i> fraksi tetapi para <i style="mso-bidi-font-style:normal">pemimpin</i> fraksi sebab mereka memimpin fraksi, dan fraksi itulah pimpinan atau<span style="mso-spacerun:yes"> </span>yang dipimpinnya.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">Mungkin dapat disebut juga kumpulan ketua-ketua fraksi, dan karena itu bolehlah disebut juga <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“keketuaan”</b>. Kalau disebut <b style="mso-bidi-font-weight:normal">“ketuaan”</b> artinya terlalu tua, para ketua fraksi pastilah berteriak-teriak lagi melancarkan interupsi. Mereka protes karena belum merasa tua atau tidak mau dibilang tua. Itu sebabnya rambutnya disemir hitam semua supaya kelihatan muda.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN">I. Umbu Rey (28-3-2011)</span></p><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"></span><span style="font-size:16.0pt;mso-ansi-language: IN" lang="IN"></span><span style="font-size:16.0pt;font-family:"Times New Roman";mso-fareast-font-family: "Times New Roman";mso-ansi-language:IN;mso-fareast-language:EN-US;mso-bidi-language: AR-SA" lang="IN"><span style="mso-spacerun:yes"><br /></span></span>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-36266245014790459882010-04-17T00:12:00.000-07:002012-08-07T20:58:58.451-07:00Semen Cibinong<br />
Tuan dan puan yang terhormat, maafkan saya. Coret-coretan saya ini bukan untuk memperkenalkan iklan pabrik semen atau untuk menyoroti masalah yang tabu dibicarakan. “Semen cibinong” yang saya bicarakan ini hanyalah sebuah akronim yang muncul dari kreativitas orang awam yang mungkin sekali kekurangan perbendaharaan kata-kata dalam bahasa <st1:country -region="-region" st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country>.<br />
<br />
<div class="MsoNormal">
Akronim lazimnya dibuat untuk menghemat ruang dan waktu terutama dalam bahasa tulisan. Yang paling banyak menggunakan akronim menurut amatan saya adalah lembaga pemerintah seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Pada awalnya akronim dibuat untuk kalangan sendiri dan biasanya untuk menyingkat nama instansi atau istilah kepangkatan yang dianggap terlalu panjang untuk ditulis atau diucapkan. Di TNI belakangan muncul “alutsista” yakni singkatan dari “alat utama sistem persenjataan”.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Di lembaga Kepolisian akronim itu tak terhitung banyaknya, dan ketika seorang jenderal polisi berbintang tiga, Komjen Susno Duadji, membongkar kasus mafia hukum dan korupsi uang pajak di tubuh Polri, orang awam pun terbengong-bengong membaca “Bareskrim”. Kedengarannya aneh, dan kalau akronim itu dieja "bar-es-krim" seakan-akan menyebut polisi jualan es krim.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Sebenarnya akronim sudah dikenal sebelum itu, dan yang paling getol bikin akronim adalah Presiden Pertama RI Bung Karno. Contohnya, Manipol USDEK (Manifesto politik USDEK), dan Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), Ganefo (Games of the New Emerging Forces), dan Jas Merah (Jangan sekali-kali melupakan sejaah). Masih banyak yang lain.<br />
<br />
Frasa "pemilihan umum" yang kita kenal sekarang ini sebenarnya sudah cukup singkat dan jelas, tetapi masih perlu disingkat lagi dengan akronim "pemilu". Ini akromin sembrono karena dibuaat secara tidak adil, sebab dari kata "pemilihan" diambil lima huruf "p-e-m-i-l" sedangkan kata "umum" hanya diambil "u"-nya doang. Yang lebih bikin bingung, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia hanya disingkat dengan huruf "A" untuk memperpendek ABRI Masuk Desa menjadi AMD. <br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Akronim semakin ganas melanda Indonesia tetapi juga menjadi trendi, dan bahkan setiap orang menjadi keranjingan bikin akronim. Anehnya, hampir setiap kata dalam bahasa Indonesia adalah akronim. Sekadar untuk lucu-lucu, kata “sedap” dipakai sebagai akronim dari “sejengkal di atas pusat”. Sebenarnya yang dimaksud adalah payudara perempuan. Lebih vulgar lagi jika “sedap” diberi kepanjangan “sejengkal di atas paha”. Anda tahulah maksudnya apa itu.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Misalnya letkol (letnan kolonel), rudal (peluru kendali), dan Kowani (Kongres Wanita Indonesia).<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Susahnya, tak ada aturan yang baku secara terinci tentang cara membuat akronim. Karena itu akronim adalah kependekan dari nama atau istilah yang dibikin oleh seseorang seenak perutnya saja. “Makelar kasus” yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik, disingkat tanpa aturan dan menjadi “markus”.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Di kalangan orang kebanyakan, akronim juga dibuat untuk tujuan menyindir atau mengolok-olok suatu hal yang berhubungan dengan keadaan sosial yang menyimpang. Kota Jakarta yang penuh dengan tipu daya dan kriminalitas dianggap sebagai akronim dari "Jambret Ada Koruptor Ada Rampok Tentu Ada".<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Ada kalanya nama seseorang disingkat dengan akronim agar lebih terkenal. Seorang artis perempuan yang konon dicalonkan menjadi bupati Kabupaten Pacitan Jawa Timur bernama asli Julia Rahmawati. Itu nama yang tertera dalam kartu tanda penduduk (KTP). Karena raut wajah yang aduhai dan tubuhnya yang molek dia pun dikenal dengan nama Julia Perez. Tetapi, dia lebih terkenal lagi dengan nama akronim Jupe. Itu nama yang tertera di dada kirinya ketika tampil di layar TvOne sewaktu diwawancarai oleh Bang One, belum lama ini.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Kantor Berita Antara pernah menyingkat nama jabatan menteri dalam Kabinet Presiden SBY. Konon, jabatan menteri perekonomian memang dari sananya dibakukan dengan akronim Menteri Perek. Akronim itu tentu saja memberikan kesan tidak etis lantaran masyarakat sudah telanjur mengenal “perek” sebagai akronim dari “perempuan eksperimen” atau pelacur penjaja seks. Kebetulan Menteri Perekonomian dalam Kabinet SBY adalah seorang perempuan bernama Sri Mulyani Indrawati.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Pada awal tahun 1980-an Indonesia kejangkitan virus bernama Aids. Kepanjangannya dalam bahasa Inggris adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, tetapi orang Indonesia mengalihkannya dalam bahasa Indonesia dengan olok-olok “Aku Ingin Dekat Susi”. Setelah diketahui umum bahwa salah satu penyebab penyakit itu karena hubungan seks yang berganti-ganti pasangan, akronim itu dalam bahasa Indonesia semakin vulgar pula, “Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan”.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
“Semen cibinong” yang saya tulis pada judul karangan ini adalah akronim yang dibuat untuk maksud menertawakan karut-marut suasana dalam rumah tangga, dan seingat saya beredar hampir bersamaan dengan Aids pada awal dekade tahun 1980-an meskipun masih dalam kalangan terbatas.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Akronim “semen cibinong” tak diketahui siapa yang menciptakannya, dan agaknya diucapkan begitu saja karena orang awam ketika itu belum mengetahui istilah “selingkuh”. Dari mana asal kata ”selingkuh”saya tidak tahu, mungkin sekali dari bahasa Jawa. Selingkuh itu artinya tidak jujur, atau tidak berterus-terang. Bisa juga berarti korupsi.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Zaman dulu ketika terjadi penyelewengan dalam rumah tangga karena sang suami bermain cinta dengan istri tetangga maka istilah yang digunakan adalah “ada main serong”. Pada dekade tahun 1960-an, istilah main serong dalam rumah tangga disebut “escort”.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Sebenarnya “escort” itu merek rokok yang sezaman dengan “kansas”. Kansas diberi kepanjangan “kami anak negeri suka akan Sukarno”, tetapi “escort” diberi kepanjangan “enak sekali corupsi rumah tangga” dan dipakai untuk mencela permainan serong dalam rumah tangga.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
<o:p></o:p>Permainan cinta seorang suami dengan istri tetangga biasanya berjalan lancar kalau tidak ketahuan, tetapi kalau terendus oleh bininya sendiri maka timbullah kasus percintaan ilegal yang kemudian disebut “semen cibinong”. Kalau terjadi ribut-ribut di rumah tetangga karena sang istri mengamuk-ngamuk sampai piring dan mangkuk beterbangan, maka orang akan mengatakan, “Oh, itu gara-gara semen cibinong”.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Pada awalnya orang menyangka si suami terlibat kasus korupsi di pabrik Semen Cibinong, padahal sang istri memergoki suaminya sedang bermain cinta dan dan kedapatan sedang mencium istri tetangga. Itu sebabnya orang menyebut “semen cibinong” sebagai akronim dari frasa “Sementara Ciuman, Bini Nongol”.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Akronim ini juga diucapkan orang untuk menyindir ketika permainan cinta sudah menjurus ke masalah seks. Dulu, istilah “pelecehan seks” belum dikenal atau belum populer. Istilah yang juga dari bahasa Jawa ini pernah didiskusikan karena dianggap tidak cocok atau salah kaprah. Pelecehan seks sebenarnya tidak tepat untuk maksud memandang rendah atau menghina seseorang sebab soal seks adalah masalah kebahagiaan.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Seorang pemuda sebenarnya tidak sedang melecehkan seorang perempuan ketika dia meraba-raba pantat seorang wanita cantik di depan umum. Pemuda itu sesungguhnya sedang menikmti kebahagiaan dari sentuhan pantat perempuan atau gadis cantik itu. Sebaliknya, gadis itu sedang “dirundung” penderitaan atau mengalami
“perundungan” karena terhina atau dianggap remeh oleh lawan jenisnya.<br />
<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Prof. Dr. Anton M. Moeliono dalam diskusi bahasa di Kantor Berita Antara pada tahun 1980-an pernah memperkenalkan istilah “perundungan seksual” untuk mengganti istilah “pelecehan seksual”. Istilah itu tampaknya tidak berterima dan kata “perundungan” pun tidak masuk dalam KBBI Pusba edisi keempat.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Karena pada saat itu tidak ada istilah yang baku, orang awam tetaplah menggunakan akronim “semen cibinong”. Tetapi, berbeda dari persoalan main serong, kalau permainan cinta dengan istri tetangga sudah sampai ke soal seks maka akronim “semen cibinong” adalah singkatan dari “Sementara Ciuman, Biji Nongol” (bini diganti dengan biji).<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Akronim memang lebih sering bikin orang pusing kepala karena sulit dimengerti, dan karena itu sebagian orang di kalangan wartawan menghendaki agar diberantas sampai tuntas. Pokoknya, akronim tidak boleh lagi digunakan karena membodohi pembaca, dan diciptakan karena kemalasan berpikir.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Apa pun alasannya, akronim telah hidup dan telah pula memberikan sumbangan untuk pembentukan sebuah kata. Pusat Bahasa juga menggunakan akronim untuk membuat kata baru, mungkin karena kesulitan mencari padanan kata Inggris dalam bahasa Indonesia. Jadilah kata “daring” (dalam jaringan) untuk padanan kata “on-line” dan “luring” (luar jaringan) untuk kata “off-line”.<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Polisi lalu-lintas menciptakan “tilang” yang sudah diterima menjadi sebuah kata baru dalam bahasa Indonesia yang bersinonim dengan hukuman denda dalam tindak pidana ringan atau “tipiring di jalan raya. Orang tidak lagi mempermasalahkan bahwa “tilang” sesungguhnya akronim dari “bukti pelanggaran” (di jalan tertentu). Tilang pun telah masuk dalam KBBI sebagai sebuah lema.<br />
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-style: italic;">
Bagaimanapun, akronim ada manfaatnya asalkan digunakan secukupnya menurut keperluan. Pada pemakaian yang berlebihan dan tanpa aturan, akronim pun akan sama halnya dengan penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya atau narkoba. Bisa rusak bahasa Indonesia. <br />
Maka ada baiknya setiap singkatan atau akronim yang dibuat haruslah mempertimbangkan "situasi, kondisi, toleransi, pandangan dan jankauan". Bolehlah frasa itu kita singkat dengan akronim "sikontol panjang".<br />
</div>
<div class="MsoNormal">
Umbu Rey<o:p></o:p><o:p></o:p> </div>
Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-3205889620592126012010-03-30T23:57:00.000-07:002010-04-07T02:49:13.938-07:00Kebangkitan, bukan situs kuburPara pemuka agama, pendeta, atau pastor tidak pernah mempersoalkan situs Kalvari dan kuburan atau peninggalan kuno apa saja yang berhubungan dengan hikayat kitab Injil jika mereka berkhotbah di gereja-gereja. Tetapi, para ahli purbakala di Timur Tengah masih terus mencari kebenaran hikayat kitab suci, dan berusaha menggali situs tempat Yesus Kristus disalibkan dan dikuburkan.<br /><br />Kaum Kristen mendasari iman mereka pada satu nats sabda Yesus dalam Yohanes 2:29 yang mengatakan “….berbahagialah orang yang tidak melihat tetapi percaya.” Karena itu, situs peninggalan kuno dalam riwayat suci Alkitab tidaklah terlalu penting untuk dibicarakan dalam khotbah kebaktian ritual orang-orang Kristen.<br /><br />Peristiwa pembuatan bahtera raksasa pada zaman Nuh tidak lagi dianggap masuk akal oleh manusia pada abad ultra canggih zaman saiki. Tetapi umat Kristen percaya bahwa peristiwa besar pada zaman kuno itu memang telah terjadi.<br /><br />Yang lebih penting bagi mereka adalah keyakinan bahwa pekerjaan besar pada zaman purbakala itu sebenarnya bukanlah perbuatan tangan manusia. Sebab, semua kisah kejadian dalam kitab Taurat dan Injil diyakini sebagai suatu bentuk bahasa atau kemunikasi antara Tuhan dengan manusia menurut akal dan perkembangan akal manusia ketika itu.<br /><br />Tetapi, tiap-tiap kisah dalam Alkitab baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru justru merupakan bahan perhatian sangat menarik bagi para ahli purbakala untuk digali dan diteliti.<br /><br />Penggalian pun sudah banyak dilakukan, mulai dari situs peninggalan kuno bahtera Nuh, mahkota dan senjata serdadu raja Firaun di dasar laut Teberau sampai pada perkiraan wajah Yesus pada bekas kain kafan penuh bercak darah yang tertinggal di dalam kubur ketika Dia bangkit dari kematian.<br /><br />Pada tahun 1980, serombangan penginjil dan arkeolog dari Australia datang ke Jakarta dan berkhotbah beberapa lama di Istora Senayan tentang kebenaran riwayat Injil berdasarkan pembuktian para arkeolog dari hasil penggalian situs purbakala. Setelah melakukan penggalian bertahun-tahun, kata penginjil, para arkeolog telah menemukan situs purbakala di Gunung Ararat, kira-kira di dalam wilayah Iran sekarang ini.<br /><br />Menurut cerita Injil, sebuah bahtera besar terdampar di atas gunung itu setelah lebih kurang 40 hari lamanya terkatung-katung di air bah. Nuh dan ketiga anaknya, Sem, Ham dan Yafet beserta dengan istri mereka masing-masing berada dalam perahu besar itu. Mereka dan segala jenis binatang baik yang melata dan berkaki serta segala jenis burung diselamatkan ketika Tuhan murka dan menghancurkan bumi.<br /><br />Penggalian situs di atas gunung Ararat, kata para arkelog, telah membuktikan kebenaran cerita dalam Kitab Kejadian 8:4 yang menyebutkan bahwa “dalam bulan yang ketujuh pada hari yang ketujuh belas bulan itu, tersandarlah bahtera itu pada pergunungan Ararat”.<br /><br />Dalam serial film “Believe It or Not” yang ditayangkan oleh satu-satunya televisi di Inddonesia TVRI pada akhir dekade tahun 1970, pewara (presenter) Jack Pelens juga bercerita tentang situs peninggalan kota Yerusalem kuno. Dia juga juga bercerita tentang danau berkadar garam sangat tinggi di wilayah Israel. Danau garam yang sekarang disebut Laut Mati (karena tak ada<br />sejenis hewan air dapat hidup di situ) diyakini sebagai bekas kota Sodom dan Gomora dalam cerita Injil yang dihancurkan Tuhan dengan api dan belerang.<br /><br />Dalam tahun 1985, wartawan Kantor Berita Reuters di Yerusalem, Bernard Edinger, melaporkan bahwa seorang arkeolog Italia telah pula menemukan situs Gunung Sinai yang menurut kisah Injil Perjanjian Lama, di tempat itulah Musa menerima dua loh batu yang berisi Sepuluh Perintah Tuhan atau Ten Commandments.<br /><br />Ahli purbakala berkebangsaan Italia bernama Emmanuel Anati itu mengatakan Gunung Sinai tiada lain dari sebuah bukit yang kini bernama Har Karkom. Bukit itu terletak pada ketinggian 850 meter di Gurun Negev di wilayah Israel.<br /><br />Anati mengatakan di situs kaki gunung Sinai terdapat 12 batu besar yang tersusun menyerupai altar tempat persembahan. Dia berkesimpulan bahwa itulah mezbah persembahan yang didiriknn oleh Musa menurut jumlah suku bangsa Israel, persis seperti tertulis dalam Kitab Injil Keluaran 24:4.<br /><br />Menurut penelitian Anati, di puncak gunung itu terdapat pula satu lekukan tanah yang mungkin sekali berhubungan dengan nats Injil Keluaran 33:21-22, “….engkau dapat berdiri di atas gunung itu dan apabila kemulian-Ku lewat, Aku akan menempatkan engkau dalam lekukan itu.”<br /><br />Anati, (65 tahun pada 1985) yang memimpin sebuah pusat penyelidikan purbakala dekat Milan mengatakan Har Karkom berisi lebih dari 35 ribu batu berukir yang kebanyakan menggambarkan tema-tema religius seperti yang diungkapkan dalam Kitab Keluaran.<br /><br />Bukit tempat tempat altar suci Musa itu dahulu dianggap sebagai tempat keramat oleh suku-suku bangsa Amalek, Median, dan Ibrani yang mendiami daerah sekitarnya, kata Anati.<br /><br />Lantas, di manakah Yesus Kristus juru selamat umat Kristen disalibkan dan dikuburkan? Dua pristiwa itu semula dipandang amat penting karena di tempat Yesus dikuburkan lalu bangkit pada hari Paskah, di situ pula orang-orang penganut ajaran Injil biasanya berkumpul untuk bersembahyang atau melakukan ritual.<br /><br />Kantor Berita United Press International (UPI) dalam tahun 1985 juga melaporkan dua situs yang letaknya terpisah satu dengan yang lain berdasarkan penelitian ahli purbakala Dan Bahat dan seorang pendeta Gereja Anglikan dari Dorset, Inggris bernama Rev. Bill White.<br /><br />UPI melaporkan, di sebelah gerbang kota tua Damaskus terdapat taman yang ditumbuhi pohon lemon, aleppo, dan pohon cemara. Taman purbakala itu dikenal dengan nama Garden Tomb. Di dekatnya terdapat sebuah bukit berbatu gamping yang tersusun menyerupai tengkorak manusia.<br /><br />Pada ambang pintu gerbang di taman perkuburan Garden Tomb itu tertera tulisan seperti yang terdapat dalam Kitab Injil Perjanjian Baru, “Dia tidak ada di sini. Dia telah bangkit”.<br /><br />Kira-kira setengah mil jaraknya dari Garden Tomb di sekitar areal kota kuno Damaskus terdapat gereja angker yang disebut Church of Holy Sepulchre atau Gereja Nisan Suci. Gereja itu pengap dan gelap. Bau kemenyan merebak memenuhi sudut ruangan sehingga orang-orang yang pergi berdoa ke tempat itu ngeri ketakutan.<br /><br />Kedua tempat keramat itu dalam minggu-minggu suci menjelang Paskah biasanya dipadati oleh para peziarah, yang menurut Kementerian Pariwisata Israel dapat mencapai 45 ribu orang, kata UPI (laporan tahun 1985).<br /><br />Tempat dan waktu peribadatan untuk mengenang peristiwa kebangkitan Yesus itu pun berbeda-beda menurut versi aliran dalam agama Kristen. Orang Kristen Evangelis berdoa di Garden Tomb, kaum Katolik Latin mengadakan kurban misa pada hari Minggu di Gereja of Holy Sepulchre (Gereja Nisan Suci), dan umat Kristen Syria dan Koptik juga bersembahyang di gereja angker itu, tetapi seminggu kemudian. Itu terjadi karena perbedaan almanak penanggalan Gregorian dan Julian.<br /><br />Para sarjana purbakala Kristen dan Yahudi menyatakan kira-kira tahun 200 Sesudah Masehi para penganut Kristen telah menetapkan kepercayaan bahwa Juru Selamat mereka dikuburkan dan bangkit di situs gereja angker Church of Holy Sepulchre itu. Arkeolog Dan Bahat di Distrik Yerusalem juga menyatakan keyakinannya bahwa Yesus memang telah dikuburkan di situ.<br /><br />Keempat kitab Injil dalam Perjanjian Baru menyatakan Yesus dibawa ke suatu tempat di luar kota, yakni di atas sebuah bukit bernama Golgota atau “tempat tengkorak”. Setelah Yesus mati di kayu salib, jenazah-Nya lalu diturunkan dan dikuburkan di sebuah gua pahatan yang masih baru, tetapi tidak disebutkan di Garden Tomb atau di Church of Holy Sepulchre.<br /><br />Orang-orang Kristen Evangelis mengatakan taman perkuburan Garden Tomb yang terletak kira-kira sedikit di luar tembok kota tua di pinggir jalan menuju ke Nablus, Jericho, dan Jaffa (sekarang Tel Aviv), cocok benar dengan cerita dalam kitab Injil.<br /><br />Tempat tengkorak yang disebut juga Golgota itu, menurut mereka, kira-kira terletak berhadapan dengan terminal bus yang sekarang dipadati banyak kendaraan.<br /><br />Pendeta Bill White, sekretaris jenderal perkumpulan antar-sekte masyarakat di Inggris, yang juga pemilik perkuburan Garden Tomb itu adalah salah satu dari banyak pemuka agama yang percaya bahwa Yesus Kristrus disalibkan di lokasi di sebelah atas terminal bus itu.<br /><br />Menurut pendapatnya, setelah Yesus wafat, jenazah-Nya lalu diturunkan dari kayu salib dan dibawa ke tempat pemakaman Garden Tomb. Tetapi White lebih menaruh perhatiannya pada pesan spiritual daripada argumentasi penggalian dan penelitian para ahli purbakala di sekitar Garden Tomb.<br /><br />Bagaimanapun, penelitian para ahli purbakala itu telah memberikan bantuan visual yang lebih baik tentang riwayat Paskah, kata White. “Tanpa peristiwa penyaliban dan kematian itu tak akan pernah ada gedung gereja dibangun di sini, Puji Tuhan,” katanya. Semua penelitian akan memberikan pertolongan bagi mereka yang ingin membangun gereja atau sinagoga berdasarkan cerita Injil di Tanah Suci.<br /><br />Meski demikian, para peneliti arkeologi mengakui bahwa suatu cerita dari kebiasaan atau kesaksian dari orang-orang yang hidup berdekataan dengan saat-saat peristiwa itu terjadi sebenarnya jauh lebih otentik daripada penemuan situs yang terbaru.<br /><br />Sebuah waduk yang dapat menampung 250 juta galon air dan sebuah tempayan anggur yang terdapat dalam taman perkuburan Garden Tomb itu menunjukkan saat ketika Yesus menjalankan tugas-tugas kerasulan di bumi, tetapi sampai dengan tahun 1883 tidak ada bukti-bukti penelitian yang menyebutkan waktu kematian Yesus.<br /><br />Di samping itu, gereja angker Church of Holy Sepulchre itu diperkirakan dibagun dalam tahun 327 sesudah Masehi, ketika Constantine dan istrinya Helena yang menganut kepercayaan Kristen pergi ke tanah suci itu dan menemukan situs tempat penyaliban dan kebangkitan.<br /><br />Para sarjana dan pemuka agama menjelaskan bahwa gereja angker itu dibagun di atas bekas perkuburan orang-orang Yahudi pada abad pertama.<br /><br />Dalam tahun 1972, kira-kira 30 kaki di bawah gereja Constantine milik sekte Armenia itu para arkeolog telah menemukan lagi batu bertulis yang menggambarkan sebuah perahu yang kira-kira dilukis pada tahun 200 Sesudah Masehi.<br /><br />Dan Bahat memperkirakan perahu itu dilukis oleh para peziarah Kristen barat untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa pada masa kehidupan Kristus, di sebuah tebing di bawah bukit Golgota, tempat mereka berkumpul untuk melakukan upacara keagamaan. Karena itu, Dan Bahat yakin para peziarah itu bersembahyang di situ sebab di situlah Yesus Kristus bangkit kembali dari kematian.<br /><br />“Saya yakin sekali bahwa peristiwa penguburan dilakukan di tempat itu,” kata<br />Bahat.<br /><br />Sesungguhnya kontroversi tentang situs kubur dan tempat Yesus disalibkan tidaklah merupakan persoalan penting. Para pemuka agama dan arkeolog Dan Bahat, atau pendeta White pada akhirnya lebih percaya pada pesan spiritual iman kepercayaan daripada penemuan peninggalan benda-benda dan situs kuno.<br /><br />“Kubur itu tidak penting,” kata pendeta White. Semua peninggalan kuno yang digali oleh para arkeolog hanyalah sebuah gambaran visual tentang kebenaran mengenai kisah Injil, katanya.<br /><br />“Kristus telah bangkit. Itulah sesungguhnya pesan yang hendak dikemukakan dalam penggalian benda-benda dan situs kuno itu. Lagi pula, dapatkah Anda menemukan kepompong jikalau kupu-kupu itu telah terbang dan hilang?” kata White.<br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-11049755347866496242010-03-30T01:54:00.000-07:002010-03-30T02:04:52.106-07:00MemBER-(D)-kan yang keliruPada umumnya kita menggunakan dua awalan yakni “me-“ dan “di-“ dalam percakapan setiap hari di samping awalan “ber-“, dan agak jarang kita gunakan awalan “ter-“. Awalan yang terakhir ini lebih sering diganti begitu saja dengan awalah “ke-“ sehingga terbentukl;ah ketimpa (tertimpa), ketangkap (tertangkap), kelewat (terlewat atau terlampau), ketua (tertua), kekasih (terkasih), kepukul (terpukul), ketemu (tertemukan), kegencet (tergencet), dan kejedot (terjedot atau terantuk), dan keceplos, dst.<br /><br />KBBI Pusba edisi keempat akhirnya menciptakan pula awalan “ke-“ yang merangkai kata “tahu” sehingga menjadi “ketahu” meskipun dalam percakapan sehari-hari kata tersebut --menurut amatan saya-- tidak pernah ada. Yang ada, “ketahuan” dengan makna yang sama dengan kelihatan dan kedengaran. Dalam KBBI edisi sebelumnya, “ketahu” itu tidak saya temukan.<br /><br />Dalam penutur bahasa kelompok menengah ke atas, sering pula terdengar awalan <strong><em>“memper-“</em></strong> yang lazimnya mengawali kata dasar (D) sifat dengan makna <strong><em>“menjadikan lebih (D)</em></strong>". Jadi, <strong><em>memperbesar</em></strong> artinya menjadikan sesuatu lebih besar, dan <strong><em>memperpanjang</em></strong> artinya menjadikan sesuatu lebih panjang.<br /><br />Menurut tata bahasa, kita kenal juga imbuhan <strong><em>“memPER-kan”</em></strong> yang pada umumnya mengapit kata dasar (D) dari turunan kata kerja berawalan “ber-“. Ini contohnya.<br /><br />1) Dagang --BERdagang -- memPERdagangkan – perdagangan -- pedagang<br />2) Juang – BERjuang – memPERjuangkan – perjuangan --pejuang<br />3) Taruh – BERtaruh – memPERtaruhkan –pertaruhan – petaruh<br />4) Temu – BERtemu – memPERtemukan –pertemuan -- petemu<br /><br />Dalam contoh pada butir (1) memperdagangkan ialah melakukan pekerjaan BERdagang, perdagangan adalah perihal Berdagang, dan pedagang adalah orang yang BERdagang. Maka makna kata pada butir (2), (3), dan (4) begitu pula hendaknya, selalu mengacu pada kata kerja berawalan BER.<br /><br />Tetapi, dalam percakapan sehari-hari muncul pula imbuhan “memBER-kan” (yang entah dari mana asal-muasalnya) diucapkan orang begitu saja sebagai kelaziman. Terbentuklah kata berimbuhan <strong><em>“memberdayakan, memberhentikan, memberlakukan, dan memberolahragakan”.</em></strong> Karena sangat kerap diucapkan orang banyak saban hari, tercatatlah kata itu dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang dikeluarkan oleh Pusat Basa Departemen Pendidikan Nasional, dan dianggap benar saja.<br /><br />Jikalau contoh kalimat pada butir (1) sampai dengan (4) tersebut di atas kita sepakati sebagai bentuk kaidah yang baku maka <strong><em>“memberdayakan, memberhentikan, memberlakukan, dan memberolahragakan”</em></strong> itu adalah bentuk penyimpangan dan secara tata bahasa hendaknya dianggap keliru, dan bukan pengecualian”.<br /><br />Orang telanjur memahami pengertian <strong><em>“memBERdayakan”</em></strong> dalam arti membuat berdaya (seakan-akan kata berdaya itu adalah kata dasar). Anehnya, sublema “memperdayakan” diartikan orang dengan makna tipu muslihat atau tipu daya (seperti tersebut pula dalam KBBI).<br /><br />Kata “berdaya” sesungguhnya bukan kata dasar atau lema (lihat KBBI). Dia adalah sublema atau turunan dari kata dasar DAYA yang diberi berawalan BER. Jika demikian maka:<br /><br />(5) Daya – BERdaya – memPERdayakan – perdayaan – pedaya.<br /><br />Menurut kaidah ini, memPERdayakan artinya membuat orang supaya BERdaya dan bukan melakukan tipu daya seperti yang dipahami oleh banyak orang.<br /><br />Dalam milis ini beberapa tahun yang lalu saya sudah menguraikan kata “memPERdayai” sebagai padanan kata “mengerjai” (yang berkembang dalam masyarakat) untuk maksud tipu daya itu. Dalam diskusi akhir tahun bulan Desember tahun lalu, telah pula saya ulangi keterangan ini di hadapan Prof. Dr. Anton Moeliono. Tak ada tanggapan, baik oleh para panelis maupun peserta diskusi (boleh jadi artinya disetujui).<br /><br />Karena itu, selanjutnya ada baiknya kita kembalikan kata berimbuhan “memBER-kan” yang salah kaprah itu seperti berikut.<br /><br />(6) Henti – BERhenti – memPERhentikan – perhentian – pehenti<br />(7) Laku – BERlaku – memPERlakukan – perlakuan – pelaku<br />(8) Olahraga – BERolahraga – memPERolahragakan – perolahragaan – peolahraga.<br /><br />Uraian tersebut di atas mungkin sekali tidaklah mutlak benar, sebab makna kata tuturan berlaku menurut kebiasaan atau kelaziman. Itu sebabnya orang selalu berkilah, “Kan, biasanya begitu. Terus, kita mau bilang apa lagi!?”<br /><br />Saya kemukakan masalah ini untuk mencari kesepakatan makna menurut ”tata bahasa” sebab arti kamus atau makna leksikal sering sekali diselewengkan menurut pengertian si penutur. Ahli perkamusan di Pusat Bahasa mencatatnya juga dalam KBBI sebab mereka hanya “merekam” arti yang tersebar dalam masyarakat.<br /><br />Kalau Anda sepakat dengan saya, selanjutnya bolehlah kita “mendarat” di suatu tempat untuk membicarakan makna kata yang tidak lagi sesuai dengan makna leksikal dan makna kata menurut tata bahasa yang baku.<br /><br />Dalam sidang paripurna Pansus Angket Century belum lama ini para anggota DPR-RI berebut-rebutan melakukan interupsi –entah mungkin karena sadar mereka disorot kamera televisi sekadar untuk melontarkan pertanyaan tak bermakna apa-apa.<br /><br />“Pimpinan, pimpinan----interupsi, pimpinan..!!!!” Siapakah yang mereka maksudkan dengan panggilan “pimpinan” itu. Padahal di depan meja Pak Marzuki Alie sebagai pemimpin sidang tertera jelas kata KETUA dan bukan PIMPINAN.<br /><br />Menurut saya, “ketua” artinya orang yang dituakan atau tertua atau yang dianggap tua, sebab ada kebiasaan keluarga orang Indonesia bahwa dalam sebuah pertemuan maka yang memimpin itu selalu diambil dari orang yang tertua atau yang dianggap paling matang. Yang kakak selalu diwajibkan memimpin adik-adiknya yang lebih muda.<br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-80518134144083717592010-03-24T21:40:00.000-07:002010-03-24T21:58:56.810-07:00Oknum, Markus, dan PetrusSudah banyak tulisan mengenai kata “oknum” tetapi tidak jelas benar asal muasalnya. Mendengar bunyinya, kata “oknum” itu tak pasti Arab. Inggris pun bukan. Susahnya, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sampai edisi yang keempat tak pula menjelaskan dari mana kata itu dipungut.<br /><br />Kalau ditilik dari maknanya yang pertama, maka “oknum” itu pastilah datang dari bahasa Latin sebab dia masuk ke dalam kosa-kata Indonesia lewat Gereja Katolik. Dalam Gereja Protestan “oknum” itu tidak pernah disebut-sebut dan karena itu nyaris tak terdengar.<br /><br />Oknum sebenarnya adalah gambaran personafikasi Tuhan dalam diri Bapa, Putra, dan Roh Kudus, yang menurut ajaran Gereja merupakan tugas ketuhanan yakni “mencipta, berfirman, dan memelihara”. Ketiga tugas itulah yang lalu diwujudkan dalam pengertian Trinitas atau Tiga Allah yang Sah, atau Tiga Yang Esa. Artinya Tuhan itu tetaplah satu tetapi datang ke dunia dengan tiga tugas untuk penyelamatan dunia.<br /><br />Oknum dan Trinitas adalah sebutan atas tafsiran para ahli agama saja sebab kata-kata tersebut sama sekali tidak tertera dalam kitab suci Injil Perjanjian Baru baik dalam versi terjemahan lama maupun dalam terjemahan baru.<br /><br />Tafsir pemuka agama Kristen yang begini ini mirip-mirip juga dengan istilah Trimurti dalam agama Hindu (mohon koreksi kalau saya keliru) yang mewujudkan tugas Tuhan dalam sifat sosok dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Tetapi dalam agama Hindu istilah “oknum” itu tidak ada.<br /><br />Apa pun maksudnya, sebutan "oknum" itu pada mulanya adalah suci dan berlaku hanya di dalam Gereja. “Oknum” itu pun awalnya –dan sampai kini-- tak terpengaruh oleh imbuhan bahasa Indonesia. Jadi, tidak ada sublema “mengoknumkan, atau dioknumkan, atau pengoknuman”.<br /><br />Belakangan kata itu lalu disinonimkan dengan kata “pribadi” yang berasal dari bahasa Sanskerta, tetapi dirasa kurang tepat sebab kita mengenal kata “kepribadian” tetapi kita tidak pernah mendengar orang mengucapkan “keoknuman”. Dalam KUBI (Kamus Umum Bahaasa Indonesia) ada tetapi tidak diberi penjelasan.<br /><br />Entah kapan awalnya, dan siapa yang iseng menggunakan kata itu pada mulanya saya tidak tahu. Mungkin sekali kata “oknum” itu dipakai untuk melindungi orang yang diduga tak bersalah dari instansi tempat dia bekerja ketika terjadi delik kejahatan. Jadi, kalau ada orang dalam suatu instansi pemerintah atau ABRI disangka melakukan penyimpangan atau korupsi maka orang itu berhak menyandang “oknum” untuk menerapkan asas “praduga tak bersalah”.<br /><br />Pada zaman pemerintahan Pontius Pilatus 2000 tahun lalu, salah satu oknum Tuhan yakni Yesus Kristus, menurut riwayat Injil Perjanjian Baru memang pernah menjadi terdakwa atas sangkaan jahat dan kemudian disalibkan. Tuduhan palsu yang diajukan oleh para ahli Taurat Yahudi kemudian melahirkan peristiwa Paskah ketika Oknum itu bangkit dari kematian. Tetapi, dalam riwayat ketika Yesus disesah dan dera, Injil sama sekali tidak menggunakan istilah “oknum”.<br /><br />Sejak zaman Orde Baru –seingat saya,-- “oknum” menjadi sangat populer berbarengan dengan semarak dan semangat korupsi hampir di semua instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Siapa pun yang sudah disebut oknum hampir pasti terlibat pidana makan uang negara atau melakukan kejahatan yang dapat dihukum. Hanya orang yang melanggar peraturan (dalam buku ketiga KUHP) bebas dari dari sebutan oknum. Sebab dia hanya melakukan pidana ringan atau “tipiring” yang hukumannya paling-paling cuma denda tilang.<br /><br />Tetapi, oknum Trinitas yang sekarang ini tak ada lagi hubungannya dengan penyiksaan dakwaan Pontius Pilatus. Karena itu, kalau bisa berbicara maka saya pastikan si Oknum akan bilang, “Pak Polisi, saya ini kan nggak ikut mencuri dan korupsi, kenapa dituduh dan menjadi tersangka? Semua orang tahu, saya ini cuma mengurus Gereja setiap hari, mengapa pula nama saya dicatut. Yang mencatut nama saya kok Anda tidak menindak?”<br /><br />Akhir-lahir ini muncul pula “markus”. Dia bukan kata Indonesia meskipun banyak orang Indonesia penganut Kristen menggunakannya sebagai nama baptisan. Maklumlah, Markus sudah sangat dikenal sebagai nama salah satu dari empat penulis Injil Pernjajian Baru.<br /><br />Markus belakangan ini muncul bersamaan dengan merebaknya kasus Bank Century --yang diduga melibatkan Wapres dan Menteri Keuangan dalam kasus dana talangan yang dianggap menyimpang. Markus itu hanyalah akronim dari dua kata gabungan “makelar kasus”. Tetapi karena tata bahasa Indonesia tidak mengatur cara membuat akronim, maka seenaknya perut oranglah kata itu disingkat-singkat.<br /><br />Presiden SBY --yang agaknya tak enak rasa menyebut markus-- mengimbau semua pihak dalam urusan hukum agar tidak lagi menggunakan istilah “markus” sebagai akronim “makelar kasus” karena nama itu dianggap merupakan nama besar dalam kitab suci Injil. Ada yang mencoba membuat akronimm baru “calkus” atau “lokus” tetapi tampaknya tak berterima.<br /><br />“Markus” sudah bercokol kuat dalam konsensus umum dan menjadi kelaziman. Soalnya, yang punya nama Markus Horizon semisal penjaga gawang sepakbola nasional Indonesia malah cuek-cuek bebek saja, tak peduli. Mungkin dia bilang,” Akh, saya kan kiper PSSI. Apa hubungannya dengan kasus Bank Century?”<br /><br />Zaman dulu –awal tahun tahun 1980—waktu Pak Jenderal Beny Moerdani masih memimpin ABRI, ada program untuk bikin aman Ibu Kota Jakarta yang ketika itu ingar-bingar karena macam-macam kejahatan sehingga sangat meresahkan warga. Tiba-tiba terjadi semacam serangan yang entah siapa pelakunya dan saban hari pula surat kabar memberitakan kematian orang bertato yang tak dikenal pula.<br /><br />Karena penembak dan yang ditembak mati tak pernah diketahui identitasnya maka wartawan pun mempopulerkan istilah “petrus” dari akronim “penembakan misterius”. Jakarta pun tiba-tiba menjadi aman tenteram dari ancaman penggarongan dan penodongan, dan hampir semua orang bertato ketakutan meskipun bukan penjahat.<br /><br />Petrus itu pun sebenarnya nama suci dalam kitab Injil. Dia salah satu murid Yesus yang kurang teguh iman, dan gurunya sendiri disangkalinya untuk cari selamat. Meski istilah itu merebak, semua orang penganut Kristen plus Pak Presiden Soeharto adem-adem saja, tidak peduli, dan bahkan tak mengeluarkan komentar sedikit pun. Yang penting Jakarta aman.<br /><br />Bertahun-tahun kemudian nasib serupa menimpa pula kata yang lain bernama “rekayasa”. Konon, menurut penciptanya Prof. Dr. Anton M.Moeliono, kata itu lahir pada masa ketika dia menjadi kepala Pusat Bahasa awal tahun 1980.<br /><br />Suatu ketika orang Istana Merdeka bertanya apa padanan kata bahasa Inggris “engineering”. Sepuluh menit kemudian terciptalah kata “rekayasa” itu. Maksudnya seperti tercantum dalam KBBI adalah penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelayanaan (seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan dan sistem yang ekonomis dan efisien).<br /><br />Lagi-lagi setelah zaman semakin kotor oleh tindakan koruptor, kata “rekayasa” itu menyebar dan makin populer seperti artis dangdut tahun 1990-an Inul Daratista naik daun eh, naik panggung.<br /><br />Sebenarnya, “rekayasa” itu lebih anggun daripada Inul, tetapi sayangnya malah terjerumus pula ke dalam kekotoran tangan koruptor di negeri ini. Maka bergeserlah arti kata “rekayasa” itu maksud yang sebenarnya. Orang lalu menulis di jalan-jalan ketika berunjuk rasa dan menyebut-nyebut “rekayasa” sebagai “rencana jahat atau persengkongkolan untuk menguntungkan diri sendiri atau korupsi kasus dana talangan Bank Century.<br /> <br />Di negeri lain seperti di Jawa atau di suku-suku yang lain, kalau kita mengucapkan sebuah kata secara keliru walaupun cuma beda-beda tipis saja, langsung ditegur supaya diperbaiki. Sebab salah ucap itu berarti penghinaan. Cobalah kata “kentut” kehilangan bunyi “t” di belakangnya, pengertiannya beda lagi dan semakin jelek.<br /><br />Yang heran, orang Jawa atau Batak atau apa pun sukunya, bahkan enggan memperbaiki salah kata dan salah arti dalam bahasa persatuan Indonesia, meskipun dia orang Indonesia juga. Giliran orang Malaysia bilang “Indon”, beranglah orang Indonesia padahal kata Indon itu cuma singkatan nama juga untuk menghemat ruang dan waktu, dan rasanya tidak berdampak negatif sama sekali bagi mayoritas bangsa ini.<br /><br />Meski begitu, nasib “rekayasa” masih lebih beruntung sebab paling-paling cuma diucapkan dengan makna yang salah kaprah di jalan raya. Yang saya kasihan si Oknum itu. Dulu dia cuma mengurus Gereja, tetapi sekarang sudah menjadi penghuni bui semua.<br /><br />Maka itu kalau anak Anda lahir laki-laki ke bumi tahun ini jangan sekali-kali kasih dia nama Oknum. Bisa celaka nanti. Kalaupun Anda suka nama Oknum, pelesetkan sedikit supaya jangan kedengaran seperti orang jahat. Misalnya, kasih saja nama Roknuman atau kalau perempuan Roknumin. Ada Oknumnya juga sih, tetapi kan lebih enak didengar.<br /><br />Paling pas, kasih saja nama Rekayasa, lalu panggil nama kecilnya Yasa atau Yoso. Tetapi Anda itu tetap Pak Rekayasa sebab Anda itu bapaknya yang bertanggung jawab. Lha, kan Anda yang merekayasa sampai itu anak lahir ke bumi.<br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-46856928157299865432009-12-21T15:09:00.000-08:002009-12-21T22:35:10.712-08:00Iklan kampanye SBY<span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); background: transparent none repeat scroll 0% 50%; cursor: text; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" class="yshortcuts" id="lw_1261436766_0">Hari </span>Selasa 23 Juni 2009, di halaman muka bagian bawah harian umum Republika ada tertera satu iklan SBY Presidenku, dan di situ terdapat pula gambar atau foto SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) bersama dengan calon wakilnya Boediono.<br /><br />Iklan kampanye politik itu ditulis dengan kalimat sbb:<br /><br /><span style="font-weight: bold;"> "Tegas Memberantas Korupsi, Tidak Cepat Memperkaya Diri".</span><br /><br />Apakah maksud kalimat dalam iklan kampanye itu? Mungkin banyak tafsiran yang dapat dikemukakan, tetapi yang paling jelas tersirat maksud dalam dua penggal frasa itu bahwa:<br /><br />1. Presiden SBY sesungguhnya ingin dengan tegas memberantas korupsi<br />2. Presiden SBY juga ingin memperkaya dirinya meskipun dengan cara yang tidak cepat-cepat.<br /><br />Setelah SBY dilantik dan mengucapkan sumpahnya pada 20 Oktober 2009, dia membentuk kabinet baru bernama Kabinet Indonesia Bersatu II. Ada nama menteri yang baru, dan ada pula menteri lama yang berganti posisi.<br /><br />Program 100 hari belum tuntas dilaksanakan tetapi Pak SBY tersandung kasus Bank Century yang melibatkan Wakil Presiden Boediono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Agaknya, makna kalimat kampanye SBY di atas mulai terkuak sedikit demi sedikit kebenarannya.<br /><br />Presiden SBY memang benar telah bersungguh-sungguh memberantas korupsi. Tidak pandang bulu, bahkan besannya sendiri, Aulia Pohan, yang menjabat deputi gubernur BI masuk penjara karena terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Jadi, makna yang tersirat pada butir (1) di atas tampaknya benar.<br /><br />Lalu, apakah Presiden SBY tidak ingin menjadi kaya? Pasti ingin, sebab dia juga manusia. Klausa kedua pada kalimat kampanye di atas jelas menunjukkan hal itu, ketika dia mengatakan "tidak cepat memperkaya diri". Artinya, boleh-boleh saja orang memperkaya diri, tetapi tidak perlu cepat-cepat. Agama pun tak pernah melarang orang menjadi kaya asalkan dengan cara yang halal.<br /><br />Ketika skandal Bank Century merebak, rakyat Indonesia mulai bertanya-tanya. Soalnya, mantan Wapres Jusuf Kalla tanpa tedeng aling-aling berkata bahwa pemilik bank itu telah merampok uang nasabahnya sendiri sehingga menjadi krisis likuiditas. Pengamat ekonomi yang lain semisal Kwik Kian Gie yang juga mantan menko ekuin jelas mengatakan Bank Century sudah bobrok sejak lahirnya tahun 2001. Lalu, kenapa harus ditalangi?<br /><br />Ada uang sejumlah Rp6,7 triliun talangan (bail-out) Bank Indonesia yang disuntikkan kepada bank itu, konon, dengan maksud untuk menyelamatkan bank itu dari badai krisis keuangan. Tetapi, para pengamat bank mengatakan kalau badai krisis menimpa, mengapa cuma Bank Century yang kena musibah, sedangkan bank-bank yang tetap sehat?<br /><br />Menteri Keuangan Sri Mulyani mengibaratkan Bank Century sebagai rumah penduduk yang terbakar di tengah-tengah sebuah perkampungan. Rumah yang terbakar itu tentu harus diselamatkan agar api tidak sampai menjalar ke rumah-rumah penduduk yang lain.<br /><br />Pro dan kontra saling menyalib, silat lidah dan adu pendapat di layar teve meramaikan suasana, dan membuat para permirsa geleng-geleng kepala, tak mengerti, dan akhirnya DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket, ketika Badan Pengawas Keuangan (BPK) memperlihatkan keanehan aliran dana talangan Rp6,7 triliun itu.<br /><br />Ke manakah dana talangan itu mengalir? Benarkan sebagian di antaranya masuk ke kantong SBY dan partainya? Jika kabar itu benar, maka bunyi kalimat pada iklan kampanye di atas agaknya mulai mengungkap kebenaran bahwa SBY sedang berupaya "ingin memperkaya diri".<br /><br />Tetapi, SBY langsung bertindak dan membantah kabar itu. Dia berbicara di depan para wartawan dan dengan tegas berucap, "Itu fitnah!" Maka, untuk sementara, kalimat pada butir (2) bahwa Presiden SBY ingin memperkaya diri masih harus dibantah kecuali jika sidang Pansus Hak Angket Bank Century sudah dapat membuktikan hal itu.<br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-66868122482604322302009-12-21T13:47:00.000-08:002009-12-21T14:17:24.392-08:00Polisi tewas lagiKata LAGI tertera dalam KBBI dan diberi banyak arti. Baiknya saya kutip dari KBBI daring seperti berikut:<br /><br />(1). adv sedang (dl keadaan melakukan dsb); masih: jangan berisik, ayah -- tidur;<br />(2) adv tambah sekian (atau sedemikian) pula: tunggu sebentar --;<br />(3) adv kembali (berbuat dsb) spt semula; berulang spt semula; pula: kemarin sudah menonton, sekarang hendak menonton --;<br />(4) p dan; serta; juga: anak itu pandai -- rajin; istrinya muda, cantik, -- kaya;<br />(5) p partikel yg dipakai untuk menekankan kata atau kalimat yg mendahuluinya<br />(mengandung makna; sama sekali, betul-betul, amat sangat, dsb): kekejaman tentara penjajah sungguh tak terkatakan --; penderitaan rakyat <span class="yshortcuts" id="lw_1261431885_0">Kamboja</span> sudah tidak tertahan --;<br /><br />Harian Umum KOMPAS pada halaman muka hari ini (14/7/09) menulis judul dengan kalimat sbb:<br /><br />SEORANG POLISI TEWAS LAGI<br /><br />Judul berita ini membuat saya agak bingung karena penggunaan kata "tewas lagi". Menurut pendapat saya, semua arti yang tersebut dalam KBBI di atas tidak memenuhi maksud kata LAGI dalam kalimat itu.<br /><br />Arti kata LAGI yang disebut pada butir (2) KBBI di atas rasanya masuk akal jika menunjukkan jumlah yang tewas. Jadi, "tewas lagi" memberikan arti bahwa yang tewas itu tambah sekian, sehingga jumlah yang tewas bertambah sekian.<br /><br />Tetapi, kata "tewas lagi" dalam kalimat judul berita di atas agaknya membatalkan arti pada butir (2) KBBI sebab yang tewas itu hanya ada satu orang polisi. Jadi, kalau seorang polisi tewas lagi, maka polisi yang mati itu tidak akan bertambah banyak. Dengan kata lain, cuma polisi itu saja yang mati.<br /><br />Arti yang tersebut pada butir (3), yakni "kembali (berbuat dsb), berulang seperti semula, agaknya ganjil juga kedengarannya, sebab kata "tewas" bukanlah perbuatan atau keadaan yang dapat diulang atau berulang. Tewas dalam konteks ini sama artinya dengan mati. Polisi itu tewas dan bukan menewaskan. Jadi, mungkinkah "seorang polisi" tewas dua kali karena dia mengulangi lagi keadaan tewas? Rasanya tidak masuk akal.<br /><br />Kata LAGI dalam kalimat di bawah ini mungkin berbeda maknanya:<br /><br />(a) - Seorang lagi polisi tewas<br />(b) - Seorang polisi lagi tewas<br />(c) - Seorang polisi tewas lagi<br />(d) - Lagi, seorang polisi tewas<br /><br />Manakah yang benar, kalimat (a), (b), (c), atau (d)?<br /><br />Kalimat pada butir (a) menerangkan bahwa jumlah polisi yang tewas bertambah satu. Butir (b) menerangkan bahwa polisi itu tidak "sedang" tewas" tetapi menunjukkan bahwa yang tewas itu bukan nelayan atau orang lain. Artinya, tadi polisi tewas dan sekarang polisi lagi yang tewas.<br /><br />Kalimat pada butir (c) sama sekali tidak masuk akal. Mungkinkah polisi yang sama tewas dua kali, atau tewasnya terulang. Mati itu cuma sekali, jadi kalau sudah mati maka matinya itu tidak dapat diulang lagi. Kalimat seperti ini sama saja dengan "almarhum meninggal dunia". <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); cursor: pointer;" class="yshortcuts" id="lw_1261431885_1">Orang mati</span> (almarhum) tidak bisa mati dua kali.<br /><br />Kalimat pada butir (d) yakni "lagi, seorang polisi tewas" lebih janggal lagi. Itu kalimat khas jurnalistik surat kabar yang disusun antara lain supaya indah secara tipografis. Tetapi, kalau kalimat itu kita tilik dari sudut tata bahasa, jelas keliru atau lebih tepat tidak lazim.<br /><br />Jurnalistik Kantor Berita pada umumnya tidak menggunakan kalimat seperti itu, demikian juga radio dan televisi. Kantor Berita, radio dan televisi biasanya memulai kalimat judul dengan subjek, predikat, kemudian objek secara taat asas.<br /><br />Saya belum pernah mendengar penyiar radio dan televisi menyebut pokok berita, "Lagi, seorang polisi tewas". Saya pikir semua pendengar atau pemirsa akan bingung mendengar kata "lagi" di depan subjek kalimat itu. Apa makna kata "lagi" itu?<br /><br />Kalau kalimat "lagi, seorang polisi tewas" dibenarkan, maka kita juga akan membenarkan kalimat berikut:<br /><br />1. Hanya, seorang polisi tewas<br />2. Saja, seorang polisi tewas<br />3. Juga, seorang polisi tewas<br /><br />Dalam surat kabar, kalimat judul yang dimulai dengan kata "lagi" biasanya diikuti dengan tanda baca koma (,) dan itu biasanya dibuat pada berita lanjutan (follow-up story). Kata "lagi' yang diikuti tanda koma itu menerangkan bahwa peristiwa yang sama dan sudah diberitakan sebelumnya, terjadi pula sekarang.<br /><br />"Lagi, seorang polisi tewas" adalah kalimat (tertulis) yang sengaja dibuat menyimpang dari asas tata bahasa untuk menarik perhatian pembaca. Yang mau disampaikan dalam konteks kalimat itu ialah bahwa tadi polisi mati dan sekarang polisi lagi yang mati.<br /><br />Dalam milis ini dua tahun yang lalu saya telah menulis juga soal kalimat judul koran yang bentuknya begini: "Pemudik Dua Kali Ditarik Ongkos". Bagi saya, kalimat itu sama sekali tidak jelas. Tetapi begitulah koran. Orang awam "dipaksa" harus mengerti.<br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-59658739266508169012009-12-21T08:34:00.001-08:002009-12-21T08:48:35.882-08:00Penumpang melonjakSetelah saya renungkan sekian lama sesudah Lebaran ini berlalu, ternyata berita-berita tentang mudik telah menipu saya, terutama mengenai penumpang bus di terminal dan <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); cursor: pointer;" class="yshortcuts" id="lw_1261412868_0">kereta api</span> di stasiun.<br /><br />Hampir semua berita yang disiarkan <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); cursor: pointer;" class="yshortcuts" id="lw_1261412868_1">surat kabar</span>, televisi, dan radio bahkan berita daring (dalam jaringan = online) di internet, sangat sering menggunakan kata "melonjak" dan "menumpuk". Saban tahun ketika masanya orang mudik Lebaran istilah ini sangat populer.<br /><br />Para wartawan mengatakan penumpang bus di terminal Pulogadung pada H-3 melonjak 10 persen dibanding tahun yang lalu. Tiap tahun penumpang itu melonjak 10 persen, artinya tahun yang lalu penumpang itu melonjak 10 persen dan tahun ini pun melonjak 10 persen lagi dibandingkan dari tahun yang lalu. Bisa dibayangkan, setiap tahun penumpang yang mudik Lebaran itu melonjak makin tinggi saja. Untuk apa mereka melonjak?<br /><br />Cobalah Anda pergi ke terminal Pulogadung. Di sana Anda akan ternganga-nganga keheranan, sebab para penumpang yang naik bus itu ternyata tidak melonjak. Mereka semuanya duduk tenang-tenang saja di dalam bus dan gerbong kereta. Mereka tidak melonjak, apalagi melonjak-lonjak. Paling-paling loyo kepanasan karena sumpek dalam ruangan sempit atau karena kecapaian.<br /><br /><span class="yshortcuts" id="lw_1261412868_2">Saya</span> semakin bingung, sebab rupa-rupanya yang dimaksudkan dengan "melonjak" sama artinya dengan meningkat. Lalu, apanya yang meningkat? Penumpang mau meningkat ke mana? Mungkin yang dimaksud adalah jumlah penumpangnya yang meningkat, tetapi kata meningkat tidak sama dengan melonjak. Kalau melonjak itu disebut pengandaian atau metafora, maka pengandaian ini menurut saya sudah menyimpang dari nalar.<br /><br />Melonjak adalah gerakan menaikkan tubuh ke atas dengan menggunakan dua kaki secara bersamaan sebagai tumpuan. <span style="background: transparent none repeat scroll 0% 50%; cursor: pointer; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" class="yshortcuts" id="lw_1261412868_3">Jadi</span>, misalnya kedua tangan Anda tidak dapat menggapai sesuatu yang tergantung di langit-langit rumah, Anda perlu suatu gerakan melonjak supaya sesuatu itu dapat Anda raih.<br /><br />Kata melonjak sebenarnya sama artinya dengan meloncat sebab gerakan ini menggunakan kedua kaki untuk melepaskan diri dari pijakan atau melambung ke udara. Yang membedakan, melonjak adalah gerak dari bawah ke atas, sedangkan meloncat biasanya dilakukan dari atas ke bawah. Gerakan meloncat dan melonjak dalam kasus ini hanya dalam pengertian yang dilakukan oleh manusia. <span class="yshortcuts" id="lw_1261412868_4">Kutu</span> dan kodok walaupun meloncat, lain lagi ceritanya sebab mereka tidak mudik.<br /><br />Dalam kasus ini saya tidak membicarakan soal kata "melompat" sebab tidak pernah digunakan oleh wartawan peliput berita di stasiun dan di terminal bus. Padahal, gerakan melompat inilah justru yang banyak dilakukan oleh para pemudik.<br /><br />Di Pulogadung, saya tidak melihat penumpang mudik itu melonjak ketika hendak meletakkan barang bawaannya di atas bus. Buat apa melonjak, sebab semuanya sudah terukur. Waktu naik bus pun mereka tidak melonjak, karena ada sudah tangga untuk berpijak. Paling-paling yang terlihat, mereka berdesak-desakan naik lewat satu pintu supaya dapat tempat duduk. Setelah melompat, mereka bergelantungan di jendela kereta api.<br /><br />Penumpukan<br /><br />Coba perhatikan siaran berita di televisi. Penyiarnya dengan lantang mengatakan telah terjadi penumpukan bus di dermaga Merak (Banteng) dan Bakauheni (Lampung). Padahal ketika gambarnya ditayangkan, tak terlihat sedikit pun penumpukan di dua dermaga itu. Semua kendaraan berjejer-jejer teratur atau tidak teratur memadati pelabuhan, tetapi tidak menumpuk.<br /><br />Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), "menumpuk" adalah menaruh sesuatu bersusun-susun, menimbun atau melonggokkan. Jadi, manalah mungkin polisi atau petugas bisa menumpuk bus-bus itu di pelabuhan.<br /><br />Di pelabuhan Tanjungpriok, penumpukan itu memang terlihat dengan jelas setiap hari. Yang menumpuk di situ bukan kendaraan mudik tetapi peti kemas. Peti kemas ini kalau tidak ditumpuk-tumpuk akan memakan tempat, sebab luas dermaga tidak sebanding dengan jumlah peti kemas.<br /><br />Dulu, kita kenal kata "jubel" dan "berjubel-jubel". Artinya penuh sesak, dan bisa menggantikan kata menumpuk dan melonjak. Tetapi, kata ini mungkin sudah menjadi mayat karena mati,<br />tidak digunakan lagi. Jadi, bus dan kendaraan pribadi berjubel-jubel memadati terminal pelabuhan Merak.<br /><br />Penggunaan istilah yang tidak tepat sering membingungkan, dan karena itu ada kesan<br />bahwa wartawan media massa itu sebenarnya bukan menyiarkan berita, mereka sedang menipu kita.<br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-28369854456970146892009-12-18T07:35:00.000-08:002009-12-18T08:12:56.005-08:00Ilmu peNGetahuanKata berimbuhan "pengetahuan" pastilah memiliki atau berasal dari kata dasar TAHU (bukan tempe). Orang menjadi tahu karena "mendengarkan dan menyaksikan". Sesuatu yang didengar kita sebut kedengaran dan yang disaksikan kita sebut kesaksian. Maka sesuatu yang telah diketahui pun kita sebut ketahuan.<br /><br />Dari kata dasar "dengar" akan turun kata "pendengaran", dan dari kata "saksi" akan turun kata "penyaksian". Maka sejalan dengan itu, dari kata TAHU sesungguhnya akan turun pula kata "penahuan".<br /><br />Lalu, dari mana turunnya kata "peNGetahuan"? Mungkin dari "ketahuan". Tetapi, dari kata kedengaran tidak pernah terbentuk kata berimbuhan "peNgedengaran" dan dari kata kesaksian pun tidak pernah turun kata "peNGesaksian".<br /><br />Jika saya melakukan penelusuran maka turunan kata-kata tersebut di atas sbb:<br /><br />1. Dengar --> pendengar --> mendengar(kan) --> pendengaran --> dengaran<br /><br />2. Saksi --> penyaksi --> menyaksikan --> penyaksian --> saksian<br /><br />maka,<br /><br />3. Tahu --> penahu --> menahukan --> penahuan --> tahuan<br /><br />Turunan kata pada butir (3), agaknya tidak berterima karena "penahuan" mungkin dimengerti sebagai kata berimbuhan yang turun dari kata dasar "nahu", yakni kata serapan dari bahasa Arab yang berarti 'tata bahasa", atau mungkin proses membuat tahu (sejenis makanan dari kedelai).<br /><br />Tetapi, kata berimbuhan "peNGEtahuan" pun sangatlah aneh di pikiran saya jika dia berasal dari kta KETAHU. Soalnya, saya tidak menemukan kata itu dalam KBBI edisi pertama sampai ketiga. Entahlah mungkin pada KBBI IV (saya belum memiliki kamus itu ketika tulisan ini saya buat).<br /><br />Kata yang sebentuk dengan "ketahu" kita kenal ada kata "KETEMU", tetapi kata itu agaknya bukan dari kata dasar "temu", sebab kata berimbuhan yang terjadi dari kata "ketemu" tak pernah menghasilkan bentukan atau sublema "meNGetemukan", atau "peNgetemuan".<br /><br />Karena itu, kata berimbuhan "peNGEtahuan" saya anggap sebuah bentuk penyimpangan tata bahasa. Jika kata itu benar diturunkan dari kata dasar TAHU maka seharusnya kita menyebut "Ilmu peNahuan" oleh sebab nasal N adalah fonem T yang diluluhkan.<br /><br />Jadi, hendaklah semua orang "menahui" , dan bukan 'mengetahui" .<br /><br />Umbu Rey<br /><br />Tanggapan Bung Yanwardi:<br /><br />Masalah yang diangkat Umbu kali ini kian memperlihatkan bahwa bahasa tidak dapat dirumuskan seperti ilmu pasti. Ada saja rumpang dalam pola-pola bahasa. Kita harus menyikapinya dengan bijaksana. Akan tetapi, sekalipun ada rumpang, tetap saja ada sebuah sistem yang bisa menjawab rumpang itu.<br /><br />Demikian pula untuk kasus kata "pengetahuan" . Sebenarnya, kata ini bukan pangkal masalahnya. Sudah sama-sama kita ketahui, kata benda (berafiks pe-/pe-an) dalam bahasa Indonesia umumnya diturunkan dari kata kerjanya (berafiks me-/me--kan/ -i).<br /><br />tulis-menulis- penulis-penulisa n-(tulisan)<br />buat-membuat- pembuat-pembuata n-(buatan)<br />amat-mengamati- pengamat- pengamatan- (amatan)<br />bunuh-membunuh- pembunuh- pembunuhan (ada rumpang)<br /><br />Kata "pengetahuan" diturunkan dari kata "mengetahui" . Yang menjadi masalah apa bentuk dasar dari kata "mengetahui" ? Kalau bentuk dasarnya "tahu", dari mana asal fonem /ng/? Andai merujuk pada KBBI IV, kita menjadi jelas: di halaman 1377, terdapat kata (sublema) "ketahu".<br /><br />Jadi, "ketahu" adalah kata jadian dari proses afiksasi (pengimbuhan) prefiks (awalan) "ke+tahu". Saya sendiri secara deskriptif tidak atau belum menemukan data kata "ketahu". Dalam idiolek saya, juga kata ini tidak terterima. Namun, saya yakin KBBI IV tidak asal mencatat kata ini. Pasti ada dasarnya.<br /><br />Dengan berasumsi bahwa kata "ketahu" terterima, kata "pengetahuan" menjadi tidak bermasalah. Kata ini juga memiliki "saudara" dalam bahasa Indonesia ragam standar, yakni ketua, kekasih, dan kehendak. Berikut pola hierarki kata-kata berprefiks ke- tersebut (kecuali kata kekasih, yang proses pembentukan katanya berhenti di sini).<br /><br />tahu-ketahu- mengetahui- pengetahuan<br /><br />tua-ketua-mengetuai -pengetua- (pengetuaan? )<br /><br />hendak-kehendak- mengehendaki (kata ini masih banyak ditemukan, bersaing dengan "menghendaki" ; harian "Sinar Harapan" masih menggunakannya, dan KUBI Poerwadarminta masih mencatatnya).<br /><br />Dalam paradigma kata berprefiks ke-, tampak banyak rumpangnya. Makna pe-an dalam "pengetahuan" adalah 'hasil dari perbuatan mengetahui'. Jadi, berbeda dengan makna konfiks "pe-an" yang umum, yakni 'proses dari verbanya'. Sebaliknya, makna pe-an di sini sama dengan makna sufiks (akhiran) -an, yakni 'hasil perbuatan verbanya' (tulisan, lukisan, buatan, amatan, dll).<br /><br />"Untunglah", makna (gramatikal) afiks pe-an, sebagaimana dalam pengetahuan (yakni 'hasil' ), memiliki "teman", yaitu dalam kata "penghasilan (saya)", "pendapatan (karyawan)", dan "pemasukan (pedagang)". Konfiks pe-an yang bermakna 'hasil' tampak dalam konstruksi (frasa) kepemilikan' dan konstituen yang mengikutinya merupakan subyek. Sebaliknya, "pe-an" yang bermakna 'proses' terdapat dalam konstruksi modifikatif dan konstituen yang mengikutinya merupakan obyek (pembunuhan mantan artis, penggosokan intan, pencemaran udara).<br /><br />Luar biasa memang masalah kata "pengetahuan" : satu kata memunculkan banyak keterkaitan. Belum lagi masalah pelesapan/peleburan fonem /k/ mengapa terjadi dalam "mengetuai" dan "mengetahui" , tetapi tidak dalam "memperkuat" dan "memperkencang" ? Padahal, kasusnya sama: ke- dan per- merupakan imbuhan dan /k/ dan /p/ adalah konsonan letup takbersuara. Ada komentar?<br /><br />Terima kasih Umbu yang telah membuka gerbang.<br /><br /><br />Tanggapan saya:<br /><br />Hehehe.., rupa-rupanya ada pula kata "ketahu". Bahasa Indonesia memang mengenal kata "ketua" dan "kehendak", serta "kekasih", tetapi dalam pikiran saya, dari bentuk kata "ketua" hanya turun kata "mengetuai" dan kata "kehendak" tidak menurunkan kata "meNGEhendaki" , sedangkan "kekasih" stop sampai di situ.<br /><br />Jikalau "ketahu" itu memang ada dalam KBBI IV maka "pengetahuan" tidaklah menjadi masalah. Cuma, dari mana datangnya "ketahu" itu perlu pula dicari jawabannya, soalnya saya belum pernah dengar.<br /><br />Barangkali yang perlu dibicarakan sekarang soal kata "kekasih" yang menurut pendapat saya (mungkin sekali) berasal dari bentuk kata ulang "(ber)kasih- kasih(an) ". Itu sebabnya kata "kekasih" tak pernah mendapat imbuhan me-kan(i) dan pe-an.<br /><br />Pembentukan awalan (?) ke + kasih --> kekasih tampaknya memiliki pola yang sama dengan kata berikut:<br /><br />Tua-tua --> tetua (orang tua-tua adat)<br />Tangga-tangga --> tetangga (rumah dulu selalu pakai tangga)<br />Daun-daun --> dedaunan<br />Pohon-pohon - -> pepohonan<br />Rumput-rumput --> rerumputan<br />Batu-batu --> bebatuan (yang ini lagunya Ebiet G Ade) dstnya.<br /><br />Dua tahun yang lalu dalam milis ini saya pernah membuka forum untuk membicarakan soal istilah "reruntuhan" pesawat. Saya tidak setuju dengan istilah itu karena pesawat terbang tidak pernah runtuh.<br /><br />Pesawat itu jatuh dari udara dan karena itu lebih tepat kita gunakan istilah "jejatuhan" untuk menyebut bangkai pesawat terbang yang hancur itu. Soalnya, sekarang ini sudah muncul pula kata "jejaring" yang mungkin berasal dari "jaring-jaring" .<br /><br />Maka, mulai sekarang bolehlah kita menggunakan istilah "lelongsoran" tanah karena di mana-mana terjadi banyak tanah longsor ketika hujan mulai turun dan gempa terjadi di mana-mana.<br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-25534238647487094692009-12-18T05:53:00.000-08:002009-12-18T08:13:45.114-08:00"--------," tukasnya.TUKAS. Ini kata apa? Sudah beberapa kali (mungkin) kata ini dibicarakan. Setiap kali dikeritik lebih banyak lagi penggunaannya disalahartikan. Kantor <span style="background: transparent none repeat scroll 0% 50%; cursor: pointer; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" class="yshortcuts" id="lw_1261144288_0">Berita</span> Antara, menurut pengamatan saya, paling kerap menggunakan kata TUKAS itu secara tidak tepat.<br /><br /> Kamus Besar <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); cursor: pointer;" class="yshortcuts" id="lw_1261144288_1">Bahasa Indonesia</span> (KBBI dengan jelas menerangkan bahwa TUKAS, atau MENUKAS adalah mendakwa (menuduh) dengan alasan yang tidak cukup atau asal menuduh saja.<br /><br /> Coba perhatikan kalimat langsung dalam berita hari Kamis (6/7) yang diturunkan Kantor Berita Antara berikut ini:<br /><br />"Kalau paket Rancangan Undang-Undang (RUU) baru selesai Januari 2008, itu masih tetap normal, tidak mengganggu tahapan pemilu," TUKAS Andi Yuliani Paris.<br /><br /> Kalimat dalam kutipan langsung di atas dimulai dengan kata KALAU. Itu berarti bahwa kalimat itu adalah sebuah pengandaian. <span class="yshortcuts" id="lw_1261144288_2">Jadi</span> jelas sekali kalimat itu bukan menuduh atau tuduhan. Dengan kata lain, Andi Yuliani tidak menuduh siapa-siapa dengan alasan yang tidak cukup.<br /><br />Lalu, mengapa wartawan Antara mengatakan "tukas" Andi Yuliani Paris? Penggunaan kata yang tidak tepat seperti ini dapat membuat kuping orang yang bernalar pastilah gatal karena dia bingung atau tidak mengerti.<br /><br />Kata di belakang kutipan langsung sepengetahuan saya tidak asal saja menggunakan kata yang kita sukai. Biasanya, yang umumnya digunakan adalah semua kata yang diawali dengan awalan ber-. Jadi, ada kata bertanya, berkata, berjawab, bersahutan, bertambah ...dstnya, itulah yang dapat kita gunakan menjadi: tanyanya, katanya, jawabnya, sahutnya, tambahnya,...dst.<br /><br />Itu sebabnya janggal sekali rasanya jikalau para wartawan dan para penulis novel seenaknya menggunakan kalimat langsung dalam kutipan seperti ini' " ------------," akunya, apalagi "batinnya", dan "jelasnya". Apanya yang jelas? Ganjil betul.<br /><br />Jikalau terpaksa saya hendak menulis kata "tukas" atau "jelas" untuk mengakhiri kalimat dalam kutipan langsung, biasanya saya menggunakan bentuk seperti ini , "-----------," katanya menukas, atau "--------------," katanya menjelaskan.<br /><br />Bentuk seperti itu saya gunakan karena tidak ada kata "bertukas, atau berjelas.<br /><br />Dewasa ini, dalam bentuk yang lain, bahasa Indonesia memang makin sering digunakan secara sembarangan, dan celakanya, jika di-Inggris-kan tentu akan membuat mata orang asing terbelalak karena tidak mengerti atau bingung. Kalimat <span class="yshortcuts" id="lw_1261144288_3">Indonesia</span> (yang banyak salahnya) biasanya diterjemahkan lurus-lurus saja menurut versi Indonesia. Persis seperti Tukul Arwana berbahasa Inggris di acara Empat Mata.<br /><br />"Jam terbang" diterjemahkan menjadi "fly watch". Di dalam istilah sepakbola, "main kayu" (maksudnya main keras, atau kasar) diterjemahkan menjadi "playwood". Waktu saya masih meliput olahraga bulutangkis dulu, <span class="yshortcuts" id="lw_1261144288_4">Susi Susanti</span> dan kawan-kawannya menerjemahkan "ibu kota" menjadi "mother city".<br /><br /> Negeri ini memang mempunyai kebiasaan berbahasa paling membingungkan di dunia. Hari ini (Kamis 6/7/007) <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); background: transparent none repeat scroll 0% 50%; cursor: pointer; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" class="yshortcuts" id="lw_1261144288_5">Presiden SBY</span> mengutip pernyataan mantan <span class="yshortcuts" id="lw_1261144288_6">Menteri Luar Negeri</span> <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); background: transparent none repeat scroll 0% 50%; cursor: pointer; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" class="yshortcuts" id="lw_1261144288_7">Amerika Serikat</span>, Collin Powell, yang mengatakan "Indonesia is the most misunderstood country in the world". Hehehe...mungkin yang dimaksudkannya, negara yang paling tidak bisa dimengerti di dunia.<br /><br /> Pak SBY mungkin sedang menukas dalam bahasa Inggris.<br /><br /> Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-51138399674674423412009-12-18T05:12:00.000-08:002009-12-18T05:43:26.078-08:00ParafrasaSuatu ketika, tepatnya awal Maret 2008, saya kembali dari acara diskusi bahasa di stasiun televisi RCTI Kebun Jeruk Jakarta. Pembicara dalam diskusi kecil itu adalah ahli bahasa dari Pusat Bahasa, Ibu Meity Qodratillah, yang menjadi ketua penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat.<br /><br />Kamus besar itu kemudian diberi nama KBBI Pusba (Pusat Bahasa) lantaran hampir semua kamus yang terbit kemudian, konon, sama persis isinya dengan kamus bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa.<br /><br />Ketika hendak pulang sehabis diskusi, saya menghantar Ibu Meity dengan menggunakan mobil pribadi saya. Dalam mobil itu ada juga teman lain ikut serta. Rupanya perbincangan dalam forum diskusi masih terus dilanjutkan dalam mobil.<br /><br />Ketika itu, Ibu Meity mengatakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV) akan diluncurkan bersamaan dengan Kongres Bahasa Indonesia Internasional di Jakarta bulan Oktober 2008. Pada kenyataannya, kamus itu terbit dalam tahun 2009 dalam bentuk luks dan harga yang selangit.<br /><br />Dalam mobil itulah Ibu Meity mengakui bahwa kata dasar PERHATI itu sebenarnya memang tidak ada. Dia mengatakan pula bahwa dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi terakhir, kata PERHATI tidak lagi dicantumkan sebagai lema dasar, tetapi tetap dimasukkan sebagai sublema di bawah kata dasar HATI.<br /><br />Ketika masalah itu saya tulis dalam milis guyubbahasa, tersebarlah kabar itu di media massa dan disambut hangat oleh anggota FBMM yang menentang kata "pemerhati dan memerhatikan". Seorang pengamat bahasa Indonesia memberikan tanggapannya dalam rubrik Kompas di bawah judul Parafrasa sbb:<br /><br /><span style="background: transparent none repeat scroll 0% 50%; cursor: pointer; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; font-style: italic;" class="yshortcuts" id="lw_1261141965_1">Saya</span><span style="font-style: italic;"> termasuk salah seorang yang paling lega mengetahui dari rubrik ini 4 April lalu bahwa entri perhati direncanakan dikeluarkan dari </span><span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); background: transparent none repeat scroll 0% 50%; cursor: pointer; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; font-style: italic;" class="yshortcuts" id="lw_1261141965_2">Kamus Besar Bahasa Indonesia</span><span style="font-style: italic;"> untuk edisi keempat nanti. Penggunaan bentuk memerhatikan telah lama bikin saya senewen. Saya sudah menulis </span><span style="font-style: italic;">ke mana-mana untuk meluruskan bentuk tersebut, tetapi tidak digubris.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;"> Terakhir, dalam pertemuan Forum Pembaca, Penulis, dan Peresensi Kompas di Hotel Santika, Bandung, tahun lalu, masalah yang sama sekali lagi sempat saya kemukakan. JS Badudu menasihati saya agar jangan berkecil hati.</span><br /> <br /><span style="font-style: italic;"> Malangnya, setiap kali saya menulis memperhatikan, oleh editor media massa tertentu selalu dikoreksi menjadi memerhatikan. Apa akal? Akhirnya saya menyiasati kejengkelan saya dengan tidak menggunakan kata memperhatikan lagi untuk sementara. Sebagai gantinya saya memilih </span><span style="font-style: italic;">bentuk pasif diperhatikan atau frasa memberi perhatian.</span><br /> <br /><span style="font-style: italic;"> Jika kita menulis menaruh perhatian alih-alih memperhatikan, itu disebut menggunakan parafrasa. Menaruh perhatian, misalnya, adalah parafrasa terhadap memperhatikan. Contoh lain: kata kalah bisa memiliki parafrasa mengalami kekalahan, menderita kekalahan, atau</span><br /><span style="font-style: italic;"> menelan kekalahan. Lantas mengapa penutur bahasa menggunakan parafrasa dan kapan?</span><br /> <br /><span style="font-style: italic;"> Parafrasa dipilih lantaran bentuk kata yang hendak dipakai diragukan atau ditentang kebenarannya. Ada saja orang, daripada pusing-pusing, lantas memilih parafrasa melontarkan kritik alih-alih mengritik, mengkritik, mengritisi, atau mengkritisi. Sulit menentukan memprogram atau memrogram? Pakai saja membuat program atau bentuk pasif diprogram!</span><br /> <br /><span style="font-style: italic;"> Parafrasa dipakai dengan pertimbangan untuk menghasilkan variasi. Normalnya, kata-kata yang sering muncul dalam komunikasi sehari-hari memiliki parafrasa. Tidak setiap kata atau frasa menyandang parafrasa. Mungkin perlu waktu sampai suatu kata mengalami pemunculan dengan frekuensi cukup kerap, barulah ia mendapatkan parafrasanya. Dengan semakin populernya sepakbola, misalnya, muncul beberapa parafrasa untuk mengungkapkan terjadinya gol, antara lain: membuat gol, mencetak gol, membuahkan gol, atau menghasilkan gol.</span><br /> <br /><span style="font-style: italic;"> Parafrasa menjadi pilihan apabila sebuah bentuk kata atau frasa dinilai terlalu vulgar. Ada saja orang berbudi pekerti halus yang merasa sungkan menggunakan kata mengusir sehingga ia memilih memakai parafrasa dipersilakan meninggalkan tempat atau dimohon mengosongkan </span><span style="font-style: italic;">tempat.</span><br /> <br /><span style="font-style: italic;"> Parafrasa juga untuk berindah-indah, bersopan-sopan, merendahkan hati, atau menyindir. Berjanji diperindah menjadi memadu janji, tetapi sesewaktu disiasati pula menjadi sindiran dalam bentuk frasa menebar janji.</span><br /> <br /><span style="font-style: italic;"> Akhirnya, bila kelak tidak ada lagi bentuk memerhatikan, sebaiknya bentuk pemerhati juga tidak dipakai lagi. Kata pengamat atau penilik (dari kata tilik --melihat atau mengawasi dengan sungguh-sungguh--) kiranya cukup pas diangkat sebagai alternatifnya. Kata memperhatikan </span><span style="font-style: italic;">pada satu sisi sebenarnya pantas pula sekaligus memadani concern, kata Inggris yang cukup digandrungi disisipkan penutur bahasa Indonesia kini dalam percakapan dan penulisan.</span><br /> <br /><span style="font-style: italic;"> LIE CHARLIE Sarjana Bahasa Indonesia</span>Nenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-21375959448176983642009-12-18T04:37:00.000-08:002009-12-18T05:10:55.363-08:00HATIIni kata hanya terdiri atas empat huruf yakni dua huruf mati (konsonan h dan t) dan dua huruf hidup (vokal a dan i). Maka terbentuklah kata HATI. Tetapi, kata ini pernah membikin bingung para anggota guyub bahasa di Forum Bahasa Media Massa (FBMM).<br /><br />Ketika lema (entri atau kata dasar) HATI ini diberi berimbuhan PERHATI dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga dicantumkan sebagai lema baru, meletuslah perdebatan sengit di milis guyubbahasa@yahoogroups.com. Hampir dua tahun lamanya kata ini diperdebatkan tetapi tak kunjung selesai, karena tidak mencapai kata sepakat. Akhirnya semua anggota diam, mungkin karena kecapaian.<br /><br />Kata PERHATI, konon, diciptakan oleh ahli bahasa yang bersemayam di Jalan Daksinapati Rawamangun Jakarta, dan dikukuhkan sebagai kata dasar atau lema. Maka berkoar-koarlah mereka dalam tayangan televisi dengan mengucapkan kata "pemerhati" dan "memerhatikan". Persoalan muncul ketika para ahli bahasa mengatakan "memerhatikan" adalah adalah sublema atau turunan dari kata PERHATI.<br /><br />Para pengamat bahasa pun uring-uringan, karena sudah ada bentuk sublema "memperhatikan" yang turun dari kata dasar HATI. Lalu, dari manakah asal kata "perhati" itu? Tak ada jawaban, tak ada penjelasan. Para pengguna bahasa pada umumnya berkata bahwa kata "perhati" sesungguhnya tidak ada. Mereka hanya mengenal kata dasar HATI, dan hanya ada kata berimbuhan "memperhatikan" yang turun dari kata dasar HATI itu. Bentuk turunannya sebagai berikut:<br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Hati -> berhati-hati -> memperhatikan -> perhatian</span><br /><br />Lalu, mengapa ada kata bentukan baru "memerhatikan" yang sesungguhnya juga berasal dari kata HATI? Saya sendiri sebenarnya setuju saja ada kata baru bernama PERHATI untuk memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Tetapi, pendapat saya "dibombardir" hampir seluruh anggota milis dengan argumen mereka masing-masing.<br /><br />Saya kutip tulisan seorang teman seguyub berikut ini:<br /><br />BENARKAH ADA KATA DASAR “PERHATI”?<br /><br />oleh Martinmosmarth<br /><br />DALAM RAPAT pengurus pusat Forum Bahasa Media Massa (FBMM) pada hari Selasa 14<br />Februari 2006, lagi-lagi terjadi perdebatan yang cukup sengit. Harap maklum, begitulah senantiasa terjadi bila para redaktur dan “pemerhati” bahasa berkumpul.<br /><br />Diskusi menjelang pembahasan agenda resmi ini, yang antara lain membahas program kerja tahun 2006, dimulai dengan pertanyaan: apakah kaidah “huruf awal k, p, t, dan s pada kata dasar akan luluh saat kata dasar tersebut mendapatkan awalan me” berlaku mutlak?<br /><br />Terus terang, saya menjawab dengan bersikukuh bahwa semestinya kaidah, apa pun itu, berlaku mutlak dan pengecualian hanya boleh ada dalam keadaan yang sangat khusus. Kalau tidak demikian, tata bahasa Indonesia tidak akan pernah berwibawa.<br /><br />Pertanyaan pun berlanjut dengan contoh praktis: apakah kata jadian “memperhatikan” itu harus luluh menjadi “memerhatikan” ? Lagi-lagi saya bersikeras bahwa tidak bisa begitu karena kata dasarnya “hati”.<br /><br />Salah satu teman pun dengan sigap membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (KBBI-3) dan membacakan lema tersebut per sub-entry, lalu ia berteriak lantang bahwa “memperhatikan” bisa luluh menjadi “memerhatikan” karena kata dasarnya “perhati”.<br /><br />Saya terhenyak, tapi penasaran: Benarkah ada kata dasar “perhati”? Kalau benar ada, kenapa kata itu tidak “bunyi” baik dalam perasaan maupun benak saya? (Dan: saya yakin demikian pula halnya dengan Anda!).<br /><br />Sesampai di rumah pada malam harinya, saya membuka KBBI-2 (cetakan kedelapan 1996). Kata dasar “hati” ada pada halaman 344 KBBI-2 senarai huruf “h” dalam dua lema: “hati” dan sublema “berhati” dan “sehati”, serta kata ulangnya “hati-hati”dengan sublema “berhati-hati” . Lho, kata jadian yang lain dari kata dasar “hati” pada ke mana?<br /><br />Aneh bin ajaib, saya baru mendapatinya pada halaman 754 KBBI-2 deretan huruf “p” pada lema “perhati” yang langsung disambung koma dan kata jadian “memperhatikan” , baru diikuti sublema “perhatian” dan “pemerhati”.<br /><br />Apa artinya lema “perhati, memperhatikan” dalam KBBI-2? Bagi saya, ini berarti kata dasar “perhati” itu “lema semu”, karena harus diikuti kata jadian “memperhatikan” supaya dia “bunyi” atawa bermakna. Dengan kata lain, tidak ada kata dasar “perhati”.<br /><br />Kalau sudah begini, saya pun terpaksa membuka kembali Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Bagian Pertama, W.J.S. Poerwadarminta (tjetakan ke-empat, 1966). Lema “hati” ada pada halaman 338-340, dengan urutan sublema: “berhati”, “(ber)hati-hati” , “memperhatikan” , “perhatian”, dan “perhatian! perhatian!”.<br /><br />Dan: pada KUBI, Bagian Kedua, sama sekali tidak ada lema “perhati”. Dengan kata lain, tidak ada kata dasar “perhati” dalam bahasa Indonesia.<br /><br />Tendy/Pikiran Rakyat:<br /><br />Kalau memang "perhati" bukan kata dasar (lema), mengapa pada KBBI III kata tersebut tercantum sebagai lema tersendiri? Lalu, mengapa pada KBBI IV kata itu akan dihapus?<br />Enggak yakin?<br /><br />Zulkifli Harahap:<br /><br />Kata "perhati" itu bukan lema semu tetapi kata dasar sekunder bentukan<br />dari kata dasar primer "hati." Itu kata GK. Per-hati-kan semua buku<br />tata bahasa yang ada sekalipun buku itu ditujukan utk pelajar SMA; dengan<br />mem-per-hati-kan-nya wawasan kita akan semakin meluas.<br /><br />Apollo Lase/Kompas:<br /><br />Salam guyub,<br /><br />Banyak kita temui surat kabar A menulis *memperhatikan* , surat kabar B bersikukuh memakai *memerhatikan* , surat kabar C menulis *memunyai,* sementara yang lain memilih *mempunyai* sebagai bentuk yang betul. Dan banyak hal lagi. Pembaca, termasuk saya, bingung dan barangkali ada yang menyelentuk, mengapa media massa tidak bisa sepakat untuk menyeragamkan istilah-istilah itu?<br /><br /> Abdul Gaffar Ruskhan/Pusat Bahasa:<br /><br />Ketidakseragaman itu terjadi karena cara pandang yang berbeda. Dalam KBBI memang ditemukan (bukan ditemui, seperti yang dikemukkaan teman yang "bingung" itu karena menemui objeknya insani) memerhatikan dengan meluluhkan huruf /p/. Di samping itu, ada pula yang tidak meluluhkannya.<br /><br />Saya pada dasarnya tidak sependapat meluluhkan huruf /p/ walaupun saya termasuk salah seorang penyusun KBBI. Ketidaksetujuan saya itu pernah saya tulis di dalam Rubrik Ulasan Bahasa Media Indonesia. Sekarang tulisan itu dapat dilihat dalam buku saya Kompas Bahasa Indonesia (2007) terbitan Grassindo. Memang banyak yang mengkritik saya. Bahkan, mengatakan saya tidak konsisten. Walaupun begitu, saya tetap mengatakan bahwa memperhatikan berasal dari kata dasar "hati", yang diberi imbuhan per-: perhati; yang merupakan bentuk sekunder dari hati. Karena itu, huruf /p/ tidak luluh.<br /><br />Memperhatikan dapat dianalogikan dengan bentuk lain: memperjuangkan, memperbaiki, mempersoalkan, mempermainkan, dsb. Di dalam Tata Bahasa Baku, "memper-" dikelompokkan ke dalam imbuhan gabung. Sebagai imbuhan gabung, huruf /p/ tidak luluh.<br /><br />Agar ada keseragaman, KBBI yang sedang direvisi tidak lagi mencantumkan lema pokok "perhati". Kata itu akan menjadi sublema dari "hati". Kata "memerhatikan" tidak akan ditemukan lagi dalam KBBI Edisi IV. Yang ada adalah "memperhatikan".<br /><br />Saya sebetulnya prihatin juga apabila semua imbuhan gabung "memper-" menjadi "memer-". Akan banyak kata yang menjadi "korban". Apa jadinya kata "memperjuangkan, memperbaiki, mempersoalkan, mempermainkan" menjadi <span style="font-style: italic;">memerjuangkan, memerbaiki, memersoalkan, memermainkan</span>. Dalam hal ini tidak perlu dipaksakan generalisasi kaidah peluluhan yang berakibat bahasa kita menjadi "aneh".<br /><br />Masalah "mempunyai" dan "memunyai" harus dilihat dari etimologinya. Kata dasarnya memang "punya". Namun, kata itu berasal dari "empunya". Kata "punya dan empunya" akhirnya menjadi kata yang bervariasi dan memiliki makna yang sama. Karena itu, pembentukan dengan awalan "meng-" menghasilkan bentuk mempunyai yang berasal dari "meempunyai". Dua huruf /e/ pada mempunyai menghasilkan peluluhan salah satunya. Dapat juga alasannya bahwa huruf /p/ tidak diluluhkan untuk memudahkan pelacakan asal-usul kata. Prof. Harimurti memberikan alasan seperti itu. Saya pun setuju dengan pendapat itu.<br /><br />Ini soal lain. Suatu ketika Pak TDA menanyakan padanan kata incumbent. Saya jawab, padanannya adalah <span style="font-weight: bold; font-style: italic;">"pejabat kini".</span> Ulasannya sudah dimuat di Media Indonesia. Pak TDA katakan, kan belum banyak yang tahu. Beliau usul agar semua tulisan saya yang dimuat pada Sabtu dalam "Ulasan Bahasa" Media Indonesia disebarluaskan melali milis guyub. Saya senang juga. Tapi, saya minta tanggapan teman-teman anggota, apakah akan saya miliskan atau dibaca saja dalam MI. Jika setuju, saya akan miliskan.<br /><br />Terima kasih.<br /><br />Riko Alfonso/Anggota milis guyubbahasa:<br /><br />Wah, seru juga membaca komentar mengenai keseragaman istilah ini. Saya jadi ingin pula menyumbang pendapat mengenai hal ini. Terutama dari penjelasan Pak Gaffar dari Pusat Bahasa.<br /><br />Pertama, saya sangat gembira mendapat info dari Pak Gaffar bahwa untuk KBBI Edisi IV kata "perhati" tidak lagi dijadikan lema pokok, tetapi menjadi sublema dari kata hati. Itu berarti Pusat Bahasa akhirnya mau memperbaiki kesalahan yang telah menimbulkan kebingungan di antara pengguna bahasa.<br /><br />Perlu diingat, bahwa kata perhati sudah dijadikan lema pokok sejak KBBI edisi II (saya tidak tahu pada KBBI edisi I, karena di perpustakaan kami KBBI edisi I sudah gak ada lagi). Karena hingga di edisi III kata itu juga tetap tidak mengalami perubahan, kami pun menyimpulkan bahwa Pusat Bahasa mengakui bahwa kata perhati itu adalah lema dasar, bukan sublema.<br /><br />Jadi kami para pengguna bahasa yang menaruh kepercayaan kepada Pusat Bahasa pun akhirnya mengikuti saja keputusan itu. Oleh karena itu, dalam penggunaannya dalam imbuhan, kata itu pun akhirnya harus kami sesuaikan dengan kaidah peluluhan dalam imbuhan: kata perhati berubah menjadi memerhatikan (p-luluh). Inilah yang menjadi alasan mengapa kami selalu meluluhkan kata perhati itu.<br /><br />Alasan Pak Gafar yang menyatakan tidak setuju kata perhati itu luluh sangat masuk akal. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa kata itu sampai bisa dicantumkan sebagai lema pokok dalam KBBI edisi II dan III? Siapa yang memutuskan/merumuskannya jika Pak Gafar sendiri menyatakan tidak setuju dengan hal itu meski ia termasuk dalam tim penyusun KBBI?<br /><br />Saya jadi curiga jangan-jangan ada kepentingan2 tertentu dari beberapa 'orang penting' di Pusat Bahasa yang sangat menginginkan kata perhati itu menjadi lema pokok. Ya, saya hanya berharap agar kejadian serupa ini tidak terulang lagi dalam KBBI edisi IV. Bahwa kepentingan2 lain harus dikesampingkan dulu saat para anggota tim menyusun KBBI. Buatlah KBBI yang terbaik dan tidak menimbulkan kerancuan di kalangan penggunanya.<br /><br />Lalu, masalah "mempunyai dan memunyai". Saya baru tahu ternyata kita harus pula memperhatikan etimologi sebuah kata untuk menggunakannya secara tepat dalam imbuhan, terlepas kata itu sudah dianggap sebagai kata dasar. Selama ini saya hanya mengangap bahwa jika kata itu adalah kata dasar, ia akan mengalami peluluhan jika huruf awalnya /k,p,t,s/ dan mendapat imbuhan. Jadi saya menganggap kata punya itu diperlakukan sama dalam imbuhan (p-luluh), seperti halnya kata pukul, percaya, atau putus.<br /><br />Saya juga heran mengapa pembentukan dengan awalan me- untuk empunya menjadi "meempunya", dan bukan "mengempunya". Saat saya lihat di KBBI edisi III, kata "empu" dan "empunya" memang ada di sana. Ketika mendapat awalan, kata empu berubah menjadi mengempu, bukan meempu.<br /><br />Jika dianalogikan sama, kata empunya seharusnya menjadi mengempunya bila mendapat awalan, bukan meempunya (dengan dua huruf /e/). Dengan demikian saya menilai memang tidak ada bentuk meempunya itu. Yang ada ialah mengempunya.<br /><br />Saya melihat dalam KBBI kata punya tidak 'diakui secara penuh' menjadi sebuah kata dasar. Sebab ia diperlakukan tidak sama seperti kata dasar berawalan /p/ lainnya saat bertemu dengan awalan. Hal inilah yang menjadi pangkal ketidakseragaman pemakaian kata punya ini.<br /><br />Saya jelas kurang setuju dengan pernyataan Pusat Bahasa atas 'kekhususan' kata 'punya' ini. Sebaiknya tentukan dengan tegas, apakah 'punya' ialah kata dasar atau tidak. Jika ya, perlakukanlah kata 'punya' ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika tetap dianggap berasal dari kata empunya, penulisannya bukan menjadi mempunyai, melainkan "mengempunyai". Namun sampai masalah ini jelas, ya ada baiknya kawan-kawan menggunakan kata lain yang maknanya sama dengan 'punya'. Kata milik, misalnya.<br /><br />Wassalam<br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-87256094823236977572009-11-29T13:10:00.000-08:002009-11-29T13:35:26.648-08:00InvestasiInvestasi. Apakah ini kata dari bahasa Belanda? <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); cursor: pointer;" class="yshortcuts" id="lw_1259528855_0">Saya</span> tidak tahu, soalnya dalam bahasa Inggris juga tidak saya temukan kata "investation" atau 'investasion" . Saya periksa Kamus Webster's Third New International Dictionary yang tebalnya minta ampun, tetapi tidak saya temukan juga kata itu.<br /><br />Dalam Kamus Webster (bahasa Inggris) itu hanya ada kata "investment" yang kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan penanaman uang/modal. Lha, kenapa kata itu kok terserap jadi "investasi"?<br /><br />Ini sebenarnya masalah lama atau "zadul". Sebelum KBBI edisi ketiga muncul, kata "investasi" ini sudah dibahas juga di Kantor Berita Antara bersama Prof Dr Anton M Moeliono. Tetapi, tetap saja kata itu tertera, lantaran mungkin, kamus ini hanya merekam ucapan yang sudah lazim terucap dalam masyarakat.<br /><br />Biasanya kita menyerap kata Inggris yang berakhir dengan "sion" dan "tion" itu menjadi "isasi, sasi, atau si: ke dalam bahasa Indonesia. Demikian pula semua kata berakhiran "ment" yang kita serap dari bahasa Inggris akan menjadi "men" dalam bahasa Indonesia.<br /><br />Ini contohnya:<br /><br />communication --> komunikasi<br />adminstration --> administrasi<br />depression --> depresi<br />television --> televisi<br />dst<br /><br />Lalu:<br /><br />management --> manajemen<br />parliament --> parlemen<br />department --> departemen<br />compartment --> kompartemen<br />amendment --> amendemen<br />commitment --> komitmen<br /><br />Seturut dengan itu, maka kata "investment" seharusnya kita serap menjadi "invesmen". Mengapa kok jadi "investasi"? Soalnya anggota milis ini nggak satu pun berani bilang "invesmen" dan kebanyakan malu-malu menerjemahkan kata itu dengan penanaman modal.<br /><br />Padahal, sebuah lembaga di bawah Departemen Keuangan bernama BKPM, singkatan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan bukan Badan Koordinasi Investasi (BKI). Jadi, daripada menggunakan "investasi" mengapa tidak kita gunakan saja "penanaman modal".<br /><br />KBBI Pusba yang baru terbit ternyata tidak juga mencatat "invesmen". Kamus ini tetap konsisten dengan investasi. Barangkali ini sebuah pengecualian, tetapi saya menggugat karena tidak sejalan dengan proses penyerapan kata sebagaimana lazimnya.<br /><br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-72568780665056358412009-11-29T12:55:00.000-08:002009-11-29T13:06:43.980-08:00Idulfitiri jatuh pada hari HMenurut kalender resmi tahun Masehi, hari Idulfitri tahun 2008 jatuh pada hari Rabu 1 Oktober 2008 . Pada kenyataannya tidak ditulis demikian lantaran para pejabat berwenang dan para wartawan justru terbiasa menuliskan Idulfitri itu jatuh pada hari H.<br /><br />Dalam kalender nasional nama hari yang kita kenal adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Cuma ada tujuh hari, dan tidak ada hari H.<br /><br />Entah mengapa disebut hari H, saya tidak paham benar. Setelah tanya sana tanya sini, saya mendapat jawaban bahwa hari H itu ada lantaran orang atau pejabat dan wartawan suka latah. Konon, hari H itu muncul sebagai terjemahan D-Day dalam bahasa Inggris.<br /><br />Arti huruf D dalam D-Day itu tidak ada yang pasti. Kamus <span class="yshortcuts" id="lw_1259527664_0">Wikipedia</span> mengatakan D-Day dapat juga berarti Day of Days. Istilah ini semula hanya digunakan di kalangan militer saja. Mungkin itu sebabnya D-Day lalu diterjemahkan menjadi Hari H. Cuma, istilah militer itu lalu dipakai juga untuk hari keagamaan, jadi ganjil juga rasanya.<br /><br />Kebetulan sekali --mohon maaf sekali-- Idullfitri tahun 2008 jatuh pada 1 Oktober (jika ditetapkan demikian) bersamaan dengan peristiwa kudeta berdarah tahun 1965 yang dilakukan oleh PKI pimpinan Aidit. Tanggal 1 Oktober 1965 itu adalah D-Day penculikan tujuh jenderal oleh PKI, dan karena itu disebut Gestok atau Gerakan <span class="yshortcuts" id="lw_1259527664_1">Satu</span> Oktober. Tetapi, pemerintah <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); background: transparent none repeat scroll 0% 50%; cursor: pointer; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" class="yshortcuts" id="lw_1259527664_2">Orde Baru</span> pimpinan <span class="yshortcuts" id="lw_1259527664_3">Soeharto</span> menyebut D-Day PKI terjadi pada 30 September dan karena itu disebut G-30 S/PKI atau Gerakan 30 September.<br /><br />Ada sebagian orang yang mengatakan D- adalah singkatan dari kata (Inggris) Decision. <span style="background: transparent none repeat scroll 0% 50%; cursor: pointer; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" class="yshortcuts" id="lw_1259527664_4">Jadi</span>, D-Day adalah hari penentuan atau hari yang ditetapkan. Kalau demikian, huruf H dalam hari H itu singkatan dari kata apa? Ya, sudahlah, biarkanlah begitu.<br /><br />Yang menjadi masalah kemudian adalah, apakah hari H itu cuma sehari, ataukah dua hari karena Idulfitri ditetapkan jatuh pada tanggal 1 dan 2 Oktober 2008. Tahun yang lalu (2007) dalam milis ini pernah juga disinggung secara singkat perkara hari H itu lantaran penggunaannya terserah pada yang menyebutnya. Jadi, mana suka sajalah. Yang bingung orang yang baca.<br /><br />Kantor Berita Antara cenderung mengatakan hari H itu adalah tanggal 1 dan 2 Oktober. Jadi, H-1 (baca: Ha min satu) adalah "satu hari sebelum" tanggal 1 Oktober, dan H+1 (baca; Ha plus satu) adalah adalah "satu hari setelah" tanggal 2 Oktober.<br /><br />Mengapa begitu, karena tidak ada ketentuan yang menetapkan bahwa hari H itu cuma sehari di lembaga ini. Artinya, boleh dua hari dan boleh juga tiga hari. Nah, yang bikin pusing, hari Idulfitri itu menurut ketentuan agama ada berapa harikah?<br /><br />Jika Idulfitri itu jatuh pada hari Rabu 1 Oktober (tahun Masehi) maka hari dan tanggal itulah yang disebut hari H, dan karena itu Kamis 2 Oktober merupakan masa libur tambahan.<br />Menurut saya, agaknya ada salah pengertian mengenai hari H yang merupakan hari yang ditetapkan, dan hari H yang merupakan masa Lebaran atau liburan Idulfitri.<br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5778553587812081104.post-29160374180053349542009-11-29T12:18:00.000-08:002009-11-29T12:37:18.462-08:00Matahari dan beasiswaDulu ketika masih Sekolah Rakyat (SR), seingat saya kata "matahari" itu ditulis terpisah lantaran terdiri atas dua kata yakni "mata" dan "hari" sebagaimana kita menulis <span class="yshortcuts" id="lw_1259525280_0">mata</span> air, mata hati, mata pisau, mata kaki, dan mata rantai.<br /><br />Sekarang ini "mata hari" (tercatat dalam kamus KBBI edisi ketiga) sudah menjadi lema sendiri dan penulisannya diserangkaikan menjadi "matahari", tetapi mata air, mata kaki, mata hati, mata pisau, dan mata rantai tetap saja dipisahkan penulisannya sampai sekarang.<br /><br />Dua kata yang digabungkan itu terbentuk dari dua lema yang berlainan arti tetapi kemudian menghasilkan sebuah pengertian baru. Mungkin itulah yang disebut gabungan kata, tetapi saya tidak tahu persis.<br /><br />Ada dua kata lain yang usianya lebih muda daripada mata air dan mata kaki, tetapi entah sejak kapan sudah ditulis serangkai seperti kita menulis "matahari". Yang saya maksudkan adalah kata "bea" dan "siswa". Dalam KBBI edisi ketiga saya temukan kata ini sudah menjadi lema sendiri menjadi "beasiswa" dan dianggap satu kata saja, tetapi <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); cursor: pointer;" class="yshortcuts" id="lw_1259525280_1">bea cukai</span> dan bea meterai tetap ditulis terpisah.<br /><br /><span class="yshortcuts" id="lw_1259525280_2">Saya</span> tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk meneliti mengapa "matahari" dan "beasiswa" itu ditulis serangkai. Di dalam buku Tata Bahasa Baku <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); background: transparent none repeat scroll 0% 50%; cursor: pointer; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" class="yshortcuts" id="lw_1259525280_3">Bahasa Indonesia</span> (1988) hal mengenai proses penyerangkaian kata gabungan tidak saya temukan penjelasannya.<br /><br />Setelah berpikir cukup lama sampai hampir pusing, akhirnya saya menemukan alasannya menurut rekaan saya sendiri. Kata "matahari" diserangkaikan penulisannya mungkin sekali karena alasan berikut:<br /><br />(1) matahari sudah merupakan sebuah nama benda, dan<br />(2) matahari adalah benda yang di dunia ini cuma ada satu, atau dengan perkataan lain, tidak dapat dijumlahkan dengan pengulangan kata-katanya.<br />(3) karena dianggap satu kata menurut konsensus umum<br /><br /><span class="yshortcuts" id="lw_1259525280_4">Mata hari</span> tidak dapat kita jumlahkan dengan proses pengulangan kata-katanya seperti kita menyebut "mata-mata hari" lantaran penjumlahan itu tidak akan menghasilkan mata hari yang lebih dari satu. Karena itu, nama sang surya itu kita tulis serangkai saja menjadi "matahari".<br /><br />Tetapi,<br /><br />Mata air, mata pisau, mata kaki, dan mata rantai adalah istilah atau sebutan (dan bukan nama benda) yang tiap-tiap kata dalam kata gabungan itu dapat kita jumlahkan dengan proses pengulangan kata awalnya sehingga menghasilkan jumlah yang lebih dari satu.<br /><br />Kita dapat mengatakan mata-mata air, mata-mata kaki, mata-mata pisau, dan mata-mata rantai untuk menyatakannya lebih dari satu jumlahnya (banyak).<br /><br />Sehubungan dengan butir (1) dan (2) di atas, maka saya menarik kesimpulan bahwa kata gabungan "kerja sama" dan "<span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); cursor: pointer;" class="yshortcuts" id="lw_1259525280_5">sepak bola</span>" haruslah kita tulis serangkai menjadi "kerjasama" dan "sepakbola". Dua kata ini tidak dapat kita jumlahkan sebab sudah merupakan nama dan tidak dapat dijumlahkan. Bandingkan dengan kata "olahraga" yang telah ditulis dalam KBBI edisi ketiga menjadi satu kata saja.<br /><br />Ada banyak kerjasama di bidang ekonomi atau di bidang politik antarnegara, misalnya, tetapi kata "kerjasama" itu tetaplah satu. Kita tidak lazim mengatakan kerja-kerja sama di bidang ekonomi.<br /><br />Sejalan dengan itu, sepakbola itu pun di dunia ini adalah nama sebuah permainan di lapangan hijau dengan dua tim yang masing-masing terdiri atas 11 pemain yang saling berhadapan dan mengejar-ngejar bola untuk dimasukkan ke gawang lawan. Kita juga tidak lazim mengatakan "sepak-sepak bola", lantaran permainan itu hanya ada satu saja. Karena itulah permainan itu mestinya kita serangkaikan penulisannya menjadi "sepakbola" saja. Kata itu adalah terjemahan dari bahasa Inggris "football" (satu kata saja).<br /><br />Yang mengherankan saya, mengapa KBBI menganggap istilah "beasiswa" itu sebuah lema yang penulisannya diserangkaikan pula padahal kata itu adalah gabungan kata "bea" dan "siswa" yang tiap-tiap katanya dapat kita jumlahkan menjadi bea-bea siswa.<br /><br />Bukankah kata <span style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204); cursor: pointer;" class="yshortcuts" id="lw_1259525280_6">bea siswa</span> itu sama dan serupa dengan bentuk gabungan kata yang lain seperti "beha siswi"? Mungkin belum dianggap gabungan kata.<br /><br />Umbu ReyNenek Moyanghttp://www.blogger.com/profile/13583822327277195468noreply@blogger.com1