Senin, 10 Agustus 2009

Musim haji

Mengapa orang menyebut "musim haji"? Setahu saya, musim adalah waktu tertentu yang bertalian dengan keadaan iklim. Setidaknya, begitulah kata KBBI Edisi keempat. Karena itu di Indonesia hanya ada dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Kadang-kadang kita sebut musim dingin dan musim panas.

Di luar negeri ada pula musim gugur, musim semi, dan musim salju yang semuanya itu ada karena pertaliannya dengan keadaan iklim. Musim itu bukan peraturan manusia dan tidak bisa dikendalikan oleh kegiatan manusia.

Waktu masih di Sekolah Dasar di kampung, Pak Guru bilang musim hujan itu hanya datang masanya menuruti nama bulan yang berbunyi "er" atau "r". Maka hujan pun turun pada bulan September, Oktober, November, Desember, Januari, Februari, Maret, dan April.

Musim kemarau akan terjadi pada bulan Mei, Juni, Juli, dan Agustus. Dulu begitu selalu, tetapi karena pergolakan alam kadang-kadang terjadi penyimpangan. Sehubungan keadaan iklim itu maka buah-buahan, dan bunga pun muncul mengikuti aturan alam. Karena itu ada musim durian, dan ada pula pula musim rambutan dan duku.

Tentu saja tidak selalu begitu, sebab ada pohon dan atau tanaman berbuah tanpa musim, dan karena itu tidak ada musim kelapa dan musim pisang sebab tanaman itu muncul sepanjang tahun. Mugkin itulah yang disebut penyimpangan.

Alam juga mengatur tata hidup fauna atau dunia hewan, sehingga ada binatang hanya bertelur pada musim tertentu saja pada setiap tahun, sedangkan anjing hanya kawin pada bulan Mei dan Oktober setiap tahun ketika bulan terang pada malam hari. Ayam dan bebek kalau kawin kapan saja.

Musim pun tidak mengatur kegiatan manusia sebab manusia bisa menentang alam. Karena itu orang kawin tak perlu pakai musim, asal dua jenis kelamin manusia sudah berahi maka jadilah perkawinan. Itu sebabnya lahir manusia setiap hari dan setiap bulan saban tahun.

Menurut amatan saya, dewasa ini kata "musim" itu tak dapat lagi dibedakan lagi dari kata "masa". Muncullah istilah musim liburan, musim haji, musim lefa, musim tanam, dan musim panen, dan musim-musim yang lain.

Ketika hujan mulai turun para petani bergegas turun ke sawah atau ke ladang untuk bertanam. Kegiatan manusia yang melakukan pekerjaan tanam itu sebetulnya tidak dapat disebut "musim tanam", dan ketika sampai waktunya untuk memetik buah, maka kegiatan itu tak dapat pula disebut "musim panen".

"Lefa" adalah istilah dalam bahasa daerah di Kabupaten Lembata, khususnya Lamalera di NTT yakni kampungnya pakar bahasa Indoesia Gorys Keraf. "Lefa" adalah masa ketika para nelayan turun ke laut memburu ikan paus yang dimulai pada bulan Mei sampai bulan Oktober saban tahun. Kegiatan perburuan itu biasanya dimulai dengan misa kudus di tepi laut menurut kepercayaan Katolik.

Pada masa "lefa" itu, ikan paus yang kedinginan di kutub utara biasanya turun ke selatan mencari tempat yang panas di selatan atau sebaliknya. Dalam perjalanannya, paus-paus itu mengikuti jalur di Selat Ombai --antara Pulau Timor dan Kepulauan Alor- - dan bermain-main tak jauh dari patai Lamalera di selatan Pulau Lembata. Di perairan Lamalera itulah terjadi perburuan ikan paus dalam masa "lefa" itu.

Menurut KBBI, musim adalah waktu tertentu yang bertalian dengan keadaan iklim. Jadi, kalau tak bertalian dengan keadaan iklim, maka bukan musim namanya. Arti yang selanjutnya dalam kamus itu sebenarnya adalah rekaman dari kebiasaan orang mengucapkan kata "musim" secara salah kaprah.

"Masa" menurut KBBI adalah waktu, ketika, atau saat. Anak sekolah yang berlibur, dulunya disebut "pakansi" dan kalau pegawai negeri mengambil masa istirahat karena sakit atau mudik, disebut "perlop". Dua kata ini diserap dari bahasa Belanda. Sekarang ini "pakansi" sudah diganti dengan "libur" dan "perlop" diganti dengan "cuti".

Libur dan cuti adalah masa, sebab waktunya telah ditentukan oleh peraturan manusia, dan bukan karena kehendak alam atau iklim. Karena itu "libur" atau "cuti" bukanlah musim, karena masa libur itu ditentukan oleh peraturan Depdiknas, bukan karena keadaan iklim.

Demikian pula orang yang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci itu bukanlah kehendak alam atau karena pengaruh iklim, tetapi karena ditentukan oleh peraturan agama pada bulan Zulhijah menurut penanggalan Arab.

Karena itu pula ibadah haji bukanlah musim haji, karena merupakan kegiatan manusia mengikuti tata ibadat pada masa yang sudah ditentukan. Maka seharusnya kita mengatakan "masa liburan, masa berhaji, masa tanam, masa panen atau masa petik buah".

Tanggapan dari Zulkifli Harahap <zulk_har@yahoo. com>
Date: Thursday, July 16, 2009, 8:37 AM

Umbu SANGAT-SANGAT JELAS KELIRU, setidaknya menurut Kamus Bahasa Indonesia 1983 (KBI 83). Di situ tercantum arti 4: waktu atau masa ketika suatu kegiatan (permainan, dsb) banyak terjari atau sering berlangsung: musim layang-layang, musim durian; arti 3: waktu (ketika ada suatu peristiwa): musim gerombolan masuk desa.

Ada lagi arti 2: bilangan waktu tertentu (tiga bulan, empat bulan, dsb) ketika buah-buah atau hasil bumi lain banyak menghasilkan: musim panen. Oleh sebab itu di situ ada sublema "musim haji" waktu atau ketika orang2 menunaikan ibadah haji (pada bulan Zulhijah). Dengan demikan contoh TDA benar analog dengan arti 2."

Dengan KBI 83 pula "musim panen bersamaan dengan musim nikah di daerah itu" benar adanya; "musim panen" berdasarkan arti 2 dan "musim nikah" berdasarkan arti 4: "musim nikah" artinya waktu ketika orang-orang di daerah itu sudah kenyang, gizi tinggi, yang harus disalurkan; salah satunya ya ... kawin yang halal alias nikah.

Semoga penambah bagi yang kekurangan.

Zul

Jawaban saya:

Pada awalnya, ketika menulis pendapat tentang "musim haji" ini saya telah menyatakan "mungkin saya keliru". Tetapi, kalau Anda menyebut "Umbu SANGAT-SANGAT JELAS KELIRU", hehehe..., justru pernyataan Anda itulah yang mungkin keliru.

Kan saya sudah bilang..., KBBI III dan IV telah mendukung pendapat saya, bahwa musim itu adalah "waktu tertentu yang bertalian dengan keadaan iklim". Karena itu ada musim hujan ada musim kemarau. Itu saja. Jadi kalau tidak bertalian dengan keadaan iklim, bukan musim namanya itu, Bung!

Saya telah mempertegas pendapat saya bahwa sesuatu yang muncul menurut iklim atau keadaan alam, atau keadaan cuaca akan terjadilah demikian tanpa campur tangan manusia, sebab iklim itu tidak bisa diatur manusia. Maka buah duren atau durian itu akan muncul pada waktu yang ditentukan oleh iklim, demikian juga rambutan dan sebagainya. Pisang dan kelapa berbuah sepanjang tahun, itu pun diatur alam atau iklim, bukan aturan manusia.

Saya teringat kata Pak Yus Badudu pada acara pembinaan bahasa Indonesia di TVRI lebih kurang 30 tahun yang lampau, yang mengatakan arti kamus yang sebenarnya adalah yang disebut pertama. Arti yang lain yang disebut kemudian itu (arti ke-2, 3, 4 dst) adalah arti yang bersinonim, yang berkembang kemudian.

Arti yang berkembang itu mungkin sekali adalah kebiasaan penyebutan salah kaprah yang direkam begitu saja oleh kamus karena sudah berulang-ulang disebutkan oleh khalayak ramai dalam kurun waktu tertentu. Maka jadilah sebuah kata mempunyai arti lebih dari satu (polisemi), yang belum tentu sama persis artinya.

Dari sejak dulu kala sampai dengan KBBI Edisi ketiga terbit pada tahun 2002, kata "penggalangan" itu hanya berhubungan dengan pembuatan perahu atau kapal, tetapi sekarang sudah berkembang menjadi "penggalangan dana" yang diartikan sama dengan "mengumpulkan, mencari" dana. (KBBI IV).

Jadi, kalau Anda merujuk ke arti yang kedua, ketiga, dan keempat, dst pada Kamus Bahasa Indonesia (KBI tahun 1983)..., lha kok jauh amat mencari padanannya? Arti yang Anda sebutkan dalam tanggapan Anda itu pun ada dalam KBBI IV. Di situ ada musim haji ada pula musim duren, ada pula musim mangga.

Saya justru ingin mencoba meluruskan penggunaan kata "musim haji" itu. Singkat kata, haji itu bukan duren, bukan mangga, bukan pula rambutan. Lha, mengapa disamakan saja penyebutan waktunya. Haji kok disamakan saja dengan duren. Macam mana?

Sekarang orang terbiasa lagi menyebut "musim liburan" (sekolah). Lha, kalau murid-murid sekolah itu kembali belajar setelah liburan usai, apakah Anda sebut juga "musim sekolah" atau "musim belajar"? Nanti malam ketika orang sudah sangat penat karena bekerja seharian, maka tidurlah mereka itu. Waktu tidur itu apakah kita sebut itu "musim tidur"!?

Saya lebih suka berkata "sudah waktunya untuk tidur" dan bukan "sudah musimnya untuk tidur!" Dan lagi, tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah, begitu kata Obbie Messakh. Pengarang lagu itu tidak mengatakan "musim-musim di sekolah".

Setiap kata mestinya diletakkan pada tempatnya.

Umbu Rey

Seorang polisi tewas lagi

Kata lagi tertera dalam KBBI dan diberi banyak arti. Baiknya saya kutip dari KBBI daring seperti berikut:

(1). adv sedang (dl keadaan melakukan dsb); masih: jangan berisik, ayah -- tidur;
(2) adv tambah sekian (atau sedemikian) pula: tunggu sebentar --;
(3) adv kembali (berbuat dsb) spt semula; berulang spt semula; pula: kemarin sudah menonton, sekarang hendak menonton --;
(4) p dan; serta; juga: anak itu pandai -- rajin; istrinya muda, cantik, -- kaya;
(5) p partikel yg dipakai untuk menekankan kata atau kalimat yg mendahuluinya
(mengandung makna; sama sekali, betul-betul, amat sangat, dsb): kekejaman tentara penjajah sungguh tak terkatakan --; penderitaan rakyat Kamboja sudah tidak tertahan --;

Harian Umum KOMPAS pada halaman muka hari ini (14/7/09) menulis judul dengan kalimat sbb:

SEORANG POLISI TEWAS LAGI

Judul berita ini membuat saya agak bingung karena penggunaan kata "tewas lagi". Menurut pendapat saya, semua arti yang tertera dalam KBBI tidak memenuhi maksud kata lagi dalam kalimat itu.

Arti kata lagi yang disebut pada butir (2) KBBI di atas rasanya masuk akal jika menunjukkan jumlah yang tewas. Jadi, "tewas lagi" memberikan arti bahwa yang tewas itu tambah sekian, sehingga jumlah yang tewas menjadi sekian.

Tetapi, kata "tewas lagi" dalam kalimat judul berita di atas agaknya membatalkan arti pada butir (2) KBBI sebab yang tewas itu hanya ada satu orang polisi. Jadi, kalau seorang polisi tewas lagi, maka yang mati itu tidak akan bertambah banyak, sebab cuma seorang polisi itu saja yang mati.

Arti yang tersebut pada butir (3), yakni "kembali (berbuat dsb), berulang seperti semula, agaknya janggal juga kedengarannya, sebab kata "tewas" bukanlah perbuatan atau keadaan yang dapat diulang. Tewas dalam konteks ini sama artinya dengan mati. Polisi itu tewas dan bukan menewaskan. Jadi, mungkinkah "seorang polisi" tewas dua kali karena dia mengulangi lagi perbuatan tewas? Rasanya tidak masuk akal.

Kata lagi dalam kalimat di bawah ini mungkin berbeda maknanya:

(a) - Seorang lagi polisi tewas
(b) - Seorang polisi lagi tewas
(c) - Seorang polisi tewas lagi

Kalimat pada butir (a) menerangkan bahwa jumlah polisi yang tewas bertambah satu. Kalimat pada butir (b) menerangkan bahwa polisi itu tidak "sedang" tewas tetapi menunjukkan bahwa yang tewas itu tak lain adalah seorang polisi dan bukan seorang nelayan. Dengan pengertian lain, tadi polisi tewas dan sekarang polisi lagi yang tewas.

Kalimat pada butir (c) sama sekali tidak masuk akal. Kalimat seperti ini sama saja dengan "almarhum meninggal dunia". Orang mati tidak bisa mati dua kali.

Seorang teman mengusulkan kalimat "lagi, seorang polisi tewas" tetapi tidak saya masukkan sebagai bentuk lain dari kalimat menggunakan kata lagi. Itu kalimat khas jurnalistik surat kabar yang disusun antara lain supaya indah secara tipografis. Tetapi, kalau kalimat contoh kalimat itu kita tilik dari sudut tata bahasa, jelas keliru atau lebih tepat tidak lazim.

Jurnalistik Kantor Berita pada umumnya tidak menggunakan kalimat seperti itu, demikian juga radio dan televisi. Kantor Berita, radio dan televisi biasanya memulai kalimat judul dengan subjek, lalu predikat, kemudian objek secara taat asas.

Saya belum pernah mendengar penyiar radio dan televisi menyebut pokok berita, "Lagi, seorang polisi tewas". Saya pikir semua pendengar atau pemirsa akan bingung mendengar kata "lagi" di depan subjek kalimat itu. Apa itu lagi?

Kalau kalimat "lagi, seorang polisi tewas" dibenarkan, maka kita juga akan membenarkan kalimat berikut:

1. Hanya, seorang polisi tewas
2. Saja, seorang polisi tewas
3. Juga, seorang polisi tewas

Dalam surat kabar, kalimat judul yang dimulai dengan kata "lagi" biasanya diikuti dengan tanda baca koma (,) dan itu biasanya dibuat pada berita lanjutan (follow-up story). Kata "lagi' yang diikuti tanda koma itu menerangkan bahwa peristiwa yang sama dan sudah diberitakan sebelumnya, terjadi pula sekarang.

"Lagi, seorang polisi tewas" adalah kalimat (khas surat kabar) yang sengaja dibuat menyimpang dari asas tata bahasa untuk menarik perhatian.

Dalam milis ini dua tahun yang lalu saya telah menulis juga soal kalimat judul koran yang bentuknya begini: "Pemudik Dua Kali Ditarik Ongkos". Bagi saya, kalimat itu sama sekali tidak jelas. Tetapi begitulah koran. Orang awam "terpaksa" mengerti.

Umbu Rey