Ini nama sebuah lembaga atau kantor, maka sebenarnya tak
usahlah dipersoalkan mengapa dia bernama Pegadaian. Sama seperti teman saya si Mulyo,
tak perlulah kita persoalkan mengapa dia bernama begitu, meskipun ditilik dari
persoalan kaidah bahasa mestinya namanya dipanggil Mulia. Bukankah orang Batak
juga bernama Todung Mulia Lubis?
Lha, bapaknya itu anak kan
orang Jawa, maunya dikasih nama Mulyo,
lantas kita mau bilang apa? Terserah dialah!
Akan tetapi nama Pegadaian
masih pantas kita gugat dari sudut pandang tata bahasa, lantaran kantor itu sudah
milik umum yang menyangkut masalah penggandaian atau gadai-menggadai. Lagi pula,
kata “pegadaian” sudah menjadi konsensus umum dan masuk pula dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Di dalam kamus kata pegadaian diberi arti tempat bergadai, atau rumah gadai. Itu
yang jadi masalah.
Motonya disebutkan dalam iklan televisi dan spanduk di
mana-mana “mengatasi masalah tanpa masalah”, tetapi bertahun-tahun saya gelisah
lantaran kata “pegadaian” justru telah menimbulkan masalah yang tak teratasi di
benak saya. Meski dapat mengatasi masalah tanpa masalah, kantor itu ternyata hanya
dapat mengatasi masalah penggandaian saja. Anda
tak akan mungkin mengatasi konflik politik atau masalah dugaan korupsi
di proyek pembangunan pusat latihan atlet Hambalang lewat Kantor Pegadaian.
Bagi saya, nama Pegadaian itu perlu pula kita atasi juga sebab
telah melanggar kaidah tata bahasa. Orang yang menggandaikan barangnya ke situ boleh
saja “cuek bebek” dengan nama kantor itu, sebab bagi mereka yang penting dapat uang
dengan cara yang mudah dan cepat. Tetapi sampai sekarang saya tetap saja bingung
mendengar nama itu. Kenapa bingung, karena saya bukan bapaknya si Mulyo.
Kantor Pegadaian adalah tempat rakyat jelata (kebanyakan
kaum tidak mampu) menggadaikan barang miliknya lantaran hampir setiap saat “kepepet
duit” akibat keperluan mendadak. Mereka lalu
menyerahkan barang-barang miliknya yang paling berharga untuk ditukar dengan
uang dengan nilai yang pantas. Rakyat jelata meminjam uang ke bank agak susah
karena tak punya harta berupa tanah atau mobil sebagai jaminan atau agunan.
Maka yang paling cepat menolong mereka adalah Pegadaian.
Di Pegadaian orang boleh menggadaikan barang miliknya apa
saja, dan sebentar kemudian juru taksir menentukan berapa nilai uang yang akan diberikan
kepada si penggadai. Si penggadai pun pulang dengan hati lega. Dalam waktu yang
ditentukan kalau barang tidak bisa ditebus atau dilunasi, maka barang yang
digadaikan itu akan dilelang. Yang tak bisa menebus barang gadaiannya pasrah
saja kalau barang tak kembali, sebab masalah utama yakni terbebas dari beban
“kepepet duit” untuk keperluan mendesak sudah teratasi. Pada umumnya barang
gadaian dapat ditebus karena angsuran pengembalian sangat ringan.
Andai kata di dunia ini ada badan keuangan resmi bernama
Dana Pegadaian Internasional (DPI) rasa-rasanya Republik Indonesia tak perlu kesulitan
membayar subsidi BBM untuk rakyat tak mampu. Hubungi saja DPI, lalu gadaikan Pulau Jawa beserta dengan segala isinya di
dalam dan di atasnya. Pulau Jawa ditaksir sekian dolar, oke sajalah, dolar pun kita
terima. Sampai batas waktunya, bisa ditebus kembali. Kalau tidak bisa ditebus,
selesailah masalahnya, karena kita telah mengatasi masalah tanpa masalah. Itu
lebih baik daripada pulau Sipadan dan Ligitan dicomot begitu saja oleh negara
jiran tanpa proses penggadaian. Rugi kita, sebab tidak dapat duit.
Yang mungkin tak bisa diatasi Pegadaian adalah masalah cinta
yang tergadai, sebab cinta bukan barang konkret yang bisa ditaksir dengan nilai
uang. Orang –biasanya laki-laki—yang
cintanya tergadai mungkin bisa stres dan gelisah tak bisa tidur selama
tiga hari tiga malam dan mengomel-ngomel sampai seminggu karena uang belanja tekor.
Gaji sebulan ludes habis untuk ongkos berpacaran.
Itu mungkin sebabnya Gombloh menciptakan lagu “Kugadaikan
Cintaku”. Habis mendengar lagu kesayangannya di radio, pukul tujuh dia apel ke
rumah sang pacar. Eh, si pacar kelihatan di depan mata sedang duduk berdua-duaan
dengan lelaki yang lain lagi sambil bercium-ciuman. “Mimpi apa aku semalam?”
katanya. Begitulah cinta Gombloh telah tergadai, dan tak mungkin bisa ditebus
di Kantor Pegadaian.
Suatu ketika dua orang sahabat bercanda dalam senda gurau.
Bertanyalah seorang di ataranya, mengapa di dalam masjid tidak ada organ. Maka
sahut temannya, “Sandal jepit saja hilang …apalagi organ.” Sahabatnya itu
kebetulan beriman Kristen, dengan serta merta membalas, mengapa pada hari Natal semua Kantor
Pegadaian ditutup. Jawabnya, “….sebab pada hari Natal Sang Penebus telah datang.” Akh, mosok
Dia datang untuk menebus barang-barang gadaian.
Itu soal gadai-menggadai dan tergadai. Nama Pegadaian itu
dapatlah dipastikan, atau tentulah berawal dari kata “gadai”. Dari kata dasar
“gadai” akan muncul kata kerja aktif “menggadai” atau “menggadaikan”. Proses
menggadaikan itu kita sebut “penggadaian”. Maka seharusnya kita sebut kantor
itu Kantor Penggadaian, karena telah
terjadi proses menggadai di situ. Lalu mengapa kantor itu disebut “Pegadaian”?
Jangan-jangan “Pegadaian” telah kehilangan huruf /ng/ karena telah tergadaikan dan tidak bisa
ditebus.
Meminjam uang dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan
disebut juga “bergadai’. Sekarang ini kata “bergadai” tidak lagi terdengar atau
terucapkan orang banyak. Kata “bergadai” akan memunculkan kata
berimbuhan “mempergadaikan” dalam arti membuat atau memaksa orang untuk
bergadai (karena kepepet uang juga). Karena itu tempat orang bergadai mestinya disebut Kantor Pergadaian, dan bukan Pegadaian. Sebagai bandingan, tempat bermukim itu kita sebut “permukiman” dan tempat berlindung kita sebut perlindungan.
Rupa-rupanya kata “pegadaian” itu pun telah kehilangan huruf
/r/. Mungkin juga karena telah tergadai dan tidaka pernah ditebus. Sebab itu
orang banyak menyebutnya kini sebagai Kantor Pegadaian saja. Sialnya, KBBI dan kamus KUBI (Kamus Umum Bahasa
Indonesia) di lemari buku saya hanya mencatat kata pegadaian sebagai kesepakatan umum, tetapi di situ tidak tercantum kata
pergadaian. Jikalau ada kata “bergadai” maka haruslah ada “pergadaian”. Salah kaprah, tetapi kita
mau bilang apa?
I. Umbu Rey