Kamis, 11 Desember 2008

Kurban, korban, atau qurban?

Kadang-kadang saya bingung ketika menjelaskan perbedaan kata "kurban" dan "korban"? Waktu belajar di SD dulu, Pak Guru mengatakan tak ada bedanya kedua kata. Sama saja maknanya seperti kita menyebut "telur" dan "telor".

Mengapa kedua kata itu sama saja artinya, kata Pak Guru, karena fonem "u" dan "o" itu sedaerah artikulasi. Menurut saya, Pak Guru saya itu salah besar kalau alasannya begitu, sebab di dalam Gereja Katolik ada istilah "kurban misa" yang sekarang disebut misa "ekaristi" atau ibadat misa kudus dengan pembagian roti tak beragi. Tidak ada istilah "korban misa".

Di dalam Gereja Protestan tidak ada istilah "kurban misa". Acara ritual mingguan di dalam gereja atau di tempat-tempat tertentu biasanya disebut "kebaktian rohani". Acara yang serupa dengan "tablig akbar" dalam agama Islam, di dalam Gereja Protestan disebut "Kebaktian Kebangunan Rohani" disingkat KKR. Biasanya diadakan di tempat-tempat terbuka supaya dapat dihadiri banyak orang.

Istilah "korban" dalam Gereja Protestan mengandung pengertian" Anak Domba Allah yang mati untuk menebus dosa manusia". Maaf, saya tidak omong masalah agama, dan kalau saya keliru mohon dikoreksi.

Yang hendak saya bicarakan adalah kebingungan saya ketika rekan-rekan di tempat saya bekerja menanyakan perbedaan kedua kata itu sehubungan dengan hari raya Iduadha beberapa waktu yang lalu.

Kata "kurban" yang berhubungan dengan ritual agama Islam itu di mana-mana ditulis dengan huruf awal "q" sehingga menjadi "qurban", dan bukan "kurban" atau "qorban" apalagi "korban". Mungkin itu dimaksudkan untuk membedakan "kurban" dan "korban" meskipun makna kata itu toh sama saja.

Sayangnya, kata "qurban" itu dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga tidak tercantum (tidak ada), lantaran kata itu memang tidak berterima. Saya menjelaskan kepada rekan sekantor bahwa "kurban" itu serupa dengan misa dalam Gereja Katolik atau sama dengan persembahan atau 'sacrifice' dalam bahasa Inggris, sedangkan "korban" adalah orang yang terkena musibah atau "victim" dalam bahasa Inggris.

Jadi, dalam hubungan dengan ritual agama Islam maka yang benar adalah "kurban" (sacrifice) dan bukan "korban". Ketika saya membuka KBBI, ternyata penjelasan saya keliru sama sekali.
Makna kata "korban" dan "kurban" itu sebenarnya sama saja, persis seperti kata Pak Guru saya di kampung, dan KBBI pun mendukung hal itu.

Ini buktinya:

kur·ban n 1 persembahan kpd Allah (spt biri-biri, sapi, unta yg disembelih pd hari Lebaran Haji): ia menyembelih kerbau untuk --; 2 pujaan atau persembahan kpd dewa-dewa: setahun sekali diadakan upacara mempersembahkan -- kpd Batara Brahma; -- misa Kat upacara mempersembahkan roti suci dan minuman anggur; ber·kur·ban v mempersembahkan kurban;

me·ngur·ban·kan v 1 mempersembahkan sesuatu sbg kurban: ada yg ~ lembu, ada pula yg ~ buah-buahan; 2 membuat (menyebabkan) orang lain menjadi kurban

kor·ban n 1 pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, dsb; kurban: jangankan harta, jiwa sekalipun kami berikan sbg --; 2 orang, binatang, dsb yg menjadi menderita (mati dsb) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dsb: sepuluh orang -- tabrakan itu dirawat di rumah sakit Bogor;

ber·kor·ban v 1 menyatakan kebaktian, kesetiaan, dsb; menjadi korban; menderita (rugi dsb); 2 memberikan sesuatu sbg korban: kami rela ~ demi kejayaan nusa dan bangsa;

me·ngor·ban·kan v 1 memberikan sesuatu sbg pernyataan kebaktian, kesetiaan, dsb: dia bersedia ~ hartanya untuk perjuangan kemerdekaan bangsanya; 2 menjadikan sesuatu sbg korban; pe·ngor·ban·an n proses, cara, perbuatan mengorbankan.

Jadi apa bedanya "korban", "kurban" dan "qurban"? Supaya makna kata itu jangan dikelirukan dengan cara penulisannya, mengapa acara ritual agama itu tidak kita sebut saja dengan istilah "hari raya persembahan" dan bukan hari raya kurban, atau hari raya korban.

Dalam upacara ritual itu hewan kambing, domba, dan sapi mungkin dapat disebut korban telah disembelih, tetapi itu bagian dari upacara yang dimaksudkan juga untuk persembahan kita kepada Tuhan.

Umbu Rey

Selasa, 09 Desember 2008

Semoga amal ibadahnya diterima Tuhan?

Setiap kali ada teman, kerabat, dan sahabat meninggal dunia, ramailah di milis-milis orang menyampaikan ucapan turut berdukacita. Maksud ucapan belasungkawa itu tentulah untuk ikut besedih hati karena kita tidak akan pernah lagi bersua dengan almarhum. Kita bersedih karena mengenang perbuatan amal baiknya, jasanya, dan betapa indah hari-hari ketika kita bercengkerama dengan almarhum atau almarhumah yang tidak akan pernah lagi terulang kembali.

Ucapan belasungkawa itu lazimnya selalu disertai dengan perkataan atau kalimat begini: "SEMOGA AMAL IBADAHNYA DITERIMA OLEH ALLAH SWT".

Sudah berkali-kali ada teman atau keluarganya meninggal dunia, tetapi saya tidak pernah menyampaikan ucapan ikut berdukacita dalam milis. Saya lebih suka pergi ke tempat atau rumah duka (jikalau ada kesempatan) untuk melayat sembari berdoa (dalam hati saja) di depan jenazah, dan sekalian mengiring peti mati ke tempat kediaman yang terakhir.

Penggalan kalimat "SEMOGA AMAL IBADAHNYA DITERIMA OLEH ALLAH SWT" bagi saya terasa amat sangat janggalnya. Kata "semoga" sama dengan "mudah-mudahan" dan mengandung pengertian bahwa seseorang mengharapkan sesuatu yang tidak pasti, atau belum tentu terwujud.

Frasa "semoga diterima Allah SWT" juga berarti kita mengharapkan Tuhan kiranya menerima amal ibadah yang diperbuat oleh orang yang meninggal itu ketika masih hidup. Dengan ucapan "semoga" itu seakan-akan ada tersirat pengertian bahwa "amal ibadah" yang telah diperbuat manusia semasa hidupnya belum tentu diterima Tuhan, dan karena itu kita berdoa agar Allah SWT menerimanya.

Amal ibadah sesungguhnya adalah perbuatan baik, dan menurut saya, dan pastilah itu diterima oleh Tuhan, sebab amal ibadah itulah yang dikehendaki Tuhan selama manusia hidup di dunia. Selama hidup di dunia manusia dianjurkan agar banyak-banyak berbuat amal dan terus beribadah. Begitulah kata-kata nasihat bijak dari orang alim ulama yang saya dengar di teve.

Karena itu, ketika seseorang telah meninggal dunia maka tidak perlu lagi kita mengucapkan "semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT"sebab Tuhan pastilah akan menerima semua perbuatan baik yang dilakukan manusia. Jadi, apalah gunanya kita mengucapkan doa pengharapan untuk perbuatan yang sudah pasti diterimaTuhan? Mubazir itu. Itu cuma kata basa-basi yang tidak logis.

Saya mencoba menarik perhatian teman di dekat saya, ketika menulis kalimat ini: "TURUT BERDUKACITA SEMOGA DOSA-DOSANYA DIAMPUNI OLEH TUHAN YME". Menurut saya inilah kalimat yang masuk akal untuk mengucapkan turut berdukacita kepada hadai taulan yang telah meninggal dunia.

Tetapi, teman saya cepat bereaksi dan dengan nada tiinggi mengatakan"Akh..., kau menghina temanmu sendiri!" Dia mengatakan, dengan ucapan itu saya menuduh teman sendiri seakan-akan telah melakukan dosa selama hidupnya.

Ada kebisaan aneh di kalangan oranb beragama, menurut saya, ketika mendoakan orang yang telah pergi menghadap Tuhan, dan karena ingin menghormati teman yang sudah meninggal itu, maka yang baik-baik saja yang kita kemukakan di hadapan Tuhan dan orang yang melayat. Dari sebab itu muncul salah kaprah "semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT".

Tidak pernah saya mendengar orang mengucapkan riwayat hidup seseorang yang telah meninggal dunia, bahwa dia pernah berselingkuh dengan bini temanya sendiri, atau melakukan korupsi dalam masa jabatannya. Uang negara telah dikurasnya bermiliar-milar rupiah banyaknya untuk memperkaya dirinya sendiri.

Menurut saya, sekalipun seorang pendeta atau pastor meninggal dunia, maka wajiblah kita mendoa agar dosa-dosanya diampuni Tuhan. Sebab, semua orang yang hidup tanpa kecuali tentulah bedosa. Itu pasti.

Tetapi, ucapan "semoga amal baiknya diterima oleh Allah SWT" jangan-jangan merupakan ucapan keragu-raguan juga, lantaran orang yang pada masa hidupnya berselingkuh dan berbini sepuluh lalu melakukan korupsi besar-besaran pun dipandang oleh sebagian orang sebagai perbuatan baik.

Umbu Rey

Dominus vobiscum

Ini orang, manusiakah atau mesinkah? Badannya yang tinggi menurut ukuran wartawan di Kantor Berita Antara memperlihatkan kesan kurus kerempeng. Kerja tidak pernah berhenti, meskipun hanya dengan satu tangan. Namanya Zainal Samsuddin, tetapi orang memanggilnya Encing.

Kalau bicara suaranya pelan dan halus seperti orang berbisik meskipun mungkin dia sedang marah. Kadang-kadang kita tidak bisa mengerti kata-katanya dengan sekali mendengar. Itu sebabnya orang di sekitarnya bilang, si Encing ini tidak ada bedanya dengan Sri Paus Yohanes Paulus II. Encing bicara pelan dengan suara serak sangat lemah seperti orang kena parkinson atau penyakit tua.

Dari dulu dia memang selalu begitu. Kalau sebatang rokok terjepit di bibirnya, makin susah kita menangkap kata-katanya. Tetapi yang keluar dari dalam lubuh hatinya tiada lain dari ketulusan untuk memajukan sesama wartawan. Dia tidak pernah bicara yang kotor-kotor, juga tidak pernah mencela, tetapi kritikannya sangat tajam menukik.

Dalam setiap kali diskusi atau mengobrol soal apa saja, pembicaraan akan selalu membelok ke soal berita, kalimat berita, pemilihan kata, soal logika, dan masalah mengapa lembaga ini tidak pernah maju. Tiap hari ketika masuk kantor, manusia yang satu ini akan selalu tampak. Hampir tidak pernah dia libur. Pukul satu pagi wartawan sift malam pulang ke rumah, Encing masih tetap memelototi layar komputer.

"Saya tidak tega melihat ada berita bagus muncul di layar komputer. Sayang dilewatkan dan terbuang menjadi sampah, Mbu. Itu berita harus segera dibuat dan disiarkan. Jadi, mesti saya kerjakan. Begitu, Mbu!"demikian kata-kata Encing yang masih saya ingat.

Coba tanya, mengapa dia harus kerja sampai larut dan mengapa tidak dibiarkannya saja berita itu terbung. Dia kejar jumlah honor? Ternyata tidak. Kredit poin apalagi. Padahal honornya tidak lebih besar dari gaji pokok saya. Zaman dulu tidak ada sistem kredit, dia memang selalu begitu. Kalau ditanya mengapa kerja ngotot, jawabannya selalu begini, "Saya kerja karena hobi, Mbu!"

Kerja itu adalah hobi, kesenangan, dan jika itu kita lakukan gaji tidak pernah jadi masalah. Hobi itu adalah kenikmatan kerja, dan di situlah kebahagiaan yang kita dapatkan, begitu kata Encing. Model kerja seperti Encing mengingatkan saya akan hobi yang pernah saya lakukan ketika masih di kampung dulu. Saya pergi ke laut lepas dengan sampan kecil, kadang-kadang seorang diri untuk memancing. Tidak ada target berapa uang yang akan saya kumpulkan dari hasil memancing. Seekor ikan ekor kuning pun kalau sudah menyangkut di ujung kail, senangnya bukan main.

Saya belum pernah satu kali pun mendengar kata "gaji" atau "honor" keluar dari mulutnya. Orang ini tidak pernah mengeluh berapa gaji yang dia terima sebagai honorer tiap bulan. Pokoknya kerja. Kalau orang ramai-ramai omong masa depan soal gaji, dia malah diam atau menghindar, seakan-akan itu tidak penting bagi dia.

Sudah lebih dari 20 tahun saya mengenal Encing, dan baru benar-benar akrab ketika saya masuk dalam jajaran Redaksi Olah Raga tahun 1992. Pada tahun1993, ketika Marskel Pertama Handjojo Nitimihardjo (almarhum) menjabat pemimpin umum, kami berangkat ke Singapura untuk meliput peristiwa multi-lomba dan tanding dalam pesta Olah Raga Asia Tenggara SEA Games. Bersama kami ikut pula mantan kepala biro Surabaya, Indro, lalu ada Audy Mirza (pewarta foto), dan Teguh Handoko.

Sebagai orang paling senior dalam peliputan itu, dia tidak pernah bekerja dengan mengucapkan kata-kata. Pagi-pagi dia sudah lebih dulu mandi dan siap berangkat ke stadion. "Mbu, siap, kita ke Stadion. Makan dulu di warung Padang."

Di Stadion, tiba-tiba dia menghilang, dan sebentar kemudian di muncul dengan setumpuk data dan hasil wawancara. Tiba-tiba sudah lima berita terkirim lewat laptop. "Mbu, tadi saya bikin sepuluh berita dan satu pumpunan!" Itu kalimat pukulan buat saya, sebab saya merasa ketinggalan. Esok saya balas dengan jumlah yang sama, satu pumpunan. Dia tersenyum.

Pukul 24.00 waktu Singapura biasanya kami baru pulang ke tempat penginpan. Masuk hotel sebentar dan keluar lagi cari makanan. Pada malam menjelang pagi di Singapura, tidak ada lagi warung terbuka, maka tidak ada pilihan untuk mengisi perut menjelang tidur. Seratus meter dari hotel kami menginap hanya ada satu restoran milik orang India. Nasi tentu saja tidak tersedia, maka yang kami makan tiada lain "rotiprata".

Orang India itu bilang roti prata sebenarnya kue basah mirip dengan martabak tetapi tidak diberi gula. Makan pun terasa hambar, dan supaya bisa masuk kerongkongan dengan lancar, harus didorong dengan sekaleng minuman. Tetapi si Encing saya lihat lahap benar. Roti selebar piring nasi itu cuma tiga kali saja masuk mulut, lalu tertelan setelah didorong dengan segelas air putih.

Di hotel si Encing cuma omong sedikit, lalu ada saja yang dia ketik.Tiba-tiba dia sudah tertidur. Dia tengkurap, kepalanya hilang di bawah bantal, celana panjang masih dikenakannya. Setelah sampai ke Tanah Air, roti prata itulah yang selalu jadi kenangan.

Kesuksesan kerja meliput SEA Games di Singapura seakan-akan dibayar dengan kenikamatan roti prata. "Mbu, cari roti prata, mana ada di Jalan Sabang," begitu selalu Encing berseloroh. Setiap kali menyebut roti itu, wajahnya riang sekali, bibirnya merekah melebar seperti roti prata. Saya selalu mengolok-olok dia dengan menyebut dia Encing Prata.

Ini orang asal dari mana, saya tidak tahu. Sekolahnya pun di mana sayatidak tahu persis. Tetapi, semua sudut stadion Gelanggang Olah Raga (Gelora) Bung Karno dari timur ke barat dan sejarahnya semua terekam di kepalanya. Semua sudut gelanggang (tempat main bola kaki), sudah dihapalnya di luar kepala. Ukuran dan jumlah kursi dan semua detil stadion itu diketahuinya.

Konon, ketika stadion itu dibangun pada awal tahun 1960-an Encing sudah bekerja di sana. Ketika saya meliput sepak bola pada tahun 1992 sampai tahun 1995, banyak masukan saya peroleh dari si Encing ini. Kalau saya bilang mau wawancara tokoh olah raga terkenal pada zaman 1960-an, si Encing selalu membantu.

Tiba-tiba seorang pelari marathon keturunan India bernama Gurnam Singh sudah berada di kantor. Dia panggil dengan biaya sendiri. Maka lancarlah saya mewancarai pelari yang pernah mengharumkan namaIndonesia pada tahun 1962 dalam Asian Games itu. Besoknya, hampir semua koran pelanggan Antara menulis di rubrik olah raga dengan judul besar-besar: GURNAM SINGH INGIN BANGKIT LAGI.

Diskusi bahasa yang saya adakan setiap minggu selalu dihadiri Encing. Diskusi bahasa dan jurnalistik paling enak memang dengan Encing. Selalu sejalan dan mengena pada sasaran. Setiap kali menyunting atau menerjemahkan berita olah raga, dia sempat juga mengoreksi berita-berita watawan yunior dari semua meja sunting. Setumpuk berita dalam kertas yang jika disusun mencapai setengah meter penuh dengan koreksiannya, coretan-coretannya. Ini salah, dan seharusnya begini. Sayangnya, tak seorang pun pejabat memperhatikan usahanya untuk memperbaiki bahasa berita Antara.

Suatu saat kami (ada beberapa orang) berdiskusi serius di ruang tamu. Kami membicarakan masalah karut-marut bahasa Indonesia dan jurnalistik di lembaga ini. Setiap orang mengemukakan masalah, argumen dan pemecahan. Tak ada kata sepakat. Dalam suasana perdebatan tanpa moderator itu, si Encing angkat bicara.

Inilah kalimatnya yang selalu saya kenang," Eh, tahu nggak kenapa Antara ini tidak pernah bisa maju? Kita ini enggan mencontoh kerja orang Kristen atau orang Barat. Di Kantor berita ini tidak ada Ora et Labora. Kita kebanyakan sembayang, tetapi hampir tidak pernah melaksanakan sesuatu."

Pada suatu saat di malam hari, saya kebetulan bertugas sebagai redaktur bertanggung jawab atau RBT. Diskusi bahasa berlanjut ke soal maju mundurnya Antara. Saya melihat Encing sangat kecewa ketika kemajuan tidak pernah terwujud. Dia kelihatan lelah sekali. Kasur lipat yang dibelinya di arena parkir Monas seharga Rp50 ribu adalah temannya sepanjang malam.

Dia menggelar kasur itu di kolong meja dan sekejap sesudah itu, seperti malam-malam sebelumnya, dia tidur tengkurap. Kebiasaannya memang begitu. Beberapa bulan sesudah diskusi itu saya mendengar kabar Encing terjatuh (entah di mana), dan dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto. Saya tidak sempat menjenguk dia di sana. Sebulan kemudian dia tertatih-tatih, tangan kanannya telah mati, tidak bergerak. Tiga tahun lamanya sejak terjatuh pada tahun 2005, Encing bekerja melanjutkan hobinya membuat berita, meski hanya dengan tangan kirinya. Berapa jumlah berita yang dia hasilkan? Luar biasa, sama seperti ketika tangannya masih normal.

Kursi di pojok kiri Rekdaksi Olah Raga setelah dia terkena serangan stroke seakan-akan tempat sangat terpencil baginya. Meski banyak orang lewat di situ, tidak seorang pun menegur dia, dan nyaris tak seorang pun menghampirinya di situ. Encing terus saja menunduk-nunduk dan mendongak-dongak di situ sedangkan telunjuknya menekan tombol di papan komputer.

Biarpun tak seorang menyapa dia, hampir saban hari dia memanggil saya, sekadar untuk memperlihatkan kesalahan berita yang ditulis reporter. "Umbu, nama Presiden SBY diganti lagi. Coba lihat di VSAT," saya terpaku, tidak bisa bilang apa-apa. Para pejabat kita pun tidak menghiraukan pekerjaannya.

Hari Jumat tanggal 23 Mei saya tidur di kursi kantor karena penyakit maag yang menggerogoti perut saya sejak lama. Sayup-sayup saya mendengar orang-orang di kantor bicara seperti berbisik-bisik. Encing meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto pukul 17.45 WIB. Saya tertegun, diam, tak bisa mengucapkan kata-kata. Semua masalah karut-marut bahasa dan jurnalistik sudah kami bicarakan, tetapi satu hal yang ini tidak pernah saya ucapkan, "Encing, jangan merokok!" Itu mungkin penyebab ajalnya.

Kursi tempat dia duduk setiap hari, sekarang sudah telantar. Sampai alrut malam ketika masih ada di kantor, saya tak melihat arwahnya "nangkring" di situ. Kursi itu masih tetap kosong melompong. Encing sudah pergi mendahului kita, dan menunggu kita di tempat penantian.

Dominus vobiscum.

(Ditulis tanggal 26 Mei untuk mengenang Encing)

Umbu Rey

Kamis, 27 November 2008

Tanah longsor diamankan

Pada tulisan yang lalu saya sudah menjelaskan masalah tentang kata berimbuhan "mengamankan". Saya juga mengatakan kata "aman" itu tidak lagi digunakan sebagai metafora untuk menghaluskan pengertian atau eufemisme. Dengan kata lain, "aman" haruslah digunakan dalam pegertian bebas dari bahaya, bebas dari gangguan, terlindung dari bahaya, tenteram.

Berita dari Bojonegoro tentang tanah longsor di bawah ini sangat membingungkan, dan sialnya disunting oleh wartawan senior yang pernah memimpin biro. Dia seharusnya cermat menyunting dan tidak asal melepas berita dengan alasan apa pun.

Saya tak hendak menuduh orang dengan pengertian yang bukan-bukan, atau melecehkan orang melalui milis ini, sebab tulisan yang saya kritik di bawah ini sudah tersiar lewat VSAT. Artinya, kita boleh berasumsi bahwa berita ini sudah dibaca orang.

Bukankah kita sudah bertekad untuk menjadi kantor berita kelas dunia? Begitu kita melepaskan satu berita, maka nama lembaga Kantor Berita Antara juga dipertaruhkan. Jika berita kita akurat, orang percaya akan kemampuan kita, tetapi jika yang terjadi seperti berita yang tersiar ini maka tentu saja citra lembaga ini pun akan rusak.

Perhatikan kalimat pada judul berita. Di situ terdapat dua pokok kalimat atau dua masalah sekaligus yang dibicarakan. Pertama, tanah longsor mengancam, dan kedua, jembatan Malo diamankan.

Jika tanah longsor itu mengancam, apakah yang diancamnya, atau apakah yang terancam oleh tanah longsor itu? Kalimat pada judul berita ini akan dapat berlogika jika saja Pedoman Penulisan Berita Antara tidak menabukan tanda baca khususnya koma. Para petinggi Redaksi di lantai 20 sudah menetapkan bahwa tanda koma tidak boleh digunakan dalam judul, padahal sebuah tanda baca koma akan memberikan perbedaan makna pada sebuah kalimat.

Jika saja kalimat judul itu kita beri tanda koma setelah kata MENGANCAM, maka bentuk kalimat judul itu akan seperti ini:

TANAH LONGSOR MENGANCAM, JEMBATAN MALO DIAMANKAN. Dalam kalimat ini jelas menerangkan bahwa ada sesuatu yang mengancam dan ada yang diamankan.

Coba Anda bandingkan dengan kalimat judul yang asli (yang ditulis tanpa koma). Akan muncul pengertian bahwa tanah longsor mengancam jembatan Malo. Lalu, yang diamankan itu apa?Sekarang perhatikan pula kalimat pada teras berita. Sangat membingungkan, kata teman-teman yang sudah membacanya, sebab merupakan kalimat majemuk bertingkat dengan kata tugas 'yang' terlalu banyak (terlalu banyak sematan atau anak kalimat).

Kalimat pada teras itu telah menempatkan posisi predikat terlampau jauh dari subjeknya karena dipisahkan oleh beberapa penggal anak kalimat dan karena itu sulit sekali kita menentukan mana subjek dan mana pula predikatnya.

Subjek adalah sesuatu yang dibicarakan, dan predikat adalah bagian kalimat yang menerangkan pekerjaan yang disebutkan oleh subjek (kaidah bahasa). Baiklah saya tentukan saja bahwa yang dibicarakan dalam berita ini adalah "tanah longsor".

Tanah longsor adalah subjek yang dibicarakan tetapi dalam kalimat itu ada anak kalimat "yang mengancam pondasi (seharusnya fondasi) jembatan Malo dan "yang menghubungkan Kecamatan Malo dan Kalitidu, Bojonegoro, Jatim". Itu berarti bahwa tanah longsor itu sedang mengancam fondasi jembatan, bukan?

Lalu, kita tentukan pula bahwa predikat sesungguhnya dalam kalimat itu adalah kata "diamankan". Timbullah pertanyaan, apakah yang diamankan? Berhubung kata "diamankan" adalah predikat yang menerangkan tanah longsor, maka menurut kaidah (hukum DM), tanah longsor itulah yang diamankan.

Logika kalimat pada teras berita itu akan menjadi semakin amburadul atau kacau-balau, ketika muncul pertanyaan baru, "dapatkah atau mungkinkah tanah longsor itu diamankan?" Bukankah yang mengancam fondasi jembatan itu adalah tanah longsor? Menurut logika, tidaklah mungkin sesuatu yang mengancam itu diamankan.

Andaikata seorang perampok mengancam Anda dan barang berharga milik Anda itu akan diambil secara paksa, apa yang seharusnya diamankan? Perampokkah atau barang milik Anda? Kalimat pada judul berita di bawah ini tidak jelas menerangkan "apa yang diamankan". Tanah longsorkah atau fondasi jembatan?

Jika kita hendak bernalar, seharusnya yang diamankan atau dilindungi itu adalah fondasi jembatan Malo agar tidak dirusakkan oleh ancaman tanah longsor. Jadi, seharusnya pula "fondasi jembatan" itulah yang menjadi pokok kalimat, yang harus dibicarakan dan yang harus menjadi subjek kalimat. Jadi, yang seharusnya diamankan adalah fondasi jembatan agar tidak ambruk dari ancaman tanah longsor.

Perhatikan judul ini: JEMBATAN MALO DIAMANKAN DARI ANCAMAN TANAH LONGSOR

Kalau begitu kita harus lebih cermat menggunakan kata AMAN.

Ini beritanya:

IBUKOTA DAN DAERAH

TANAH LONGSOR MENGANCAM JEMBATAN MALO DIAMANKAN

Bojonegoro, 17/11 (ANTARA) - Tanah longsor sepanjang sekitar 200 meter yang mengancam pondasi jembatan Malo yang menghubungkan Kecamatan Malodan Kalitidu, Bojonegoro, Jatim diamankan dengan dipasang bronjong kawat dan diurug batu.
Kepala Dinas PU Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Andi Tjandra, Senin, menjelaskan, pekerjaan mengamankan tanah longsor di dekat pondasi jembatan Malo tersebut, langsung ditangani Departemen PU Pusat.
Penanganan longsornya jembatan itu, bersamaan dengan perbaikan tanggul Bengawan Solo di sejumlah lokasi di daerah hilir, Bojonegoro dan Tuban dengan anggaran sebesar Rp2 miliar. Diperkirakan, pekerjaan mengamankan tanah longsor sepanjang 200 meter lebih dengan mengurug batu dan memasang bronjong tersebut sudah 50 persen rampung.
Menurut dia, longsornya tanah di dekat pondasi jembatan tersebut, akibat gerusan air banjir luapan Bengawan Solo yang melanda daerahhilir di Bojonegoro, Tuban dan Lamongan, termasuk Gresik pada musimbanjir lalu.
Sementara itu, lokasi longsornya tanah jembatan di bagian utara tersebut berada di tikungan sungai Bengawan Solo, sehingga dengan cepat mudah longsor, akibat terkena gerusan air. "Longsornya tanah di dekat jembatan tersebut termasuk sudah kritis. Kalau tidak ditangani, akan mengancam jembatan," katanya menambahkan.
Dia menjelaskan, secara teknis adanya pengamanan longsor tanah didekat jembatan Malo yang dibangun dengan APBD Tk II sebesar Rp53miliar itu, bisa meredam tingkat kelongsoran pada musim banjirberikutnya.
"Dengan dibronjong, bisa meredam erosi yang mengancam tanah di dekat jembatan itu," kata Andi Tjandra menjelaskan.
***7***(
T.PK-SAS/B/C004/C004) 17-11-2008 16:36:34

Umbu Rey

Rabu, 26 November 2008

Menemukan kembali

Saya agak risau dengan penggalan kata "menemukan kembali" dalam kalimat berita di bawah ini. Dalam KBBI kata "kembali" itu bersinonim dengan "lagi" karena lazimnya begitulah anggapan orang ramai. Padahal, kedua kata itu menurut hemat saya berbeda pengertiannya.

Kata "lagi" seharusnya berarti bertambah (jumlahnya) seperti pada kata "sekali lagi". Jadi kalau "saya makan lagi" berarti saya makan lebih dari satu kali. Kata "kembali" mengandung pengertian "mengulang tanpa menambah jumlahnya". Jadi, "saya makan kembali" berarti saya mengulang lagi proses makan yang tadi.

Dalam berita di bawah ini, frasa "menemukan kembali" satu jenazah korban yang bernama Ukam (70) seakan-akan memberikan pengertian bahwa Ukam (70) tadi sudah ditemukan --lalu kemudian hilang entah karena apa-- dan sekarang ditemukan kembali oleh tim pencarian.

Kalau frasa itu berbunyi "menemukan lagi" satu jenazah yang diketahui bernama Ukam (70) maka jumlah korban yang ditemukan boleh jadi sudah bertambah satu. Jadi, yang dimaksudkan dalam berita di bawah ini adalah "menemukan lagi satu jenazah" dan bukan menemukan kembali.

Ini beritanya:

IBUKOTA DAN DAERAH

SATU KORBAN LONGSOR NYALINDUNG DITEMUKAN TIM EVAKUASI

Cianjur, 15/11 (ANTARA) - Tim pencarian korban yang hilang akibat longsor dan banjir bandang di Desa Girimukti Kampung Nyalindung, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Sabtu pagi, menemukan kembali satu jenazah korban yang bernama Ukam (70).

Umbu Rey

Selasa, 25 November 2008

Meng-AMAN-kan

Semua orang pastilah sudah tahu arti kata AMAN? Kata ini memiliki arti bebas dari bahaya, bebas dari gangguan. Aman juga bersinonim dengan tenteram. Menurut kelas katanya, AMAN adalah kata sifat atau adjektiva.

Pada umumnya imbuhan "me - kan" yang mengapit kata sifat (adjektiva) dan kata bilangan (numeralia) akan menjelaskan bahwa Subjek menjadikan Objek (pelengkap penderita) pada kalimat transitif berada dalam keadaan seperti yang disebutkan oleh makna kata dasar itu.

Contohnya begini:

1. Bahasa Indonesia menyatukan bangsa, artinya Bahasa Indonesia menjadikan bangsa satu.
2. Anak nakal itu menyakitkan hati ibunya, artinya anak nakal itu menjadikan hati ibunya sakit.
3. Kelakuan badut itu menyenangkan semua orang, artinya kelakuan badut atau pelawak itu menjadikan atau membuat senang semua orang.

Hal yang sama berlaku pula pada kata sifat AMAN dalam kalimat berikut ini.

4. Polda Jabar meng-AMAN-kan 7.401 preman di Bandung, berarti preman-preman itu menjadi aman tenteram dan bebas dari gangguan bahaya di bawah lindungan polisi. Kalimat "mengamankan preman" mengandung arti bahwa Polda Jabar dalam operasi premanisme itu telah melindungi para preman supaya aman, tidak diganggu lagi.

Perhatikan kalimat pada alinea kedua dalam berita di bawah ini. Sebagian besar dari preman-preman itu diberi pembinaan meskipun tidak disebutkan pembinaan apa. Maka bolehlah kita menafsirkan bahwa Polda Jabar telah memberikan bekal pembinaan kepada para preman itu supaya kelak mereka akan lebih canggih dan berani memalak dan merampas atau mengancam korbannya.

Kalau begitu, pantaslah preman di kota-kota besar terutama di Pulau Jawa tidak pernah hilang, tidak pernah akan lenyap dan tidak akan pernah kapok sebab mereka semua AMAN di bawah naungan dan lindungan serta pembinaan Polda Jabar.

Kata AMAN ini sebenarnya bukan ungkapan penghalusan kata (eufemisme) kata TANGKAP. Istilah "polisi mengamankan perampok" sebenarnya muncul dari bibir dan mulut polisi sendiri ketika masalah HAM (Hak Asasi Manusia) mulai digalakkan di Indonesia.

Pada zaman penjajahan Belanda, kalau polisi menangkap orang yang dianggap perusuh atau pengganggu keamanan negara (pemerintah/penguasa) maka orang yang ditangkap itu sudah pasti tidak akan aman. Masuk bui gratis, muka babak belur, peot sana sini, gigi rontok, badan kurus kering akrena disiksa.

Itu sebabnya pada awal tahun 1970 grup Band De'Loyd mengumandangkan lagu"Penjara Tangerang" ciptaan Barce Van Heuten dan disenandungkan dengan sangat merdu oleh penyanyi Sam de'Loyd.

Lagu itu lengkapnya seperti ini:

Kudengar azan di suatu pagi
Kudengar dan hati tersiksa
Hidup di bui pikiran bingung
Apa daya badanku terkurung

Trompet pagi kita harus bangun
Makan diantre nasinya jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apa daya badanku terkurung

Ref:

Oh, kawan dengar lagu ini
Hidup di bui menyiksa diri
Jangan sampai kawan mengalami
Badan hidup terasa mati

Apalagi penjara Tangerang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang
Karena kerja secara paksa
Tua muda turun ke sawah

Mendengar lagu merdu itu, Pak Harto, presiden Republik Indonesia bukannya senang , tetapi ketika itu dia marah bukan main. Dia berang dan segera melarang lagu itu dinyanyikan atau disebarluaskan lewat media massa elektronik radio dan kaset-kasetnya ditarik dari peredaran.

Tetapi Titiek Sandhora beberapa tahun kemudian dibolehkan lagi menyanyikan lagu itu tetapi liriknya pada frasa "apalagi penjara Tangerang" diganti dengan "apalagi penjara zaman perang".

Sejak saat itu, kata PENJARA diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan dan disingkat LP atau Lapas. Maksudnya agar semua penjahat yang masuk bui tidak akan tersiksa lagi tetapi dibina dan kelak dikembalikan lagi ke dalam masyarakat agar mereka hidup normal dan menjadi orang baik-baik.

Maka pantaslah orang berbuat jahat sekarang ini tidak lagi tanggung-tanggung. Orang korupsi main sikat yang gede-gedean saja, begitu juga perampokan bank terjadi di mana-mana, sebab masuk penjara aman tenteram, dan lama tahanan dikurangi karena dapat remisi dengan alasan agama dan kemanusiaan.

Koruptor Rp100 miliar seakan-akan hanya "menginap sebentar" dan dikasih kuliah pula, dan setelah bebas dari penjara maka dia tinggal menikmati bunga uang yang disimpannya di bank hasil penjarahan dan perampokan uang rakyat.

Pada zaman ORBA jangan coba-coba merongrong wibawa Presiden dan antek-anteknya. Begitu Pak Harto "ngangguk" orang yang dicurigai langsung hilang tak ketahuan lalgi kuburnya. Wiji Thukul contohnya. Bahruddin Lopa (Jaksa Agung) menyusul, dan untungnya Munir (pejuang HAM) mati di dalam pesawat di Belanda. Kalau saja dia mati di Indonesia atau di negeri Arab sana maka tidak akan ada sidang pengadilan yang menyeret Pollycarpus dan Muchdi sebagai tersangka.

Kembali ke masalah AMAN

Kata AMAN dan mengamankan sesungguhnya muncul setelah atau menjelang kejatuhan Presiden Soeharto dan menjadi populer setelah Reformasi. Rakyat yang tak puas dengan keputusan Pengadilan Negeri, mulai main hakim sendiri.

Pencuri motor dan maling ayam diadili sendiri oleh masyarakat dengan cara main keroyok dan dipukuli --kadang-kadang-- sampai penjahatnya mati konyol karena dibakar hidup-hidup. Karena itu muncullah istilah "polisi meng-AMAN-kan".

Jadi, kalimat "polisi mengamankan maling motor" sebenarnya berarti polisi menjadikan atau membuat maling motor itu aman dari keroyokan massa. Tetapi, "Polda Jabar mengamankan sebanyak 7.401 preman selama sepuluh bulan...dst" dalam kalimat pada teras berita di bawah ini rasanya tidak pas juga sebab mengandung pengertian taksa atau ambigu. Bisa berarti aman dari keroyokan, dan bisa pula berarti pembinaan penjahat.

Mengapa tidak dikatakan saja Polda membina 7.401 preman?

Ini beritanya:

IBUKOTA DAN DAERAH

POLDA JABAR AMANKAN 7.401 PREMAN

Bandung, 14/11 (ANTARA) - Polda Jabar mengamankan sebanyak 7.401 preman selama sepuluh bulan Operasi Premanisme Polda Jabar yangdigelar 1 Februari hingga 14 November 2008.
"Sebagian besar mereka diberi pembinaan, sedangkan yang terkait kepemilikan senjata tajam, senjata api dan narkoba diproses lanjut sesuai hukum yang ada," kata Kepala Bidang Humas Polda Jabar, Kombes (Pol) Drs Dade Achmad, Jumat.

Umbu Rey

Senin, 24 November 2008

Breaking News

Tak seorang pun sampai saat ini, menurut amatan saya, mau mengubah atau mencari padanan kata "breaking news" dalam bahasa Indonesia. Sebagian orang mengatakan sulit menerjemahkan kata itu dalam bahasa Indonesia, dan sebagian lagi menelannya mentah-mentah karena alasan sudah merupakan istilah khas dalam dunia kewartawanan.

Yang lain lagi menggunakan istilah itu supaya kedengarannya keren dan yang lain dan yang lain-lain lagi sengaja menggunakan istilah Inggris mengikuti mode. "Kan istilah itu hanya digunakan oleh wartawan, tidak di tempat yang lain," kata mereka. Celakanya, mereka tak peduli kata itu dimengerti atau tidak oleh pembaca atau pemirsanya. Masa bodohlah, kira-kira begitulah kata mereka. Media elektronik Metro TV tak akan pernah mau mengubah namanya menjadi TV Metro, dan karena itu istilah "breaking news" mungkin akan tetap saja bergentayangan di layar Metro setiap saat.

Dalam Kongres IX Bahasa Indonesia Internasional di Jakarta bulan Oktober lalu, seorang penyaji makalah dari televisi ini dengan bangga mengatakan istilah itu dipakai justru untuk memperluas wawasan pemirsanya, meskipun para peserta kongres pada kebingungan semua mendengar penjelasannya.

Hari Senin 2 November 2008 lalu dalam milis guyubbahasa@yahoogroups.com, seorang wartawan RCTI meminta rekan-rekannya anggota milis dan FBMM untuk memberikan masukan kosakata yang tepat untuk menggantikan istilah "breaking news" karena televisi swasta paling tua itu tidak akan menggunakan lagi istilah asing itu.

Ada banyak istilah yang disebutkan untuk padanan kata "breaking news", antara lain "berita terbaru, berita teranyar, berita penting, berita mutakhir, berita terkini, dan berita kilat". Pusat Bahasa Departemen Pendidikan menawarkan "berita sela".

Mana yang tepat, belum lagi ada pilihan, tetapi agaknya "berita sela" akan diterima. Yang dimaksudkan dengan "berita sela" adalah berita terbaru yangdisisipkan dalam acara lain yang sedang berlangsung. Jadi, suatu acara (misalnya sinetron atau dialog) yang sedang berlangsung dapat dihentikan ketika sebuah berita terbaru atau "berita sela" tiba-tiba muncul.

Saya sendiri kurang setuju dengan istilah "berita sela" yang dianjurkan oleh Pusat Bahasa. "Breaking news" sebenarnya tidak lain dari istilah "stop press" yang lazim digunakan dalam media cetak. Yang dimaksudkan dengan "stop press" adalah instruksi untuk menghentikan proses pencetakan surat kabar yang sedang berlangsung ketika suatu peristiwa sangat penting tiba-tiba terjadi. Berita terbaru yang dianggap sangat penting itulah yang kemudian disebut"stop press".

Ketika pada tahun 1986 pesawat ulang-alik Challenger tiba-tiba diberitakan meledak beberapa menit setelah lepas landas di Cape Canavral Amerika Serikat, wartawan KOMPAS yang bertugas pada tengah malam dengan segera memerintahkan departemen percetakan agar proses pencetakan surat kabar itu dihentikan. Berita ledakan pesawat Challenger itu lalu disisipkan pada halaman muka surat kabar dan proses pencetakan diulang kembali pada tiras berikutnya. Dan, pada keesokan harinya muncul berita pada halaman pertama dengan kode "stoppress".

Istilah itu sekarang nyaris tak terdengar lagi lantaran surat kabar itu dicetak dua kali sehari. Cetakan pertama terbit pagi hari dan kemudian disusul terbitan kedua pada pukul 10.00 untuk menampung berita penting yang tidak sempat tersiar pada terbitan pertama.

Di Kantor Berita Antara? Berita "breaking news" itu tidak dikenal sebelum tahun 1986 karena penyiaran berita menggunakan buletin. Sistem penyiaran dengan menggunakan mesin telegraf hanya untuk pelanggan koran saja.

Ketika itu istilah "breaking news" hanya dipakai oleh kantor berita asing terutama yang terkenal seperti Reuters (Inggris), AFP (Prancis), UPI (Amerika Serikat). Kantor berita lain sepeti Kyodo (Jepang, DPA (Jerman), jarang sekali menggunakan istilah itu. Kantor berita Timur Tengah seperti IRNA (Iran), dan IINA (International Islamic News Agency) dan kantor beritaa di Asia Tenggara seperti TNA (Thailand), PNA (Filipina), dan Bernama (Malaysia) bahkan tidak pernah menggunakan istilah"breaking news".

Ada lebih kurang 40 kantor berita yang masuk ke Indonesia lewat Kantor Berita Antara, kecuali AP (Associated Press) yang khusus disiarkan oleh KNI. Semua berita dari kantor berita asing itu diterima Antara dengan menggunakan mesin telegraf atau mesin telex. Mesin-mesin itu ditempatkan di ruang redaksi lantai 20 Wisma Antara, berjejer di jendela kaca bagian selatan dari barat ke timur sesuai dengan kantor berita pengirimnya masing-masing. Sampai pada akhir tahun 1985 ruang redaksi terdengar sangat gaduh karena bunyi pengetikan mesin teleks yang tidak pernah berhenti siang dan malam.

Mesin-mesin penerima berita terutama dari tiga kantor berita utama yakni Reuters, AFP, dan UPI berbunyi terus tidak pernah berhenti menyiarkan berbagai macam jenis. Kertas berita sampai berpuluh-puluh meter panjangnya, dan setiap pagi kalau dikumpulkan bisa mencapai puluhan kilogram.

Para redaktur internasional Redaksi Inggris ketika itu harus terus memantau berita-berita itu setiap saat kalau-kalau ada berita yang lebih penting tiba-tiba masuk. Berita-berita yang sangat penting itu biasanya disebut "breaking news" karena sifatnya "memutuskan rangkaian berita yang tidak pernah berhenti tersiar itu" supaya lebih dahulu terbaca di mesin teleks.

Jadi, "breaking news" sebenarnya berarti berita penting yang memutuskan arus berita lain yang sedang tersiar. Tetapi Kantor Berita Reuters, UPI dan AFP masih harus menulis pula kata'''urgent....urgent'''....urgent'''' pada judul berita supaya lebih nyata bahwa itulah berita yang paling akhir dan sangat mendesak untuk disiarkan segera.

Pada awal tahun 1986 Kantor Berita Antara melakukan langkah maju memasuki era komputer, dan berita-berita yang disiarkan tidak lagi menggunakan mesin teleks. Antara menggunakan mesin komputer NEC yang ketika itu sudah merupakan mesin canggih. Berita yang dikirim oleh reporter dari lapangan sebagian menggunakan laptop yang ketika itu masih menggunakan gagang telefon biasa.

Sebelum mengirim berita, reporter lelbih dahulu menghubungi "Gathering File" (GF) seperti kita menelefon dengan telefon duduk, dan kalau ada nada sambung barulah gagang telefon itu ditempelkan rapat-rapat pada mesin laptop sebelum tombol "send" ditekan. Gagang telepon itu harus rapat benar sebab kalau ada suara berisik masuk, pengiriman bisa gagal.

Mesin komputer itu tidak menerima berita langsung dalam bentuk huruf sebab yang terlihat di layar komputer hanyalah nomor-nomor urut berita yang dikirim oleh mesin penerima Gathering File itu. Biasanya di depan nomor itu tertulis huruf G0123789 misalnya. Itu pun tidak langsung ke meja sunting sebab harus ada petugas di meja sunting "Penerima" yang kemudian mengirimkan berita itu ke meja kepala sunting sesuai dengan jenis beritanya.

Nomor-nomor berita itu harus dipencet dulu barulah kita mengetahui berita apa di balik nomor itu. Jika seorang redaktur hendak menyunting berita itu, dia harus mengirim lagi nomor-nomor berita itu ke komputernya masing-masing untuk disunting. Sebelum disunting, berita itu harus pula masuk dahulu ke dalam "floppy disk" atau disket sebab tidak bisa langsung menyunting di layar. Sekarang ini mungkin sama dengan "alokasi" berita.

Berita yang dibuat oleh reporter atau yang diterjemahkan dari kantor berita asing harus dikirim kepada "supervisor", juga dalam bentuk nomor berita misalnya, D0002345987 (huruf D mengartikan bahwa berita itu sudah disunting dan siap di distribusikan ke pelanggan). Supervisor harus membaca berita itu sekali lagi dan melakukan koreksi sekali lagi, sebab dialah yang paling bertanggung jawab jika terjadi kesalahan berita atau delik pers.

Penyiaran berita lewat komputer NEC itu tidak mengenal pula istilah "breaking news". Pengiriman berita dilakukan dengan nomor prioritas dari angka 1 sampai angkat 7. Pada keadaan normal berita yang terkirim biasa otomatis tersiar dengan prioritas 7. Jika berita itu dianggap sangat penting dan mendesak maka "supervisor" akan membubuhkan angka prioritas 1 agar berita itu sampai paling cepat, dan di layar pelanggan berita itu akan terbaca dengan kode """KILL""".

Berita yang prioritasnya di bawah KILL itu adalah angka 2 yakni "FLASH" dan yang penting biasa akan terbaca "URGENT". Rupa-rupanya kata KILL dan URGENT itu sudah dilupakan oleh Antara, dan sampai sekarang cuma kata "FLASH" itu yang digunakan untuk berita sangat penting dan mendesak. FLASH artinya KILAT.

Saya pikir, istilah KILAT itulah yang pas atau cocok benar untuk menggantikan "breaking news" jika "breaking news" itu tidak bisa diterjemahkan karena alasan tidak ada padanan yang cocok dalam bahasa Indonesia.

Kalau begitu, mengapa kita tidak menggunakan saja istilah "KILAT...."KILAT" sebagai pengganti kata "flash" itu? Daripada kita harus tunduk takluk dan sujud bersembah menghambakan diri pada istilah Inggris "flash" dan salah pula menulisnya menjadi "flesh" mengapa tidak kita perbiasakan menulis KILAT saja?

Kantor Pos telah sejak zaman Orde Lama menggunakan kata KILAT untuk surat-surat yang sangat penting dan harus lebih dulu sampai pada penerimanya di mana saja berada. Karena itu, mulai sekarang kita gunakan saja istilah "KILAT...KILAT" untuk berita sangat penting dan mendesak, karena saya lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia daripada Inggris atau Arab.

Karena itu "breaking news" yang dibicarakan di atas lebih tepat kita padankan dengan istilah "berita kilat" sebab tidak sekadar menyela berita lain yang sedang tersiar. "Berita kilat" mengandung pengertian berita terbaru yang sifatnya mengejutkan dan menarik perhatian banyak orang untuk segera menyimak berita itu.

Umbu Rey

Rabu, 05 November 2008

Perhitungan versus Penghitungan

Tulisan saya kali ini hanya saya tujukan buat anggota milis Antara saja. Biasanya saya menulis untuk milis guyubbahasa@yahoogroups.com karena di situ saya lebih banyak mendapat tanggapan dari para redaktur di hampir semua media massa dan di seluruh dunia. "Copy paste" atau salinannya saya kirimkan juga buat milis Antara.

Persoalan ini sebenarnya sepele saja. Saya hanya ingin menjelaskan perbedaan kata berimbuhan "perhitungan dan penghitungan" yang menurut amatan saya, banyak sekali salah penggunaannya.

Saya tidak hendak menggurui Anda sekalian, dan karena itu orang berilmu lebih tinggi dari saya di lembaga ini lantaran sekolahnya S-2 di luar negeri jangan pula tersinggung. Ini hanya curah pikiran dan kalau Anda tidak setuju bolehlah ditanggapi untuk memperoleh kebenaran.

Kata "penghitungan dan perhitungan" sudah kita kenal sejak belajar bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Tetapi, berapa banyak di antara kita yang tahu penggunaan kata itu secara tepat? Saya agak yakin hampir semua wartawan Antara menggunakan dua kata berimbuhan ini secara mana suka, lantaran tidak mengerti makna kata itu secara persis.

Menurut amatan saya, berita pemilu hampir di seluruh Indonesia saban hari kita beritakan, dan dua kata itu --penghitungan dan perhitungan-- digunakan secara bergantian. Yang terbanyak digunakan adalah kata"perhitungan" suara, dan menurut saya salah atau tidak tepat.

Baik "penghitungan" maupun "perhitungan" berasal atau mengapit kata dasar"hitung". Kata ini masuk dalam kelas verba (kata kerja) yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga berarti membilang (menjumlahkan, mengurangi, membagi, dan memperbanyakkan dsb).

Lema "hitung" itu dalam tuturan sehari-hari lazim mendapat imbuhan"peng-an" dan "per-an". Bagi orang awam penggunaan kedua imbuhan itu sama saja dan karena itu tidak kelihatan lagi perbedaannya jika diucapkan dalam bahasa lisan.

Jika kita cermat berbahasa, sesungguhnya "penghitungan" dan "perhitungan" itu berbeda sekali maknanya dan karena itulah saya perlu menjelaskan kata itu agar tepat makna dan tepat pula penempatanya pada konteks kalimat. Tentu saja penjelasan saya ini tidaklah mutlak benar menurut pendapat Anda dan karena itu beberapa orang di lembaga ini suka sekali berkata, "Akh, si Umbu itu maunya benar sendiri. Mau menang sendiri!"

Kadang-kadang saya suka tertawa geli jikalau Anda mengatakan "mau menang sendiri". Bukankah "menang" itu memang cuma milik seseorang, milik sendiri? Tidak pernah ada menang itu milik bersama (kecuali menurut budaya salah kaprah bangsa kita).

Dalam sebuah pertandingan olahraga, orang yang menang itu selalu harus ada satu, karena itu yang berhak mendapat medali emas itu hanya seorang untuk satu jenis pertandingan. Jikalau Anda ingin mengalahkan saya dalam debat atau curah pikiran mengenai satu perkara bahasa dalam milis ini, mestinya Anda mengemukakan pendapat yang logis untuk mematahkan pendapat saya. Itu sebabnya saya memerlukan tanggapan Anda setiap kali saya menjelaskan suatu kata dalam milis ini. Jangan perlihatkan "pikiran kerdil" Anda dengan ucapan "mau menang sendiri", dan "mau menggurui".

Saudaraku,

Dalam tata bahasa Indonesia, semua kata yang mendapat imbuhan "peng-an" biasanya berasal dari kata dasar yang mendapat awalan "me-(kan)", dan pada umumnya kata berimbuhan "per-an" itu terbentuk dari turunan dari kata dasar berawalan "ber-".

Karena itu, "penghitungan" adalah turunan dari kata berawalan "menghitung" dan "perhitungan" adalah turunan kata berawalan "berhitung". Saya katakan pada umumnya begitu lantaran tidak semuanya berlaku demikian.

Agar lebih jelas saya perlihatkan turunan verba "hitung" itu sbb:

1. Hitung -> berhitung -> memperhitungkan -> perhitungan - pehitung

2. Hitung -> menghitung -> penghitungan -> hitungan -> penghitung

Yang dimaksudkan dengan "perhitungan" (butir 1) adalah perbuatan (hal, cara dsb) memperhitungkan. Kita membutuhkan pikiran yang lebih serius atau membutuhkan konsentrasi untuk menemukan hasil perhitungan yang diinginkan karena angka-angka itu seringkali tidak terpapar di depan kita.

Zaman dulu di Sekolah Dasar ada mata pelajaran berhitung, mencongak, dsb yang memerlukan rumus atau kiat-kiat tertentu dan kadang-kadang menguras pikiran Anda untuk menghasilkan jumlah yang diinginkan. Pada waktu di SMP ada Aljabar, dan di SMA ada ilmu ukur ruang (steriometri), ada ilmu ukur sudut (goneometri), dan ada pula ilmu pesawat yang memerlukan rumus Phitagoras (misalnya) atau apa saja untuk memudahkan perhitungan.

Yang dimaksudkan dengan "penghitungan" (butir 2) adalah proses, cara, atau perbuatan menghitung (mencari jumlahnya, atau membilang berapa jumlahnya (lihat KBBI edisi ketiga). Dalam kasus "penghitungan" ini sebenarnya kita tidak memerlukan pikiran yang terlalu rumit untuk mencari jumlah yang diinginkan, lantaran sesuatu yang kita hitung itu sudah terpampang di hadapan mata kita.

Jikalau misalnya Anda hendak mencari berapa jumlah wartawan Antara yang berada di lantai 20 gedung ini pada hari ini, Anda tidak memerlukan rumus tertentu sebagai alat atau cara menghitung. Anda hanya membutuhkan jari untuk untuk menunjuk-nunjuk lalu menjumlahkan (dalam hati atau di luar kepala saja) berapa wartawan yang tampak di depan Anda dan pada hitungan terakhir Anda akan menemukan hasilnya.

Proses penghitungan seperti itulah yang terjadi atau yang berlaku pada pemilihan umum di daerah-daerah. Jumlah suara yang terkumpul dari segala pelosok negeri sebenarnya telah dikumpulkan di satu tempat. Petugas tinggal menghitung suara yang ada dan akan memperoleh hasil dari penjumlahan surat suara itu. Itulah yang kita sebut PENGHITUNGAN SUARA.

Mulai saat ini untuk memberitakan jumlah suara dalam pilkada di daerah kita hendaknya mengatakan "penghitungan suara", dan bukan "perhitungan suara".

Semoga jelas.

Umbu Rey

Selasa, 28 Oktober 2008

Bahasa penyelamat bangsa

Ada semacam pengakuan baru yang terucapkan dalam Kongres IX Bahasa Indonesia Internasional 28 Oktober 2008, di Jakarta ketika Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengungkap sebuah kenyataan bahwa bahasa Indonesia ternyata telah menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman perpecahan.

Ketika dia membuka kongres itu hari Selasa --yang dihadiri lebih kurang seribu perserta dari seluruh Indonesia-- itu, Bambang Sudibyo menuturkan peristiwa ketika dia menjabat menteri keuangan pada tahun 2000. Indonesia kala itu hiruk-pikuk setelah pemberlakuan sistem desentralisasi pemerintahan.

Otonomi daerah lalu diberlakukan menyusul runtuhnya Orde Baru dan dimulainya abad Reformasi untuk mencari solusi meningkatkan kesejahteraan rakyat sampai ke pelosok. Maka, daerah provinsi kaya raya menuntut Pemerintah Pusat untuk memberikan kewenangan mengurus keuangannya sendiri, sebab daerah kaya itu ternyata telah jatuh miskin lantaran hasil bumi terbesar daerah itu sudah dikuras dan disumbangkan kepada Pemerintah Pusat.

Yang paling menonjol dalam ingar-bingar tuntutan otonomi daerah itu adalah Provinsi Riau dan Kalimantan Timur, dua daerah di Indonesia yang dikenal kaya akan minyak dan gas bumi. Rakyat Provinsi Riau bahkan mengancam akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia jika tuntutan mereka tidak dikabulkan.

Tetapi yang terjadi kemudian, kata Bambang Sudibyo, rakyat Riau tiba-tiba sadar dan kemudian membatalkan niatnya untuk merdeka. "Rakyat Riau sadar dan tidak mau lagi merdeka karena sumbangan terbesar mereka untuk pembangunan bangsa ini ternyata bukan minyak dan gas bumi. Sumbangan terbesar Riau untuk bangsa ini adalah bahasa Indonesia," kata Menteri.

Riau yang kecil mungil karena hanya merupakan bagian minoritas dari keberagaman suku dan budaya di Indonesia telah memberikan andil paling besar untuk menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan. Sejarah telah menggoreskan bukti bahwa bahasa Indonesia yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan tiada lain adalah bahasa Melayu Riau, kata Bambang Sudibyo.

Meski suku terbesar dan bahasanya diucapkan oleh lebih dari setengah penduduk Indonesia kala itu, suku Jawa ternyata dengan sukarela menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia. Sejak itu dalam pendidikan, politik dan budaya, dan apalagi perdagangan semuanya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.

Delapan puluh tahun yang lalu, 28 Oktober 1928, para pemuda dan pemudi dari berbagai suku dan golongan di Nusantara mengucapkan sumpahnya yang dikenal dengan Soempah Pemoeda. Mereka mengaku bertumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Sumpah pemuda itulah yang menginspirasi slogan terkenal Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi satu), bahkan dari situ pula cikal bakal kelahiran falsafah bangsa yakni Pancasila. Maka terbentuklah pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa yang merdeka bernama Indonesia, lepas dari cengkeraman penjajahan Belanda di tanah Nusantara selama tiga setengah abad lamanya. Negara Indonesia diikat dengan bahasa Indonesia dari Sabang di Pulau Weh sampai Merauke di ujung barat Pulau Irian (bagian barat), dan dari Miangas di utara sampai Pulau Rote di selatan NTT.

Sudah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, dan pergolakan bangsa terjadi silih berganti. Pertikaian politik bahkan hampir saja menghancurkan negara, dan karut-marut perekonomian yang menjerumuskan rakyat ke jurang kemiskinan justru berulang pada akhir Orde Baru, tetapi bahasa tetap menjadi pengikat persatuan untuk tidak memecahkan NKRI.

Untuk lebih menggalakkan penggunaan bahasa Indonesia yang benar, dalam acara pembukaan kongres kesembilan bahasa Indonesia itu, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan memberikan penghargaan kepada tokoh berbahasa lisan terbaik di bidang seni, dan politik.

Ada lima tokoh terkenal yang mendapat penghargaan itu, yakni Maudi Kusnaedy (artis sinetron dan pemain film), Prof. Dr. Din Samsyudin (MUI), Anas Urbaningrum (politisi muda). Dua tokoh perempuan yang juga dinilai sebagai tokoh berbahasa lisan terbaik adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan Prof Dr. Meutia Hatta, dan Menteri Perdagangan Dr Mari Elka Pangestu.

Bambang Sudibyo, ketika membuka kongres itu kelihatan sangat serius membacakan pidato tertulisnya, tetapi sempat juga membuat peserta yang mendengarkannya terbahak-bahak ketika dia memulai berbicara di atas panggung di ruang besar Gedung Bidakara.

"Saya harus membacakan pidato anak buah saya. Pidato tertulis ini dibuat oleh Kepal Pusat Bahasa (Dr. Dendy Sugono, red). Seorang menteri tak akan punya banyak waktu kalau setiap ada acara harus disuruh membuat pidato," katanya.

Sebelum para peserta kongres itu berhenti tertawa, Menteri Pendidikan Sudibyo melanjutkan, "Kalau nanti mata saya melihat ke bawah, itu artinya saya sedang membacakan pidato Kepala Pusat Bahasa. Tetapi kalau saya berbicara tanpa melihat teks ini maka itu berarti saya sedang menyampaikan pidato dari dari hati nurani saya yang tulus," kata Bambang Sudibyo disambut gelak tawa.

Maka sebelum melirik teks tertulis di depannya, Bambang memulai pidato pembukaan kongres itu dengan pengakuan bahwa kebahasaan adalah masalah paling fundametal dan sangat sentral dalam kehidupan manusia. Bahkan dalam kitab suci Alquran pun soal bahasa itu dikaitkan dengan penciptaan manusia, katanya.

Tuhan lalu mengajari manusia Adam ciptaannya untuk memberikan nama pada segala sesuatu yang dilihatnya satu demi satu. Itu sebabnya kedudukan bahasa sangat fundamental dalam kehidupan manusia. "Bayangkan kalau manusia itu tidak dapat berbahasa," katanya.

Ketika Tuhan memerintahkan Nabi dengan perkataan "bacalah" maka itu berarti manusia diperintahkan untuk membaca dan menulis. Itu artinya manusia harus dapat berbahasa. Tidak ada pengalaman dan pengetahuan akan dipelajari tanpa bahasa. Ilmu apa pun hanya dapat dipelajari dengan kompetensi bahasa, katanya.

Pernyataan Menteri Bambang Sudibyo dalam pembukaan kongres itu tampaknya selaras dengan perkataan yang ditulis oleh budayawan dan rohaniman Romo YB Mangunwijaya (almarhum) tentang Pendidikan Manusia Merdeka yang dimuat di dalam harian Kompas pada 11 Agustus 1992.

Berkata beliau, mengapa Soekarno-Hatta dan generasi mereka waktu masih mahasiswa kok sudah begitu cemerlang pandai, penuh keyakinan diri, dan mampu meyakinkan para kuasa dalam pentas perjuangan membela rakyat tertindas, bila dibandingkan dengan mahasiswa sekarang dengan usia dan kedudukan yang sama? Jauh dari kemanjaan borjuis dan mental priyayi mapan yang sudah puas dengan kenikmatan diri? Padahal generasi dulu jelas hasil iklim masyarakat terjajah dengan program-program sekolah dan budaya pendidikan yang kolonial?

Mestinya para putra-putri Indonesia yang sudah merdeka setengah abad, pada usia yang sama, ya mestinya jauh lebih cemerlang daripada pendahulu mereka. Adam Malik hanya berijazah SD. Begitu juga Kartini. Ki Hajar Dewantoro dan Jenderal Sudirman belum pernah jadi mahasiswa. Sutan Syahrir, perdana menteri, hanya "drop-out" universitas tingkat satu (karena ditugasi Mohammad Hatta yang masih mahasiswa juga, untuk pulang ke Tanah Air memimpin perjuangan).

Manusia itu punya bahasa. Pada hakikatnya manusia itu adalah bahasa juga. Isi dan kualitas bahkan modal kemajuannya terletak pada bahasanya. Bahasa dalam arti total, komuknikasi, ekspresi dan daya tangkap dalam macam-macam wujud. Manusia tidak hanya berkomunikasi atau mengkomunikasi, tetapi dia dalam dirinya sendiri sudah berkomunikasi. Ini sangat tampak dalam diri bayi "yang belum bisa apa-apa", tetapi mampu membahagiakan ibu dan ayahnya, "pure by being there" melulu berkat kehadiran murninya.

Maka dari awal mula bukan daya rasional, apalagi matematika atau fisika (baca:rasio analitis abstrak) yang primer berinteraksi antara bayi dan ibunya dan ayahnya (baca: manusia-manusia), melainkan bahasa. Maka tidak sulit dipahami, bahwa dalam setiap proses interaksi antar-manusia seyogianya penguasaan bahasalah diutamakan.

Dengan kata lain, seni berkomunikasilah yang primer. Di segala jurusan, matematika, fisika, kimia, sebenarnya sebentuk bahasa juga. Lapangan eksakta dengan segala keterampilannya hanya mungkin bermekar pada tanah tumbuh budaya bahasa yang tinggi.

Menurut Menteri Bambang Sudibyo, bahasa akan memberikan manusia kecerdasan total, sedangkan matematika hanya dapat mencerdaskan otak manusia sebelah kiri, tetapi matematika itu sendiri tak akan mungkin dibaca atau diuraikan tanpa bahasa. Itu sebabnya Indonesia ini dinilai Bambang sebagai bangsa yang hebat.

Apa yang hebat? Di antara negara berkembang dan berpenduduk paling besar di dunia, Indonesia telah membuktikan dirinya sukses dalam membangun demokratisasi sejak tahun 1998, dan itu dianggapnya sebagai satu lompatan ke depan. "Meskipun itu masih ada saja kekurangan," katanya.

Ekonomi kini kembali terancam gejolak seperti yang terjadi pada tahun 1997, tampaknya "karena kita kurang berjuang dalam membenahi ekonomi, dan karena kita kurang serius dalam berbahasa," katanya.

Sekarang telah terbukti bahwa "penyelamat bangsa Indonesia" tiada lain adalah bahasa Indonesia.

Umbu Rey

Sabtu, 25 Oktober 2008

Amendemen-->Pengubahan UUD 45

Ubah bukan rubah

Lema yang satu ini unik dan agak aneh menurut amatan saya. Ini kata Melayu asli atau Indonesia tulen tetapi penuturnya sampai kini masih banyak yang tak becus mengucapkannya. Wartawan dari hampir semua media cetak dan elektronik pun ikut-ikutan salah ucap.

Mulai dari orang awam sampai pejabat tinggi, dan kaum cerdik pandai, kaum ulama sampai para ahli dan orang intelektual pada umumnya menyebut "rubah dan merubah". Mereka tidak lagi sadar bahwa "rubah" adalah sejenis anjing liar semacam serigala padahal yang dibicarakannya itu bukan persoalan rubah atau anjing liar.

Kata "ubah" lazim mendapat imbuhan ber- dan mungkin karena itu, kata "berubah" dikira berasal dari kata dasar "rubah". Maka dengan seenaknya orang lalu mengatakan "merubah" atau merubah-rubah.

Ubah masuk dalam kelas kata verba. Dalam KBBI menurut amatan saya, hanya terdapat empat verba yang berawal dengan vokal "u" yang berhak mendapat awalan ber- yakni: ubah--> berubah, ukir-->berukir, ulang-->berulang-ulang, dan unyai-->berunyai (berlambat-lambat) . Kata "unjuk" baru berhak mendapat awalan ber- jikalau digabungkan dengan "rasa" sehingga menjadi berunjuk-rasa.

Banyak orang menganggap 'mengubah' dan 'berubah' sama saja artinya dan karena itu hampir tidak dirasakan lagi perbedaan kata itu dalam tuturan sehari-hari. Pada umumnya orang menggunakan kata itu secara mana suka saja. Tetapi, jikalau kita lebih cermat maka sesungguhnya ada perbedaan makna yang cukup besar di antara keduanya.

Saya mencoba membedakan dua kata itu menurut turunan verba berimbuhan sbb:

1. Ubah --> pengubah-->mengubah -->pengubahan- ->ubahan

2. Ubah -->peubah--> berubah-- >memperubahkan -->perubahan

Kata "peubah" dan "memperubahkan" pada butir (2) tidak berterima. Itu berarti bahwa "pengubahan" yakni hal mengubah sesuatu jelaslah ada pengubahnya, sedangkan "perubahaan" yang berarti hal berubah tentu saja tidak ada (orang) yang mengubahnya.

Jika kita mengatakan "berubah" maka yang dimaksud adalah menjadi lain (berbeda) dari semula. Contoh: wajahnya agak 'berubah' ketika dirasanya sambutanku tidak begitu hangat. Dan, jika kita mengatakan "mengubah" maka yang dimaksud adalah menjadikan lain dari semula. Contoh: timbul niatnya untuk 'mengubah' kebiasaan yang buruk itu.

Makna frasa "menjadi lain dari semula" (berubah) sesungguhnya berbeda dari "menjadikan lain dari semula" (mengubah). Contoh KBBI yang saya sebutkan di atas jelas membedakan arti "wajahnya agak berubah" dan "timbul niatnya untuk mengubah kebiasaan".

Menurut "penerawangan" saya kata "berubah" menunjukkan gambaran tentang sesuatu yang menjadi lain dari semula tanpa akal dan pertolongan atau upaya manusia. Kalau wajah saya berubah menjadi merah padam, maka merahnya wajah saya itu bukan karena upaya saya, sebab setiap wajah memang selalu berubah sendiri menjadi merah padam kalau orang sedang marah.

Orang yang "berakting" atau berlakon menjadi orang marah dalam sebuah permainan sandirwara tak akan mampu membuat wajahnya berubah menjadi merah padam, paling-paling matanya saja yang kelihatan melotot dan suara nyaring seperti orang berteriak sehingga seakan-akan dia sedang marah.

Berubah adalah kejadian alamiah atau terjadi dengan sendirinya. Itu sebabnya bahasa Inggris "climate change" selalu kita terjemahkan menjadi "perubahan iklim" sebab iklim itu memang berubah sendiri tanpa pertolongan upaya manusia. Saya belum pernah mendengar orang mengubah iklim dan karena itu tidak ada frasa "pengubahan iklim".

Ketika berbicara mengenai pengindonesian kata "amendment" dalam milis ini beberapa hari yang lalu saya menyarankan agar teman-teman media massa menggunakan saja kata berimbuhan "PENGUBAHAN" UUD 45 alih-alih menggunakan istilah serapan "amendemen" dari Inggris.

Cara penulisan kata serapan itu pun salah dan tersebar di mana-mana, sebab hampir semua media massa menulis "amandemen" padahal KBBI jelas mencatat "amendemen". Ketika kata itu kita telusuri dalam perdebatan di milis ini tampaknya semua pada bingung sendiri, apakah dari bahasa Belanda, Inggris atau Prancis.

Saya memilih menggunakan kata PENGUBAHAN UUD 45 lantaran UUD itu sudah diubah beberapa kali. Pengubahan UUD 45 adalah hal mengubah atau proses mengubah UUD 45, dan pengubahan itu dilakukan dengan pertolongan upaya manusia (anggota DPRRI). Hasilnya adalah UBAHAN UUD 45 yang diberlakukan.

UUD 45 itu tidak mungkin bisa berubah sendiri dan karena itu saya tidak menggunakan istilah PERUBAHAN UUD 45. Lalu, mengapa mesti bergenit-genit menggunakan kata serapan dari bahasa Inggris dan Belanda? Bodoh itu.

Ada yang protes tulisan saya ini? Silakan!

Umbu Rey

Jumat, 24 Oktober 2008

Telepon versus Telefon

Telepon versus Telefon

Ini persoalan lama yang menurut saya belum tuntas karena digunakan mana suka. Maklumlah, ini kata bukan milik bangsa. Ini kata lahir dari akibat kemajuan teknologi asing. Itu sebabnya sampai sekarang rekan-rekan saya di media massa masih juga mempertanyakan manakah yang benar di antara kedua kata itu, telepon ataukah telefon?

Ada media massa yang menggunakan kata "telepon" karena begitulah cara orang ramai mengucapkannya. Lagi pula kata itu pun sudah tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan dinyatakan sebagai kata yang baku.

Kata yang baku adalah kata yang menjadi tolok ukur dan yang berlaku untuk kualitas dan kuantitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan (lihat KBBI). Kata yang bersinonim dengan baku adalah standar.

Tetapi, sebagian media massa bersiteguh untuk tetap menggunakan kata "telefon" karena kata itulah yang menurut mereka "benar" dan sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Dengan demikian, kata yang "baku" akan menimbulkan pengertian berbeda dari kata yang "benar".

Kata yang "baku" adalah kata yang lazim diucapkan orang banyak saban hari dan tanpa sadar telah menjadi kelaziman dan kesepakatan umum, meskipun kata itu mungkin sekali keliru atau salah jika ditinjau dari tata bahasa atau kaidah bahasa.

KBBI yang diterbitkan Pusat Bahasa --menurut amatan saya-- tampaknya masih tetap merupakan buku rekaman kata-kata yang diucapkan orang dalam kurun waktu tertentu. Kata itu akhirnya dianggap "baku" karena sudah menjadi kesepakatan umum.

Dalam KBBI, kata yang tidak baku biasanya ditandai dengan lambang "cak" yang menandakan kata itu hanya dipakai dalam bahasa percakapan yang tidak resmi. Kata "boro-boro" misalnya, dalam KBBI diberi penanda "cak" karena tidak lazim digunakan dalam percakapan resmi. Seharusnya kita mengatakan "jangankan". Demikian pun kata "buat" diberi penanda "cak" jika kita menggunakannya dalam kalimat seperti ini: "kue ini buat saya".

Karena itu, kata-kata yang dianggap "baku" masih harus diuji kebenarannya melalui kaidah tata bahasa, pedoman Ejaan bahasa Yang Disempurnakan (EYD), dan pedoman pembentukan istilah.
Kalau kita bertanya manakah di antara dua kata itu (telepon dan telefon) yang "baku", maka pilihan akan jatuh pada kata "telepon" karena kata itulah yang tercantum dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tetapi, jika kita bertanya manakah yang "benar" di antara kedua kata itu, tentu saja kita harus menelusurinya lewat kaidah tata bahasa.

Kata telepon itu diserap dari bahasa Inggris telephone (Webster's Third New International Dictionary). Dalam kamus Inggris-Indonesia M. Echol dan Hasan Sadhily yang biasa kita pakai sehari-hari, kata itu tidak tercantum. Konsonan rangkap "ph" dalam bahasa Inggris pada umumnya terserap ke dalam bahasa Indonesia melalui pendengaran (bunyi hurufnya jika diucapkan). Dalam bahasa Inggris kata telephone itu biasanya diucapkan atau berbunyi "telefon", dan karena itu konsonan rangkap "ph" itu pun terwujud dalam bentuk huruf "f" dalam bahasa Indonesia.

Bandingkan dengan kata ini: telegraph, microphone, gramophone, phonology, dan phoneme, dan lain-lain seterusnya. Kata-kata itu semuanya diserap ke dalam bahasa Indonesia dan diucapkan menurut bunyi kata aslinya. Jadi, kita menyebut "telegraf", "mikrofon", "gramofon", "fonologi", dan "fonem".

KBBI pada awalnya menyerap kata telegraph sebagai telegrap tetapi pada edisi ketiga kata "telegrap" itu dirujuk kembali pada kata "telegraf" (telegrap-->telegraf). Entah apa alasannya saya tidak tahu. Mungkin sekali disesuaikan dengan kata-kata berbunyi "ph" yang lain.

Pusat Bahasa sampai kini masih menggunakan pedoman penyerapan kata asing itu melalui bentuk hurufnya (visi), tetapi tidak selamanya demikian karena bahasa Arab dan Cina, Jepang dan Korea tidak menggunakan huruf Latin.

Mengapa KBBI itu mencatat kata "telepon"? Mungkin sekali karena pengaruh lidahnya orang Jawa dan Sunda dan suku bangsa Indonesia di bagian barat yang pada umumnya tidak dapat mengucapkan fonem "f". (Harap juga diingat, bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia pun tidak mengenal fonem "f"). Karena itu, "telepon" merakyat dan menjadi kelaziman, maka KBBI pun mencatat kata "telepon" sebagai kata yang baku.

Maka kini terjadi persaingan kata "telepon" dan "telefon". Kalau kita merujuk pada KBBI maka kata "telepon" itulah yang baku atau standar. Tetapi, jika kita hendak menentukan kebenaran penulisan kata itu melalui penelusuran kaidah tata bahasa maka saya cenderung mengatakan "telefon" itulah yang benar.

Umbu Rey

Selasa, 21 Oktober 2008

Mengapa "petualangan"

Tulisan yang dimuat di rubrik bahasa halaman 15 harian KOMPAS bulan Juli 2008 berjudul "Mengapa Berpetualangan". Penulisnya adalah anggota milis guyubbahasa juga. Namanya Pamusuk Eneste. Bagus memang, tetapi saya ingin kasih sedikit komentar dari bagian terakhirnya saja seperti yang saya kutip berikut:

"Pada hemat saya kita harus menghentikan petualangan kata berpetualang."

Kata petualangan dalam kalimat di atas sungguh sangat merisaukan saya, dan karena itu tulisan ini saya beri judul "Mengapa Petualangan?"

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga, petualangan terbentuk dari kata dasar "tualang" yang berarti (1) beterbangan tidak keruan (ttg lebah) dan (2) orang yang tidak tentu tempat tinggalnya (berkeliaran), gelandangaan, atau pengembara.

Sampai kini kata "tualang" hanya berhak atau lazimnya hanya mendapat awalan "ber-" sehingga kita seharusnya hanya dapat berkata bertualang. Saya belum pernah mendengar orang berkata "menualang" dan KBBI edisi ketiga pun tidak mencatat kata itu.

Lalu, mengapa ada kata "petualangan", yang dalam KBBI diberi arti "perihal bertualang"? Jikalau kita perhatikan kelaziman orang berbahasa (kalau mungkin dapat disebut kaidah) maka pada umumnya kata dasar yang diberi awalan "ber-" akan menurunkan kata berimbuhan sbb:

1. Tualang --> bertualang --> mempertualangkan (tidak berterima) --> pertualangan --> petulang.

Bandingkan:

2. Juang --> berjuang --> memperjuangkan --> perjuangan --> pejuang

3. Dagang --> berdagang --> memperdagangkan --> perdagangan --> pedagang

4. Main --> bermain --> mempermainkan --> permainan --> pemain.

Kata dasar atau lema "tualang, juang, dagang," pada butir (1), (2), dan (3) di atas tidak pernah mendapat awalan "me-, dan karena itu tidak ada kata "menualang, menjuang, dan mendagang". Itu sebabnya tidak muncul kata "penualangan", "penjuangan", dan "pendagangan".

"Petualangan" itu dari mana asal-muasalnya, tak jelas benar. Jikalau KBBI mencatat kata "petualangan" pada halaman 1213 maka kata itu mungkin sekali adalah rekaman dari kebiasaan orang yang mengucapkannya secara salah kaprah.

KBBI sampai kini hanya merupakan buku yang merekam kata-kata tersebar yang lazim diucapkan orang saban hari dalam kurun waktu tertentu. Karena itu untuk mengetahui kebenaran arti kata-kata dalam kamus itu kita harus pula mengujinya melalui pernalaran tata bahasa (kaidah).

Menurut rumus pada butir (1) di atas, kata "pertualangan" diturunkan dari kata "bertualang". Jadi yang dimaksudkan dengan "perihal bertualang, perbuatan menekad (menyeleweng)" dalam KBBI edisi ketiga halaman 1213) seharusnya adalah pertulangan dan bukan petualangan".

Umbu Rey

Di bawah ini salinan tulisan "Mengapa Berpetualang?"

Ada satu kata yang kian populer di media cetak beberapa tahun terakhirini. Sayangnya, kata itu sebetulnya bentuk yang salah kaprah. Yang sayamaksud adalah kata berpetualang! Kata berpetualang telah menggeserkedudukan kata yang kaprah, yakni bertualang. Tidak percaya?

Menurutpenelitian 'Profesor' Google (15 Juli 2008), berpetualang terdapat dalam248.000 dokumen, sedangkan kata bertualang hanya dalam 60.600 dokumen.

Anehnya, berpetualang tidak hanya digunakan orang tak berpendidikan. Orang berpendidikan tinggi pun ikut larut dengan berpetualang. Simak saja kutipan berikut. "Berpetualang untuk Berpromosi" judul berita Kompas, 2Desember 2005."

Di sana, anak-anak bisa diajak berpetualang di alam terbuka sambil belajar bercocok tanam dan kegiatan lain yang sulit dilakukan di daerah perkotaan" pada Kompas, 12 Juli 2008. "Suatu kali, saya bisa ikut bersama Harry Potter berpetualang dengan bubuk floo, melawan sihir Voldemort" pada Matabaca, Desember 2005.

Janganlah kaget, kutipan terakhir berasal dari penulis berpendidikan S-3. Namun, kalau kita tanya apa arti berpetualang, pemakai kata itu mungkin akan bingung sendiri. Kenapa? Kata berpetualang tak kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa) atau Kamus Umum BahasaIndonesia (Badudu - Zain) atau Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko).

Kata yang tercatat dalam kamus adalah bertualang, yang berasal dari akar kata tualang. Kata bertualang menurut KBBI Edisi Ketiga bermakna'mengembara ke mana-mana', 'selalu pergi ke mana-mana'. Tualang sendiri berarti 'beterbangan tidak keruan' dan 'tidak tentu tempat tinggalnya (berkeliaran) '.

Orang yang bertualang disebut petualang. Proses pembentukan kata bertualang sama dengan berdagang dan berjuang. Kedua kata terakhir berasal dari akar kata dagang dan juang ditambah dengan awalan ber-.

Selanjutnya, orang yang berdagang disebut pedagang, orang yang berjuang disebut pejuang. Kita hampir tak pernah mendengar atau membaca kata berpedagang atau berpejuang. Yang sering muncul hanya berpetualang dan frekuensinya sangat tinggi. Ini sudah terbukti dengan hasil penelitian'Profesor' Google.

Kenapa muncul bentuk berpetualang? Saya menduga karena dua hal pertama, karena ketidaktahuan saja. Orang tak tahu bahwa berpetualang salah kaprah sehingga dipakai terus-menerus. Kedua, mungkin orang menganggap proses pembentukan kata itu sama dengan kata berpedoman dan berpengaruh.

Kedua kata terakhir ini memang berasal dari kata pedoman dan pengaruh. Namun, haraplah diingat, kedua kata ini merupakan kata dasar yang mendapat awalan ber-. Tidak demikian halnya dengan berpetualang.

Memang berpetualang berasal dari petualang dan awalan ber-. Hanya saja kata petualang bukan kata dasar, seperti pedoman dan pengaruh. Kata petualang merupakan turunan dari tualang dan awalan pe-.

Pada hemat saya kita harus menghentikan petualangan kata berpetualang. Kalau Anda ingin bertualang, silakan saja, tetapi jangan bilang berpetualang.

PAMUSUK ENESTE
Editor pada Sebuah Penerbit Buku

Jumat, 10 Oktober 2008

Gesang genap 91 tahun

Rekan saya mengabarkan dari Surabaya bahwa pada bulan Oktober ini Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo, itu akan genap 91 tahun usianya. Saya agak risau dengan perkataan "genap" dalam kasus usia ini.

Kata "genap" yang mengacu pada angka biasanya berlawanan dengan kata "ganjil". Dalam hitungan angka yang disebut genap adalah dua, empat, enam, delapan, sepuluh, sedangkan bilangan satu, tiga, lima, tujuh, dan sembilan adalah ganjil. Ciri lain dari angka genap adalah semua bilangan yang habis dibagi dua. Lain dari itu disebut ganjil.

Genap dan ganjil tidak selalu berhubungan dengan angka. Kita sering mendengar perkataan binatang "berkuku genap", atau lazim pula disebut berkuku belah. Yang masuk dalam jenis ini adalah kerbau, sapi, dan kambing.

Binatang atau hewan berkuku genap biasanya adalah pemamah biak. Disebut pemamah biak lantaran rumput atau makanan ditelannya bulat-bulat langsung masuk ke lambung, dan pada saatnya kemudian dimuntahkan untuk dimamah atau dikunyah lagi sebelum ditelan kembali.

Kebalikan dari itu adalah binatang berkuku ganjil atau lazim disebut gasal. Binatang berkuku gasal ini adalah kuda atau zebra atau yang sejenis dengan itu. Binatang ini tentu saja tidak memamah biak. Setiap kali makan langsung dikunyah dan langsung pula keluar menjadi tinja.

Genap juga berarti lengkap, atau pembulatan bilangan supaya menjadi genap. Orang yang jujur tulus biasanya "menggenapi" janjinya. Kata genap dalam hal ini bermakna menepati janji. Dalam ajaran Kristen, sesuatu yang terjadi menurut ramalan para nabi biasanya disebut bahwa janji Tuhan sudah digenapkan. "Aku datang bukan untuk mengubah Taurat, tetapi untuk menggenapkan. "

Dalam peribahasa, kata "genap" dapat pula berarti sudah sampai waktunya, atau sudah tiba ajalnya. Jika sudah genap bilangannya maka ajal pun akan merenggut nyawa. Demikian juga kata "ganjil" memiliki arti yang lain. Yang sekarang ini hampir tidak lagi atau jarang sekali digunakan orang adalah kata "ganjil" yang bermakna "aneh".

Orang yang bersikap lain dari biasanya disebut ganjil benar tabiatnya itu. Demikian juga jika saya berkata lain dari persoalan usia ini maka Anda tentu dapat berkata bahwa ganjil benar perkataan saya.

Penjelasan saya tentang genap dan gasal atau ganjil di atas tentu saja berbeda dari genap pada usia Gesang. Penghitungan usia disebut genap akan selalu berhubungan dengan angka, sama halnya dengan penghitungan semester genap dan ganjil pada masa kuliah.

Jadi, benarkah Gesang "genap" 91 tahun usianya pada bulan Oktober ini? Rasanya tidaklah mungkin pula kita berkata bahwa Gesang akan "ganjil" 91 tahun usianya karena angka 91 itu pastilah disebut ganjil.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "genap" itu akan kita temukan maknanya bermacam-macam. Kalau begitu, mengapa usia Gesang yang ke-91 tahun pada bulan Okoter nanti disebut genap?

Tahun yang lampau (bulan Oktober 2007) ketika Gesang merayakan ulang tahunnya, orang ramai mengatakan penggubah lagu keroncong Jembatan Merah itu telah genap berusia 90 tahun. Mengapa pada tahun ini ketika usianya 91 tahun disebut genap juga?

KBBI memberikan contoh kalimat pada lema "genap" (halaman 352) yakni "perkawinan kita telah genap 32 tahun". Saya pikiir, angka 32 pada contoh kalimat itu adalah bilangan utuh (tidak kurang), penuh, dan lengkap tetapi tetaplah genap.

Demikian pula angka 91 pada usia Gesang adalah bilangan penuh, utuh (tidak kurang) dan lengkap, tetapi itu adalah angka ganjil. Karena itu, Gesang telah "mencapai" usia 91 tahun pada Oktober tahun 2008 ini lebih tepat daripada "genap berusia 91 tahun".

Umbu Rey

Tampak Tidak Terlihat (wawancara)

Saya tidak tahu persis apakah ini gejala penyimpangan atau mungkin perkembangan bahasa Indonesia. Hampir setiap saat saya amati koran-koran menulis kata "tampak" secara tidak tepat makna. Ini pendapat saya dan boleh dibantah.

Beberapa tahun yang lalu ketika mantan Presiden RI Pak Harto masih hidup, kegiatannya selalu saja disorot wartawan. Pada suatu saat setelah bulan Ramadan usai, diadakanlah sembahyang atau salat Id di Masjid At-Tien di Taman Mini Indonesia Indah untuk menyambut Idulfitri. Masjid itu, konon, didirikan oleh Ibu Tien Soeharto. Ribuan orang memadati masjid itu.

Kantor Berita Antara juga meliput kegitan itu, dan wartawannya tentu saja melaporkan peristiwa itu dari sudut pandangnya sendiri. Apa yang dilihatnya di situ dilaporkannya semua secara terperinci, dan berhamburanlah kata "tampak" dalam laporannya itu.

Salah satu kalimatnya berbunyi "Ribuan umat muslim memadati Masjid At-Tien di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) untuk melakukan salat Id, tetapi mantan Presiden Sooharto tampak tidak terlihat".

Terus-terang saya bingung setengah mati membaca berita itu. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak dapat dilihat atau yang tidak ada di tempat itu tampak atau dapat dilihat oleh wartawan Kantor Berita Antara? Kata "tampak" agaknya digunakan sebagai kebiasaan, dan mungkin merupakan pemanis kata atau pelengkap tanpa makna. Karena itu setiap kali melaporkan berita pandangan mata, wartawan mesti menggunakan kata "tampak" itu.

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga, kata "tampak" hanya memiliki makna yang berhubungan dengan apa yang dilihat mata. Tampak artinya (1) dapat dilihat, kelihatan, dan (2) memperlihatkan diri atau muncul. Dari kata "tampak" turun kata tampaknya, tampak-tampak, menampak, menampakkan, tertampak, dan penampakan, yang kesemuanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat dilihat mata.

Kalau kata "tampak" dipakai bersamaan dengan kata "terlihat" mungkin masih dapat diterima akal sebab kata "tampak" dalam kasus ini hanya menegaskan apa yang dilihat wartawan. Bandingkan dengan "tampak ada" atau "telah tampak orang ramai di situ".

Jika kita menggunakan "tampaknya ada", maka frasa itu merupakan pernyataan atau penafsiran sesuatu yang tidak pasti atau belum tentu terjadi. Jikalau kita mengatakan "Pak Harto tampaknya tidak akan hadir di masjid itu" maka kalimat itu menyiratkan makna bahwa Pak Harto mungkin sekali akan hadir juga di situ, tetapi belum terlihat.

Tetapi kalau kita mengatakan Pak Harto "tampak tidak hadir" dalam acara itu, maka kata tampak itu menjadi mubazir atau bahkan tidak masuk akal lantaran tak akan mungkinlah mata melihat sesuatu yang tidak hadir.

Anehnya, Harian KOMPAS edisi Jumat 29/8/2008 menurunkan berita pada halaman 9 mengenai kemenangan Anwar Ibrahim yang kembali ke parlemen setelah menang dalam pemilu sela di Malaysia. Pada halaman itu tertulis: Pada saat pengambilan sumpah Anwar, Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi, Wakil PM Nadjib Razak, serta sebagian anggota kabinet tampak tidak hadir di gedung parlemen.

Dapatkah orang yang tak hadir di situ tampak atau dapat dilihat oleh wartawan?

Umbu Rey

Berikut ini tanggapan Bari Muchtar (Radio Nederland):

Bung Umbu,

Saya tidak akan membantah, tapi ingin mengajukan yang mungkin bisa memperparah diskusi. Banyak orang menggunakan "nampak", bukan "tampak". Ada yang mengatakan dua kata ini sebenarnya artinya sama. Nampak itu pengaruh bahasa Jawa, sementara tampak murni bahasa Melayu. Bagaimana pendapat anda, Bung Umbu?

Terus apakah bisa misalnya kata "tampak" di tulisan Kompas tadi diganti dengan "tampaknya"? Jadi kalimatnya menjadi begini: "pada saat pengambilan sumpah Anwar, Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi, Wakil PM Nadjib Razak, serta sebagian anggota kabinet tampaknya tidak hadir di gedung parlemen".

Dengan kata lain bisakah kita menggunakan "tampaknya" di sini untuk menunjukkan sesuatu yang tidak pasti? Karena anda menulis: Jika kita menggunakan "tampaknya ada", maka frasa itu merupakan pernyataan atau penafsiran sesuatu yang tidak pasti. Contohnya, Pak Harto tampaknya tidak akan hadir di Masjid itu.

Terima kasih sebelumnya dan salam dari negeri kincir angin

Bari Muchtar/Radio Nederland http://www.ranesi.nl/

Jawaban saya:

Bung Bari di Nederland,

Kata "nampak" itu masuk kategori bahasa percakapan. Itu kebiasaan orang Jakarta atau Jawa pada umunya yang suka memotong-motong kata supaya lebih singkat saja. Alih-alih mengatakan "kita pergi menonton" mereka lebih suka mengatakan "kita nonton". Kata lain yang serupa dengan itu dapat kita lihat pada kata kacau-->ngaco", karang --> ngarang, pantul --> mantul dst.

Kata "tampak" dalam tulisan di KOMPAS itu tidak bisa diganti dengan "tampaknya" sebab orang (pejabat tinggi) yang disebutkan dalam koran itu memang sudah pasti tidak hadir dalam acara sumpah jabatan itu sampai acara itu usai.

Kata "tampaknya" yang saya maksudkan itu lebih menunjuk pada arti ramalan atau perkiraan tentang sesuatu yang bakal atau akan terjadi atau mungkin juga tidak akan terjadi. Jadi, "tampaknya" bersinonim dengan "mungkin".

Harian KOMPAS beda dari Bantor Berita Antara. Koran mempunyai tenggat waktu lebih lama daripada kantor berita. Artinya, wartawan koran baru akan menulis beritanya pada umumnya ketika acara itu sudah usai tuntas.

Kantor Berita Antara bekerja dengan tenggat setiap saat, hampir mirip dengan radio yang melaporkan pandangan mata langsung dari tempat kejadian. Ketika acara itu belum usai beberapa peristiwa atau kejadian dalam acara itu sudah harus disiarkan pada saat itu juga.

Ketika acara sembahyang atau salat Id itu belum usai (masih berlangsung), masih ada kemungkinan Pak Harto akan hadir dalam acara itu. Mungkin pada pertengahan acara atau mungkin pada akhir acara itu.

Pada saat yang demikian itu, wartawan Antara seharusnya menggunakan kata "tampaknya" karena ada kemungkinan seperti yang saya sebutkan di atas. Jika saja wartawan Antara cenderung memperkirakan Pak Harto tidak akan hadir, maka dia seharusnya melaporkan "Pak Harto tampaknya tidak akan hadir dalam acara itu".

Tetapi, kalau Pak Harto diketahuinya tidak hadir, maka pastilah Pak Harto tidak akan kelihatan atau tidak akan tampak di tempat itu. Lantas, mengapa wartawan menggunakan kata "tampak tidak kelihatan". Bukankah orang yang tidak hadir di situ memang tidak tampak atau tidak mungkin bisa kelihatan atau terlihat?

Semoga jelas.

Umbu Rey

Tanggapan Bari Muchtar (Radio Nederland):

Bung Umbu,

Terima kasih atas penjelasan Anda. Bisakah saya mewawancarai anda tentang kebijakan bahasa di Antara? Wawancara itu akan saya siarkan di acara radio saya dan juga akan dimuat di situs kami: www.ranesi.nl. Kalau anda bersedia, tolong kasih tahu nomor telpon anda dan emailkan langsung ke alamat email saya:bari.muchtar@ rnw.nl

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Bari Muchtar/Radio Nederland

Jawaban saya:

??????????

Umbu Rey

Senin, 08 September 2008

Idulfitri adalah hari H

Menurut kalender resmi tahun Masehi, hari Idulfitri tahun ini jatuh pada hari Rabu 1 Oktober 2008. Akh, nggak benar itu! Yang benar, Idulfitri tahun 2008 akan jatuh pada hari H. Kalau Anda tidak percaya, tunggulah nanti sampai waktunya tiba.

Para wartawan dan para pejabat instansi di bidang keagamaan dan pejabat di lembaga yang terkait dengan urusan Iduliftri mulai dua minggu ke depan akan dengan lantang mengatakan Idulfitri itu adalah hari H. Padahal, dalam kalender nasional nama hari yang kita kenal adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Mingu. Cuma ada tujuh hari, dan tidak ada itu yang namanya hari H.

Entah mengapa disebut hari H, saya tidak paham benar. Setelah tanya sana tanya sini, saya mendapat jawaban bahwa hari H itu ada lantaran orang atau pejabat dan wartawan suka
latah. Konon, hari H itu muncul sebagai terjemahan D-Day dalam bahasa Inggris.

Arti huruf D dalam D-Day itu tidak ada yang pasti. Kamus Wikipedia mengatakan D-Day dapat juga berarti Day of Days. Istilah ini semula hanya digunakan di kalangan militer saja.

Mungkin itu sebabnya D-Day lalu diterjemahkan menjadi Hari H. Cuma, istilah militer itu lalu dipakai untuk hari keagamaan, jadi ganjil juga rasanya.

Kebetulan sekali Idullfitri tahun ini akan jatuh pada 1 Oktober (jika ditetapkan demikian) bersamaan dengan peristiwa kudeta berdarah tahun 1965 yang dilakukan oleh PKI pimpinan Aidit. Tanggal 1 Oktober 1965 itu adalah D-Day penculikan tujuh jenderal oleh PKI, dan karena itu disebut Gestok atau Gerakan Satu Oktober. Tetapi, pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto menyebut D-Day PKI terjadi pada 30 September dan karena itu disebut G-30 S/PKI atau Gerakan 30 September

Maka pada tanggal 30 September 2008 (satu ahri sebelum D-Day umat Islam akan menyerukan takbir dan tahmid. Tetapi itu dilakukan untuk merayakan sebagai hari kemenangan setelah 30 hari berpuasa menuruti perintah agama. Bukan untuk memuji Pak Harto dan Pancasila yang telah menumpas PKI.

Ada sebagian orang yang mengatakan D- adalah singkatan dari kata (Inggris) "Decision". Jadi, D-Day adalah hari keputusan atau hari yang ditetapkan. Kalau demikian, huruf H dalam hari H itu singkatan dari kata apa? Ya, sudahlah, biarkanlah begitu.

Yang menjadi masalah kemudian adalah, apakah hari H itu cuma sehari, ataukah dua hari karena Idulfitri ditetapkan jatuh pada tanggal 1 dan 2 Oktoberr 2008. Tahun yang lalu dalam milis ini pernah juga disinggung secara singkat perkara hari H itu lantaran penggunaannya terserah pada yang menyebutnya. Jadi, mana suka sajalah. Yang bingung orang yang baca.

Kantor Berita Antara akan cenderung mengatakan hari H itu adalah tanggal 1 dan 2 Oktober. Jadi, H-1 (baca: Ha min satu) adalah "satu hari sebelum" tanggal 1 Oktober, dan H+1 (baca: Ha plus satu) adalah "satu hari setelah" tanggal 2 Oktober.

Mengapa begitu, karena tidak ada ketentuan yang menetapkan bahwa hari H itu cuma sehari.
Boleh dua hari dan boleh juga tiga hari. Nah, yang perlu dipertanyakan, hari Idulfitri itu
menurut ketentuan agama ada berapa harikah?

Jika Idulfitri itu jatuh pada hari Rabu 1 Oktober (tahun Masehi) maka hari dan tanggal itulah yang disebut hari H, dan karena itu Kamis 2 Oktober merupakan masa libur tambahan atau H+1.

Agaknya ada salah pengertian mengenai hari H yang merupakan hari yang ditetapkan dan hari H yang merupakan masa Lebaran.

Rekan-rekan di media massa khususnya yang tergabung dalam FBMM (Forum Bahasa Media Massa) mesti menetapkan hari H itu hari apa.

Umbu Rey

Kamis, 04 September 2008

Tampak tidak terlihat

Saya tidak tahu persis apakah ini gejala penyimpangan atau memang perkembangan bahasa Indonesia. Hampir setiap saat saya amati koran-koran menulis kata "tampak" secara tidak tepat makna. Ini cuma pendapat saya dan boleh dibantah.

Beberapa tahun yang lalu ketika mantan Presiden RI Pak Harto masih hidup, kegiatannya selalu saja disorot wartawan. Pada suatu saat setelah bulan Ramadan diadakanlah sembahyang Ied di Masjid At-Tien di Taman Mini Indonesia Indah untuk menyambut Idulfitri. Masjid itu, konon, didirikan oleh Pak Harto. Ribuan orang memadati masjid itu.

Kantor Berita Antara juga meliput kegitan itu, dan wartawannya tentu saja melaporkan peristiwa itu dari sudut pandangnya. Apa yang dilihatnya di situ dilaporkannya semua secara terperinci, dan berhamburanlah kata "tampak" dalam laporannya itu.

Salah satu kalimatnya berbunyi "Ribuan umat muslim memadati Masjid At-Tien di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) untuk melakukan sembahyang Ied, tetapi mantan Presiden Sooharto tampak tidak terlihat".

Terus-terang saya bingung setengah mati, bagaimana mungkin seseorang yang tidak dapat dilihat tampak oleh wartawan Kantor Berita Antara. Kata "tampak" agaknya digunakan sebagai kebiasaan, dan mungkin merupakan pemanis kata atau pelengkap tanpa makna. Mungkin itu sebabnya para wartawan suka menggunakan kata "tampak" itu.

Dalam KBBI kata "tampak" hanya memiliki makna yang berhubungan dengan apa yang dilihat mata. Tampak artinya (1) dapat dilihat, kelihatan, dan (2) memperlihatkan diri atau muncul. Dari kata "tampak" turun kata tampaknya, tampak-tampak, menampak, menampakkan, tertampak, dan penampakan, yang kesemuanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat dilihat oleh mata.

Kalau kata "tampak" dipakai bersamaan dengan kata "terlihat" mungkin masih dapat diterima akal sebab kata "tampak" dalam kasus ini hanya menegaskan apa yang dilihat wartawan. Bandingkan dengan "tampak ada". Tetapi dalam ragam jurnalistik kata "tampak" dalam konteks ini dianggap mubazir sebab yang terlihat itu pastilah tampak dan yang ada itu pun sudah pasti tampak.

Jika kita menggunakan "tampaknya ada", maka frasa itu merupakan pernyataan atau penafsiran sesuatu yang tidak pasti. Contohnya, Pak Harto tampaknya tidak akan hadir di Masjid itu. Tetapi kalau Pak Harto "tampak tidak hadir" dalam acara itu, maka kata "tampak" itu tidak masuk akal, lantaran tak akan mungkinlah mata melihat sesuatu yang tidak hadir.

Anehnya, Harian KOMPAS edisi Jumat 29/8/2008 menurunkan berita pada halaman 9 mengenai kemenangan Anwar Ibrahim yang kemabali ke parlemen setelah menang dalam pemilu sela di Malaysia.

Pada halaman itu tertulis: Pada saat pengambilan sumpah Anwar, Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi, Wakil PM Nadjib Razak, serta sebagian anggota kabinet tampak tidak hadir di gedung parlemen. Jadi, yang tak hadir pun tampak oleh wartawan. Ganjil betul.

Kata "tampak" dalam tulisan di KOMPAS itu tidak bisa diganti dengan "tampaknya" sebab orang (pejabat tinggi) yang disebutkan dalam koran itu memang sudah pasti tidak hadir dalam acara sumpah jabatan itu sampai acara itu usai.

Kata "tampaknya" yang saya maksudkan itu lebih menunjuk pada arti ramalan atau perkiraan tentang sesuatu yang akan terjadi atau tidak terjadi. KOMPAS itu beda dari Antara. Koran itu mempunyai tenggat waktu lebih lama daripada kantor berita. Artinya, wartawan koran baru akan menulis beritanya ketika acara itu usai tuntas.

Kantor berita Antara bekerja dengan tenggat setiap saat, hampir mirip dengan radio yang melaporkan pandangan mata langsung dari tempat kejadian. Ketika acara itu belum usai beberapa peristiwa atau kejadian dalam acara itu sudah harus disiarkan pada saat itu juga.

Karena itu, ketika acara sembahyang Ied itu belum usai (masih berlangsung) , masih ada kemungkinan Pak Harto akan hadir dalam acara itu. Mungkin pada pertengahan acara atau mungkin pada akhir acara itu. Pada saat yang demikian itu, wartawan Antara seharusnya menggunakan kata "tampaknya" karena ada kemungkinan seperti yang saya sebutkan di atas.

Jika wartawan Antara cenderung memperkirakan Pak Harto tidak akan hadir, maka dia seharusnya berkata Pak Harto tampaknya tidak akan hadir dalam acara itu (artinya ada kemugkinan Pak Harto hadir).

Tetapi, kalau Pak Harto diketahuinya tidak hadir, maka pastilah Pak Harto tidak akan kelihatan di tempat itu. Lantas, mengapa wartawan menggunakan kata "tampak tidak kelihatan"? Bukankah orang yang tidak hadir di situ memang tidak tampak atau tidak kelihatan?

Logika wartawan acap kali membuat kita pusing juga. Kata 'tampak' dalam frasa itu sebenarnya tidak bermasalah jikalau di situ tak tercantum kata 'tidak'. Jikalau kita menyebut 'tampak hadir' maka nalar kita tetaplah jalan sebab yang hadir pastilah tampak di acara itu. Sama seperti kita mengatakan 'tidak hadir' maka nalar kita pun jalan.

Jikalau kata 'tampak' itu dihubungkan dengan 'tidak hadir' maka nalar kita seakan-akan sudah dijungkir-balikkan. Tampak itu adalah sama dengan 'kelihatan' (lihat KBBI edisi ketiga) dan orang yang 'tidak hadir' itu pastilah juga tidak kelihatan sebab dia tidak ada di tempat acara itu.

"Pak Harto tampak tidak terlihat". Kok, bisa-bisanya itu wartawan melihat yang tidak ada!

Umbu Rey

Kamis, 28 Agustus 2008

Amandemen?

Menurut saya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga tidak terlalu bijak menyerap kata "amendment" dari bahasa Inggris. Kamus besar itu mencatat kata "amandemen" pada halaman 35 tetapi tanda panah dan menganjurkan kepada para pengguna bahasa Indonesia untuk menggunakan kata "amendemen".

Lema "amendemen" itulah yang diberi arti, yakni (1)usul perubahaan undang-undang yang dibicarakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan sebagainya, dan (2) penambahan pada bagian yang sudah ada.

Mengapa KBBI tidak secara tegas saja menerjemahkan kata "amendment" ke dalam bahasa Indonesia? Kita menyerap sebuah kata dari bahasa asing karena pertimbangan kata asing itu tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Sayangnya, cara penyerapan kata itu pun tidak terlalu jelas patokannya, apakah kita mengikuti apa yang tertulis dalam bahasa aslinya ataukah melalui bunyi kata yang terdengar di telinga kita. Mungkin dua cara ini dipakai secara bersamaan karena tidak semua bahasa menuliskan kata-katanya dalam huruf Latin, misalnya bahasa Arab dan Cina.

Saya lebih tertarik dengan cara orang Malaysia menyerap kata asing. Pada umumnya dalam bahasa Malaysia, yang saya tahu, semua kata asing diserap melalui proses pendegaran, lalu ditulis sesuai dengan apa yang didengarnya itu. Misalnya, television menjadi televisyen.

Dalam kasus "amendment" kita seharusnya tegas menerjemahkan saja kata itu karena sudah ada padanannya. Mengapa kita tidak mengatakan "PENGUBAHAN" UUD 45 atau "PERBAIKAN" UUD 45 saja daripada kita harus berpura-pura menjadi Inggris supaya dikira cerdas, lalu dengan sikap yang keinggris-inggrisan kita mengatakan "amandemen".

"Amendment" berasal dari kata Inggris "amend" yang berarti mengubah (change) atau membuat menjadi lebih baik atau memperbaiki (repair). Mungkin sekali kita terlalu terbiasa mencari kata "amendment" itu dalam kamus John M. Echols dan Hassan Shadily, dan karena itu pula kita terpengaruh dengan cara kamus itu menerjemahkan atau menyerap kata itu.

Akibatnya, setiap hari di koran-koran kita akan membaca kata "amandemen" dan kata "merubah" UUD 45 seperti yang tertulis dalam kamus Inggris Indonesia itu. Kebiasaan yang sudah mendarah daging itu akhirnya dianggap benar saja walaupun sudah berulang-ulang diperbaiki.

Di Kantor Berita Antara, kerja saya setiap hari adalah mengubah huruf "a" menjadi "e" pada kata "amandemen" itu. Kadang-kadang saya harus menerjemahkan saja kata Inggris itu menjadi "mengubah" UUD 45 atau "pengubahan" UUD 45 atau "perbaikan" undang-undang. Sampai bosan saya mengganti "a" degan "e" tetapi tetapi tidak pernah digubris.

Apa lacur, agaknya bangsa ini (baca: wartawan) lebih suka berlindung atau melindungi dirinya di balik perkataan kamus. "Kan, di kamus begitu tulisannya!" demikian pada umumnya mereka berkilah.

Akhirnya, kata "amandemen" itu lalu dianggap "sah-sah" saja karena begitulah adanya. Maka tebersit pula pelesetan kata "amandemen" itu dalam arti "demen" mencari "aman" atau suka mencari aman saja supaya tidak kelihatan begonya.

"Akh Umbu, biar 'aman', kan banyak yang 'demen' (suka)," kata mereka, maka kekallah hidupnya amandemen sampai sekarang.

Senyampang KBBI masih dalam proses perbaikan sebelum terbit edisi keempat, melalui milis ini saya mengimbau Pusat Bahasa, sudilah kiranya kata "amendment" itu Engkau terjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia. Atau hapus saja kata itu dari dalam kamus.

Mudah-mudahan saya tidak keliru. Jadi mohon maaf.

Umbu Rey

Sekuriti vs Sekuritas

Dulu ada usul ketika bincang-bincang dalam Forum Bahasa Media Massa agar setiap kata serapan dari bahasa Inggris yang berakhir dengan "ity" hendaknya menjadi "itas" dalam bahasa Indionesia.

Ini usul mencuat karena tidak semua kata Inggris yang diserap ke dalam bahasa Inggris berbunyi "itas" dalam bahasa Indonesia. Padahal, hampir semua kata dari Inggris itu pastilah berbunyi "itas" kalau sudah diucapkan atau ditulis dalam bahasa Indonesia. Contoh: credibility --> kredibilitas, identity --> identitas, priority --> prioritas, quality --> kualitas.

Kata "kuallitas" itu dulunya tidak dikenal, dan orang lazim menyebut "kualiteit" yang diserap dari bahasa Belanda. Tetapi, karena kita hendak melupakan penjajahan Belanda maka kata itu pun lenyap ditelan waktu. KBBI pun tak mau lagi mencatat kata 'kualiteit" itu.

Kata-kata dari bahasa Portugis pun sebenarnya memperkaya kosa kata bahasa Indonesia, tetapi meskipun dikait-kaitkan dengan penjajahan kata-kata dari bahasa Portugis masih tetap juga kita gunakan saban hari.

Setakat ini orang tidak lagi sadar atau tidak mengetahui lagi bahwa semua benda yang kita pakai di badan mulai dari sepatu, celana, sampai kemeja, adalah kata-kata yang diambil dari bahasa Portugis.

Orang Indonesia sesungguhnya tidak mengenal "celana". Untuk menutup (barang) kemaluan maka yang kita pakai adalah "cawat". Cawat itu bukan celana karena hanya merupakan lembaran kain atau kulit kayu yang dililitkan di paha dan selangkangan atau menutupi pinggul perempuan.

Dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah ada kata "mutu" tetapi kata itu jarang sekali dipakai karena orang lebih suka memakai kata asing supaya disangka pintar atau cerdas. Begitu juga orang lebih suka pakai kata "qanun" dari bahasa Arab daripada istlah "perda" (peraturan daerah) sebab ganjarannya adalah surga. Maklum, kata-kata dari bahasa Arab sudah dianggap suci kalau berhubungan dengan agama, dan karena itu tidak boleh diubah.

Di Kantor Berita Antara, para wartawan bisa berkelahi kalau "sholat" atau "shalat" diganti dengan "salat" (tanpa fonem "h"). Padahal bahasa Arab tidak ditulis dengan huruf Latin. Saya pikir orang Arab juga bebas menulis menurut kebiasaan dalam bahasanya kalau mereka menyebut "encok" atau "cekcok" , sebab bunyi ca ci cu ce co itu tidak dikenal dalam bahasa Arab.

Entah kenapa, "celebrity" itu kok tetap bertahan menjadi "selebriti", dan "commodity" juga tetap saja orang bilang "komoditi". Kadang-kadang mengganti kata "selebriti" menjadi "selebritas" dan "komoditi" menjadi "komoditas" adalah pekerjaan sangat berat bagi saya. Soalnya, hari ini diubah besok muncul lagi aslinya. Begitu terus tiap hari sampai saya hampir bosan.

Nah, yang mau saya bicarakan ini malah bikin saya pusing. "Sekuriti" itu mau saya ubah menjadi "sekuritas" susah. Soalnya "iti" dan "itas" pada kasus kata sekuriti itu berbeda pengertiannya dalam bahasa Indonesia. Ketika "security" diserap menjadi "sekuritas" maka pengertiannya adalah surat berharga, dan ketika kita menulis atau menyebut "sekuriti" maka yang dimaksudkan adalah keamanan.

Dalam bahasa Inggris "security" itu adalah surat berharga dan sekaligus juga berarti keamanan, bergantung pada konteks pembicaraan. Mungkin karena itu, orang enggan menyebut "sekuritas" dalam pengertian keamanan. Di mana-mana kalau kita hendak masuk perkantoran besar atau gedung besar, maka di depan gerbang pasti akan tertulis: "Para tamu harap lapor SEKURITI". Tak mungkinlah di situ ditulis "Para tamu harap lapor SEKUTRITAS.

Nah, ini yang bikin saya pusing tadi. Mosok, tamu melaporkan surat berharga (sekuritas) atau para tamu disuruh melaporkan keamanan (sekuriti). Ganjil betul!

Umbu Rey