Kamis, 31 Juli 2008

AC

AC yang saya maksudkan dalam judul di atas adalah singkatan dari kata Inggris AirConditioning. Kadang-kadang orang mengatakan Air Conditioner. Tetapi, dalam bahasa Indonesia, pada umumnya orang menyebut atau menerjemahkannya dengan istilah "pendingin udara", atau yang lain lagi menyebut "pendingin ruangan".

Benda ini pada mulanya hanya berbentuk kotak persegi seperti pesawat televisi yang besarnya bergantung pada kebutuhan atau besar kekuatannya untuk mendinginkan ruangan. Biasa disebut AC Window karena dipasang di jendela kamar. Jika hendak dipasang, dinding kamar harus dijebol dulu dan dibentuk seperti jendela seukuran kota pesawat AC itu. Benda ini ditemukan atau diciptakan oleh seorang Amerika bernama Carrier, tetapi saya lupa nama depannya dan kapan ditemukan.

Pada perkembangannya, pesawat itu mengalami perubahan bentuk juga, dan dibuat dengan "split system". Dalam sistem seperti ini, mesin pesawat AC itu tidak lagi ditempatkan di jendela kamar tetapi ditempatkan di luar gedung atau di luar kamar kita dan hanya embusan anginnya saja yang masuk ke dalam ruangan. Sistem seperti ini banyak digunakan di gedung-gedung tinggi pencakar langit.

Waktu Jepang memperoleh izin untuk memproduksinya, nama AC itu menjadi Toyo Carrier. Maka berkembanglah benda itu dalam berbagai macam bentuk dan sistem dan diproduksi juga oleh banyak perusahaan Jepang seperti Toshiba, LG, National, Mitsubishi dll.

Meskipun begitu, namanya tetap juga disebut "pendingin ruangan" atau "pendingin udara". Kalau kita tilik dari kata per kata secara lempang saja maka Air Conditioning itu mestinya kita sebut "pengatur suhu udara. Sebab "air" adalah udara dan "conditioning" adalah pengatur(an).

AC itu sebenarnya dibuat bukan untuk mendinginkan udara doang, sebab bisa diatur menurut kesukaan kita. Kalau terlampau dingin bisa dikurangi atau disetel sedang-sedang saja menurut keadaan yang kita mau. Lagi pula, di dalam kamar atau di badan pesawat AC itu ada tombol-tombol yang dapat diputar-putar agar embusan angin atau suhu ruangan itu dapat kita atur sesuka kita.

Suhu ruangan dalam kamar diatur dengan embusan zat cair yang disebut "freon" yang terdapat dalam kompresor dalam mesin pesawat AC itu. Di bagian belakangnya ada kipas yang disebut "blower" yang ketika berputar, lalu mendesak freon itu keluar dari kompresor.

Freon itu keluar melalui pipa besar secara berliku-liku dan kemudian masuk ke pipa yang ukurannya sedang lalu masuk lagi ke pipa paling kecil sehingga tiupan anginnya menjadi sangat halus. Karena itulah freon itu menjadi dingin dan menyejukkan ruangan. Mungkin karena itu pula AC lalu disebut "pendingin udara".

Tetapi, kalau kita tidak suka dingin, maka pesawat AC itu bisa kita setel tombolnya supaya freon itu tidak keluar. Jadi kita hanya menikmati alunan angin yang bertiup sepoi-sepoi bahasa saja. Ruangan menjadi sejuk dan kita merasa segar dan nyaman.

Sebetulnya yang saya bicarakan ini semua orang juga sudah tahu, tetapi saya perlu kembali menuliskannya dengan oret-oretan supaya menjadi alasan bahwa AC itu sebenarnya adalah "pengatur suhu ruangan".

Bukankah freon yang keluar bisa di atur-atur, dan dengan begitu keadaan suhu udara dalam ruangan bisa pula diatur-atur? Karena itu lebih masuk akal jika AC itu saya sebut pengatur suhu udara. Menurut KBBI, suhu adalah ukuran kuantitatif terhadap termperatur, panas dan dingin, diukur dengan termometer.

Inilah terjemahan Air Conditioning menurut saya. Terjemahan yang lain mungkin juga benar menurut pemahaman tiap-tiap orang. Tentu saja alasan saya ini subjektif sifatnya, dan karena itu pula istilah pendingin udara atau pendingin ruangan tidak saya salahkan.

Umbu Rey

Rabu, 09 Juli 2008

Bola itu bundar

Bola itu bundar memang begitulah adanya. Itu arti sebenarnya, tetapi di samping itu, frasa ini juga merupakan ibarat atau metafora untuk
menyatakan sesuatu yang tidak pasti atau bisa berubah di luar perhitungan, terutama dalam menebak hasil pertandingan sepak bola.

Hitung-hitungan atau perkiraan orang mengenai negara mana yang bakal menang dalam kejuaraan sepak bola Piala Eropa belum lama ini sering
meleset dan akibatnya uang jutaan rupiah ludes gara-gara kalah taruhan, gara-gara bola itu bundar.

Awalnya dengan hitungan yang cermat setelah melihat komposisi dan kekuatan, ukuran tubuh dan kecerdasan para pemain serta taktik yang
dilakukan pelatihnya, tim "panser" Jerman diunggulkan 90 lawan 10. Hampir semua orang yakin tim itu bakal keluar sebagai juara Eropa tahun 2008.

Hitung-hitungan di atas kertas memang sudah sangat jitu, tetapi itu dia, gara-gara salah tebak maka harapan ingin jadi orang kaya pun lenyap. Bola yang bundar memang susah sekali ditebak ke mana arahnya dia melesat.
Kadang-kadang sudah ditendang ke arah yang pas, tetapi kenyataannya bola itu melenceng jauh sekali ke atas atau ke samping gawang.

Yang paling bikin kesal pendukung satu tim, ketika bola cuma menyentuh tiang gawang, atau ditahan kiper, sehingga gol gagal tercipta. Pendukung tim favorit tentu saja mengeluarkan suara keras karena kesal, "Aduuuuhhh..!" sambil garuk-garuk kepala. Tetapi lawannya justru senang dan gembira ria sebab gol tidak terjadi. Artinya, untuk sementara dia luput dari kekalahan.

Kesebelasan Spanyol sebenarnya tidak diperhitungkan pada awalnya sebab tim ini tidak pernah menang dalam kejuaraan sepak bola Euro sejak tahun 1964. Tetapi, perhitungan para pengamat bola ternyata bisa jungkir balik juga. Meleset juga.

Tim yang mendapat julukan Matador ini ternyata tidak pernah dikalahkan sejak awal sampai final. Tim Jerman ditekuknya di final dengan satu gol tunggal langsung pada babak pertama. Gol tercipta pada babak pertama oleh
Torres pada menit ke-30.

Itu semua gara-gara "bola itu bundar". Susah ditebak. Cuma, kenapa bola itu harus bundar, dan bukan bulat, itu persoalan lain lagi. Biasanya memang begitu orang bicara, tetapi mestinya harus ada alasan.
Karena itu saya bingung ketika teman saya bertanya, "Umbu, apa bedanya bundar dan bulat?"

KBBI menjelaskan bulat itu berbentuk seperti bola, misalnya, bumi itu bulat bentuknya. Bundar berbentuk lingkaran dengan jari-jari yang sama (panjang), misalnya meja bundar. Cuma itu. Arti yang lain adalah ibarat atau kiasan. Misalnya pikiran bulat, tekad bulat.

Yang bundar itu selalu bulat, dan yang bulat itu belum tentu bundar. Telur itu bulat, tidak ada telur yang bundar. Telur ayam dan bebek bulat lonjong bentuknya.

"Topi saya bundar, bundar topi saya. Kalau tidak bundar, bukan topi saya," begitu kata Ibu Guru ketika mengajar kita bernyanyi waktu sekolah dasar kelas satu. Ini stanza kedua dari lagu "burung kakatua hinggap di
jendela".

Wajah manusia ada yang berbentuk bulat oval (bulat lonjong atau bulat telur) dan ada bulat saja, tetapi belum pernah saya mendengar ada orang yang wajahnya bundar. Mungkin cuma Doraemon saja yang wajahnya bundar seperti bola.

Itu saja bedanya. Lalu bedanya yang lain apa, kata teman saya. Terpaksa saya bikin definisi sendiri. Bulat itu selalu kecil, dan bundar itu selalu besar. Buktinya, ada istilah "telan bulat-bulat". Mana ada "telan
bundar-bundar". Kita hanya bisa menelan bulat-bulat karena kecil. Yang besar-besar harus dikunyah atau dimamah dulu baru bisa ditelan.

Ada pula istilah "telanjang bulat", karena begitu pakaian dilepaskan, kelihatanlah benda yang bulat-bulat di tubuh kita. Yang perempuan ada dua yang bulat di bagian atas, dan yang laki-laki ada dua yang bulat di bagian bawahnya. Sebenarnya kelihatannya saja bulat tetapi bundar juga semuanya dan karena itu tidak bisa ditelan. Paling-paling cuma bisa diemut atau dikulum saja.

Bumi itu kecil saja karena itu orang menyebut bumi itu bulat (contoh KBBI). Bulan kelihatannya memang besar tetapi sebenarnya kecil juga, dan karena itu bisa ditelan oleh bumi. Bulan yang usianya baru tiga hari
bentuknya seperti sabit, tidak bulat dan kita sebut bulan sabit. Begitu juga matahari itu bulat bentuknya sebab bisa ditelan bumi. Misalnya, matahari lenyap di ufuk barat karena ditelan bumi.

Bola sepak yang ditendang di lapangan Senayan itu memang kecil jika dibandingkan dengan bumi tetapi sesungguhnya selalu tetap besar dan sebab itu orang menyebut bola itu bundar. Karena bentuknya bundar maka saya yakin sekali wartawan dan karyawan Perum LKBN Antara tidak mungkin bisa menelan bola sepak itu bulat-bulat.

Orang Perum LKBN ANTARA ini saya yakin tidak mau makan bola, tetapi kalau melihat duit maka duit itu selalu saja dilihatnya bulat. Maka dengan sekejap mata uang itu lalu ditelan atau diembatnya bulat-bulat sampai habis tuntas.

Sudah banyak kejadian uang ditelan bulat-bulat. Mulai dari uang koperasi, uang pengobatan dan transport dan terkahir kemarin uang sewa gedung Adhyana di lantai 2 habis pula Rp1 miliar lebih, ditelan bulat-bulat.

Umbu Rey

Selasa, 08 Juli 2008

Mata ke ranjang...SONTOLOYO

Kalau ini sih masalah lama, zadul (zaman dulu) juga. Dalam satu minggu terakhir ini kata SONTOLOYO berkibar dan bertebaran di mana-mana dan tertulis pula di halaman surat kabar dan di dunia maya.

Minggu yang lalu harian Media Indonesia mengangkat judul Menteri Sontoloyo dalam karangan induknya (tajuk rencana). Surat kabar itu menyoroti sifat plin-plan dan mencla-mencle pejabat menteri sampai kepada korupter yang melibatkan anggota parlemen.

Hari Senin lalu (7/7/08), harian Kompas memuat artikel dalam kolom pada halam 6 dengan judul REPUBLIK SONTOLOYO. Penulisnya kelihatan geram sekali melihat kesemrawutan negara yang telah memerosotkan ekonomi setelah harga BBM dinaikkan oleh Presiden SBY. Kira-kira begitulah intinya.

Istilah "mata ke ranjang" memang dimaksudkan untuk menyindir orang laki yang suka main perempuan sebab nggak boleh lihat perempuan cantik lewat, maunya ke ranjang saja dia menyelesaikan hasyarat seksualnya. Dalam diskusi bahasa Indonesia secara terbatas di lantai 19 pada tahun 2002 saya sudah menerangkan arti frasa "mata ke ranjang" itu. Orang mengira bahwa sindirin itu adalah "mata keranjang", seakan-akan mata lelaki menyerupai atau sebesar keranjang lantaran suka menggoda perempuan cantik.

Dulu orang laki yang suka perempuan disebut lelaki hidung belang. Disebut begitu lantaran dia kena hukuman hidungnya dicoret-coret dengan arang dan dipamerkan di halaman rumah supaya terasa malunya dilihat orang ramai. Kalau mata ke uang saya tidak tahu. Yang kita semua tahu, orang yang suka duit itu namanya mata duitan atau matanya ijo.

Kita semua tentu sudah tahu, Bung Karno itu doyan benar sama perempuan. Orang bilang presiden pertama Indonesia ini seks libidonya kelewat tinggi. Zaman dia masih remaja, berani benar pacaran sama perempuan bule, dan ketika masuk internat di Bandung malah indehoi dan kemudian kawin dengan orang perempuan yang usianya dua kali lebih tua dari dia. Namanya Ibu Inggit.

Gara-gara itu perempuan cantik si Inggit, kalau saya tidak salah begitu ceritanya, istrinya yang pertama, anak dari HOS Cokroaminoto di Surabaya dia pulangkan kepada orang tuanya. Ibu Inggit inilah yang mendampingi Bung Karno ke pembuangan di Ende, Pulau Flores NTT pada tahun 1930-1934.

Dari Ende, sinyo peranakan Jawa-Bali ini dibuang pula ke Bengkulu dan tinggal di salah satu ruang di benteng peningalan Inggris. Setelah keluar dari situ, dia mengajar dan muridnya yang perempuan bernama Fatmawati dia kawini pula. Itulah 'first lady" atau ibu negara Indonesia zaman baru merdeka.

Setelah jadi presiden dikawininya pula dua perempuan cantik, satu di antaranya seorang penari. Rupanya belum cukup segitu, waktu dia berkunjung ke Jepang, seorang perempuan cantik muda rupawan menarik perhatiannya. Setelah rombongan kenegaraan tiba kembali di tanah air, eh..., dia kembali sendirian menjemput gadis itu ke Jepang. Kawinlah mereka di masjid di
samping Istana Presiden, dan gadis Jepang itu berubah namanya menjadi Rata
Sari Dewi.

Setelah mendapat gelar kehormatan Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno dinobatkan sebagai kepala negara seumur hidup. Kerjanya pidato melulu, dan konon, setiap kali pidato di atas podium, doyan benar tunjuk sana tunjuk sini. Ajudannya pun mengerti betul arti arah jari telunjuk itu. Kalau dia tunjuk ke kiri maka di situ pastilah ada perempuan cantik, begitu juga kalau dia tunjuk ke kanan.

Alhasil, Anda tahu sendirilah. Istrinya yang sah itu memang cuma empat, tetapi yang lain tidak pernah disebutkan dalam sejarah yang resmi, sebab konon kata orang, ke mana di pergi berkunjung, ke situ pula dia kawin dengan perempuan kesukaannya.

Nah, istilah "mata ke ranjang" itu saya pikir mungkin juga sindiran buat Bung Karno, karena kata orang, Bung Karno itu memang ganteng, dan hiper-seksual pula. Doyan benar sama yang namanya perempuan cantik.

Nah, istilah "SONTOLOYO" itu, mungkin sekali ada hubungannya juga dengan doyan perempuan itu. Jika ditinjau dari akar katanya, "sontoloyo" terdiri atas kata "sontol" dan "loyo". Agaknya memang, huruf "s" padaa kata "sontol" itu adalah pelesetan huruf "k" untuk tidak terus terang menyebut kemaluan lelaki yang loyo. Dua kata itu pun penulisannya diserangkaikan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga telah mencatat kata "sontoloyo" dan diberi arti konyol, tidak beres, bodoh (dipakai sbg kata makian). Istilah ini pun tidak resmi, hanya bahasa percakapan dan diberi simbol "cak".

Orang mengira kata "sontoloyo" itu diucapkan Bung Karno baru pada tahun 1960-an, tetapi sebenarnya sudah populer sejak tahun 1930 atau mungkin sebelumnya ketika Bung Karno masih remaja. Kuat dugaan saya, sontoloyo itu adalah kata ejek-ejekan atau olok-olokan di kalangan anak remaja ketika itu, dan mungkin sekali keluar lebih dulu dari mulut Bung Karno muda.

SONTOLOYO makin populer ketika Bung Karno menulis dalam surat chabar Pandji Islam dalam tahun 1940. Di dalam buku "Dibawah Bendera Revolusi" halaman 493 Bung Karno menulis artikel di bawah judul ISLAM SONTOLOJO dan kata itu pun harus dibaca: Soontooloojoo.

Artikel itu adalah penjelasan Bung Karno yang menanggapi berita di dalam surat chabar Pemandangan 8 April 1940 yang memberitakan "seorang guru agama didjebloskan ke dalam bui tahanan karena ia telah memperkosa kehormatannya salah seorang muridnja jang masih ketjil".

Umbu Rey

Mati berkalang tanah

Acapkali kita memang perlu menggunakan kiasan atau ibarat ketika menulis berita untuk menggambarkan sesuatu yang kita ceritakan. Kita mengambil perbandingan atau kiasan supaya orang mengerti maksud yang kita sampaikan. Bentuk kiasan atau analogi ini kita pelajari ketika masih duduk di bangku SMP atau mungkin di kelas enam Sekolah Dasar. Itu bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia yang biasa disebut Peribahasa.

Judul di atas adalah potongan dari sebuah peri bahasa yang lengkapnya berbunyi: "Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai". Peri bahasa ini dikiaskan kepada orang yang tak kuat menanggung malu. Zaman dahulu, ketika ajaran moral masih dijunjung tinggi, orang-orang pantang berbuat zalim, menipu, memerkosa atau berperilaku di luar ajaran leluhur mereka yang agung.

Seorang wanita atau gadis belia akan sangat teguh menjaga kehormatan dirinya demi keagungan nama keluarganya (apalagi jika dia keturunan orang terpandang atau bangsawan). Ketika perempuan muda itu jatuh ke bawah kekuasaan lelaki hidung belang lalu hamil di luar nikah, hancurlah nama keluarganya. Perempuan itu akan dicemooh, dicerca orang sekampung dan karena tidak tahan menanggung malu, dia lalu membunuh dirinya. Dari sebab itu muncullah peri bahasa itu.

Kiasan itu tentu tidak berlaku bagi kaum hina dina. Orang-orang dursila tak akan pernah disindir dengan peribahasa itu sebab mereka memang tak kenal moral. Penipuan dan kezaliman adalah bagian dari hidup mereka, dan pemerkosaan adalah makanan sehari-hari.

Lelaki itu ibarat kucing, asal melihat tikus matanya langsung melotot. Setiap kali melihat wanita cantik yang lewat, matanya langsung menuju ke ranjang. Artinya, dia ingin cepat-cepat ke tempat tidur (ranjang) untuk menuntaskan masalah syahwat. Karena itu dia disebut "laki-laki mata ke ranjang" (ranjang: tempat tidur biasanya terbuat dari besi). Jadi, bukan mata “kranjang” atau “keranjang” tempat sampah. Orang mengira mata keranjang itu adalah mata lelaki yang sebesar keranjang.

Wartawan itu saya bandingkan sama dengan orang berbudi luhur, tahu adat, pantang berdusta, orang intelektual. Dia rendah hati, berkata di bawah-bawah mandi di hilir-hilir. Kode etik dipegangnya dengan teguh. Intelektualistasnya diukur dengan kalimat-kalimat bahasa yang ditulisnya saban hari, karena itu wartawan seharusnya tidak membuat kekeliruan fatal. Semakin bagus dia bernalar, semakin baik pula budi bahasanya. Meskipun pada kenyataannya tidak selalu seperti itu.

Wartawan yang tidak dapat membuat kalimat (dengan baik dan benar) sama halnya dengan orang dursila yang tak punya adat istiadat. Bergabung dengan Lembaga Kantor Berita ANTARA dengan bekal ijazah S-1, punya gelar muka-belakang dari universitas terkemuka, namanya Drs. Ucup bin Sanusi, SH, MA. Hebat benar kedengarannya.

Sudah lebih dari sepuluh tahun dia bekerja sebagai wartawan ANTARA tetapi menulis kalimat pendek dengan rumusan SPOK saja tidak mampu. Inilah wartawan yang pas dengan kiasan di atas, "lebih baik mati berkalang tanah".

Seorang wartawan yang tak bisa membuat kalimat mestinya malu --meskipun telah berulang-ulang tulisannya dikoreksi-- karena dia hidup ibarat orang bercermin bangkai. Disindir-sindir pun dia kebal, maka itu dia disebut orang muka badak.

Saya tidak bermaksud menunjuk orang tertentu di dalam ulasan ini, tetapi contoh-contoh yang telah tersebar luas lewat VSAT dan saya kemukakan di sini mungkin dapat menggugah semua orang untuk menjadi lebih baik. Perhatikan contohkalimat di bawah ini:

“Besarnya penerimaan penghasilan anggota DPRD, ibarat menabur garam di laut, yang meskipun berapapun besarnya tetapi tidak terasa, karena dinikmati oleh lautan masyarakat yang butuh dan haus,” demikian dilaporkan ANTARA, Jumat. (Bra Mataram VSAT 16/12/05 alinea kedua di bawah judul ANGGOTA LEGISLATIF HARUS….)

Kalimat di atas bukan perkataan seorang narasumber meski menggunakan tanda petik atau dalam kutipan langsung. Itu kalimat dibuat sendiri oleh penulisnya. Kalimat yang amburadul itu susah dirunut dengan akal sehat. Sudah begitu, digunakannya pula kata-kata kiasan yang mungkin dia sendiri tidak tahu maksudnya.

1. Besarnya penghasilan anggota DPRD dia ibaratkan dengan menabur garam di laut
2. Penghasilan anggota DPRD berapa pun besarnya, katanya, tidak terasa, karena dinikmati oleh lautan masyarakat yang butuh dan haus.

Bagaimanakah alur pikirannya sampai gaji anggota DPRD itu dia ibaratkan seperti manabur garam ke laut, dan bagaimana mungkin gaji anggota DPRD itu harus dinikmati oleh lautan masyarakat yang butuh dan haus? Keterangan lain yang mendukung pengertian itu tidak juga jelas dijabarkan sebab terlalu banyak kalimat yang tidak nalar dibuatnya.

Ibarat membuang/manabur garam ke laut adalah peribahasa yang menggambarkan orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan sia-sia. Mengapa lautan itu ditaburi pula dengan garam, padahal sudah asin? Itulah inti kiasannya. Sama sekali tidak masuk akal jikalau kiasan itu diibaratkan kepada anggota DPRD yang penghasilannya tidak besar. Menyimpang dari maksud sebenarnya.

Peri bahasa yang sama maknanya dengan itu adalah “seperti menjaring angin” atau “seperti mengalirkan air ke bukit”. Orang tak akan mungkin menjaring angin, dan mengalirkan air dari lembah ke bukit juga adalah pekerjaan sia-sia (dulu). Arti kiasan itu lebih tepat ditujukan kepada wartawan/penulisnya sendiri, karena dia telah melakukan pekerjaan dengan sia-sia, yakni menulis berita dengan sia-sia. Tak seorang pun mengerti apa yang hendak ditulisnya. Orang lain mungkin hanya meraba-raba, mencoba menelusuri alur pikiran penulisnya, tetapi saya rasa juga sia-sia. Karena itu, jangan lakukan pekerjaan dengan sia-sia, supaya harapan hidupmu tidak akan sia-sia.

Pada hari sama (VSAT Mataram 16./12/05) wartawan yang sama menurunkan berita olah raga di bawah judul TIM KESEBELASAN GUBERNUR BERMAIN IMBANG 0-0. Mengertikah anda arti kalimat judul itu? Kesebelasan Gubernur itu bermain apa? Bermain sepak bolakah atau bermain imbang? Jenis pemainan apakah imbang itu? Untunglah, teras kalimat berita itu masih dapat menjelaskan lawan kesebelasan Gubernur NTB. Kalau tidak, bingunglah kita.

Banyak metafora digunakan dalam berita itu, sebagian masuk akal, sebagian lagi membingungkan. Istilah “dimotori” artinya digerakkan oleh, atau dipandu oleh seorang kapten tim. Pemain sayap (kiri atau kanan) biasanya digunakan untuk istilah orang yang bermain di sektor kanan atau kiri lapangan.

Pemain belakang disebut bek, karena dia berada di posisi belakang, biasanya ada dua orang pemain di situ (tergantung sistem yang diterapkan pelatih). Tugasnya membantu penjaga gawang untuk mengahalau bola lawan yang berhasil menerobos wilayah mereka. Pemain belakang tentu saja tidak lazim kita sebut pemain “ekor” atau pemain “buntut” sebab tidak ada pemain kepala. Ada juga ujung tombak, maksudnya pemain penyerang yang paling diandalkan untuk menciptakan gol.

Yang membingungkan justru ketika dia menulis “…..hingga peluit panjang yang ditiup juri sebagai tanda berakhirnya pertandingan kedudukan tidak berubah tetap 0-0.”

Baru kali ini dan baru di kota Mataram inilah ada "juri" di lapangan sepak bola. Juri itu membawa peluit panjang yang dia tiup untuk mengakhiri pertandingan. Sama sekali tak masuk akal, dan berita ini hanya dibuat untuk celaan orang banyak. Jika wartawan ANTARA punya nalar tinggi pastilah dia akan merasa malu membuat kesalahan seperti itu. Dalam berita olah raga, kita sangat sering menggunakan metafora untuk menggambarkan sesuatu dengan perbandingan (KBBI). Jadi, mirip-miriplah dengan kata kiasan.

Kita sering melukiskan hasil pertandingan dengan kalimat “Kesebelasan Persija Mencukur Gundul Persib Bandung 5-0 di Stadion Lebak Bulus Jakarta”. Tahukah anda mengapa disebut mencukur gundul? Jangan membayangkan pemain Persija membawa silet lalu mencukur pemain lawan di tengah lapangan sampai gundul. Bukan begitu.

Metafora "mencukur gundul" itu digunakan karena Persija menang dengan angka telak 5-0. Angka nol itulah yang digambarkan oleh wartawan sebagai kepala yang telah dicukur sampai gundul sehingga tampak menyerupai angka nol.

Jadi, jika pertandingan itu berakhir dengan angka 5-1, anda tidak bisa menggunakan istilah mencukur gundul. Dengan angka 5-1 itu, di manakah gundulnya, kesebelasan manakah yang digunduli? Lebih tepat kita gunakan istilah “Persib tak berdaya menghadapi Persija di Lebak Bulus” atau kalau mau agak ekstrem “Persib keok dengan angka 5-1 di hadapan pendukung Persija di Lebak Bulus”. Keok adalah metafora yang menggambarkan satu kesebelasan yang tak berdaya menghadapi lawannya.

Acapkali kita juga menggunakan metafora “masuk kotak” bagi kesebelasan yang kalah pada babak penyisihan dan tidak dapat lagi bermain pada babak selanjutnya. Frasa "masuk kotak" itu diambil dari istilah pewayangan. Wayang yang tidak lagi dimainkan dalam cerita selanjutnya, akan dimasukkan ke dalam kotak oleh dalangnya. Dari situlah istilah masuk kotak itu diambil.

Yang harus diingat, bahwa sebuah peribahasa dibuat berdasarkan logika atau nalar. Tidak ada peribahasa yang tidak berdasarkan logika. Karena itu jangan pernah mengharapkan kemajuan jika bahasa kita sendiri tak berkembang. Wartawannya pun tidak pernah berubah menjadi lebih pandai.

Wartawan masa kini seperti hidup bercermin bangkai jika kalimatnya amburadul setiap kali dia menulis berita. Kalau begitu, mati sajalah kau supaya jangan kantor berita ini dicemooh orang banyak.

Jakarta, 17/12/2005

Umbu Rey

Jumat, 04 Juli 2008

Berdasarkan pemantaun

Wartawan Kantor Berita ini hampir setiap saat menggunakan frasa “berdasarkan pemantauan” ANTARA pada alinea atau paragraf kedua ketika menulis suatu peristiwa yang sedang terjadi. Kata “berdasarkan” itu seakan-akan hendak menggantikan kata “menurut”. Sepintas, kedua kata itu sama artinya, tetapi dalam konteks-konteks kalimat tertentu akan terasa sekali perbedaannya.

Ini masalah agak rumit dibicarakan. Di media massa semisal Kompas yang menyediakan rubrik khusus untuk membicarakan bahasa, masalah “berdasarkan” ini belum pernah disinggung. Mungkin para pengamat bahasa tidak terlau peduli atau sudah menganggap kata “berdasarkan” itu sudah benar jika disamakan dengan “menurut”.

Lebih kurang 20 tahun silam, saya pernah berdebat dengan pengamat bahasa Indonesia di ANTARA, yakni Pak JB Soepardjono tentang perbedaan kedua kata itu. Pak Soepardjono (almarhum) kebetulan adalah atasan langsung saya di Mjs International (Redaksi Inggris) ketika itu. Tulisannya tentang kritik bahasa wartawan selalu dimuat di harian Kompas atau Sinar Harapan. Acapkali, sebelum tulisannya itu dikirim ke media massa beliau meminta saya untuk mengeditnya. Dalam banyak hal kami berdua selalu sependapat, termasuk ketika beribicara mengenai arti kata “berdasarkan”.

Dalam Bahasa Indonesia, menurut pakar bahasa Yus Badudu, tidak ada kata yang benar-benar sama persis artinya, dan karena itu kita sebut bersinonim. Sinonim artinya bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI edisi ketiga) pada halaman 238 mencantumkan pula kata “berdasarkan” tetapi diberi tiga pengertian, yakni (1) menurut, (2) memakai sebagai dasar, beralaskan, dan (3) bersumber pada.

Jika kita tilik dari contoh kalimat yang diberikan pada tiap-tiap arti kata itu, maka kata “berdasarkan” pada setiap kalimat contoh itu tidak sama persis maknanya. Dengan kata lain, arti kata yang diberikan dalam kamus itu bergantung sekali pada konteks kalimat yang kita buat.

Saya dan Pak Soepardjono lebih cenderung mengatakan kata "berdasarkan" itu merujuk pada arti "atas dasar" atau "menuruti". Jadi, berdasarkan atau menuruti bekas-bekas peninggalan purbakala yang ditemukan itu para arkeolog menyimpulkan bahwa di kawasan itu pernah berdiri sebuah kota kuno.

Demikian juga negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila. Artinya, di atas dasar Pancasila itu negara Indonesia yang berasas hukum ini dibentuk. Janggal rasanya kalau saya berkata bahwa negara Indonesia ini adalah negara hukum "menurut" Pancasila.

Perhatikan contoh-contoh kalimat yang diawali dengan kata “berdasarkan” di bawah ini:

a. Berdasarkan pantauan ANTARA di bandara Juanda, Kamis, tersebut setiap kendaraan yang memasuki pintu masuk Bandara mendapat pemeriksaan ketat dari tiga personel TNI-AL, ….dst (VSAT 29/12/2005 bra B007).

b. Berdasarkan survei LSI, yang memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dan margin………, sebanyak 56 persen responden menyatakan puas atas kinerja Presiden SBY….dst. (VSAT 29/12/2005 bra D011*E012).

c. Berdasarkan pengamatan ANTARA di Masjidilharam, Jumat, para pedagang asongan dan kaki lima yang kerap kali menggelar dagangannya di areal yang masih tergolong pelataran masjid, dalam beberapa hari terakhir ini tidak terlihat. (VSAT 30/12/2005 bra A041).

d. Berdasarkan informasi yang dihimpun ANTARA, Selasa, kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dipimpin oleh BM. (VSAT 10/1/2005 bra B007).

Contoh-contoh kalimat di atas dipakai sebagai kebiasaan dan dianggap benar saja oleh wartawan ANTARA. Saya sama sekali tidak sependapat jika kata “berdasarkan” pada contoh-contoh di atas disamakan artinya dengan kata “menurut” seperti pada contoh (1) dalam KBBI, sebab konteks kalimatnya berbeda.

KBBI memberikan contoh: Menurut keterangan para saksi, terbukti bahwa ia bersalah. Dalam bentuk kalimat contoh seperti itu, seakan-akan keterangan para saksi itulah yang menyatakan terdakwa bersalah. Padahal, hakimlah yang seharusnya menyatakan ia bersalah berdasarkan atau atas dasar atau setelah menuruti keterangan para saksi.

Dengan mengambil analogi penalaran itu, maka kata “berdasarkan” pada contoh kalimat a, b, c, dan d itu sama sekali tidak dapat disamaartikan dengan kata “menurut”.

Pada kalimat a. Setiap kendaraan mendapat pemeriksaan ketat dari tiga personel TNI-AL seakan-akan “berdasarkan” (atas dasar) atau “menuruti” (mengikuti) pantauan ANTARA. Benarkah demikian? Akh, rasanya tak mungkin. Lebih pas, setiap kendaraan mendapat pemeriksaan ketat berdasarkan peraturan atau hukum yang berlaku, bukan berdasarkan pantauan ANTARA.

Pada kalimat b. Mungkinkah 56 persen responden itu menyatakan puas terhadap kinerja Presiden SBY berdasarkan survei yang dilakukan LSI? Rasanya juga tidak masuk akal. Logika kita pastilah mengatakan bahwa 56 persen responden itu puas atas kinerja Presiden SBY karena mereka telah menikmati hasil kerja (kinerja) yang telah dicapai oleh Presiden, dan bukan karena ada survei SLI.

Pada kalimat c. Rasanya juga tidak masuk akal jika para pedagang asongan dan kaki lima tidak terlihat lagi akhir-akhir ini di pelataran Masjidilharam karena atau berdasarkan pengamatan ANTARA. Sama seperti di Indonesia, pastilah ada petugas trantib yang mengusir mereka dari situ.

Pada kalimat d, sama juga tidak nalarnya dengan kalimat pada contoh c. Manalah mungkin kelompok Jamaah Islamiyah itu ternyata dipimpin oleh BM berdasarkan informasi yang dihimpun ANTARA.

Coba perhatikan nuansanya dengan kalimat di bawah ini:

-- Menurut informasi yang dihimpun ANTARA, Selasa, kelompok Jamaah Islamiyah itu dipimpin oleh BM -- Informasi yang dihimpun ANTARA, Selasa, menyebutkan bahwa kelompok Jamaah Islamiyah itu dipimpin oleh BM. Lantas, bagaimana seharusnya kalimat itu kita tulis dalam berita? Saya memberikan beberapa alternatif (pilihan) agar kata “berdasarkan pemantauan” itu tidak menimbulkan pengertian ganda.

1. Jika kata “berdasarkan” itu hendak kita artikan sama dengan kata “menurut”, maka sebaiknya kita gunakan saja kata “menurut”. Kata “berdasarkan” dalam konteks ini lebih condong pada arti yang kedua KBBI, yakni “memakai sebagai dasar”.

2. Langsung saja ceritakan peristiwanya, tidak perlu menggunakan “berdasarkan” atau “menurut”. Anda itu adalah wartawan ANTARA yang ditugasi untuk meliput peristiwa di tempat kejadian.

Pembaca pastilah percaya bahwa anda melaporkan peristiwa itu karena anda melihat langsung faktanya. Jadi, mengapa harus menyebut pula “berdasarkan pengamatan ANTARA”. Istilah “menurut pengamatan ANTARA” baru dapat dibenarkan jika anda itu bukan wartawan kantor berita ANTARA. Dalam kasus ini Anda adalah wartawan asing yang mengutip keterangan peristiwa yang dilansir kantor berita ANTARA.

Umbu Rey

Selasa, 01 Juli 2008

Memperdayai

Imbuhan "memper- (kan)" sudah banyak dibicarakan dalam milis ini, tetapi teman di damping saya masih tetap saja bingung. Dia bertanya, adakah imbuhan "memper- (i)" itu dalam bahasa Indonesia? Saya jawab saja...Ada!

Tetapi, dari kata "daya" dan "kerja" tidak terbentuk kata berimbuhan "memperdayai" dan "mengerjai". Kata "memperdayai" saya kenal sejak Sekolah Dasar di kampung, dan kata "mengerjai" saya kenal dalam percakapan dialek Jakarta atau Betawi, "ngerjain" atau "dikerjain".

Dua kata ini sebenarnya merujuk pada pengertian atau makna yang sama, yaitu membuat tidak berdaya tetapi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga tidak mencatat kata itu, mungkin dianggap tidak berterima. Untuk membuat orang tak berdaya dengan cara tipu muslihat kita hanya mengenal kata "memperdayakan".

Setahu saya "memper-(kan) " yang mengapit kata sifat (adjektiva), artinya menjadikan objek lebih "kata dasar". Jadi, kalau kata dasarnya "panjang" maka memperpanjang( kan) pen artinya menjadikan pen itu supaya lebih panjang. Begitu juga memperbesar( kan) pen artinya menjadikan pen itu supaya lebih besar. Dalam kasus ini pen itu adalah barang yang pada awalnya memang sudah besar atau panjang.

Imbuhan ini telah dibuat untuk membedakannya dari "me(m)-kan" atau me(ng)-kan" yang maksudnya untuk menjadikan yang kecil menjadi besar. Maka, kalau kita hendak "membesarkan" pen, dalam pikiran kita pen itu pada awalnya kecil, dan "memendekkan" pen artinya pen itu tadinya panjang.

Yang bikin runyam, imbuhan "memper-(kan) " itu sering pula diselewengkan dari bentuk "pakem"-nya. Menurut kaidah, imbuhan "memper-(kan) " itu terjadi atau terbentuk dari kata kerja (veba) yang berawalan "ber" tetapi pada banyak kasus terjadi penyimpangan.

Proses pembentukan imbuhan itu terjadi seperti ini:

1. Juang -- berjuang -- memperjuangkan -- perjuangan
2. Kerja -- bekerja -- mempekerjakan -- pekerjaan
3. Kenal -- berkenal(an) -- memperkenalkan -- perkenalan
4. Tanding -- bertanding -- mempertandingkan -- pertandingan
5. Dagang -- berdagang -- memperdagangkan -- perdagangan
6. Hati -- berhati-(hati) -- memperhatikan -- perhatian

7. Henti -- berhenti -- memberhentikan -- perhentian
8. Daya -- berdaya -- memberdayakan -- perdayaan

Contoh pada butir (1) sampai dengan (6) sudah sesuai dengan kaidah, tetapi butir (7) dan (8) adalah bentuk penyelewengan atau penyimpangan. Agaknya kita tidak punya pendirian yang teguh untuk menyatakan "memperhentikan" dan "memperdayakan" menuruti kaidah yang berlaku.

Dari kata "daya" mestinya turun kata berimbuhan "memperdayakan". Kita sudah telanjur mengartikan "memperdayakan" itu sama persis artinya dengan tipu daya atau muslihat, maka untuk menghindarinya dibuatlah kata berimbuhan "memberdayakan". Begitulah Pusat Bahasa mencatatnya dalam KBBI edisi ketiga halaman 242.

Waktu saya belajar bahasa Indonesia di sekolah dasar di kampung dulu, kata berimbuhan "memberdayakan" itu tidak dikenal atau belum dikenal. Saya hanya tahu bahwa kata "memperdayakan" yang berasal dari kata "berdaya" artinya "membuat supaya berdaya" dan bukan tipu muslihat.

Yang dimaksudkan dengan tipu daya atau tipu muslihat itu sebenarnya adalah MEMPERDAYAI. Jadi, jangan memperdayai teman sendiri artinya jangan membuat dia tidak berdaya. Tetapi, rupa-rupanya Pusat Bahasa tidak mengenal kata itu dan KBBI tentu saja tidak mencatat kata itu.

Ketika bermain sepak bola, saya sering memperdayai penjaga gawang lawan. Saya membuat lawan tidak berdaya dengan tipu muslihat agar tercipta gol.

Umbu Rey

Pelayanan

Pelayanan adalah kata kunci dari suatu pekerjaan atau usaha atau bisnis apa saja untuk menuju sukses. Tetapi kata ini justru diabaikan oleh orang yang tidak bepengetahuan karena diserupakan dengan pekerjaan hamba, budak, jongos, babu, atau kuli.

Dari kata "layan" turun kata -->melayani-->pelayan --> pelayanan-->layanan. Kata "melayani" memberikan pengertian membantu menyiapkan (mengurus) apa-apa yang diperlukan seseorang, atau meladeni. "Pelayan" adalah orang yang melayani, pembantu, pesuruh. Kata lain yang bersinonim dengan pelayan adalah "abdi" yang juga berarti orang bawahan, hamba, atau budak. "Pelayanan" adalah perihal atau cara melayani.

Dalam rumusan di atas "layanan" dapat berarti hasil dari pekerjaan melayani, tetapi dapat juga berarti apa-apa yang dilayani atau bentuk pelayanan. Dalam bahasa percakapan "layanan" itu diartikan sama dengan pelayanan, yakni cara melayani.

Banyak orang bercita-cita tinggi untuk menjadi orang besar dan sukses, kaya raya, dan karena itu ramai-ramai dan berbondong-bondonglah orang pergi ke sekolah dan kuliah ke kampus-kampus untuk mencari gelar sarjana S-1 dan pascasarjana atau S-2 sampai bergelar doktor di semua bidang ilmu.

Setelah sertifikat di tangan, mereka mengincar jabatan agar dapat duduk di belakang meja supaya dapat dilayani dan bukan untuk "melayani", sebab gelar di tangan tidak cocok untuk menjadi "pelayan".

Maka janganlah heran jikalau ternyata pengangguran intelektual meningkat drastis di negeri ini. Penyebabnya tentu saja karena para pemegang gelar itu enggan menjadi "pelayan". Anehnya, pengetahuan yang diperolehnya di perguruan tinggi ternama sekali pun tak sanggup menciptakan pelayan. Rakyat pusing kepala dan pemerintah pusing tujuh keliling mencari investor untuk menampung tenaga kerja, untuk membahagiakan rakyatnya.

Pekerjaan apa saja yang kita geluti sebenarnya membutuhkan pelayanan atau mengharuskan kita untuk menjadi pelayan. Tak seorang pun akan "mendapat" jikalau dia tidak lebih dulu melayani sebab dalam pelayanannya itu terkandung makna "kasih". Karena itu pelayanan juga berarti memberikan "kasih" kepada orang lain.

Dari sebab itulah muncul kata mulia yang wajib diucapkan oleh orang yang telah menerima pelayanan kasih itu. Inilah awal mulanya perkataan TERIMA KASIH. Kata yang sangat agung dalam bahasa Indonesia ini mungkin lebih tinggi derajatnya dari sekadar "thank you" dalam bahasa Inggris.

Tahukah Anda bahwa orang besar itu adalah pelayan yang telah memberikan pelayanan sejak dia melarat sampai menjadi pejabat? Karena pelayanan itu dia telah menjadi besar dan banyak orang mengabdi kepadanya. Berlaksa-laksa orang hidup dan bergantung pada pelayanannya.

Dalam bahasa Inggris kata "pelayan" itu berpadanan dengan "minister" dan"pelayanan" itu sama dengan "ministry". Itu sebabnya pekerjaan seorang menteri dalam sebuah negara tidak lain dari pelayanan juga. Lalu adakah pekerjaan yang tidak dilakukan dengan pelayanan? Tukang bakso melayani, tukang becak melayani, tukang ojek, tukang semir sepatu, tukang jahit, penggali kubur dan penyedot tinja, pedagang, pelayan toko, pegawai bank, pegawai negeri, semuanya melayani orang lain.

Demikian juga pabrik kecil sampai yang raksasa itu menciptakan barang serbaguna dan mesin multiguna untuk pelayanan. Pabrik garmen, motor, traktor dan mobil mewah menciptakan kendaraan nyaman untuk melayani orang. Dan, ketika pelayanannya itu dinikmati orang maka pabrik itu pun menjadi lebih besar.

Seorang pengusaha dagang eceran yang memiliki mal bernama Hero pernah berkata kepada saya bahwa setengah dari modal kerja yang dia gunakan untuk menjalankan perusahaannya itu dihabiskan hanya untuk promosi dan pelayanan.

Aha...! Wartawan itu pelayankah? Tiga tahun yang lau, ketika Pak AsroKamal Rokan baru memasuki belantara Antara dan menjabat pemimpin umum lembaga ini, saya diminta untuk menyajikan makalah sebagai Ombudsman di depan wartawan baru. Di dalam makalah itu saya telah mengibaratkan wartawan sebagai pedagang yang pekerjaannya tidak lain dari perihal melayani pelanggannya.

Maksud saya, pelayanan itulah kunci keberhasilan pekerjaan kita. Dengan pelayanan itu kita dihargai oleh pelanggan kita, dan dengan pelayanan itu hasil pekerjaan kita yakni berita yang kita sajikan akan tetap dilanggani dan dibaca orang.Tetapi apa lacur, setelah tiga tahun berlalu, kita tetap pada cara kerja yang konyol sehingga menghasilkan berita sampah melulu.

Celakanya, kita masih tetap juga bekerja dengan sistem nilai kredit yang mengharuskan kita bekerja keras tetapi bukan untuk pelayanan kepada pelanggan. Kita terbiasa kerja untuk diri sendiri. Cari kredit saban hari, berita apa saja asal jadi, lalu diberi nilai sendiri dan hasilnya. Kita ini wartawan tetapi kerja ibarat kuli onderneming. Memang hasilnya semua wartawan naik tunjangan, tetapi pelanggan ngomel-ngomel karena disuguhi berita sampah semua.

Uang kita boros-boroskan untuk membayar kerja amburadul swalayan untukdiri sendiri. Siapa mengawasi siapa? Tidak ada pengawasan, sebab semua wartawan menganggap dirinya raja dan bukan pelayan bagi orang lain. Ketika tiga tahun lalu redaksi dibenahi, saya pikir bahwa pelayanan yang saya paparkan dalam makalah itu bakal dijalankan. Tetapi yang terjadi, justru penciptaan pejabat-pejabat baru. Terbentuklah sepuluh redaksi di lantai 20 Wisma Antara, dan itu artinya ada 10 kepala redaksi yang tidak jelas pekerjaannya.

Kepada Seklem ketika itu Sdr Rajab Ritonga saya bertanya, mengapa sampai diciptakan pejabat kepala redaksi (kared) begitu banyak, tetapi tidak jelas pekerjaannya? Seklem Rajab Ritonga dengan enteng menjawab," Umbu, itu kan pembagian jatah. Saya tidak lagi mengatur soal redaksi."

Lalu, apa yang dimaksudkan dengan pembagian jatah? Tidak lain dan tidak bukan agar pejabat ini dilayani dengan fasilitas pejabatnya. Jatah itu adalah pelayanan bagi mereka dan bukan pelayanan bagi pelanggan. Wujudnya apa? Setiap kepala redaksi ketika itu mendapat jatah Rp60 juta sebagai imbalan jabatannnya. Untuk apa? Tidak jelas juga.

Sebagian dari kepala redaksi itu ternyata --seperti saya sebutkan di atas--memanfaatkan waktu jabatannya itu untuk mencari gelar S-2 juga. Maka berbanggalah Budi Setiawanto dan kemudian menurunkan tulisannya dalam milis-ANTARA@yahoogroups.com. Judulnya "Makin merunduk seperti ilmu padi". Tetapi, untuk apa gelar itu bagi lembaga ini, juga tidak jelas. Adakah hasil pekerjaan kared dari imbalan sebanyak itu?

Pak Asro sebagai pemimpin umum hanya bisa "mencak-mencak" lantaran berita yang keluar ternyata sampah juga. Pelanggan di samping tidak puas, juga heran setengah mati. Kenapa kantor berita pemerintah terbesar di Asia Tenggara ini menuliskan nama presiden saja tidak becus? Sudah lima kali nama PresidenRI itu ditulis secara acak-acakan dan dilepaskan tanpa perbaikan. Kesalahan yang lain tidak pula dapat dihitung.

Anehnya, yang bikin kesalahan pun tak pernah mendapat teguran apalagi hukuman. Mereka merasa tak bersalah juga. Saya sama sekali tidak menaruh syak wasangka, tidak pula iri atau benci, karena gelar adalah hak dan kebanggan seseorang. Tulisan ini mungkin dianggap basi, sebab terlalu banyak nasihat orang bijak dan pintar sudah ditulis dalam buku.

Saya hanya ingin mengingatkan kita semua bahwa yang diperlukan sebenarnya adalah wartawan tulus ikhlas yang bekerja semata-mata untuk pelayanan, bukan untuk pekerjaan swalayan onani atau masturbasi atau meracanp hanya untuk menyenangkan diri sendiri.

Akankah Perum LKBN ini maju dan berhasil? Walahualam! Tetapi pengalaman menunjukkan tak akan ada kemajuan dan takkan akan keberhasilan tanpa pelayanan. Karena itu jadilah wartawan pelayan bagi pelanggan. Berikan pelanggan dan pembaca kita itu pelayanan yang baik, pelayanan yang menyenangkan mereka. Berikan mereka itu layanan bacaan yang bermanfaat bagi mereka.

Umbu Rey