Selasa, 01 Juli 2008

Pelayanan

Pelayanan adalah kata kunci dari suatu pekerjaan atau usaha atau bisnis apa saja untuk menuju sukses. Tetapi kata ini justru diabaikan oleh orang yang tidak bepengetahuan karena diserupakan dengan pekerjaan hamba, budak, jongos, babu, atau kuli.

Dari kata "layan" turun kata -->melayani-->pelayan --> pelayanan-->layanan. Kata "melayani" memberikan pengertian membantu menyiapkan (mengurus) apa-apa yang diperlukan seseorang, atau meladeni. "Pelayan" adalah orang yang melayani, pembantu, pesuruh. Kata lain yang bersinonim dengan pelayan adalah "abdi" yang juga berarti orang bawahan, hamba, atau budak. "Pelayanan" adalah perihal atau cara melayani.

Dalam rumusan di atas "layanan" dapat berarti hasil dari pekerjaan melayani, tetapi dapat juga berarti apa-apa yang dilayani atau bentuk pelayanan. Dalam bahasa percakapan "layanan" itu diartikan sama dengan pelayanan, yakni cara melayani.

Banyak orang bercita-cita tinggi untuk menjadi orang besar dan sukses, kaya raya, dan karena itu ramai-ramai dan berbondong-bondonglah orang pergi ke sekolah dan kuliah ke kampus-kampus untuk mencari gelar sarjana S-1 dan pascasarjana atau S-2 sampai bergelar doktor di semua bidang ilmu.

Setelah sertifikat di tangan, mereka mengincar jabatan agar dapat duduk di belakang meja supaya dapat dilayani dan bukan untuk "melayani", sebab gelar di tangan tidak cocok untuk menjadi "pelayan".

Maka janganlah heran jikalau ternyata pengangguran intelektual meningkat drastis di negeri ini. Penyebabnya tentu saja karena para pemegang gelar itu enggan menjadi "pelayan". Anehnya, pengetahuan yang diperolehnya di perguruan tinggi ternama sekali pun tak sanggup menciptakan pelayan. Rakyat pusing kepala dan pemerintah pusing tujuh keliling mencari investor untuk menampung tenaga kerja, untuk membahagiakan rakyatnya.

Pekerjaan apa saja yang kita geluti sebenarnya membutuhkan pelayanan atau mengharuskan kita untuk menjadi pelayan. Tak seorang pun akan "mendapat" jikalau dia tidak lebih dulu melayani sebab dalam pelayanannya itu terkandung makna "kasih". Karena itu pelayanan juga berarti memberikan "kasih" kepada orang lain.

Dari sebab itulah muncul kata mulia yang wajib diucapkan oleh orang yang telah menerima pelayanan kasih itu. Inilah awal mulanya perkataan TERIMA KASIH. Kata yang sangat agung dalam bahasa Indonesia ini mungkin lebih tinggi derajatnya dari sekadar "thank you" dalam bahasa Inggris.

Tahukah Anda bahwa orang besar itu adalah pelayan yang telah memberikan pelayanan sejak dia melarat sampai menjadi pejabat? Karena pelayanan itu dia telah menjadi besar dan banyak orang mengabdi kepadanya. Berlaksa-laksa orang hidup dan bergantung pada pelayanannya.

Dalam bahasa Inggris kata "pelayan" itu berpadanan dengan "minister" dan"pelayanan" itu sama dengan "ministry". Itu sebabnya pekerjaan seorang menteri dalam sebuah negara tidak lain dari pelayanan juga. Lalu adakah pekerjaan yang tidak dilakukan dengan pelayanan? Tukang bakso melayani, tukang becak melayani, tukang ojek, tukang semir sepatu, tukang jahit, penggali kubur dan penyedot tinja, pedagang, pelayan toko, pegawai bank, pegawai negeri, semuanya melayani orang lain.

Demikian juga pabrik kecil sampai yang raksasa itu menciptakan barang serbaguna dan mesin multiguna untuk pelayanan. Pabrik garmen, motor, traktor dan mobil mewah menciptakan kendaraan nyaman untuk melayani orang. Dan, ketika pelayanannya itu dinikmati orang maka pabrik itu pun menjadi lebih besar.

Seorang pengusaha dagang eceran yang memiliki mal bernama Hero pernah berkata kepada saya bahwa setengah dari modal kerja yang dia gunakan untuk menjalankan perusahaannya itu dihabiskan hanya untuk promosi dan pelayanan.

Aha...! Wartawan itu pelayankah? Tiga tahun yang lau, ketika Pak AsroKamal Rokan baru memasuki belantara Antara dan menjabat pemimpin umum lembaga ini, saya diminta untuk menyajikan makalah sebagai Ombudsman di depan wartawan baru. Di dalam makalah itu saya telah mengibaratkan wartawan sebagai pedagang yang pekerjaannya tidak lain dari perihal melayani pelanggannya.

Maksud saya, pelayanan itulah kunci keberhasilan pekerjaan kita. Dengan pelayanan itu kita dihargai oleh pelanggan kita, dan dengan pelayanan itu hasil pekerjaan kita yakni berita yang kita sajikan akan tetap dilanggani dan dibaca orang.Tetapi apa lacur, setelah tiga tahun berlalu, kita tetap pada cara kerja yang konyol sehingga menghasilkan berita sampah melulu.

Celakanya, kita masih tetap juga bekerja dengan sistem nilai kredit yang mengharuskan kita bekerja keras tetapi bukan untuk pelayanan kepada pelanggan. Kita terbiasa kerja untuk diri sendiri. Cari kredit saban hari, berita apa saja asal jadi, lalu diberi nilai sendiri dan hasilnya. Kita ini wartawan tetapi kerja ibarat kuli onderneming. Memang hasilnya semua wartawan naik tunjangan, tetapi pelanggan ngomel-ngomel karena disuguhi berita sampah semua.

Uang kita boros-boroskan untuk membayar kerja amburadul swalayan untukdiri sendiri. Siapa mengawasi siapa? Tidak ada pengawasan, sebab semua wartawan menganggap dirinya raja dan bukan pelayan bagi orang lain. Ketika tiga tahun lalu redaksi dibenahi, saya pikir bahwa pelayanan yang saya paparkan dalam makalah itu bakal dijalankan. Tetapi yang terjadi, justru penciptaan pejabat-pejabat baru. Terbentuklah sepuluh redaksi di lantai 20 Wisma Antara, dan itu artinya ada 10 kepala redaksi yang tidak jelas pekerjaannya.

Kepada Seklem ketika itu Sdr Rajab Ritonga saya bertanya, mengapa sampai diciptakan pejabat kepala redaksi (kared) begitu banyak, tetapi tidak jelas pekerjaannya? Seklem Rajab Ritonga dengan enteng menjawab," Umbu, itu kan pembagian jatah. Saya tidak lagi mengatur soal redaksi."

Lalu, apa yang dimaksudkan dengan pembagian jatah? Tidak lain dan tidak bukan agar pejabat ini dilayani dengan fasilitas pejabatnya. Jatah itu adalah pelayanan bagi mereka dan bukan pelayanan bagi pelanggan. Wujudnya apa? Setiap kepala redaksi ketika itu mendapat jatah Rp60 juta sebagai imbalan jabatannnya. Untuk apa? Tidak jelas juga.

Sebagian dari kepala redaksi itu ternyata --seperti saya sebutkan di atas--memanfaatkan waktu jabatannya itu untuk mencari gelar S-2 juga. Maka berbanggalah Budi Setiawanto dan kemudian menurunkan tulisannya dalam milis-ANTARA@yahoogroups.com. Judulnya "Makin merunduk seperti ilmu padi". Tetapi, untuk apa gelar itu bagi lembaga ini, juga tidak jelas. Adakah hasil pekerjaan kared dari imbalan sebanyak itu?

Pak Asro sebagai pemimpin umum hanya bisa "mencak-mencak" lantaran berita yang keluar ternyata sampah juga. Pelanggan di samping tidak puas, juga heran setengah mati. Kenapa kantor berita pemerintah terbesar di Asia Tenggara ini menuliskan nama presiden saja tidak becus? Sudah lima kali nama PresidenRI itu ditulis secara acak-acakan dan dilepaskan tanpa perbaikan. Kesalahan yang lain tidak pula dapat dihitung.

Anehnya, yang bikin kesalahan pun tak pernah mendapat teguran apalagi hukuman. Mereka merasa tak bersalah juga. Saya sama sekali tidak menaruh syak wasangka, tidak pula iri atau benci, karena gelar adalah hak dan kebanggan seseorang. Tulisan ini mungkin dianggap basi, sebab terlalu banyak nasihat orang bijak dan pintar sudah ditulis dalam buku.

Saya hanya ingin mengingatkan kita semua bahwa yang diperlukan sebenarnya adalah wartawan tulus ikhlas yang bekerja semata-mata untuk pelayanan, bukan untuk pekerjaan swalayan onani atau masturbasi atau meracanp hanya untuk menyenangkan diri sendiri.

Akankah Perum LKBN ini maju dan berhasil? Walahualam! Tetapi pengalaman menunjukkan tak akan ada kemajuan dan takkan akan keberhasilan tanpa pelayanan. Karena itu jadilah wartawan pelayan bagi pelanggan. Berikan pelanggan dan pembaca kita itu pelayanan yang baik, pelayanan yang menyenangkan mereka. Berikan mereka itu layanan bacaan yang bermanfaat bagi mereka.

Umbu Rey

Tidak ada komentar: