Senin, 11 Mei 2009

Penggalangan dana

Menurut amatan saya, dalam setahun terakhir ini gabungan kata "penggalangan dana" makin marak saja digunakan oleh para wartawan baik media cetak maupun elektronik (radio dan teve). Bahkan, dalam buku tentang Presiden Amerika Serikat Barack Obama, gabungan kata ini pun banyak sekali digunakan sehubungan dengan kampanye calon presiden AS itu.

Entah apalah maksud "penggalangan dana" itu tidak saya mengerti pada awalnya. Setelah terus membaca barulah dapat saya simpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan "penggalangan dana" itu adalah pengumpulan dana atau penghimpunan dana.

Agaknya aneh juga rasanya jikalau calon Presiden AS Barrack Obama harus menggalang dana untuk menuju Gedung Putih, lantaran kata dasar "galang" sebenarnya tidak merujuk ke masalah uang dana kampanye.

Menurut pengertian umum, "penggalangan" itu adalah proses menggalang atau membuat galang. Galang adalah kayu balok atau batang kayu yang digunakan untuk menopang atau menegakkan sesuatu. Di kampung saya ada "galangan perahu" dan di Tanjungpriok Jakarta Utara atau ada "galangan kapal".

Waktu orang membuat perahu, yang lebih dahulu dibuat adalah lunasnya, yaitu balok panjang di bagian dasar perahu. Setelah itu barulah dibuat kerangkanya dari balok-balok yang dilengkungkan ke atas berbentuk lancip seperti ikan.

Supaya kerangka perahu itu tegak berdiri di atas lunasnya, maka dibuatlah "galangan" dengan memasang balok besar melintang di bawah lunas, dan di sisi kiri dan kanan kerangka perahu. Dari sebab itulah orang menyebut tempat pembuatan perahu itu "galangan perahu" atau "galangan kapal".

Untuk membuat galangan memang diperlukan dana atau uang tetapi bukan uang itu yang digalang. Uang digunakan untuk membeli kayu atau balok untuk menggalang kerangka perahu yang sedang dikerjakan itu.

Dalam KBBI Edisi Ketiga disebutkan bahwa "galang" adalah barang yang dipasang melintang (spt bantal, penyangga, ganjal, landasan dari kayu, balok); kayu dsb penunjang, penopang supaya tinggi atau supaya tidak rebah.

Menggalangkan (1) menggunakan sesuatu untuk menggalang, (2) menaruh perahu di atas galangan. Jadi, jelaslah bahwa proses menggalang atau penggalangan itu adalah kegiatan untuk menegakkan perahu agar tidak rebah.

Jika kita mengikuti logika KBBI Edisi Ketiga itu, maka tidaklah tepat jika seorang calon presiden yang sedang berkampanye harus menggalang dana atau melakukan penggalangan dana dalam pemilihan umum, lantaran yang harus ditegakkannya itu bukanlah dana, tetapi partainya itulah yang harus ditegakkan agar tetap kokoh kuat mencapai tujuan.

Dari sebab itu, jikalau kita hendak mengambil padanan kata dalam istilah kampanye politik, maka istilah "galang" itu tidaklah sama dengan, atau tidak identik dengan kata "mengumpulkan" atau "menghimpun" dana kampanye. Dana atau uang lebih merupakan alat untuk menyusun atau menggalang kekuatan partai.

Kata "galang" yang dimaksud dalam kampanye itu sebenarnya adalah dana atau uang itulah, sebab dana adalah biaya yang digunakan untuk menopang atau menggalang partai agar tidak rebah atau kalah dalam pemilu.

Menurut saya, yang paling masuk akal memang, kata "menggalang" dapatlah dipadankan dengan "menyusun" atau "menegakkan", atau "menopang" sebab galang itu dipakai untuk menopang, menyusun atau menegakkan. Bukan untuk mengumpulkan atau menghimpun.

Jikalau pada masa revolusi, Bung Karno pernah menggunakan kata "menggalang kekuatan" maka yang dimaksudkannya adalah menyusun kekuatan sebab dengan kekuatan itu dia dapat menegakkan Republik Indonesia. Bung Karno tidak pernah menggunakan istilah "menggalang dana".

Maka hendaklah kita mengatakan "penggalangan partai" atau penyusunan kekuatan partai dengan menggunakan dana yang banyak agar partai itu tidak rebah. Jadi, bukan "penggalangan dana".

KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat kini mencatat kata "penggalangan dana" dan diberi arti "mengumpulkan, mencari dana". Begitulah sifat kamus KBBI, dia hanya merekam sesuatu yang telah terucap, meski tanpa pernalaran.

Menggalang, mengumpulkan dan mencari sangatlah beda. Mungkin sekali gabungan kata "menggalang dana" akan berterima, tetapi telinga saya terasa seperti dikilik-kilik kalau mendengar orang menyebut "penggalangan dana, dan penggalangan suara". Geli...!

I. Umbu Rey

Memeras keringat

Sampai saat ini saya agak risau dengan istilah "memeras keringat". Kata guru saya di kampung, sebenarnya ini istilah adalah kiasan saja untuk maksud berkerja keras. Sama juga halnya dengan istilah bekerja "membanting tulang".

Soal "membanting tulang" itu menurut pikiran saya masuk akal, sebab ketika kita bekerja keras maka seakan-akan tulang kita dibanting-bantingkan keras-keras. Ini bisa terlihat pada gerak pekerja kasar seperti petani yang mencangkul, buruh-buruh pelabuhan atau baco yang mengangkat beban berat di punggungnya atau pekerjaan lain lebih banyak menggunakan tenaga ketimbang otak.

Demikian juga halnya dengan istilah "bertekuk lutut" yang diartikan sebagai menyerah kalah. Pada zaman dulu, orang atau pihak yang kalah biasanya dipaksa untuk menyembah kepada pemenang dengan menekukkan lututnya atau berlutut di hadapan sang pemenang.

Kata "memeras" sama atau bersinomin dengan "memerah". Cuma, kata "memerah" hanya lazim digunakan untuk sapi atau lembu. Karena itu ada istilah "sapi perahan" yakni sapi yang dipelihara untuk diambil susunya. Orang yang diperbudak atau kerja tanpa imbalan biasanya kita sebut "sapi perahan" juga. Pada zaman penjajahan, Belanda menjadikan bansa di Nusantara ini sebagai sapi perahan saja layaknya.

Proses pengambilan air susu sapi dilakukan dengan memerah buah atau puting susu sapi itu. Pada zaman sekarang hal yang sama juga dilakukan ibu-ibu muda yang bekerja kantoran dan terpaksa meninggalkan bayinya di rumah. Dengan sebuah alat khusus payudaranya diperas dan air susunya dimasukkan ke dalam botol yang sudah dilengkapi dengan dot.

Tetapi, istilah "memeras keringat" itu terasa amat ganjil bagi saya. Bukankah keringat itu zat cair yang keluar dari dalam tubuh karena kita kepanasan atau setelah banyak bergerak? Tanpa memeras sesuatu pun keingat itu pastilah keluar sendiri.

Saya belum pernah mendengar orang memeras badan atau memeras tubuh supaya keringat itu keluar. "Memeras" adalah kata kiasan dari pekerjaan orang yang suka menipu atau mengambil hasil kerja orang berupa uang, seakan-akan dia "memeras" orang (korbannya) agar dapat penghasilan lebih banyak.

Ada sebuah lirik lagu keroncong yang dinyanyikan oleh Mus Muliadi dan menurut saya terasa lebih masuk akal:

Kini hasratmu menyala
Tinggi membakar jiwamu
Kini dirimu dalam api perjuangan

Oh...diliputi kabut pancaroba
Kini dirimu menjelang gerbang bahagia

Melalui samudera ujian
Untuk nusa dan bangsa
Kini DIRIMU KAUPERAS SEKUAT TENAGAMU

Dalam frasa "dirimu kauperas sekuat tenagamu" memberikan kesan kerja keras untuk mencapai tujuan. Kerja keras apa pun dengan mengeluarkan tenaga, tentu saja badan akan mengeluarkan keringat.

Keringat juga akan mengucur deras kalau kita kepanasan. Keringat itu kita seka atau kita hapus dengan sapu tangan. Kalau begitu, mestinya kita sebut "memeras sapu tangan". Mengapa justru keringat yang diperas?

I. Umbu Rey

Pengemis

Ini cerita lama, mungkin sudah banyak yang tahu. Saya ceritakan saja hal ini sebagai ulangan dengan tafsiran baru. Iseng-iseng saja, supaya ada coretan saya di milis ini hari ini.

Suatu saat saya bertanya kepada rekan-rekan di meja sunting, apa kata dasar dari "pengemis"? Tak seorang pun dapat menjawab, sebab kata pengemis ya pengemis saja, tak punya kata dasar, kata mereka.

"Lagian repot amat lu nanya-nanya soal kata dasar pengemis. Pengemis itu ya tukang minta-minta. Itu saja, sudah!" begitu kata teman di sebelah kanan meja saya. Sewot betul dia kalau ditanya soal bahasa.

Lalu, siapa sebenarnya yang bisa disebut tukang minta-minta? Menurut saya, tukang minta-minta itu bukan ciri khas orang miskin, dan karena itu "pengemis" sebenarnya bukan "orang kere" atau orang melarat tak punya apa-apa.

Saya pikir orang-orang yang beragama semuanya termasuk "pengemis" juga walaupun pada umumnya mereka punya duit segudang. Hampir setiap saat mereka berdoa, dan berdoa itu pengertiannya sama saja dengan minta-minta pada tuhannya. Nggak bayar lagi kalau dikabulkan.

Yang dapat menjawab apa kata dasar "pengemis" itu pastilah KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Di situ tertera lema "emis". Jadi, "pengemis" adalah orang yang minta-minta, dan katanya, pengemis itu biasanya tidur di kolong jembatan.

Saya sangsikan kebenaran lema atau kata dasar "emis" itu. Teringat saya akan ucapan Pak Guru di kampung dulu sekali. Entahlah guru saya itu benar atau tidak, dia bilang, "Kata dasar pengemis itu adalah "Kemis". Huruf "k" pada kata Kemis itu harus luluh menjadi "ng" kalau mendapat awalan "pe" sehingga menjadi "pengemis". Ini memang masuk akal karena emis itu entah dari mana asal usulnya.

Kemis itu adalah nama hari menurut kebiasaan ucapan lidah orang Jawa. Bahasa Indonesia yang benar adalah Kamis. Konon, dari situlah kata pengemis itu jadi dan hidup sampai sekarang.

Menurut berita yang tersebar, pada zaman dulu ada kebiasaan raja Jawa (Yogyakarta) melakukan "turba" (turun ke bawah menurut istilah zaman saiki) untuk sekadar bertemu dan bercengkerama dengan rakyatnya. Kebiasaan itu dilakukan oleh Raja pada setiap hari Kamis atau Kemis menurut ucapan orang Jawa.

Rakyat yang mencintainya berduyun-duyun datang menyambutnya di pinggir jalan untuk bertemu dan bertatap muka. Kebetulan juga, sang raja punya kebiasaan menaruh satu atau dua keping uang logam ke tangan rakyat yang berada di dekatnya.

Uang dari tangan raja itu, konon, lebih bermakna berkah daripada nilainya untuk menyambung hidup. Sampai sekarang, menurut amatan saya, kebiasaan orang Jawa di luar keraton, untuk mendapat berkah dari sesuatu yang berhubungan dengan raja masih tetap dilaksanakan.

Pada tanggal 1 Syoro untuk menyambut tahun baru Islam rakyat yang berkerumun di alun-alun berebut-rebutan kue apem untuk mendapat berkah. Jika keris dan kereta kencana atau barang pusaka keraton lain yang dianggap bertuah milik kerajaan dicuci, maka air cucian itu diperebutkan karena dianggap bisa memberikan berkah atau nasib baik di kemudian hari.

Kemis yang kemudian menjadi pengemis itu -menurut amatan saya-- sebenarnya mengandung pengertian meminta berkah pada hari Kemis, tetapi lama-kelamaan kata itu terpeleset juga ke pengertian yang negatif, yaitu minta-minta sedekah untuk menyambung hidup.

Maka berbondong-bondonglah orang Jawa pergi ke alun-alun untuk mengemis siapa tahu sedang mujur, dan raja berbelas kasihan memberikan sekeping dua uang logam untuk beli makanan guna menyambung hidup.

Begitulah kisah yang saya dengar dari mulut ke mulut, dan hingga kini pengemis itu menjadi ciri khas "orang kere" di kolong jembatan. Dia hidup hanya dengan meminta-minta atau mengemis.

Maka terciptalah puisi PENGEMIS seperti di bawah ini:

Beri hamba sedekah oh, Tuan
Belum makan dari pagi
Tolong patik wahai Tuan
Seteguk air sesuap nasi

Lihatlah Tuan nasib kami
Tiada sanak tiada saudara
Pakaian di badan tidak terbeli
Sepanjang jalan meminta-minta

Lihatlah Tuan untung kami
Pondok tiada huma tiada
Bermandi hujan berpanas hari
Di tengah jalan terlunta-lunta

Bukan salah bunda mengandung
Buruk suratan nasib sendiri
Sudah nasib sudah untung
Hidup malang hari ke hari

O, Tuan, jangan kami dicibirkan
Jika sedekah tidak diberi
Cukup sudah sengsara badan
Jangan lagi ditusuk hati
(Dari Puisi Baru--STA)

I. Umbu Rey

Sabtu, 09 Mei 2009

Besok, lusa, tulat, tubin

Seorang teman yang datang dari Jawa Tengah suatu ketika saya tanya," Mas, kapan tiba di Jakarta?" Dia menjawab dengan cepat, "Kemarin lusa!" Rupa-rupanya yang dimaksudkan dengan "kemarin lusa" itu adalah dua hari yang lalu.

Lazimnya kita menyebut sehari sesudah kemarin atau dua hari yang telah lewat itu adalah "kemarin dulu". Tetapi, kata itu --kemarin dulu-- agaknya sudah jarang sekali terdengar diucapkan, lantaran orang lebih suka menyatakan dengan angka pasti "dua hari yang lalu", atau tanggal dan hari kedatangannya. Mungkin karena sekarang ini sudah ada jam penunjuk waktu atau almanak yang tepat.

Anehnya, di Indonesia bagian barat, khususnya di Jakarta, kata "kemarin" itu bukan cuma menunjuk waktu sebelum hari ini. Tahun yang lalu pun sering disebut "tahun kemarin". Di Jawa Tengah, tahun depan itu sering disebut "tahun besok" tetapi tidak ada "tahun lusa". Celakanya, kata "lusa" sudah berubah menjadi dua hari yang lalu seperti pada contoh yang diebutkan oleh teman saya itu.

Ketika saya masih di kampung dulu, Pak Guru berkata bahwa "lusa" itu adalah dua hari yang akan datang, atau sehari setelah besok atau esok, sedangkan besok adalah sehari setelah hari ini.

Setiap orang dapat bercerita tentang hari kemarin dan kemarin dulu, sebab ketika itu mereka pernah mengalami suatu kejadian, tetapi tak seorang pun dapat bercerita tentang hari esok atau lusa, sebab hari-hari itu belum dilalui atau mungkin tidak akan pernah dialami kalau hari ini tiba-tiba "koit" atau "modar" menjemput .

Yang dapat bercerita tentang hari esok hanyalah Mama Laurent atau Ki Joko Bodo, tetapi dengan syarat KETIK REG (spasi) WETON. Itu pun cuma ramalan yang mungkin benar kalau kita percaya. Paling-paling yang dapat diceritakan pun "Hei, kamu tidak cocok kerja di air. Kamu lebih cocok jadi gembala kambing saja." Cita-cita saya adalah ingin jadi presiden, kenapa kok disuruh gembala kambing?

Akan jadi apakah kita pada hari-hari yang akan datang memang tidak pernah bisa dipastikan, tetapi nama waktu yang mungkin akan kita lalui itu sesungguhnya sudah pasti. Besok itu selalu ada ketika matahari terbit sesudah hari ini.

BESOK adalah sehari sesudah hari ini. Dua hari setelah hari ini pun akan ada kalau kita masih hidup, dan kita sebut itu LUSA. Yang saya sayangkan, pada umumnya orang Indonesia bagian barat hanya mengenal LUSA, yang disalahtafsirkan dengan "kapan-kapan" .

Soalnya, grup band bersaudara terkenal dari Tuban Jawa Timur bernama Koes Plus pernah menyanyikan lagu dengan judul KAPAN-KAPAN seperti ini:

Kapan-kapan ....aaaan
Kita bertemu lagi,
Kapan-kapan ....aaaan
Kita bertemu lagi
Mungkin LUSA ....aaa
atau di lain hari dst.

Perhatikan frasa "atau di lain hari". Tidak jelas benar, bukan? Kapankah di lain hari itu? Kalau kita sekalian ingin melalui hari-hari yang akan datang lebih lanjut, maka ikuti saya.

Setelah hari ini Anda akan memasuki BESOK, dan dua hari yang akan datang, yakni sehari setelah BESOK Anda akan memasuki LUSA. Jika Anda ingin terus hidup, maka sehari setelah LUSA Anda akan masuk ke dalam hari yang disebut TULAT, dan pada hari yang keempat, yakni sehari setelah TULAT Anda akan sampai ke dalam hari yang disebut TUBIN.

Maka urut-urutan perjalanan waktu yang Anda tempuh adalah seperti ini:

Kemarin dulu --> kemarin --> hari ini --> besok (esok) --> lusa --> tulat --> tubin.

Dalam KBBI Pusat Bahasa (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) susunan WJS Poerwadarminta, kata-kata tersebut sudah tercatat tetapi banyak orang tidak pernah tahu. Kata-kata yang sebutkan itu hanya lazim diucapkan oleh orang-orang di Indonesia bagian timur saja tetapi sekarang ini pun nyaris tak terdengar lagi.

I. Umbu Rey

Menyoal

Dalam percakapan lisan sehari-hari dan bahkan dalam sebuah tulisan resmi pun pada zaman saiki saya tidak pernah lagi mendengar orang mengatakan "menyoal". Lazimnya orang berkata "mempersoalkan" dan bukan "menyoal(kan) " sesuatu.

KBBI edisi ketiga mencatat kata "menyoal" yang diberi arti 'mengemukan pertanyaan (yang sulit), menanyakan sesuatu (dalam ujian). Sama halnya dengan kata "menyoalkan". Kata "menyoal" ini memang pernah dan lazim digunakan sejajar dengan kata "menanya", tetapi hanya dalam cerita dahulu kala yang menggunakan bahasa Melayu lama (sebelum bahasa Indonesia).

Waktu saya belajar bahasa Indonesia di kampung dulu, kata "soal" dimengerti sebagai masalah yang dipertanyakan atau ditanyakan. Jadi, Pak Guru biasanya hanya dapat mengajukan soal, dan tidak terdengar lagi Pak Guru mengucapkan kata "menyoal" masalah. Yang lazim adalah, guru bertanya dan murid menjawab.

Mungkin juga ini hanyalah masalah "rasa bahasa" yang kadang-kadang terucap begitu saja di luar tata bahasa (nahu). Kata "menyemut" atau "membukit" misalnya tidak dapat kita pertikaikan dalam ranah tata bahasa oleh karena hal ini hanyalah kebiasaan rasa bahasa saja atau ungkapan saja.

Menyemut artinya menjadi seperti (kerumunan semut banyaknya), dan membukit artinya menjadi seperti (bukit tingginya). Maka kedua kata itu tidak dapat kita ubah menjadi kata kerja pasif "disemut" dan "dibukit". Belakangan ini ada lagi "merumput" untuk isitilah dalam sepakbola yang artinya bermain di lapangan rumput.

Dalam suatu diskusi bahasa di Forum Bahasa Media Massa (FBMM) saya pernah mengajukan RUMUS untuk menentukan kebenaran sebuah kata berimbuhan yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia. Rumus ini ternyata pernah juga diajukan oleh Prof. Dr. Anton M. Moeliono ketika berdiskusi di Redaksi Harian Rakyat Merdeka.

1. Kata dasar yang mendapat awalan me - (kan) akan mengikuti perubahan bentuk seperti berikut:

Tulis --> menulis --> penulis --> penulisan --> tulisan

2. Kata dasar yang mendapat awalan ber- akan mengikuti perubahan bentuk seperti berikut:

Dagang --> berdagang --> pedagang --> memperdagangkan --> perdagangan

Dengan begitu, maka kata dasar SOAL seharusnya juga mengikuti perubahaan bentuk seperti berikut:

1. Soal --> menyoal (kan) --> penyoal --> penyoalan --> soalan
2. Soal --> bersoal -(jawab) --> pesoal --> mempersoalkan --> persoalan

I. Umbu Rey

Penjara

Pada umumnya orang mengenal kata PENJARA itu sebagai kata dasar, yang dalam KBBI edisi ketiga diberi arti bangunan tempat mengurung orang hukuman. Kata itu bersinonim dengan BUI yang pada zaman Orde Lama sering disebut "hotel prodeo".

Sepengetahuan saya, PENJARA itu sesunguhnya berasal dari kata dasar JERA yang diberi awalan "pe(n)-" sehingga menjadi PENJERA. Maksudnya adalah tempat (termasuk alat) untuk membuat orang jahat supaya jera dan tidak mengulangi lagi kejahatan yang diperbuatnya.

Zaman dulu, orang (penjahat) yang masuk PENJERA sengsaranya bukan main. Di dalam penjera jangan harap dia bisa tidur, dan kalau berbaring di lantai kakinya harus ditekuk karena tempat sangat pas badan. Itu sebabnya orang yang dipaksa menginap di penjera disebut "meringkuk" atau "mendekam".

Karena lidah bangsa ini susah dikendalikan, lama-lama kata PENJERA terpeleset menjadi PENJARA. Fungsinya tetap sama, dan orang yang masuk ke dalamnya pasti tersiksa. Penjahat akan diperlakukan seperti dalam sinetron yang menceritakan kisah si Midun, dari novel zaman baheula berjudul "Sengsara Membawa Nikmat".

Cerita si Midun itu sebenarnya kekecualian saja, sebab zaman dulu orang yang keluar dari penjara tak akan pernah membawa nikmat. Yang pasti, mata jadi cekung, badan kurus kerempeng tinggal kulit membalut tulang.

Itu sebabnya pada awal tahun 1970 grup Band d'Loyd mengumandangkan lagu "Penjara Tangerang" ciptaan Barce Van Heuten dan disenandungkan dengan sangat merdu oleh penyanyi Sam d'Loyd.

Lagu itu lengkapnya seperti ini:

Hidup di bui bagaikan burung
Bangun pagi makan nasi jagung
Hidup di bui pikiran bingung
Apa daya badanku terkurung

Trompet pagi kita harus bangun
Makan diantre nasinya jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apa daya badanku terkurung

Ref:

Oh, kawan dengar lagu ini
Hidup di bui menyiksa diri
Jangan sampai kawan mengalami
Badan hidup terasa mati

Apalagi penjara Tangerang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang
Karena kerja secara paksa
Tua muda turun ke sawah

Mendengar lagu merdu itu, Pak Harto, presiden Republik Indonesia ketika itu bukannya senang, tetapi marah bukan kepalang. Dia segera melarang lagu itu dinyanyikan atau disebarluaskan lewat media massa elektronik radio, dan kaset-kasetnya ditarik dari peredaran.

Beberapa tahun kemudian, Titiek Sandhora, penyanyi muda yang kemudian bersuamikan pasangan duetnya Muchsin Alatas, dibolehkan lagi menyanyikan lagu itu tetapi liriknya pada frasa "apalagi penjara Tangerang" diganti dengan "apalagi penjara zaman perang".

Konon, lagu itu tidak boleh dinyanyikan atas usul Prof Sahardjo, menteri kehakiman ketika itu, yang baru saja menyelesaikan disertasi doktornya tentang ilmu kemsayarakatan.

Sejak saat itu, kata PENJARA diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan dan disingkat LP atau Lapas. Semua penjahat yang masuk bui tidak akan tersiksa lagi tetapi dibina dan kelak dikembalikan lagi ke dalam masyarakat agar mereka hidup normal dan menjadi orang baik-baik.

Maka pantaslah sejak saat itu orang berbuat jahat tidak lagi tanggung-tanggung. Orang korupsi main sikat yang gede-gedean saja, begitu juga perampokan bank terjadi di mana-mana, sebab masuk penjara aman tenteram, dan masa tahanan dikurangi karena dapat remisi dengan alasan agama dan kemanusiaan.

Koruptor Rp100 miliar seakan-akan hanya "menginap sebentar" dan dikasih kuliah pula, dan setelah bebas dari penjara maka dia tinggal menikmati bunga uang yang disimpannya di bank hasil penjarahan dan perampokan uang rakyat.

Pada zaman ORBA, jangan coba-coba merongrong wibawa presiden dan para pejabat penting di bawahanya. Begitu Pak Harto "ngangguk" orang yang dicurigai langsung hilang tak ketahuan lagi kuburnya. Wiji Thukul contohnya. Bahruddin Lopa (Jaksa Agung) menyusul, dan untungnya Munir (pejuang HAM) mati di dalam pesawat di Belanda. Kalau saja dia mati di Indonesia atau di negeri Arab sana maka tidak akan ada sidang pengadilan yang menyeret Pollycarpus dan Muchdi sebagai tersangka.

Sekarang ini Lembaga Pemasyarakatan itu bukan lagi sindiran kalau disebut "hotel prodeo" (dari kata pro dan Deo = untuk Tuhan, cuma-cuma). Tempat penampungan orang bermasalah itu memang ibarat hotel tempat menginap saja layaknya. Makan tidur semuanya prodeo.

Anton Medan, penjahat ulung yang kemudian bertobat dan menjadi mubalig, itu pernah juga bercerita tentang kemewahan dalam Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Dia bilang "Ente mau main perempuan, tinggal omong sambil kasih duit pada sipir bui. Sebentar kemudian perempuan masuk dan "bermainlah" kau di tempat yang aman di lembaga itu."

Anton Medan menggambarkan penjara Cipinang sama seperti tempat penginapan cuma-cuma saja. Pada siang hari orang bebas bekerja ke kantornya, dan kalau penjahat boleh berkeliaran pergi mencopet atau merampok asal pulang kasih tip sama sipir bui. Malamnya tidur tenang di kamar tahanan masing-masing.

Karena keadaan yang begitu nyaman itu, maka Edi Tanzil bisa keluar seenaknya pada siang hari, dan baru kembali ke kamarnya pada malam hari untuk tidur. Di kasur pula dia merebahkan badannya, dan konon sambil nonton teve pula.

Cerita ini mungkin rekayasa saya saja, tetapi itulah yang saya tahu. Saudara percaya syukur, tidak percaya juga tidak apa-apa sebab Anda tidak akan masuk PENJERA setelah membaca cerita saya.

I. Umbu Rey