Sabtu, 09 Mei 2009

Penjara

Pada umumnya orang mengenal kata PENJARA itu sebagai kata dasar, yang dalam KBBI edisi ketiga diberi arti bangunan tempat mengurung orang hukuman. Kata itu bersinonim dengan BUI yang pada zaman Orde Lama sering disebut "hotel prodeo".

Sepengetahuan saya, PENJARA itu sesunguhnya berasal dari kata dasar JERA yang diberi awalan "pe(n)-" sehingga menjadi PENJERA. Maksudnya adalah tempat (termasuk alat) untuk membuat orang jahat supaya jera dan tidak mengulangi lagi kejahatan yang diperbuatnya.

Zaman dulu, orang (penjahat) yang masuk PENJERA sengsaranya bukan main. Di dalam penjera jangan harap dia bisa tidur, dan kalau berbaring di lantai kakinya harus ditekuk karena tempat sangat pas badan. Itu sebabnya orang yang dipaksa menginap di penjera disebut "meringkuk" atau "mendekam".

Karena lidah bangsa ini susah dikendalikan, lama-lama kata PENJERA terpeleset menjadi PENJARA. Fungsinya tetap sama, dan orang yang masuk ke dalamnya pasti tersiksa. Penjahat akan diperlakukan seperti dalam sinetron yang menceritakan kisah si Midun, dari novel zaman baheula berjudul "Sengsara Membawa Nikmat".

Cerita si Midun itu sebenarnya kekecualian saja, sebab zaman dulu orang yang keluar dari penjara tak akan pernah membawa nikmat. Yang pasti, mata jadi cekung, badan kurus kerempeng tinggal kulit membalut tulang.

Itu sebabnya pada awal tahun 1970 grup Band d'Loyd mengumandangkan lagu "Penjara Tangerang" ciptaan Barce Van Heuten dan disenandungkan dengan sangat merdu oleh penyanyi Sam d'Loyd.

Lagu itu lengkapnya seperti ini:

Hidup di bui bagaikan burung
Bangun pagi makan nasi jagung
Hidup di bui pikiran bingung
Apa daya badanku terkurung

Trompet pagi kita harus bangun
Makan diantre nasinya jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apa daya badanku terkurung

Ref:

Oh, kawan dengar lagu ini
Hidup di bui menyiksa diri
Jangan sampai kawan mengalami
Badan hidup terasa mati

Apalagi penjara Tangerang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang
Karena kerja secara paksa
Tua muda turun ke sawah

Mendengar lagu merdu itu, Pak Harto, presiden Republik Indonesia ketika itu bukannya senang, tetapi marah bukan kepalang. Dia segera melarang lagu itu dinyanyikan atau disebarluaskan lewat media massa elektronik radio, dan kaset-kasetnya ditarik dari peredaran.

Beberapa tahun kemudian, Titiek Sandhora, penyanyi muda yang kemudian bersuamikan pasangan duetnya Muchsin Alatas, dibolehkan lagi menyanyikan lagu itu tetapi liriknya pada frasa "apalagi penjara Tangerang" diganti dengan "apalagi penjara zaman perang".

Konon, lagu itu tidak boleh dinyanyikan atas usul Prof Sahardjo, menteri kehakiman ketika itu, yang baru saja menyelesaikan disertasi doktornya tentang ilmu kemsayarakatan.

Sejak saat itu, kata PENJARA diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan dan disingkat LP atau Lapas. Semua penjahat yang masuk bui tidak akan tersiksa lagi tetapi dibina dan kelak dikembalikan lagi ke dalam masyarakat agar mereka hidup normal dan menjadi orang baik-baik.

Maka pantaslah sejak saat itu orang berbuat jahat tidak lagi tanggung-tanggung. Orang korupsi main sikat yang gede-gedean saja, begitu juga perampokan bank terjadi di mana-mana, sebab masuk penjara aman tenteram, dan masa tahanan dikurangi karena dapat remisi dengan alasan agama dan kemanusiaan.

Koruptor Rp100 miliar seakan-akan hanya "menginap sebentar" dan dikasih kuliah pula, dan setelah bebas dari penjara maka dia tinggal menikmati bunga uang yang disimpannya di bank hasil penjarahan dan perampokan uang rakyat.

Pada zaman ORBA, jangan coba-coba merongrong wibawa presiden dan para pejabat penting di bawahanya. Begitu Pak Harto "ngangguk" orang yang dicurigai langsung hilang tak ketahuan lagi kuburnya. Wiji Thukul contohnya. Bahruddin Lopa (Jaksa Agung) menyusul, dan untungnya Munir (pejuang HAM) mati di dalam pesawat di Belanda. Kalau saja dia mati di Indonesia atau di negeri Arab sana maka tidak akan ada sidang pengadilan yang menyeret Pollycarpus dan Muchdi sebagai tersangka.

Sekarang ini Lembaga Pemasyarakatan itu bukan lagi sindiran kalau disebut "hotel prodeo" (dari kata pro dan Deo = untuk Tuhan, cuma-cuma). Tempat penampungan orang bermasalah itu memang ibarat hotel tempat menginap saja layaknya. Makan tidur semuanya prodeo.

Anton Medan, penjahat ulung yang kemudian bertobat dan menjadi mubalig, itu pernah juga bercerita tentang kemewahan dalam Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Dia bilang "Ente mau main perempuan, tinggal omong sambil kasih duit pada sipir bui. Sebentar kemudian perempuan masuk dan "bermainlah" kau di tempat yang aman di lembaga itu."

Anton Medan menggambarkan penjara Cipinang sama seperti tempat penginapan cuma-cuma saja. Pada siang hari orang bebas bekerja ke kantornya, dan kalau penjahat boleh berkeliaran pergi mencopet atau merampok asal pulang kasih tip sama sipir bui. Malamnya tidur tenang di kamar tahanan masing-masing.

Karena keadaan yang begitu nyaman itu, maka Edi Tanzil bisa keluar seenaknya pada siang hari, dan baru kembali ke kamarnya pada malam hari untuk tidur. Di kasur pula dia merebahkan badannya, dan konon sambil nonton teve pula.

Cerita ini mungkin rekayasa saya saja, tetapi itulah yang saya tahu. Saudara percaya syukur, tidak percaya juga tidak apa-apa sebab Anda tidak akan masuk PENJERA setelah membaca cerita saya.

I. Umbu Rey

Tidak ada komentar: