Senin, 08 September 2008

Idulfitri adalah hari H

Menurut kalender resmi tahun Masehi, hari Idulfitri tahun ini jatuh pada hari Rabu 1 Oktober 2008. Akh, nggak benar itu! Yang benar, Idulfitri tahun 2008 akan jatuh pada hari H. Kalau Anda tidak percaya, tunggulah nanti sampai waktunya tiba.

Para wartawan dan para pejabat instansi di bidang keagamaan dan pejabat di lembaga yang terkait dengan urusan Iduliftri mulai dua minggu ke depan akan dengan lantang mengatakan Idulfitri itu adalah hari H. Padahal, dalam kalender nasional nama hari yang kita kenal adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Mingu. Cuma ada tujuh hari, dan tidak ada itu yang namanya hari H.

Entah mengapa disebut hari H, saya tidak paham benar. Setelah tanya sana tanya sini, saya mendapat jawaban bahwa hari H itu ada lantaran orang atau pejabat dan wartawan suka
latah. Konon, hari H itu muncul sebagai terjemahan D-Day dalam bahasa Inggris.

Arti huruf D dalam D-Day itu tidak ada yang pasti. Kamus Wikipedia mengatakan D-Day dapat juga berarti Day of Days. Istilah ini semula hanya digunakan di kalangan militer saja.

Mungkin itu sebabnya D-Day lalu diterjemahkan menjadi Hari H. Cuma, istilah militer itu lalu dipakai untuk hari keagamaan, jadi ganjil juga rasanya.

Kebetulan sekali Idullfitri tahun ini akan jatuh pada 1 Oktober (jika ditetapkan demikian) bersamaan dengan peristiwa kudeta berdarah tahun 1965 yang dilakukan oleh PKI pimpinan Aidit. Tanggal 1 Oktober 1965 itu adalah D-Day penculikan tujuh jenderal oleh PKI, dan karena itu disebut Gestok atau Gerakan Satu Oktober. Tetapi, pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto menyebut D-Day PKI terjadi pada 30 September dan karena itu disebut G-30 S/PKI atau Gerakan 30 September

Maka pada tanggal 30 September 2008 (satu ahri sebelum D-Day umat Islam akan menyerukan takbir dan tahmid. Tetapi itu dilakukan untuk merayakan sebagai hari kemenangan setelah 30 hari berpuasa menuruti perintah agama. Bukan untuk memuji Pak Harto dan Pancasila yang telah menumpas PKI.

Ada sebagian orang yang mengatakan D- adalah singkatan dari kata (Inggris) "Decision". Jadi, D-Day adalah hari keputusan atau hari yang ditetapkan. Kalau demikian, huruf H dalam hari H itu singkatan dari kata apa? Ya, sudahlah, biarkanlah begitu.

Yang menjadi masalah kemudian adalah, apakah hari H itu cuma sehari, ataukah dua hari karena Idulfitri ditetapkan jatuh pada tanggal 1 dan 2 Oktoberr 2008. Tahun yang lalu dalam milis ini pernah juga disinggung secara singkat perkara hari H itu lantaran penggunaannya terserah pada yang menyebutnya. Jadi, mana suka sajalah. Yang bingung orang yang baca.

Kantor Berita Antara akan cenderung mengatakan hari H itu adalah tanggal 1 dan 2 Oktober. Jadi, H-1 (baca: Ha min satu) adalah "satu hari sebelum" tanggal 1 Oktober, dan H+1 (baca: Ha plus satu) adalah "satu hari setelah" tanggal 2 Oktober.

Mengapa begitu, karena tidak ada ketentuan yang menetapkan bahwa hari H itu cuma sehari.
Boleh dua hari dan boleh juga tiga hari. Nah, yang perlu dipertanyakan, hari Idulfitri itu
menurut ketentuan agama ada berapa harikah?

Jika Idulfitri itu jatuh pada hari Rabu 1 Oktober (tahun Masehi) maka hari dan tanggal itulah yang disebut hari H, dan karena itu Kamis 2 Oktober merupakan masa libur tambahan atau H+1.

Agaknya ada salah pengertian mengenai hari H yang merupakan hari yang ditetapkan dan hari H yang merupakan masa Lebaran.

Rekan-rekan di media massa khususnya yang tergabung dalam FBMM (Forum Bahasa Media Massa) mesti menetapkan hari H itu hari apa.

Umbu Rey

Kamis, 04 September 2008

Tampak tidak terlihat

Saya tidak tahu persis apakah ini gejala penyimpangan atau memang perkembangan bahasa Indonesia. Hampir setiap saat saya amati koran-koran menulis kata "tampak" secara tidak tepat makna. Ini cuma pendapat saya dan boleh dibantah.

Beberapa tahun yang lalu ketika mantan Presiden RI Pak Harto masih hidup, kegiatannya selalu saja disorot wartawan. Pada suatu saat setelah bulan Ramadan diadakanlah sembahyang Ied di Masjid At-Tien di Taman Mini Indonesia Indah untuk menyambut Idulfitri. Masjid itu, konon, didirikan oleh Pak Harto. Ribuan orang memadati masjid itu.

Kantor Berita Antara juga meliput kegitan itu, dan wartawannya tentu saja melaporkan peristiwa itu dari sudut pandangnya. Apa yang dilihatnya di situ dilaporkannya semua secara terperinci, dan berhamburanlah kata "tampak" dalam laporannya itu.

Salah satu kalimatnya berbunyi "Ribuan umat muslim memadati Masjid At-Tien di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) untuk melakukan sembahyang Ied, tetapi mantan Presiden Sooharto tampak tidak terlihat".

Terus-terang saya bingung setengah mati, bagaimana mungkin seseorang yang tidak dapat dilihat tampak oleh wartawan Kantor Berita Antara. Kata "tampak" agaknya digunakan sebagai kebiasaan, dan mungkin merupakan pemanis kata atau pelengkap tanpa makna. Mungkin itu sebabnya para wartawan suka menggunakan kata "tampak" itu.

Dalam KBBI kata "tampak" hanya memiliki makna yang berhubungan dengan apa yang dilihat mata. Tampak artinya (1) dapat dilihat, kelihatan, dan (2) memperlihatkan diri atau muncul. Dari kata "tampak" turun kata tampaknya, tampak-tampak, menampak, menampakkan, tertampak, dan penampakan, yang kesemuanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat dilihat oleh mata.

Kalau kata "tampak" dipakai bersamaan dengan kata "terlihat" mungkin masih dapat diterima akal sebab kata "tampak" dalam kasus ini hanya menegaskan apa yang dilihat wartawan. Bandingkan dengan "tampak ada". Tetapi dalam ragam jurnalistik kata "tampak" dalam konteks ini dianggap mubazir sebab yang terlihat itu pastilah tampak dan yang ada itu pun sudah pasti tampak.

Jika kita menggunakan "tampaknya ada", maka frasa itu merupakan pernyataan atau penafsiran sesuatu yang tidak pasti. Contohnya, Pak Harto tampaknya tidak akan hadir di Masjid itu. Tetapi kalau Pak Harto "tampak tidak hadir" dalam acara itu, maka kata "tampak" itu tidak masuk akal, lantaran tak akan mungkinlah mata melihat sesuatu yang tidak hadir.

Anehnya, Harian KOMPAS edisi Jumat 29/8/2008 menurunkan berita pada halaman 9 mengenai kemenangan Anwar Ibrahim yang kemabali ke parlemen setelah menang dalam pemilu sela di Malaysia.

Pada halaman itu tertulis: Pada saat pengambilan sumpah Anwar, Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi, Wakil PM Nadjib Razak, serta sebagian anggota kabinet tampak tidak hadir di gedung parlemen. Jadi, yang tak hadir pun tampak oleh wartawan. Ganjil betul.

Kata "tampak" dalam tulisan di KOMPAS itu tidak bisa diganti dengan "tampaknya" sebab orang (pejabat tinggi) yang disebutkan dalam koran itu memang sudah pasti tidak hadir dalam acara sumpah jabatan itu sampai acara itu usai.

Kata "tampaknya" yang saya maksudkan itu lebih menunjuk pada arti ramalan atau perkiraan tentang sesuatu yang akan terjadi atau tidak terjadi. KOMPAS itu beda dari Antara. Koran itu mempunyai tenggat waktu lebih lama daripada kantor berita. Artinya, wartawan koran baru akan menulis beritanya ketika acara itu usai tuntas.

Kantor berita Antara bekerja dengan tenggat setiap saat, hampir mirip dengan radio yang melaporkan pandangan mata langsung dari tempat kejadian. Ketika acara itu belum usai beberapa peristiwa atau kejadian dalam acara itu sudah harus disiarkan pada saat itu juga.

Karena itu, ketika acara sembahyang Ied itu belum usai (masih berlangsung) , masih ada kemungkinan Pak Harto akan hadir dalam acara itu. Mungkin pada pertengahan acara atau mungkin pada akhir acara itu. Pada saat yang demikian itu, wartawan Antara seharusnya menggunakan kata "tampaknya" karena ada kemungkinan seperti yang saya sebutkan di atas.

Jika wartawan Antara cenderung memperkirakan Pak Harto tidak akan hadir, maka dia seharusnya berkata Pak Harto tampaknya tidak akan hadir dalam acara itu (artinya ada kemugkinan Pak Harto hadir).

Tetapi, kalau Pak Harto diketahuinya tidak hadir, maka pastilah Pak Harto tidak akan kelihatan di tempat itu. Lantas, mengapa wartawan menggunakan kata "tampak tidak kelihatan"? Bukankah orang yang tidak hadir di situ memang tidak tampak atau tidak kelihatan?

Logika wartawan acap kali membuat kita pusing juga. Kata 'tampak' dalam frasa itu sebenarnya tidak bermasalah jikalau di situ tak tercantum kata 'tidak'. Jikalau kita menyebut 'tampak hadir' maka nalar kita tetaplah jalan sebab yang hadir pastilah tampak di acara itu. Sama seperti kita mengatakan 'tidak hadir' maka nalar kita pun jalan.

Jikalau kata 'tampak' itu dihubungkan dengan 'tidak hadir' maka nalar kita seakan-akan sudah dijungkir-balikkan. Tampak itu adalah sama dengan 'kelihatan' (lihat KBBI edisi ketiga) dan orang yang 'tidak hadir' itu pastilah juga tidak kelihatan sebab dia tidak ada di tempat acara itu.

"Pak Harto tampak tidak terlihat". Kok, bisa-bisanya itu wartawan melihat yang tidak ada!

Umbu Rey