Kamis, 27 November 2008

Tanah longsor diamankan

Pada tulisan yang lalu saya sudah menjelaskan masalah tentang kata berimbuhan "mengamankan". Saya juga mengatakan kata "aman" itu tidak lagi digunakan sebagai metafora untuk menghaluskan pengertian atau eufemisme. Dengan kata lain, "aman" haruslah digunakan dalam pegertian bebas dari bahaya, bebas dari gangguan, terlindung dari bahaya, tenteram.

Berita dari Bojonegoro tentang tanah longsor di bawah ini sangat membingungkan, dan sialnya disunting oleh wartawan senior yang pernah memimpin biro. Dia seharusnya cermat menyunting dan tidak asal melepas berita dengan alasan apa pun.

Saya tak hendak menuduh orang dengan pengertian yang bukan-bukan, atau melecehkan orang melalui milis ini, sebab tulisan yang saya kritik di bawah ini sudah tersiar lewat VSAT. Artinya, kita boleh berasumsi bahwa berita ini sudah dibaca orang.

Bukankah kita sudah bertekad untuk menjadi kantor berita kelas dunia? Begitu kita melepaskan satu berita, maka nama lembaga Kantor Berita Antara juga dipertaruhkan. Jika berita kita akurat, orang percaya akan kemampuan kita, tetapi jika yang terjadi seperti berita yang tersiar ini maka tentu saja citra lembaga ini pun akan rusak.

Perhatikan kalimat pada judul berita. Di situ terdapat dua pokok kalimat atau dua masalah sekaligus yang dibicarakan. Pertama, tanah longsor mengancam, dan kedua, jembatan Malo diamankan.

Jika tanah longsor itu mengancam, apakah yang diancamnya, atau apakah yang terancam oleh tanah longsor itu? Kalimat pada judul berita ini akan dapat berlogika jika saja Pedoman Penulisan Berita Antara tidak menabukan tanda baca khususnya koma. Para petinggi Redaksi di lantai 20 sudah menetapkan bahwa tanda koma tidak boleh digunakan dalam judul, padahal sebuah tanda baca koma akan memberikan perbedaan makna pada sebuah kalimat.

Jika saja kalimat judul itu kita beri tanda koma setelah kata MENGANCAM, maka bentuk kalimat judul itu akan seperti ini:

TANAH LONGSOR MENGANCAM, JEMBATAN MALO DIAMANKAN. Dalam kalimat ini jelas menerangkan bahwa ada sesuatu yang mengancam dan ada yang diamankan.

Coba Anda bandingkan dengan kalimat judul yang asli (yang ditulis tanpa koma). Akan muncul pengertian bahwa tanah longsor mengancam jembatan Malo. Lalu, yang diamankan itu apa?Sekarang perhatikan pula kalimat pada teras berita. Sangat membingungkan, kata teman-teman yang sudah membacanya, sebab merupakan kalimat majemuk bertingkat dengan kata tugas 'yang' terlalu banyak (terlalu banyak sematan atau anak kalimat).

Kalimat pada teras itu telah menempatkan posisi predikat terlampau jauh dari subjeknya karena dipisahkan oleh beberapa penggal anak kalimat dan karena itu sulit sekali kita menentukan mana subjek dan mana pula predikatnya.

Subjek adalah sesuatu yang dibicarakan, dan predikat adalah bagian kalimat yang menerangkan pekerjaan yang disebutkan oleh subjek (kaidah bahasa). Baiklah saya tentukan saja bahwa yang dibicarakan dalam berita ini adalah "tanah longsor".

Tanah longsor adalah subjek yang dibicarakan tetapi dalam kalimat itu ada anak kalimat "yang mengancam pondasi (seharusnya fondasi) jembatan Malo dan "yang menghubungkan Kecamatan Malo dan Kalitidu, Bojonegoro, Jatim". Itu berarti bahwa tanah longsor itu sedang mengancam fondasi jembatan, bukan?

Lalu, kita tentukan pula bahwa predikat sesungguhnya dalam kalimat itu adalah kata "diamankan". Timbullah pertanyaan, apakah yang diamankan? Berhubung kata "diamankan" adalah predikat yang menerangkan tanah longsor, maka menurut kaidah (hukum DM), tanah longsor itulah yang diamankan.

Logika kalimat pada teras berita itu akan menjadi semakin amburadul atau kacau-balau, ketika muncul pertanyaan baru, "dapatkah atau mungkinkah tanah longsor itu diamankan?" Bukankah yang mengancam fondasi jembatan itu adalah tanah longsor? Menurut logika, tidaklah mungkin sesuatu yang mengancam itu diamankan.

Andaikata seorang perampok mengancam Anda dan barang berharga milik Anda itu akan diambil secara paksa, apa yang seharusnya diamankan? Perampokkah atau barang milik Anda? Kalimat pada judul berita di bawah ini tidak jelas menerangkan "apa yang diamankan". Tanah longsorkah atau fondasi jembatan?

Jika kita hendak bernalar, seharusnya yang diamankan atau dilindungi itu adalah fondasi jembatan Malo agar tidak dirusakkan oleh ancaman tanah longsor. Jadi, seharusnya pula "fondasi jembatan" itulah yang menjadi pokok kalimat, yang harus dibicarakan dan yang harus menjadi subjek kalimat. Jadi, yang seharusnya diamankan adalah fondasi jembatan agar tidak ambruk dari ancaman tanah longsor.

Perhatikan judul ini: JEMBATAN MALO DIAMANKAN DARI ANCAMAN TANAH LONGSOR

Kalau begitu kita harus lebih cermat menggunakan kata AMAN.

Ini beritanya:

IBUKOTA DAN DAERAH

TANAH LONGSOR MENGANCAM JEMBATAN MALO DIAMANKAN

Bojonegoro, 17/11 (ANTARA) - Tanah longsor sepanjang sekitar 200 meter yang mengancam pondasi jembatan Malo yang menghubungkan Kecamatan Malodan Kalitidu, Bojonegoro, Jatim diamankan dengan dipasang bronjong kawat dan diurug batu.
Kepala Dinas PU Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Andi Tjandra, Senin, menjelaskan, pekerjaan mengamankan tanah longsor di dekat pondasi jembatan Malo tersebut, langsung ditangani Departemen PU Pusat.
Penanganan longsornya jembatan itu, bersamaan dengan perbaikan tanggul Bengawan Solo di sejumlah lokasi di daerah hilir, Bojonegoro dan Tuban dengan anggaran sebesar Rp2 miliar. Diperkirakan, pekerjaan mengamankan tanah longsor sepanjang 200 meter lebih dengan mengurug batu dan memasang bronjong tersebut sudah 50 persen rampung.
Menurut dia, longsornya tanah di dekat pondasi jembatan tersebut, akibat gerusan air banjir luapan Bengawan Solo yang melanda daerahhilir di Bojonegoro, Tuban dan Lamongan, termasuk Gresik pada musimbanjir lalu.
Sementara itu, lokasi longsornya tanah jembatan di bagian utara tersebut berada di tikungan sungai Bengawan Solo, sehingga dengan cepat mudah longsor, akibat terkena gerusan air. "Longsornya tanah di dekat jembatan tersebut termasuk sudah kritis. Kalau tidak ditangani, akan mengancam jembatan," katanya menambahkan.
Dia menjelaskan, secara teknis adanya pengamanan longsor tanah didekat jembatan Malo yang dibangun dengan APBD Tk II sebesar Rp53miliar itu, bisa meredam tingkat kelongsoran pada musim banjirberikutnya.
"Dengan dibronjong, bisa meredam erosi yang mengancam tanah di dekat jembatan itu," kata Andi Tjandra menjelaskan.
***7***(
T.PK-SAS/B/C004/C004) 17-11-2008 16:36:34

Umbu Rey

Rabu, 26 November 2008

Menemukan kembali

Saya agak risau dengan penggalan kata "menemukan kembali" dalam kalimat berita di bawah ini. Dalam KBBI kata "kembali" itu bersinonim dengan "lagi" karena lazimnya begitulah anggapan orang ramai. Padahal, kedua kata itu menurut hemat saya berbeda pengertiannya.

Kata "lagi" seharusnya berarti bertambah (jumlahnya) seperti pada kata "sekali lagi". Jadi kalau "saya makan lagi" berarti saya makan lebih dari satu kali. Kata "kembali" mengandung pengertian "mengulang tanpa menambah jumlahnya". Jadi, "saya makan kembali" berarti saya mengulang lagi proses makan yang tadi.

Dalam berita di bawah ini, frasa "menemukan kembali" satu jenazah korban yang bernama Ukam (70) seakan-akan memberikan pengertian bahwa Ukam (70) tadi sudah ditemukan --lalu kemudian hilang entah karena apa-- dan sekarang ditemukan kembali oleh tim pencarian.

Kalau frasa itu berbunyi "menemukan lagi" satu jenazah yang diketahui bernama Ukam (70) maka jumlah korban yang ditemukan boleh jadi sudah bertambah satu. Jadi, yang dimaksudkan dalam berita di bawah ini adalah "menemukan lagi satu jenazah" dan bukan menemukan kembali.

Ini beritanya:

IBUKOTA DAN DAERAH

SATU KORBAN LONGSOR NYALINDUNG DITEMUKAN TIM EVAKUASI

Cianjur, 15/11 (ANTARA) - Tim pencarian korban yang hilang akibat longsor dan banjir bandang di Desa Girimukti Kampung Nyalindung, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Sabtu pagi, menemukan kembali satu jenazah korban yang bernama Ukam (70).

Umbu Rey

Selasa, 25 November 2008

Meng-AMAN-kan

Semua orang pastilah sudah tahu arti kata AMAN? Kata ini memiliki arti bebas dari bahaya, bebas dari gangguan. Aman juga bersinonim dengan tenteram. Menurut kelas katanya, AMAN adalah kata sifat atau adjektiva.

Pada umumnya imbuhan "me - kan" yang mengapit kata sifat (adjektiva) dan kata bilangan (numeralia) akan menjelaskan bahwa Subjek menjadikan Objek (pelengkap penderita) pada kalimat transitif berada dalam keadaan seperti yang disebutkan oleh makna kata dasar itu.

Contohnya begini:

1. Bahasa Indonesia menyatukan bangsa, artinya Bahasa Indonesia menjadikan bangsa satu.
2. Anak nakal itu menyakitkan hati ibunya, artinya anak nakal itu menjadikan hati ibunya sakit.
3. Kelakuan badut itu menyenangkan semua orang, artinya kelakuan badut atau pelawak itu menjadikan atau membuat senang semua orang.

Hal yang sama berlaku pula pada kata sifat AMAN dalam kalimat berikut ini.

4. Polda Jabar meng-AMAN-kan 7.401 preman di Bandung, berarti preman-preman itu menjadi aman tenteram dan bebas dari gangguan bahaya di bawah lindungan polisi. Kalimat "mengamankan preman" mengandung arti bahwa Polda Jabar dalam operasi premanisme itu telah melindungi para preman supaya aman, tidak diganggu lagi.

Perhatikan kalimat pada alinea kedua dalam berita di bawah ini. Sebagian besar dari preman-preman itu diberi pembinaan meskipun tidak disebutkan pembinaan apa. Maka bolehlah kita menafsirkan bahwa Polda Jabar telah memberikan bekal pembinaan kepada para preman itu supaya kelak mereka akan lebih canggih dan berani memalak dan merampas atau mengancam korbannya.

Kalau begitu, pantaslah preman di kota-kota besar terutama di Pulau Jawa tidak pernah hilang, tidak pernah akan lenyap dan tidak akan pernah kapok sebab mereka semua AMAN di bawah naungan dan lindungan serta pembinaan Polda Jabar.

Kata AMAN ini sebenarnya bukan ungkapan penghalusan kata (eufemisme) kata TANGKAP. Istilah "polisi mengamankan perampok" sebenarnya muncul dari bibir dan mulut polisi sendiri ketika masalah HAM (Hak Asasi Manusia) mulai digalakkan di Indonesia.

Pada zaman penjajahan Belanda, kalau polisi menangkap orang yang dianggap perusuh atau pengganggu keamanan negara (pemerintah/penguasa) maka orang yang ditangkap itu sudah pasti tidak akan aman. Masuk bui gratis, muka babak belur, peot sana sini, gigi rontok, badan kurus kering akrena disiksa.

Itu sebabnya pada awal tahun 1970 grup Band De'Loyd mengumandangkan lagu"Penjara Tangerang" ciptaan Barce Van Heuten dan disenandungkan dengan sangat merdu oleh penyanyi Sam de'Loyd.

Lagu itu lengkapnya seperti ini:

Kudengar azan di suatu pagi
Kudengar dan hati tersiksa
Hidup di bui pikiran bingung
Apa daya badanku terkurung

Trompet pagi kita harus bangun
Makan diantre nasinya jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apa daya badanku terkurung

Ref:

Oh, kawan dengar lagu ini
Hidup di bui menyiksa diri
Jangan sampai kawan mengalami
Badan hidup terasa mati

Apalagi penjara Tangerang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang
Karena kerja secara paksa
Tua muda turun ke sawah

Mendengar lagu merdu itu, Pak Harto, presiden Republik Indonesia bukannya senang , tetapi ketika itu dia marah bukan main. Dia berang dan segera melarang lagu itu dinyanyikan atau disebarluaskan lewat media massa elektronik radio dan kaset-kasetnya ditarik dari peredaran.

Tetapi Titiek Sandhora beberapa tahun kemudian dibolehkan lagi menyanyikan lagu itu tetapi liriknya pada frasa "apalagi penjara Tangerang" diganti dengan "apalagi penjara zaman perang".

Sejak saat itu, kata PENJARA diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan dan disingkat LP atau Lapas. Maksudnya agar semua penjahat yang masuk bui tidak akan tersiksa lagi tetapi dibina dan kelak dikembalikan lagi ke dalam masyarakat agar mereka hidup normal dan menjadi orang baik-baik.

Maka pantaslah orang berbuat jahat sekarang ini tidak lagi tanggung-tanggung. Orang korupsi main sikat yang gede-gedean saja, begitu juga perampokan bank terjadi di mana-mana, sebab masuk penjara aman tenteram, dan lama tahanan dikurangi karena dapat remisi dengan alasan agama dan kemanusiaan.

Koruptor Rp100 miliar seakan-akan hanya "menginap sebentar" dan dikasih kuliah pula, dan setelah bebas dari penjara maka dia tinggal menikmati bunga uang yang disimpannya di bank hasil penjarahan dan perampokan uang rakyat.

Pada zaman ORBA jangan coba-coba merongrong wibawa Presiden dan antek-anteknya. Begitu Pak Harto "ngangguk" orang yang dicurigai langsung hilang tak ketahuan lalgi kuburnya. Wiji Thukul contohnya. Bahruddin Lopa (Jaksa Agung) menyusul, dan untungnya Munir (pejuang HAM) mati di dalam pesawat di Belanda. Kalau saja dia mati di Indonesia atau di negeri Arab sana maka tidak akan ada sidang pengadilan yang menyeret Pollycarpus dan Muchdi sebagai tersangka.

Kembali ke masalah AMAN

Kata AMAN dan mengamankan sesungguhnya muncul setelah atau menjelang kejatuhan Presiden Soeharto dan menjadi populer setelah Reformasi. Rakyat yang tak puas dengan keputusan Pengadilan Negeri, mulai main hakim sendiri.

Pencuri motor dan maling ayam diadili sendiri oleh masyarakat dengan cara main keroyok dan dipukuli --kadang-kadang-- sampai penjahatnya mati konyol karena dibakar hidup-hidup. Karena itu muncullah istilah "polisi meng-AMAN-kan".

Jadi, kalimat "polisi mengamankan maling motor" sebenarnya berarti polisi menjadikan atau membuat maling motor itu aman dari keroyokan massa. Tetapi, "Polda Jabar mengamankan sebanyak 7.401 preman selama sepuluh bulan...dst" dalam kalimat pada teras berita di bawah ini rasanya tidak pas juga sebab mengandung pengertian taksa atau ambigu. Bisa berarti aman dari keroyokan, dan bisa pula berarti pembinaan penjahat.

Mengapa tidak dikatakan saja Polda membina 7.401 preman?

Ini beritanya:

IBUKOTA DAN DAERAH

POLDA JABAR AMANKAN 7.401 PREMAN

Bandung, 14/11 (ANTARA) - Polda Jabar mengamankan sebanyak 7.401 preman selama sepuluh bulan Operasi Premanisme Polda Jabar yangdigelar 1 Februari hingga 14 November 2008.
"Sebagian besar mereka diberi pembinaan, sedangkan yang terkait kepemilikan senjata tajam, senjata api dan narkoba diproses lanjut sesuai hukum yang ada," kata Kepala Bidang Humas Polda Jabar, Kombes (Pol) Drs Dade Achmad, Jumat.

Umbu Rey

Senin, 24 November 2008

Breaking News

Tak seorang pun sampai saat ini, menurut amatan saya, mau mengubah atau mencari padanan kata "breaking news" dalam bahasa Indonesia. Sebagian orang mengatakan sulit menerjemahkan kata itu dalam bahasa Indonesia, dan sebagian lagi menelannya mentah-mentah karena alasan sudah merupakan istilah khas dalam dunia kewartawanan.

Yang lain lagi menggunakan istilah itu supaya kedengarannya keren dan yang lain dan yang lain-lain lagi sengaja menggunakan istilah Inggris mengikuti mode. "Kan istilah itu hanya digunakan oleh wartawan, tidak di tempat yang lain," kata mereka. Celakanya, mereka tak peduli kata itu dimengerti atau tidak oleh pembaca atau pemirsanya. Masa bodohlah, kira-kira begitulah kata mereka. Media elektronik Metro TV tak akan pernah mau mengubah namanya menjadi TV Metro, dan karena itu istilah "breaking news" mungkin akan tetap saja bergentayangan di layar Metro setiap saat.

Dalam Kongres IX Bahasa Indonesia Internasional di Jakarta bulan Oktober lalu, seorang penyaji makalah dari televisi ini dengan bangga mengatakan istilah itu dipakai justru untuk memperluas wawasan pemirsanya, meskipun para peserta kongres pada kebingungan semua mendengar penjelasannya.

Hari Senin 2 November 2008 lalu dalam milis guyubbahasa@yahoogroups.com, seorang wartawan RCTI meminta rekan-rekannya anggota milis dan FBMM untuk memberikan masukan kosakata yang tepat untuk menggantikan istilah "breaking news" karena televisi swasta paling tua itu tidak akan menggunakan lagi istilah asing itu.

Ada banyak istilah yang disebutkan untuk padanan kata "breaking news", antara lain "berita terbaru, berita teranyar, berita penting, berita mutakhir, berita terkini, dan berita kilat". Pusat Bahasa Departemen Pendidikan menawarkan "berita sela".

Mana yang tepat, belum lagi ada pilihan, tetapi agaknya "berita sela" akan diterima. Yang dimaksudkan dengan "berita sela" adalah berita terbaru yangdisisipkan dalam acara lain yang sedang berlangsung. Jadi, suatu acara (misalnya sinetron atau dialog) yang sedang berlangsung dapat dihentikan ketika sebuah berita terbaru atau "berita sela" tiba-tiba muncul.

Saya sendiri kurang setuju dengan istilah "berita sela" yang dianjurkan oleh Pusat Bahasa. "Breaking news" sebenarnya tidak lain dari istilah "stop press" yang lazim digunakan dalam media cetak. Yang dimaksudkan dengan "stop press" adalah instruksi untuk menghentikan proses pencetakan surat kabar yang sedang berlangsung ketika suatu peristiwa sangat penting tiba-tiba terjadi. Berita terbaru yang dianggap sangat penting itulah yang kemudian disebut"stop press".

Ketika pada tahun 1986 pesawat ulang-alik Challenger tiba-tiba diberitakan meledak beberapa menit setelah lepas landas di Cape Canavral Amerika Serikat, wartawan KOMPAS yang bertugas pada tengah malam dengan segera memerintahkan departemen percetakan agar proses pencetakan surat kabar itu dihentikan. Berita ledakan pesawat Challenger itu lalu disisipkan pada halaman muka surat kabar dan proses pencetakan diulang kembali pada tiras berikutnya. Dan, pada keesokan harinya muncul berita pada halaman pertama dengan kode "stoppress".

Istilah itu sekarang nyaris tak terdengar lagi lantaran surat kabar itu dicetak dua kali sehari. Cetakan pertama terbit pagi hari dan kemudian disusul terbitan kedua pada pukul 10.00 untuk menampung berita penting yang tidak sempat tersiar pada terbitan pertama.

Di Kantor Berita Antara? Berita "breaking news" itu tidak dikenal sebelum tahun 1986 karena penyiaran berita menggunakan buletin. Sistem penyiaran dengan menggunakan mesin telegraf hanya untuk pelanggan koran saja.

Ketika itu istilah "breaking news" hanya dipakai oleh kantor berita asing terutama yang terkenal seperti Reuters (Inggris), AFP (Prancis), UPI (Amerika Serikat). Kantor berita lain sepeti Kyodo (Jepang, DPA (Jerman), jarang sekali menggunakan istilah itu. Kantor berita Timur Tengah seperti IRNA (Iran), dan IINA (International Islamic News Agency) dan kantor beritaa di Asia Tenggara seperti TNA (Thailand), PNA (Filipina), dan Bernama (Malaysia) bahkan tidak pernah menggunakan istilah"breaking news".

Ada lebih kurang 40 kantor berita yang masuk ke Indonesia lewat Kantor Berita Antara, kecuali AP (Associated Press) yang khusus disiarkan oleh KNI. Semua berita dari kantor berita asing itu diterima Antara dengan menggunakan mesin telegraf atau mesin telex. Mesin-mesin itu ditempatkan di ruang redaksi lantai 20 Wisma Antara, berjejer di jendela kaca bagian selatan dari barat ke timur sesuai dengan kantor berita pengirimnya masing-masing. Sampai pada akhir tahun 1985 ruang redaksi terdengar sangat gaduh karena bunyi pengetikan mesin teleks yang tidak pernah berhenti siang dan malam.

Mesin-mesin penerima berita terutama dari tiga kantor berita utama yakni Reuters, AFP, dan UPI berbunyi terus tidak pernah berhenti menyiarkan berbagai macam jenis. Kertas berita sampai berpuluh-puluh meter panjangnya, dan setiap pagi kalau dikumpulkan bisa mencapai puluhan kilogram.

Para redaktur internasional Redaksi Inggris ketika itu harus terus memantau berita-berita itu setiap saat kalau-kalau ada berita yang lebih penting tiba-tiba masuk. Berita-berita yang sangat penting itu biasanya disebut "breaking news" karena sifatnya "memutuskan rangkaian berita yang tidak pernah berhenti tersiar itu" supaya lebih dahulu terbaca di mesin teleks.

Jadi, "breaking news" sebenarnya berarti berita penting yang memutuskan arus berita lain yang sedang tersiar. Tetapi Kantor Berita Reuters, UPI dan AFP masih harus menulis pula kata'''urgent....urgent'''....urgent'''' pada judul berita supaya lebih nyata bahwa itulah berita yang paling akhir dan sangat mendesak untuk disiarkan segera.

Pada awal tahun 1986 Kantor Berita Antara melakukan langkah maju memasuki era komputer, dan berita-berita yang disiarkan tidak lagi menggunakan mesin teleks. Antara menggunakan mesin komputer NEC yang ketika itu sudah merupakan mesin canggih. Berita yang dikirim oleh reporter dari lapangan sebagian menggunakan laptop yang ketika itu masih menggunakan gagang telefon biasa.

Sebelum mengirim berita, reporter lelbih dahulu menghubungi "Gathering File" (GF) seperti kita menelefon dengan telefon duduk, dan kalau ada nada sambung barulah gagang telefon itu ditempelkan rapat-rapat pada mesin laptop sebelum tombol "send" ditekan. Gagang telepon itu harus rapat benar sebab kalau ada suara berisik masuk, pengiriman bisa gagal.

Mesin komputer itu tidak menerima berita langsung dalam bentuk huruf sebab yang terlihat di layar komputer hanyalah nomor-nomor urut berita yang dikirim oleh mesin penerima Gathering File itu. Biasanya di depan nomor itu tertulis huruf G0123789 misalnya. Itu pun tidak langsung ke meja sunting sebab harus ada petugas di meja sunting "Penerima" yang kemudian mengirimkan berita itu ke meja kepala sunting sesuai dengan jenis beritanya.

Nomor-nomor berita itu harus dipencet dulu barulah kita mengetahui berita apa di balik nomor itu. Jika seorang redaktur hendak menyunting berita itu, dia harus mengirim lagi nomor-nomor berita itu ke komputernya masing-masing untuk disunting. Sebelum disunting, berita itu harus pula masuk dahulu ke dalam "floppy disk" atau disket sebab tidak bisa langsung menyunting di layar. Sekarang ini mungkin sama dengan "alokasi" berita.

Berita yang dibuat oleh reporter atau yang diterjemahkan dari kantor berita asing harus dikirim kepada "supervisor", juga dalam bentuk nomor berita misalnya, D0002345987 (huruf D mengartikan bahwa berita itu sudah disunting dan siap di distribusikan ke pelanggan). Supervisor harus membaca berita itu sekali lagi dan melakukan koreksi sekali lagi, sebab dialah yang paling bertanggung jawab jika terjadi kesalahan berita atau delik pers.

Penyiaran berita lewat komputer NEC itu tidak mengenal pula istilah "breaking news". Pengiriman berita dilakukan dengan nomor prioritas dari angka 1 sampai angkat 7. Pada keadaan normal berita yang terkirim biasa otomatis tersiar dengan prioritas 7. Jika berita itu dianggap sangat penting dan mendesak maka "supervisor" akan membubuhkan angka prioritas 1 agar berita itu sampai paling cepat, dan di layar pelanggan berita itu akan terbaca dengan kode """KILL""".

Berita yang prioritasnya di bawah KILL itu adalah angka 2 yakni "FLASH" dan yang penting biasa akan terbaca "URGENT". Rupa-rupanya kata KILL dan URGENT itu sudah dilupakan oleh Antara, dan sampai sekarang cuma kata "FLASH" itu yang digunakan untuk berita sangat penting dan mendesak. FLASH artinya KILAT.

Saya pikir, istilah KILAT itulah yang pas atau cocok benar untuk menggantikan "breaking news" jika "breaking news" itu tidak bisa diterjemahkan karena alasan tidak ada padanan yang cocok dalam bahasa Indonesia.

Kalau begitu, mengapa kita tidak menggunakan saja istilah "KILAT...."KILAT" sebagai pengganti kata "flash" itu? Daripada kita harus tunduk takluk dan sujud bersembah menghambakan diri pada istilah Inggris "flash" dan salah pula menulisnya menjadi "flesh" mengapa tidak kita perbiasakan menulis KILAT saja?

Kantor Pos telah sejak zaman Orde Lama menggunakan kata KILAT untuk surat-surat yang sangat penting dan harus lebih dulu sampai pada penerimanya di mana saja berada. Karena itu, mulai sekarang kita gunakan saja istilah "KILAT...KILAT" untuk berita sangat penting dan mendesak, karena saya lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia daripada Inggris atau Arab.

Karena itu "breaking news" yang dibicarakan di atas lebih tepat kita padankan dengan istilah "berita kilat" sebab tidak sekadar menyela berita lain yang sedang tersiar. "Berita kilat" mengandung pengertian berita terbaru yang sifatnya mengejutkan dan menarik perhatian banyak orang untuk segera menyimak berita itu.

Umbu Rey

Rabu, 05 November 2008

Perhitungan versus Penghitungan

Tulisan saya kali ini hanya saya tujukan buat anggota milis Antara saja. Biasanya saya menulis untuk milis guyubbahasa@yahoogroups.com karena di situ saya lebih banyak mendapat tanggapan dari para redaktur di hampir semua media massa dan di seluruh dunia. "Copy paste" atau salinannya saya kirimkan juga buat milis Antara.

Persoalan ini sebenarnya sepele saja. Saya hanya ingin menjelaskan perbedaan kata berimbuhan "perhitungan dan penghitungan" yang menurut amatan saya, banyak sekali salah penggunaannya.

Saya tidak hendak menggurui Anda sekalian, dan karena itu orang berilmu lebih tinggi dari saya di lembaga ini lantaran sekolahnya S-2 di luar negeri jangan pula tersinggung. Ini hanya curah pikiran dan kalau Anda tidak setuju bolehlah ditanggapi untuk memperoleh kebenaran.

Kata "penghitungan dan perhitungan" sudah kita kenal sejak belajar bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Tetapi, berapa banyak di antara kita yang tahu penggunaan kata itu secara tepat? Saya agak yakin hampir semua wartawan Antara menggunakan dua kata berimbuhan ini secara mana suka, lantaran tidak mengerti makna kata itu secara persis.

Menurut amatan saya, berita pemilu hampir di seluruh Indonesia saban hari kita beritakan, dan dua kata itu --penghitungan dan perhitungan-- digunakan secara bergantian. Yang terbanyak digunakan adalah kata"perhitungan" suara, dan menurut saya salah atau tidak tepat.

Baik "penghitungan" maupun "perhitungan" berasal atau mengapit kata dasar"hitung". Kata ini masuk dalam kelas verba (kata kerja) yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga berarti membilang (menjumlahkan, mengurangi, membagi, dan memperbanyakkan dsb).

Lema "hitung" itu dalam tuturan sehari-hari lazim mendapat imbuhan"peng-an" dan "per-an". Bagi orang awam penggunaan kedua imbuhan itu sama saja dan karena itu tidak kelihatan lagi perbedaannya jika diucapkan dalam bahasa lisan.

Jika kita cermat berbahasa, sesungguhnya "penghitungan" dan "perhitungan" itu berbeda sekali maknanya dan karena itulah saya perlu menjelaskan kata itu agar tepat makna dan tepat pula penempatanya pada konteks kalimat. Tentu saja penjelasan saya ini tidaklah mutlak benar menurut pendapat Anda dan karena itu beberapa orang di lembaga ini suka sekali berkata, "Akh, si Umbu itu maunya benar sendiri. Mau menang sendiri!"

Kadang-kadang saya suka tertawa geli jikalau Anda mengatakan "mau menang sendiri". Bukankah "menang" itu memang cuma milik seseorang, milik sendiri? Tidak pernah ada menang itu milik bersama (kecuali menurut budaya salah kaprah bangsa kita).

Dalam sebuah pertandingan olahraga, orang yang menang itu selalu harus ada satu, karena itu yang berhak mendapat medali emas itu hanya seorang untuk satu jenis pertandingan. Jikalau Anda ingin mengalahkan saya dalam debat atau curah pikiran mengenai satu perkara bahasa dalam milis ini, mestinya Anda mengemukakan pendapat yang logis untuk mematahkan pendapat saya. Itu sebabnya saya memerlukan tanggapan Anda setiap kali saya menjelaskan suatu kata dalam milis ini. Jangan perlihatkan "pikiran kerdil" Anda dengan ucapan "mau menang sendiri", dan "mau menggurui".

Saudaraku,

Dalam tata bahasa Indonesia, semua kata yang mendapat imbuhan "peng-an" biasanya berasal dari kata dasar yang mendapat awalan "me-(kan)", dan pada umumnya kata berimbuhan "per-an" itu terbentuk dari turunan dari kata dasar berawalan "ber-".

Karena itu, "penghitungan" adalah turunan dari kata berawalan "menghitung" dan "perhitungan" adalah turunan kata berawalan "berhitung". Saya katakan pada umumnya begitu lantaran tidak semuanya berlaku demikian.

Agar lebih jelas saya perlihatkan turunan verba "hitung" itu sbb:

1. Hitung -> berhitung -> memperhitungkan -> perhitungan - pehitung

2. Hitung -> menghitung -> penghitungan -> hitungan -> penghitung

Yang dimaksudkan dengan "perhitungan" (butir 1) adalah perbuatan (hal, cara dsb) memperhitungkan. Kita membutuhkan pikiran yang lebih serius atau membutuhkan konsentrasi untuk menemukan hasil perhitungan yang diinginkan karena angka-angka itu seringkali tidak terpapar di depan kita.

Zaman dulu di Sekolah Dasar ada mata pelajaran berhitung, mencongak, dsb yang memerlukan rumus atau kiat-kiat tertentu dan kadang-kadang menguras pikiran Anda untuk menghasilkan jumlah yang diinginkan. Pada waktu di SMP ada Aljabar, dan di SMA ada ilmu ukur ruang (steriometri), ada ilmu ukur sudut (goneometri), dan ada pula ilmu pesawat yang memerlukan rumus Phitagoras (misalnya) atau apa saja untuk memudahkan perhitungan.

Yang dimaksudkan dengan "penghitungan" (butir 2) adalah proses, cara, atau perbuatan menghitung (mencari jumlahnya, atau membilang berapa jumlahnya (lihat KBBI edisi ketiga). Dalam kasus "penghitungan" ini sebenarnya kita tidak memerlukan pikiran yang terlalu rumit untuk mencari jumlah yang diinginkan, lantaran sesuatu yang kita hitung itu sudah terpampang di hadapan mata kita.

Jikalau misalnya Anda hendak mencari berapa jumlah wartawan Antara yang berada di lantai 20 gedung ini pada hari ini, Anda tidak memerlukan rumus tertentu sebagai alat atau cara menghitung. Anda hanya membutuhkan jari untuk untuk menunjuk-nunjuk lalu menjumlahkan (dalam hati atau di luar kepala saja) berapa wartawan yang tampak di depan Anda dan pada hitungan terakhir Anda akan menemukan hasilnya.

Proses penghitungan seperti itulah yang terjadi atau yang berlaku pada pemilihan umum di daerah-daerah. Jumlah suara yang terkumpul dari segala pelosok negeri sebenarnya telah dikumpulkan di satu tempat. Petugas tinggal menghitung suara yang ada dan akan memperoleh hasil dari penjumlahan surat suara itu. Itulah yang kita sebut PENGHITUNGAN SUARA.

Mulai saat ini untuk memberitakan jumlah suara dalam pilkada di daerah kita hendaknya mengatakan "penghitungan suara", dan bukan "perhitungan suara".

Semoga jelas.

Umbu Rey