Kamis, 28 Agustus 2008

Amandemen?

Menurut saya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga tidak terlalu bijak menyerap kata "amendment" dari bahasa Inggris. Kamus besar itu mencatat kata "amandemen" pada halaman 35 tetapi tanda panah dan menganjurkan kepada para pengguna bahasa Indonesia untuk menggunakan kata "amendemen".

Lema "amendemen" itulah yang diberi arti, yakni (1)usul perubahaan undang-undang yang dibicarakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan sebagainya, dan (2) penambahan pada bagian yang sudah ada.

Mengapa KBBI tidak secara tegas saja menerjemahkan kata "amendment" ke dalam bahasa Indonesia? Kita menyerap sebuah kata dari bahasa asing karena pertimbangan kata asing itu tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Sayangnya, cara penyerapan kata itu pun tidak terlalu jelas patokannya, apakah kita mengikuti apa yang tertulis dalam bahasa aslinya ataukah melalui bunyi kata yang terdengar di telinga kita. Mungkin dua cara ini dipakai secara bersamaan karena tidak semua bahasa menuliskan kata-katanya dalam huruf Latin, misalnya bahasa Arab dan Cina.

Saya lebih tertarik dengan cara orang Malaysia menyerap kata asing. Pada umumnya dalam bahasa Malaysia, yang saya tahu, semua kata asing diserap melalui proses pendegaran, lalu ditulis sesuai dengan apa yang didengarnya itu. Misalnya, television menjadi televisyen.

Dalam kasus "amendment" kita seharusnya tegas menerjemahkan saja kata itu karena sudah ada padanannya. Mengapa kita tidak mengatakan "PENGUBAHAN" UUD 45 atau "PERBAIKAN" UUD 45 saja daripada kita harus berpura-pura menjadi Inggris supaya dikira cerdas, lalu dengan sikap yang keinggris-inggrisan kita mengatakan "amandemen".

"Amendment" berasal dari kata Inggris "amend" yang berarti mengubah (change) atau membuat menjadi lebih baik atau memperbaiki (repair). Mungkin sekali kita terlalu terbiasa mencari kata "amendment" itu dalam kamus John M. Echols dan Hassan Shadily, dan karena itu pula kita terpengaruh dengan cara kamus itu menerjemahkan atau menyerap kata itu.

Akibatnya, setiap hari di koran-koran kita akan membaca kata "amandemen" dan kata "merubah" UUD 45 seperti yang tertulis dalam kamus Inggris Indonesia itu. Kebiasaan yang sudah mendarah daging itu akhirnya dianggap benar saja walaupun sudah berulang-ulang diperbaiki.

Di Kantor Berita Antara, kerja saya setiap hari adalah mengubah huruf "a" menjadi "e" pada kata "amandemen" itu. Kadang-kadang saya harus menerjemahkan saja kata Inggris itu menjadi "mengubah" UUD 45 atau "pengubahan" UUD 45 atau "perbaikan" undang-undang. Sampai bosan saya mengganti "a" degan "e" tetapi tetapi tidak pernah digubris.

Apa lacur, agaknya bangsa ini (baca: wartawan) lebih suka berlindung atau melindungi dirinya di balik perkataan kamus. "Kan, di kamus begitu tulisannya!" demikian pada umumnya mereka berkilah.

Akhirnya, kata "amandemen" itu lalu dianggap "sah-sah" saja karena begitulah adanya. Maka tebersit pula pelesetan kata "amandemen" itu dalam arti "demen" mencari "aman" atau suka mencari aman saja supaya tidak kelihatan begonya.

"Akh Umbu, biar 'aman', kan banyak yang 'demen' (suka)," kata mereka, maka kekallah hidupnya amandemen sampai sekarang.

Senyampang KBBI masih dalam proses perbaikan sebelum terbit edisi keempat, melalui milis ini saya mengimbau Pusat Bahasa, sudilah kiranya kata "amendment" itu Engkau terjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia. Atau hapus saja kata itu dari dalam kamus.

Mudah-mudahan saya tidak keliru. Jadi mohon maaf.

Umbu Rey

Sekuriti vs Sekuritas

Dulu ada usul ketika bincang-bincang dalam Forum Bahasa Media Massa agar setiap kata serapan dari bahasa Inggris yang berakhir dengan "ity" hendaknya menjadi "itas" dalam bahasa Indionesia.

Ini usul mencuat karena tidak semua kata Inggris yang diserap ke dalam bahasa Inggris berbunyi "itas" dalam bahasa Indonesia. Padahal, hampir semua kata dari Inggris itu pastilah berbunyi "itas" kalau sudah diucapkan atau ditulis dalam bahasa Indonesia. Contoh: credibility --> kredibilitas, identity --> identitas, priority --> prioritas, quality --> kualitas.

Kata "kuallitas" itu dulunya tidak dikenal, dan orang lazim menyebut "kualiteit" yang diserap dari bahasa Belanda. Tetapi, karena kita hendak melupakan penjajahan Belanda maka kata itu pun lenyap ditelan waktu. KBBI pun tak mau lagi mencatat kata 'kualiteit" itu.

Kata-kata dari bahasa Portugis pun sebenarnya memperkaya kosa kata bahasa Indonesia, tetapi meskipun dikait-kaitkan dengan penjajahan kata-kata dari bahasa Portugis masih tetap juga kita gunakan saban hari.

Setakat ini orang tidak lagi sadar atau tidak mengetahui lagi bahwa semua benda yang kita pakai di badan mulai dari sepatu, celana, sampai kemeja, adalah kata-kata yang diambil dari bahasa Portugis.

Orang Indonesia sesungguhnya tidak mengenal "celana". Untuk menutup (barang) kemaluan maka yang kita pakai adalah "cawat". Cawat itu bukan celana karena hanya merupakan lembaran kain atau kulit kayu yang dililitkan di paha dan selangkangan atau menutupi pinggul perempuan.

Dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah ada kata "mutu" tetapi kata itu jarang sekali dipakai karena orang lebih suka memakai kata asing supaya disangka pintar atau cerdas. Begitu juga orang lebih suka pakai kata "qanun" dari bahasa Arab daripada istlah "perda" (peraturan daerah) sebab ganjarannya adalah surga. Maklum, kata-kata dari bahasa Arab sudah dianggap suci kalau berhubungan dengan agama, dan karena itu tidak boleh diubah.

Di Kantor Berita Antara, para wartawan bisa berkelahi kalau "sholat" atau "shalat" diganti dengan "salat" (tanpa fonem "h"). Padahal bahasa Arab tidak ditulis dengan huruf Latin. Saya pikir orang Arab juga bebas menulis menurut kebiasaan dalam bahasanya kalau mereka menyebut "encok" atau "cekcok" , sebab bunyi ca ci cu ce co itu tidak dikenal dalam bahasa Arab.

Entah kenapa, "celebrity" itu kok tetap bertahan menjadi "selebriti", dan "commodity" juga tetap saja orang bilang "komoditi". Kadang-kadang mengganti kata "selebriti" menjadi "selebritas" dan "komoditi" menjadi "komoditas" adalah pekerjaan sangat berat bagi saya. Soalnya, hari ini diubah besok muncul lagi aslinya. Begitu terus tiap hari sampai saya hampir bosan.

Nah, yang mau saya bicarakan ini malah bikin saya pusing. "Sekuriti" itu mau saya ubah menjadi "sekuritas" susah. Soalnya "iti" dan "itas" pada kasus kata sekuriti itu berbeda pengertiannya dalam bahasa Indonesia. Ketika "security" diserap menjadi "sekuritas" maka pengertiannya adalah surat berharga, dan ketika kita menulis atau menyebut "sekuriti" maka yang dimaksudkan adalah keamanan.

Dalam bahasa Inggris "security" itu adalah surat berharga dan sekaligus juga berarti keamanan, bergantung pada konteks pembicaraan. Mungkin karena itu, orang enggan menyebut "sekuritas" dalam pengertian keamanan. Di mana-mana kalau kita hendak masuk perkantoran besar atau gedung besar, maka di depan gerbang pasti akan tertulis: "Para tamu harap lapor SEKURITI". Tak mungkinlah di situ ditulis "Para tamu harap lapor SEKUTRITAS.

Nah, ini yang bikin saya pusing tadi. Mosok, tamu melaporkan surat berharga (sekuritas) atau para tamu disuruh melaporkan keamanan (sekuriti). Ganjil betul!

Umbu Rey