Senin, 21 Desember 2009

Iklan kampanye SBY

Hari Selasa 23 Juni 2009, di halaman muka bagian bawah harian umum Republika ada tertera satu iklan SBY Presidenku, dan di situ terdapat pula gambar atau foto SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) bersama dengan calon wakilnya Boediono.

Iklan kampanye politik itu ditulis dengan kalimat sbb:

"Tegas Memberantas Korupsi, Tidak Cepat Memperkaya Diri".

Apakah maksud kalimat dalam iklan kampanye itu? Mungkin banyak tafsiran yang dapat dikemukakan, tetapi yang paling jelas tersirat maksud dalam dua penggal frasa itu bahwa:

1. Presiden SBY sesungguhnya ingin dengan tegas memberantas korupsi
2. Presiden SBY juga ingin memperkaya dirinya meskipun dengan cara yang tidak cepat-cepat.

Setelah SBY dilantik dan mengucapkan sumpahnya pada 20 Oktober 2009, dia membentuk kabinet baru bernama Kabinet Indonesia Bersatu II. Ada nama menteri yang baru, dan ada pula menteri lama yang berganti posisi.

Program 100 hari belum tuntas dilaksanakan tetapi Pak SBY tersandung kasus Bank Century yang melibatkan Wakil Presiden Boediono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Agaknya, makna kalimat kampanye SBY di atas mulai terkuak sedikit demi sedikit kebenarannya.

Presiden SBY memang benar telah bersungguh-sungguh memberantas korupsi. Tidak pandang bulu, bahkan besannya sendiri, Aulia Pohan, yang menjabat deputi gubernur BI masuk penjara karena terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Jadi, makna yang tersirat pada butir (1) di atas tampaknya benar.

Lalu, apakah Presiden SBY tidak ingin menjadi kaya? Pasti ingin, sebab dia juga manusia. Klausa kedua pada kalimat kampanye di atas jelas menunjukkan hal itu, ketika dia mengatakan "tidak cepat memperkaya diri". Artinya, boleh-boleh saja orang memperkaya diri, tetapi tidak perlu cepat-cepat. Agama pun tak pernah melarang orang menjadi kaya asalkan dengan cara yang halal.

Ketika skandal Bank Century merebak, rakyat Indonesia mulai bertanya-tanya. Soalnya, mantan Wapres Jusuf Kalla tanpa tedeng aling-aling berkata bahwa pemilik bank itu telah merampok uang nasabahnya sendiri sehingga menjadi krisis likuiditas. Pengamat ekonomi yang lain semisal Kwik Kian Gie yang juga mantan menko ekuin jelas mengatakan Bank Century sudah bobrok sejak lahirnya tahun 2001. Lalu, kenapa harus ditalangi?

Ada uang sejumlah Rp6,7 triliun talangan (bail-out) Bank Indonesia yang disuntikkan kepada bank itu, konon, dengan maksud untuk menyelamatkan bank itu dari badai krisis keuangan. Tetapi, para pengamat bank mengatakan kalau badai krisis menimpa, mengapa cuma Bank Century yang kena musibah, sedangkan bank-bank yang tetap sehat?

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengibaratkan Bank Century sebagai rumah penduduk yang terbakar di tengah-tengah sebuah perkampungan. Rumah yang terbakar itu tentu harus diselamatkan agar api tidak sampai menjalar ke rumah-rumah penduduk yang lain.

Pro dan kontra saling menyalib, silat lidah dan adu pendapat di layar teve meramaikan suasana, dan membuat para permirsa geleng-geleng kepala, tak mengerti, dan akhirnya DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket, ketika Badan Pengawas Keuangan (BPK) memperlihatkan keanehan aliran dana talangan Rp6,7 triliun itu.

Ke manakah dana talangan itu mengalir? Benarkan sebagian di antaranya masuk ke kantong SBY dan partainya? Jika kabar itu benar, maka bunyi kalimat pada iklan kampanye di atas agaknya mulai mengungkap kebenaran bahwa SBY sedang berupaya "ingin memperkaya diri".

Tetapi, SBY langsung bertindak dan membantah kabar itu. Dia berbicara di depan para wartawan dan dengan tegas berucap, "Itu fitnah!" Maka, untuk sementara, kalimat pada butir (2) bahwa Presiden SBY ingin memperkaya diri masih harus dibantah kecuali jika sidang Pansus Hak Angket Bank Century sudah dapat membuktikan hal itu.

Umbu Rey

Polisi tewas lagi

Kata LAGI tertera dalam KBBI dan diberi banyak arti. Baiknya saya kutip dari KBBI daring seperti berikut:

(1). adv sedang (dl keadaan melakukan dsb); masih: jangan berisik, ayah -- tidur;
(2) adv tambah sekian (atau sedemikian) pula: tunggu sebentar --;
(3) adv kembali (berbuat dsb) spt semula; berulang spt semula; pula: kemarin sudah menonton, sekarang hendak menonton --;
(4) p dan; serta; juga: anak itu pandai -- rajin; istrinya muda, cantik, -- kaya;
(5) p partikel yg dipakai untuk menekankan kata atau kalimat yg mendahuluinya
(mengandung makna; sama sekali, betul-betul, amat sangat, dsb): kekejaman tentara penjajah sungguh tak terkatakan --; penderitaan rakyat Kamboja sudah tidak tertahan --;

Harian Umum KOMPAS pada halaman muka hari ini (14/7/09) menulis judul dengan kalimat sbb:

SEORANG POLISI TEWAS LAGI

Judul berita ini membuat saya agak bingung karena penggunaan kata "tewas lagi". Menurut pendapat saya, semua arti yang tersebut dalam KBBI di atas tidak memenuhi maksud kata LAGI dalam kalimat itu.

Arti kata LAGI yang disebut pada butir (2) KBBI di atas rasanya masuk akal jika menunjukkan jumlah yang tewas. Jadi, "tewas lagi" memberikan arti bahwa yang tewas itu tambah sekian, sehingga jumlah yang tewas bertambah sekian.

Tetapi, kata "tewas lagi" dalam kalimat judul berita di atas agaknya membatalkan arti pada butir (2) KBBI sebab yang tewas itu hanya ada satu orang polisi. Jadi, kalau seorang polisi tewas lagi, maka polisi yang mati itu tidak akan bertambah banyak. Dengan kata lain, cuma polisi itu saja yang mati.

Arti yang tersebut pada butir (3), yakni "kembali (berbuat dsb), berulang seperti semula, agaknya ganjil juga kedengarannya, sebab kata "tewas" bukanlah perbuatan atau keadaan yang dapat diulang atau berulang. Tewas dalam konteks ini sama artinya dengan mati. Polisi itu tewas dan bukan menewaskan. Jadi, mungkinkah "seorang polisi" tewas dua kali karena dia mengulangi lagi keadaan tewas? Rasanya tidak masuk akal.

Kata LAGI dalam kalimat di bawah ini mungkin berbeda maknanya:

(a) - Seorang lagi polisi tewas
(b) - Seorang polisi lagi tewas
(c) - Seorang polisi tewas lagi
(d) - Lagi, seorang polisi tewas

Manakah yang benar, kalimat (a), (b), (c), atau (d)?

Kalimat pada butir (a) menerangkan bahwa jumlah polisi yang tewas bertambah satu. Butir (b) menerangkan bahwa polisi itu tidak "sedang" tewas" tetapi menunjukkan bahwa yang tewas itu bukan nelayan atau orang lain. Artinya, tadi polisi tewas dan sekarang polisi lagi yang tewas.

Kalimat pada butir (c) sama sekali tidak masuk akal. Mungkinkah polisi yang sama tewas dua kali, atau tewasnya terulang. Mati itu cuma sekali, jadi kalau sudah mati maka matinya itu tidak dapat diulang lagi. Kalimat seperti ini sama saja dengan "almarhum meninggal dunia". Orang mati (almarhum) tidak bisa mati dua kali.

Kalimat pada butir (d) yakni "lagi, seorang polisi tewas" lebih janggal lagi. Itu kalimat khas jurnalistik surat kabar yang disusun antara lain supaya indah secara tipografis. Tetapi, kalau kalimat itu kita tilik dari sudut tata bahasa, jelas keliru atau lebih tepat tidak lazim.

Jurnalistik Kantor Berita pada umumnya tidak menggunakan kalimat seperti itu, demikian juga radio dan televisi. Kantor Berita, radio dan televisi biasanya memulai kalimat judul dengan subjek, predikat, kemudian objek secara taat asas.

Saya belum pernah mendengar penyiar radio dan televisi menyebut pokok berita, "Lagi, seorang polisi tewas". Saya pikir semua pendengar atau pemirsa akan bingung mendengar kata "lagi" di depan subjek kalimat itu. Apa makna kata "lagi" itu?

Kalau kalimat "lagi, seorang polisi tewas" dibenarkan, maka kita juga akan membenarkan kalimat berikut:

1. Hanya, seorang polisi tewas
2. Saja, seorang polisi tewas
3. Juga, seorang polisi tewas

Dalam surat kabar, kalimat judul yang dimulai dengan kata "lagi" biasanya diikuti dengan tanda baca koma (,) dan itu biasanya dibuat pada berita lanjutan (follow-up story). Kata "lagi' yang diikuti tanda koma itu menerangkan bahwa peristiwa yang sama dan sudah diberitakan sebelumnya, terjadi pula sekarang.

"Lagi, seorang polisi tewas" adalah kalimat (tertulis) yang sengaja dibuat menyimpang dari asas tata bahasa untuk menarik perhatian pembaca. Yang mau disampaikan dalam konteks kalimat itu ialah bahwa tadi polisi mati dan sekarang polisi lagi yang mati.

Dalam milis ini dua tahun yang lalu saya telah menulis juga soal kalimat judul koran yang bentuknya begini: "Pemudik Dua Kali Ditarik Ongkos". Bagi saya, kalimat itu sama sekali tidak jelas. Tetapi begitulah koran. Orang awam "dipaksa" harus mengerti.

Umbu Rey

Penumpang melonjak

Setelah saya renungkan sekian lama sesudah Lebaran ini berlalu, ternyata berita-berita tentang mudik telah menipu saya, terutama mengenai penumpang bus di terminal dan kereta api di stasiun.

Hampir semua berita yang disiarkan surat kabar, televisi, dan radio bahkan berita daring (dalam jaringan = online) di internet, sangat sering menggunakan kata "melonjak" dan "menumpuk". Saban tahun ketika masanya orang mudik Lebaran istilah ini sangat populer.

Para wartawan mengatakan penumpang bus di terminal Pulogadung pada H-3 melonjak 10 persen dibanding tahun yang lalu. Tiap tahun penumpang itu melonjak 10 persen, artinya tahun yang lalu penumpang itu melonjak 10 persen dan tahun ini pun melonjak 10 persen lagi dibandingkan dari tahun yang lalu. Bisa dibayangkan, setiap tahun penumpang yang mudik Lebaran itu melonjak makin tinggi saja. Untuk apa mereka melonjak?

Cobalah Anda pergi ke terminal Pulogadung. Di sana Anda akan ternganga-nganga keheranan, sebab para penumpang yang naik bus itu ternyata tidak melonjak. Mereka semuanya duduk tenang-tenang saja di dalam bus dan gerbong kereta. Mereka tidak melonjak, apalagi melonjak-lonjak. Paling-paling loyo kepanasan karena sumpek dalam ruangan sempit atau karena kecapaian.

Saya semakin bingung, sebab rupa-rupanya yang dimaksudkan dengan "melonjak" sama artinya dengan meningkat. Lalu, apanya yang meningkat? Penumpang mau meningkat ke mana? Mungkin yang dimaksud adalah jumlah penumpangnya yang meningkat, tetapi kata meningkat tidak sama dengan melonjak. Kalau melonjak itu disebut pengandaian atau metafora, maka pengandaian ini menurut saya sudah menyimpang dari nalar.

Melonjak adalah gerakan menaikkan tubuh ke atas dengan menggunakan dua kaki secara bersamaan sebagai tumpuan. Jadi, misalnya kedua tangan Anda tidak dapat menggapai sesuatu yang tergantung di langit-langit rumah, Anda perlu suatu gerakan melonjak supaya sesuatu itu dapat Anda raih.

Kata melonjak sebenarnya sama artinya dengan meloncat sebab gerakan ini menggunakan kedua kaki untuk melepaskan diri dari pijakan atau melambung ke udara. Yang membedakan, melonjak adalah gerak dari bawah ke atas, sedangkan meloncat biasanya dilakukan dari atas ke bawah. Gerakan meloncat dan melonjak dalam kasus ini hanya dalam pengertian yang dilakukan oleh manusia. Kutu dan kodok walaupun meloncat, lain lagi ceritanya sebab mereka tidak mudik.

Dalam kasus ini saya tidak membicarakan soal kata "melompat" sebab tidak pernah digunakan oleh wartawan peliput berita di stasiun dan di terminal bus. Padahal, gerakan melompat inilah justru yang banyak dilakukan oleh para pemudik.

Di Pulogadung, saya tidak melihat penumpang mudik itu melonjak ketika hendak meletakkan barang bawaannya di atas bus. Buat apa melonjak, sebab semuanya sudah terukur. Waktu naik bus pun mereka tidak melonjak, karena ada sudah tangga untuk berpijak. Paling-paling yang terlihat, mereka berdesak-desakan naik lewat satu pintu supaya dapat tempat duduk. Setelah melompat, mereka bergelantungan di jendela kereta api.

Penumpukan

Coba perhatikan siaran berita di televisi. Penyiarnya dengan lantang mengatakan telah terjadi penumpukan bus di dermaga Merak (Banteng) dan Bakauheni (Lampung). Padahal ketika gambarnya ditayangkan, tak terlihat sedikit pun penumpukan di dua dermaga itu. Semua kendaraan berjejer-jejer teratur atau tidak teratur memadati pelabuhan, tetapi tidak menumpuk.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), "menumpuk" adalah menaruh sesuatu bersusun-susun, menimbun atau melonggokkan. Jadi, manalah mungkin polisi atau petugas bisa menumpuk bus-bus itu di pelabuhan.

Di pelabuhan Tanjungpriok, penumpukan itu memang terlihat dengan jelas setiap hari. Yang menumpuk di situ bukan kendaraan mudik tetapi peti kemas. Peti kemas ini kalau tidak ditumpuk-tumpuk akan memakan tempat, sebab luas dermaga tidak sebanding dengan jumlah peti kemas.

Dulu, kita kenal kata "jubel" dan "berjubel-jubel". Artinya penuh sesak, dan bisa menggantikan kata menumpuk dan melonjak. Tetapi, kata ini mungkin sudah menjadi mayat karena mati,
tidak digunakan lagi. Jadi, bus dan kendaraan pribadi berjubel-jubel memadati terminal pelabuhan Merak.

Penggunaan istilah yang tidak tepat sering membingungkan, dan karena itu ada kesan
bahwa wartawan media massa itu sebenarnya bukan menyiarkan berita, mereka sedang menipu kita.

Umbu Rey

Jumat, 18 Desember 2009

Ilmu peNGetahuan

Kata berimbuhan "pengetahuan" pastilah memiliki atau berasal dari kata dasar TAHU (bukan tempe). Orang menjadi tahu karena "mendengarkan dan menyaksikan". Sesuatu yang didengar kita sebut kedengaran dan yang disaksikan kita sebut kesaksian. Maka sesuatu yang telah diketahui pun kita sebut ketahuan.

Dari kata dasar "dengar" akan turun kata "pendengaran", dan dari kata "saksi" akan turun kata "penyaksian". Maka sejalan dengan itu, dari kata TAHU sesungguhnya akan turun pula kata "penahuan".

Lalu, dari mana turunnya kata "peNGetahuan"? Mungkin dari "ketahuan". Tetapi, dari kata kedengaran tidak pernah terbentuk kata berimbuhan "peNgedengaran" dan dari kata kesaksian pun tidak pernah turun kata "peNGesaksian".

Jika saya melakukan penelusuran maka turunan kata-kata tersebut di atas sbb:

1. Dengar --> pendengar --> mendengar(kan) --> pendengaran --> dengaran

2. Saksi --> penyaksi --> menyaksikan --> penyaksian --> saksian

maka,

3. Tahu --> penahu --> menahukan --> penahuan --> tahuan

Turunan kata pada butir (3), agaknya tidak berterima karena "penahuan" mungkin dimengerti sebagai kata berimbuhan yang turun dari kata dasar "nahu", yakni kata serapan dari bahasa Arab yang berarti 'tata bahasa", atau mungkin proses membuat tahu (sejenis makanan dari kedelai).

Tetapi, kata berimbuhan "peNGEtahuan" pun sangatlah aneh di pikiran saya jika dia berasal dari kta KETAHU. Soalnya, saya tidak menemukan kata itu dalam KBBI edisi pertama sampai ketiga. Entahlah mungkin pada KBBI IV (saya belum memiliki kamus itu ketika tulisan ini saya buat).

Kata yang sebentuk dengan "ketahu" kita kenal ada kata "KETEMU", tetapi kata itu agaknya bukan dari kata dasar "temu", sebab kata berimbuhan yang terjadi dari kata "ketemu" tak pernah menghasilkan bentukan atau sublema "meNGetemukan", atau "peNgetemuan".

Karena itu, kata berimbuhan "peNGEtahuan" saya anggap sebuah bentuk penyimpangan tata bahasa. Jika kata itu benar diturunkan dari kata dasar TAHU maka seharusnya kita menyebut "Ilmu peNahuan" oleh sebab nasal N adalah fonem T yang diluluhkan.

Jadi, hendaklah semua orang "menahui" , dan bukan 'mengetahui" .

Umbu Rey

Tanggapan Bung Yanwardi:

Masalah yang diangkat Umbu kali ini kian memperlihatkan bahwa bahasa tidak dapat dirumuskan seperti ilmu pasti. Ada saja rumpang dalam pola-pola bahasa. Kita harus menyikapinya dengan bijaksana. Akan tetapi, sekalipun ada rumpang, tetap saja ada sebuah sistem yang bisa menjawab rumpang itu.

Demikian pula untuk kasus kata "pengetahuan" . Sebenarnya, kata ini bukan pangkal masalahnya. Sudah sama-sama kita ketahui, kata benda (berafiks pe-/pe-an) dalam bahasa Indonesia umumnya diturunkan dari kata kerjanya (berafiks me-/me--kan/ -i).

tulis-menulis- penulis-penulisa n-(tulisan)
buat-membuat- pembuat-pembuata n-(buatan)
amat-mengamati- pengamat- pengamatan- (amatan)
bunuh-membunuh- pembunuh- pembunuhan (ada rumpang)

Kata "pengetahuan" diturunkan dari kata "mengetahui" . Yang menjadi masalah apa bentuk dasar dari kata "mengetahui" ? Kalau bentuk dasarnya "tahu", dari mana asal fonem /ng/? Andai merujuk pada KBBI IV, kita menjadi jelas: di halaman 1377, terdapat kata (sublema) "ketahu".

Jadi, "ketahu" adalah kata jadian dari proses afiksasi (pengimbuhan) prefiks (awalan) "ke+tahu". Saya sendiri secara deskriptif tidak atau belum menemukan data kata "ketahu". Dalam idiolek saya, juga kata ini tidak terterima. Namun, saya yakin KBBI IV tidak asal mencatat kata ini. Pasti ada dasarnya.

Dengan berasumsi bahwa kata "ketahu" terterima, kata "pengetahuan" menjadi tidak bermasalah. Kata ini juga memiliki "saudara" dalam bahasa Indonesia ragam standar, yakni ketua, kekasih, dan kehendak. Berikut pola hierarki kata-kata berprefiks ke- tersebut (kecuali kata kekasih, yang proses pembentukan katanya berhenti di sini).

tahu-ketahu- mengetahui- pengetahuan

tua-ketua-mengetuai -pengetua- (pengetuaan? )

hendak-kehendak- mengehendaki (kata ini masih banyak ditemukan, bersaing dengan "menghendaki" ; harian "Sinar Harapan" masih menggunakannya, dan KUBI Poerwadarminta masih mencatatnya).

Dalam paradigma kata berprefiks ke-, tampak banyak rumpangnya. Makna pe-an dalam "pengetahuan" adalah 'hasil dari perbuatan mengetahui'. Jadi, berbeda dengan makna konfiks "pe-an" yang umum, yakni 'proses dari verbanya'. Sebaliknya, makna pe-an di sini sama dengan makna sufiks (akhiran) -an, yakni 'hasil perbuatan verbanya' (tulisan, lukisan, buatan, amatan, dll).

"Untunglah", makna (gramatikal) afiks pe-an, sebagaimana dalam pengetahuan (yakni 'hasil' ), memiliki "teman", yaitu dalam kata "penghasilan (saya)", "pendapatan (karyawan)", dan "pemasukan (pedagang)". Konfiks pe-an yang bermakna 'hasil' tampak dalam konstruksi (frasa) kepemilikan' dan konstituen yang mengikutinya merupakan subyek. Sebaliknya, "pe-an" yang bermakna 'proses' terdapat dalam konstruksi modifikatif dan konstituen yang mengikutinya merupakan obyek (pembunuhan mantan artis, penggosokan intan, pencemaran udara).

Luar biasa memang masalah kata "pengetahuan" : satu kata memunculkan banyak keterkaitan. Belum lagi masalah pelesapan/peleburan fonem /k/ mengapa terjadi dalam "mengetuai" dan "mengetahui" , tetapi tidak dalam "memperkuat" dan "memperkencang" ? Padahal, kasusnya sama: ke- dan per- merupakan imbuhan dan /k/ dan /p/ adalah konsonan letup takbersuara. Ada komentar?

Terima kasih Umbu yang telah membuka gerbang.


Tanggapan saya:

Hehehe.., rupa-rupanya ada pula kata "ketahu". Bahasa Indonesia memang mengenal kata "ketua" dan "kehendak", serta "kekasih", tetapi dalam pikiran saya, dari bentuk kata "ketua" hanya turun kata "mengetuai" dan kata "kehendak" tidak menurunkan kata "meNGEhendaki" , sedangkan "kekasih" stop sampai di situ.

Jikalau "ketahu" itu memang ada dalam KBBI IV maka "pengetahuan" tidaklah menjadi masalah. Cuma, dari mana datangnya "ketahu" itu perlu pula dicari jawabannya, soalnya saya belum pernah dengar.

Barangkali yang perlu dibicarakan sekarang soal kata "kekasih" yang menurut pendapat saya (mungkin sekali) berasal dari bentuk kata ulang "(ber)kasih- kasih(an) ". Itu sebabnya kata "kekasih" tak pernah mendapat imbuhan me-kan(i) dan pe-an.

Pembentukan awalan (?) ke + kasih --> kekasih tampaknya memiliki pola yang sama dengan kata berikut:

Tua-tua --> tetua (orang tua-tua adat)
Tangga-tangga --> tetangga (rumah dulu selalu pakai tangga)
Daun-daun --> dedaunan
Pohon-pohon - -> pepohonan
Rumput-rumput --> rerumputan
Batu-batu --> bebatuan (yang ini lagunya Ebiet G Ade) dstnya.

Dua tahun yang lalu dalam milis ini saya pernah membuka forum untuk membicarakan soal istilah "reruntuhan" pesawat. Saya tidak setuju dengan istilah itu karena pesawat terbang tidak pernah runtuh.

Pesawat itu jatuh dari udara dan karena itu lebih tepat kita gunakan istilah "jejatuhan" untuk menyebut bangkai pesawat terbang yang hancur itu. Soalnya, sekarang ini sudah muncul pula kata "jejaring" yang mungkin berasal dari "jaring-jaring" .

Maka, mulai sekarang bolehlah kita menggunakan istilah "lelongsoran" tanah karena di mana-mana terjadi banyak tanah longsor ketika hujan mulai turun dan gempa terjadi di mana-mana.

Umbu Rey

"--------," tukasnya.

TUKAS. Ini kata apa? Sudah beberapa kali (mungkin) kata ini dibicarakan. Setiap kali dikeritik lebih banyak lagi penggunaannya disalahartikan. Kantor Berita Antara, menurut pengamatan saya, paling kerap menggunakan kata TUKAS itu secara tidak tepat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI dengan jelas menerangkan bahwa TUKAS, atau MENUKAS adalah mendakwa (menuduh) dengan alasan yang tidak cukup atau asal menuduh saja.

Coba perhatikan kalimat langsung dalam berita hari Kamis (6/7) yang diturunkan Kantor Berita Antara berikut ini:

"Kalau paket Rancangan Undang-Undang (RUU) baru selesai Januari 2008, itu masih tetap normal, tidak mengganggu tahapan pemilu," TUKAS Andi Yuliani Paris.

Kalimat dalam kutipan langsung di atas dimulai dengan kata KALAU. Itu berarti bahwa kalimat itu adalah sebuah pengandaian. Jadi jelas sekali kalimat itu bukan menuduh atau tuduhan. Dengan kata lain, Andi Yuliani tidak menuduh siapa-siapa dengan alasan yang tidak cukup.

Lalu, mengapa wartawan Antara mengatakan "tukas" Andi Yuliani Paris? Penggunaan kata yang tidak tepat seperti ini dapat membuat kuping orang yang bernalar pastilah gatal karena dia bingung atau tidak mengerti.

Kata di belakang kutipan langsung sepengetahuan saya tidak asal saja menggunakan kata yang kita sukai. Biasanya, yang umumnya digunakan adalah semua kata yang diawali dengan awalan ber-. Jadi, ada kata bertanya, berkata, berjawab, bersahutan, bertambah ...dstnya, itulah yang dapat kita gunakan menjadi: tanyanya, katanya, jawabnya, sahutnya, tambahnya,...dst.

Itu sebabnya janggal sekali rasanya jikalau para wartawan dan para penulis novel seenaknya menggunakan kalimat langsung dalam kutipan seperti ini' " ------------," akunya, apalagi "batinnya", dan "jelasnya". Apanya yang jelas? Ganjil betul.

Jikalau terpaksa saya hendak menulis kata "tukas" atau "jelas" untuk mengakhiri kalimat dalam kutipan langsung, biasanya saya menggunakan bentuk seperti ini , "-----------," katanya menukas, atau "--------------," katanya menjelaskan.

Bentuk seperti itu saya gunakan karena tidak ada kata "bertukas, atau berjelas.

Dewasa ini, dalam bentuk yang lain, bahasa Indonesia memang makin sering digunakan secara sembarangan, dan celakanya, jika di-Inggris-kan tentu akan membuat mata orang asing terbelalak karena tidak mengerti atau bingung. Kalimat Indonesia (yang banyak salahnya) biasanya diterjemahkan lurus-lurus saja menurut versi Indonesia. Persis seperti Tukul Arwana berbahasa Inggris di acara Empat Mata.

"Jam terbang" diterjemahkan menjadi "fly watch". Di dalam istilah sepakbola, "main kayu" (maksudnya main keras, atau kasar) diterjemahkan menjadi "playwood". Waktu saya masih meliput olahraga bulutangkis dulu, Susi Susanti dan kawan-kawannya menerjemahkan "ibu kota" menjadi "mother city".

Negeri ini memang mempunyai kebiasaan berbahasa paling membingungkan di dunia. Hari ini (Kamis 6/7/007) Presiden SBY mengutip pernyataan mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Collin Powell, yang mengatakan "Indonesia is the most misunderstood country in the world". Hehehe...mungkin yang dimaksudkannya, negara yang paling tidak bisa dimengerti di dunia.

Pak SBY mungkin sedang menukas dalam bahasa Inggris.

Umbu Rey

Parafrasa

Suatu ketika, tepatnya awal Maret 2008, saya kembali dari acara diskusi bahasa di stasiun televisi RCTI Kebun Jeruk Jakarta. Pembicara dalam diskusi kecil itu adalah ahli bahasa dari Pusat Bahasa, Ibu Meity Qodratillah, yang menjadi ketua penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat.

Kamus besar itu kemudian diberi nama KBBI Pusba (Pusat Bahasa) lantaran hampir semua kamus yang terbit kemudian, konon, sama persis isinya dengan kamus bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa.

Ketika hendak pulang sehabis diskusi, saya menghantar Ibu Meity dengan menggunakan mobil pribadi saya. Dalam mobil itu ada juga teman lain ikut serta. Rupanya perbincangan dalam forum diskusi masih terus dilanjutkan dalam mobil.

Ketika itu, Ibu Meity mengatakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV) akan diluncurkan bersamaan dengan Kongres Bahasa Indonesia Internasional di Jakarta bulan Oktober 2008. Pada kenyataannya, kamus itu terbit dalam tahun 2009 dalam bentuk luks dan harga yang selangit.

Dalam mobil itulah Ibu Meity mengakui bahwa kata dasar PERHATI itu sebenarnya memang tidak ada. Dia mengatakan pula bahwa dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi terakhir, kata PERHATI tidak lagi dicantumkan sebagai lema dasar, tetapi tetap dimasukkan sebagai sublema di bawah kata dasar HATI.

Ketika masalah itu saya tulis dalam milis guyubbahasa, tersebarlah kabar itu di media massa dan disambut hangat oleh anggota FBMM yang menentang kata "pemerhati dan memerhatikan". Seorang pengamat bahasa Indonesia memberikan tanggapannya dalam rubrik Kompas di bawah judul Parafrasa sbb:

Saya termasuk salah seorang yang paling lega mengetahui dari rubrik ini 4 April lalu bahwa entri perhati direncanakan dikeluarkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk edisi keempat nanti. Penggunaan bentuk memerhatikan telah lama bikin saya senewen. Saya sudah menulis ke mana-mana untuk meluruskan bentuk tersebut, tetapi tidak digubris.

Terakhir, dalam pertemuan Forum Pembaca, Penulis, dan Peresensi Kompas di Hotel Santika, Bandung, tahun lalu, masalah yang sama sekali lagi sempat saya kemukakan. JS Badudu menasihati saya agar jangan berkecil hati.

Malangnya, setiap kali saya menulis memperhatikan, oleh editor media massa tertentu selalu dikoreksi menjadi memerhatikan. Apa akal? Akhirnya saya menyiasati kejengkelan saya dengan tidak menggunakan kata memperhatikan lagi untuk sementara. Sebagai gantinya saya memilih bentuk pasif diperhatikan atau frasa memberi perhatian.

Jika kita menulis menaruh perhatian alih-alih memperhatikan, itu disebut menggunakan parafrasa. Menaruh perhatian, misalnya, adalah parafrasa terhadap memperhatikan. Contoh lain: kata kalah bisa memiliki parafrasa mengalami kekalahan, menderita kekalahan, atau
menelan kekalahan. Lantas mengapa penutur bahasa menggunakan parafrasa dan kapan?

Parafrasa dipilih lantaran bentuk kata yang hendak dipakai diragukan atau ditentang kebenarannya. Ada saja orang, daripada pusing-pusing, lantas memilih parafrasa melontarkan kritik alih-alih mengritik, mengkritik, mengritisi, atau mengkritisi. Sulit menentukan memprogram atau memrogram? Pakai saja membuat program atau bentuk pasif diprogram!

Parafrasa dipakai dengan pertimbangan untuk menghasilkan variasi. Normalnya, kata-kata yang sering muncul dalam komunikasi sehari-hari memiliki parafrasa. Tidak setiap kata atau frasa menyandang parafrasa. Mungkin perlu waktu sampai suatu kata mengalami pemunculan dengan frekuensi cukup kerap, barulah ia mendapatkan parafrasanya. Dengan semakin populernya sepakbola, misalnya, muncul beberapa parafrasa untuk mengungkapkan terjadinya gol, antara lain: membuat gol, mencetak gol, membuahkan gol, atau menghasilkan gol.

Parafrasa menjadi pilihan apabila sebuah bentuk kata atau frasa dinilai terlalu vulgar. Ada saja orang berbudi pekerti halus yang merasa sungkan menggunakan kata mengusir sehingga ia memilih memakai parafrasa dipersilakan meninggalkan tempat atau dimohon mengosongkan tempat.

Parafrasa juga untuk berindah-indah, bersopan-sopan, merendahkan hati, atau menyindir. Berjanji diperindah menjadi memadu janji, tetapi sesewaktu disiasati pula menjadi sindiran dalam bentuk frasa menebar janji.

Akhirnya, bila kelak tidak ada lagi bentuk memerhatikan, sebaiknya bentuk pemerhati juga tidak dipakai lagi. Kata pengamat atau penilik (dari kata tilik --melihat atau mengawasi dengan sungguh-sungguh--) kiranya cukup pas diangkat sebagai alternatifnya. Kata memperhatikan pada satu sisi sebenarnya pantas pula sekaligus memadani concern, kata Inggris yang cukup digandrungi disisipkan penutur bahasa Indonesia kini dalam percakapan dan penulisan.

LIE CHARLIE Sarjana Bahasa Indonesia

HATI

Ini kata hanya terdiri atas empat huruf yakni dua huruf mati (konsonan h dan t) dan dua huruf hidup (vokal a dan i). Maka terbentuklah kata HATI. Tetapi, kata ini pernah membikin bingung para anggota guyub bahasa di Forum Bahasa Media Massa (FBMM).

Ketika lema (entri atau kata dasar) HATI ini diberi berimbuhan PERHATI dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga dicantumkan sebagai lema baru, meletuslah perdebatan sengit di milis guyubbahasa@yahoogroups.com. Hampir dua tahun lamanya kata ini diperdebatkan tetapi tak kunjung selesai, karena tidak mencapai kata sepakat. Akhirnya semua anggota diam, mungkin karena kecapaian.

Kata PERHATI, konon, diciptakan oleh ahli bahasa yang bersemayam di Jalan Daksinapati Rawamangun Jakarta, dan dikukuhkan sebagai kata dasar atau lema. Maka berkoar-koarlah mereka dalam tayangan televisi dengan mengucapkan kata "pemerhati" dan "memerhatikan". Persoalan muncul ketika para ahli bahasa mengatakan "memerhatikan" adalah adalah sublema atau turunan dari kata PERHATI.

Para pengamat bahasa pun uring-uringan, karena sudah ada bentuk sublema "memperhatikan" yang turun dari kata dasar HATI. Lalu, dari manakah asal kata "perhati" itu? Tak ada jawaban, tak ada penjelasan. Para pengguna bahasa pada umumnya berkata bahwa kata "perhati" sesungguhnya tidak ada. Mereka hanya mengenal kata dasar HATI, dan hanya ada kata berimbuhan "memperhatikan" yang turun dari kata dasar HATI itu. Bentuk turunannya sebagai berikut:

Hati -> berhati-hati -> memperhatikan -> perhatian

Lalu, mengapa ada kata bentukan baru "memerhatikan" yang sesungguhnya juga berasal dari kata HATI? Saya sendiri sebenarnya setuju saja ada kata baru bernama PERHATI untuk memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Tetapi, pendapat saya "dibombardir" hampir seluruh anggota milis dengan argumen mereka masing-masing.

Saya kutip tulisan seorang teman seguyub berikut ini:

BENARKAH ADA KATA DASAR “PERHATI”?

oleh Martinmosmarth

DALAM RAPAT pengurus pusat Forum Bahasa Media Massa (FBMM) pada hari Selasa 14
Februari 2006, lagi-lagi terjadi perdebatan yang cukup sengit. Harap maklum, begitulah senantiasa terjadi bila para redaktur dan “pemerhati” bahasa berkumpul.

Diskusi menjelang pembahasan agenda resmi ini, yang antara lain membahas program kerja tahun 2006, dimulai dengan pertanyaan: apakah kaidah “huruf awal k, p, t, dan s pada kata dasar akan luluh saat kata dasar tersebut mendapatkan awalan me” berlaku mutlak?

Terus terang, saya menjawab dengan bersikukuh bahwa semestinya kaidah, apa pun itu, berlaku mutlak dan pengecualian hanya boleh ada dalam keadaan yang sangat khusus. Kalau tidak demikian, tata bahasa Indonesia tidak akan pernah berwibawa.

Pertanyaan pun berlanjut dengan contoh praktis: apakah kata jadian “memperhatikan” itu harus luluh menjadi “memerhatikan” ? Lagi-lagi saya bersikeras bahwa tidak bisa begitu karena kata dasarnya “hati”.

Salah satu teman pun dengan sigap membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (KBBI-3) dan membacakan lema tersebut per sub-entry, lalu ia berteriak lantang bahwa “memperhatikan” bisa luluh menjadi “memerhatikan” karena kata dasarnya “perhati”.

Saya terhenyak, tapi penasaran: Benarkah ada kata dasar “perhati”? Kalau benar ada, kenapa kata itu tidak “bunyi” baik dalam perasaan maupun benak saya? (Dan: saya yakin demikian pula halnya dengan Anda!).

Sesampai di rumah pada malam harinya, saya membuka KBBI-2 (cetakan kedelapan 1996). Kata dasar “hati” ada pada halaman 344 KBBI-2 senarai huruf “h” dalam dua lema: “hati” dan sublema “berhati” dan “sehati”, serta kata ulangnya “hati-hati”dengan sublema “berhati-hati” . Lho, kata jadian yang lain dari kata dasar “hati” pada ke mana?

Aneh bin ajaib, saya baru mendapatinya pada halaman 754 KBBI-2 deretan huruf “p” pada lema “perhati” yang langsung disambung koma dan kata jadian “memperhatikan” , baru diikuti sublema “perhatian” dan “pemerhati”.

Apa artinya lema “perhati, memperhatikan” dalam KBBI-2? Bagi saya, ini berarti kata dasar “perhati” itu “lema semu”, karena harus diikuti kata jadian “memperhatikan” supaya dia “bunyi” atawa bermakna. Dengan kata lain, tidak ada kata dasar “perhati”.

Kalau sudah begini, saya pun terpaksa membuka kembali Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Bagian Pertama, W.J.S. Poerwadarminta (tjetakan ke-empat, 1966). Lema “hati” ada pada halaman 338-340, dengan urutan sublema: “berhati”, “(ber)hati-hati” , “memperhatikan” , “perhatian”, dan “perhatian! perhatian!”.

Dan: pada KUBI, Bagian Kedua, sama sekali tidak ada lema “perhati”. Dengan kata lain, tidak ada kata dasar “perhati” dalam bahasa Indonesia.

Tendy/Pikiran Rakyat:

Kalau memang "perhati" bukan kata dasar (lema), mengapa pada KBBI III kata tersebut tercantum sebagai lema tersendiri? Lalu, mengapa pada KBBI IV kata itu akan dihapus?
Enggak yakin?

Zulkifli Harahap:

Kata "perhati" itu bukan lema semu tetapi kata dasar sekunder bentukan
dari kata dasar primer "hati." Itu kata GK. Per-hati-kan semua buku
tata bahasa yang ada sekalipun buku itu ditujukan utk pelajar SMA; dengan
mem-per-hati-kan-nya wawasan kita akan semakin meluas.

Apollo Lase/Kompas:

Salam guyub,

Banyak kita temui surat kabar A menulis *memperhatikan* , surat kabar B bersikukuh memakai *memerhatikan* , surat kabar C menulis *memunyai,* sementara yang lain memilih *mempunyai* sebagai bentuk yang betul. Dan banyak hal lagi. Pembaca, termasuk saya, bingung dan barangkali ada yang menyelentuk, mengapa media massa tidak bisa sepakat untuk menyeragamkan istilah-istilah itu?

Abdul Gaffar Ruskhan/Pusat Bahasa:

Ketidakseragaman itu terjadi karena cara pandang yang berbeda. Dalam KBBI memang ditemukan (bukan ditemui, seperti yang dikemukkaan teman yang "bingung" itu karena menemui objeknya insani) memerhatikan dengan meluluhkan huruf /p/. Di samping itu, ada pula yang tidak meluluhkannya.

Saya pada dasarnya tidak sependapat meluluhkan huruf /p/ walaupun saya termasuk salah seorang penyusun KBBI. Ketidaksetujuan saya itu pernah saya tulis di dalam Rubrik Ulasan Bahasa Media Indonesia. Sekarang tulisan itu dapat dilihat dalam buku saya Kompas Bahasa Indonesia (2007) terbitan Grassindo. Memang banyak yang mengkritik saya. Bahkan, mengatakan saya tidak konsisten. Walaupun begitu, saya tetap mengatakan bahwa memperhatikan berasal dari kata dasar "hati", yang diberi imbuhan per-: perhati; yang merupakan bentuk sekunder dari hati. Karena itu, huruf /p/ tidak luluh.

Memperhatikan dapat dianalogikan dengan bentuk lain: memperjuangkan, memperbaiki, mempersoalkan, mempermainkan, dsb. Di dalam Tata Bahasa Baku, "memper-" dikelompokkan ke dalam imbuhan gabung. Sebagai imbuhan gabung, huruf /p/ tidak luluh.

Agar ada keseragaman, KBBI yang sedang direvisi tidak lagi mencantumkan lema pokok "perhati". Kata itu akan menjadi sublema dari "hati". Kata "memerhatikan" tidak akan ditemukan lagi dalam KBBI Edisi IV. Yang ada adalah "memperhatikan".

Saya sebetulnya prihatin juga apabila semua imbuhan gabung "memper-" menjadi "memer-". Akan banyak kata yang menjadi "korban". Apa jadinya kata "memperjuangkan, memperbaiki, mempersoalkan, mempermainkan" menjadi memerjuangkan, memerbaiki, memersoalkan, memermainkan. Dalam hal ini tidak perlu dipaksakan generalisasi kaidah peluluhan yang berakibat bahasa kita menjadi "aneh".

Masalah "mempunyai" dan "memunyai" harus dilihat dari etimologinya. Kata dasarnya memang "punya". Namun, kata itu berasal dari "empunya". Kata "punya dan empunya" akhirnya menjadi kata yang bervariasi dan memiliki makna yang sama. Karena itu, pembentukan dengan awalan "meng-" menghasilkan bentuk mempunyai yang berasal dari "meempunyai". Dua huruf /e/ pada mempunyai menghasilkan peluluhan salah satunya. Dapat juga alasannya bahwa huruf /p/ tidak diluluhkan untuk memudahkan pelacakan asal-usul kata. Prof. Harimurti memberikan alasan seperti itu. Saya pun setuju dengan pendapat itu.

Ini soal lain. Suatu ketika Pak TDA menanyakan padanan kata incumbent. Saya jawab, padanannya adalah "pejabat kini". Ulasannya sudah dimuat di Media Indonesia. Pak TDA katakan, kan belum banyak yang tahu. Beliau usul agar semua tulisan saya yang dimuat pada Sabtu dalam "Ulasan Bahasa" Media Indonesia disebarluaskan melali milis guyub. Saya senang juga. Tapi, saya minta tanggapan teman-teman anggota, apakah akan saya miliskan atau dibaca saja dalam MI. Jika setuju, saya akan miliskan.

Terima kasih.

Riko Alfonso/Anggota milis guyubbahasa:

Wah, seru juga membaca komentar mengenai keseragaman istilah ini. Saya jadi ingin pula menyumbang pendapat mengenai hal ini. Terutama dari penjelasan Pak Gaffar dari Pusat Bahasa.

Pertama, saya sangat gembira mendapat info dari Pak Gaffar bahwa untuk KBBI Edisi IV kata "perhati" tidak lagi dijadikan lema pokok, tetapi menjadi sublema dari kata hati. Itu berarti Pusat Bahasa akhirnya mau memperbaiki kesalahan yang telah menimbulkan kebingungan di antara pengguna bahasa.

Perlu diingat, bahwa kata perhati sudah dijadikan lema pokok sejak KBBI edisi II (saya tidak tahu pada KBBI edisi I, karena di perpustakaan kami KBBI edisi I sudah gak ada lagi). Karena hingga di edisi III kata itu juga tetap tidak mengalami perubahan, kami pun menyimpulkan bahwa Pusat Bahasa mengakui bahwa kata perhati itu adalah lema dasar, bukan sublema.

Jadi kami para pengguna bahasa yang menaruh kepercayaan kepada Pusat Bahasa pun akhirnya mengikuti saja keputusan itu. Oleh karena itu, dalam penggunaannya dalam imbuhan, kata itu pun akhirnya harus kami sesuaikan dengan kaidah peluluhan dalam imbuhan: kata perhati berubah menjadi memerhatikan (p-luluh). Inilah yang menjadi alasan mengapa kami selalu meluluhkan kata perhati itu.

Alasan Pak Gafar yang menyatakan tidak setuju kata perhati itu luluh sangat masuk akal. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa kata itu sampai bisa dicantumkan sebagai lema pokok dalam KBBI edisi II dan III? Siapa yang memutuskan/merumuskannya jika Pak Gafar sendiri menyatakan tidak setuju dengan hal itu meski ia termasuk dalam tim penyusun KBBI?

Saya jadi curiga jangan-jangan ada kepentingan2 tertentu dari beberapa 'orang penting' di Pusat Bahasa yang sangat menginginkan kata perhati itu menjadi lema pokok. Ya, saya hanya berharap agar kejadian serupa ini tidak terulang lagi dalam KBBI edisi IV. Bahwa kepentingan2 lain harus dikesampingkan dulu saat para anggota tim menyusun KBBI. Buatlah KBBI yang terbaik dan tidak menimbulkan kerancuan di kalangan penggunanya.

Lalu, masalah "mempunyai dan memunyai". Saya baru tahu ternyata kita harus pula memperhatikan etimologi sebuah kata untuk menggunakannya secara tepat dalam imbuhan, terlepas kata itu sudah dianggap sebagai kata dasar. Selama ini saya hanya mengangap bahwa jika kata itu adalah kata dasar, ia akan mengalami peluluhan jika huruf awalnya /k,p,t,s/ dan mendapat imbuhan. Jadi saya menganggap kata punya itu diperlakukan sama dalam imbuhan (p-luluh), seperti halnya kata pukul, percaya, atau putus.

Saya juga heran mengapa pembentukan dengan awalan me- untuk empunya menjadi "meempunya", dan bukan "mengempunya". Saat saya lihat di KBBI edisi III, kata "empu" dan "empunya" memang ada di sana. Ketika mendapat awalan, kata empu berubah menjadi mengempu, bukan meempu.

Jika dianalogikan sama, kata empunya seharusnya menjadi mengempunya bila mendapat awalan, bukan meempunya (dengan dua huruf /e/). Dengan demikian saya menilai memang tidak ada bentuk meempunya itu. Yang ada ialah mengempunya.

Saya melihat dalam KBBI kata punya tidak 'diakui secara penuh' menjadi sebuah kata dasar. Sebab ia diperlakukan tidak sama seperti kata dasar berawalan /p/ lainnya saat bertemu dengan awalan. Hal inilah yang menjadi pangkal ketidakseragaman pemakaian kata punya ini.

Saya jelas kurang setuju dengan pernyataan Pusat Bahasa atas 'kekhususan' kata 'punya' ini. Sebaiknya tentukan dengan tegas, apakah 'punya' ialah kata dasar atau tidak. Jika ya, perlakukanlah kata 'punya' ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika tetap dianggap berasal dari kata empunya, penulisannya bukan menjadi mempunyai, melainkan "mengempunyai". Namun sampai masalah ini jelas, ya ada baiknya kawan-kawan menggunakan kata lain yang maknanya sama dengan 'punya'. Kata milik, misalnya.

Wassalam

Umbu Rey

Minggu, 29 November 2009

Investasi

Investasi. Apakah ini kata dari bahasa Belanda? Saya tidak tahu, soalnya dalam bahasa Inggris juga tidak saya temukan kata "investation" atau 'investasion" . Saya periksa Kamus Webster's Third New International Dictionary yang tebalnya minta ampun, tetapi tidak saya temukan juga kata itu.

Dalam Kamus Webster (bahasa Inggris) itu hanya ada kata "investment" yang kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan penanaman uang/modal. Lha, kenapa kata itu kok terserap jadi "investasi"?

Ini sebenarnya masalah lama atau "zadul". Sebelum KBBI edisi ketiga muncul, kata "investasi" ini sudah dibahas juga di Kantor Berita Antara bersama Prof Dr Anton M Moeliono. Tetapi, tetap saja kata itu tertera, lantaran mungkin, kamus ini hanya merekam ucapan yang sudah lazim terucap dalam masyarakat.

Biasanya kita menyerap kata Inggris yang berakhir dengan "sion" dan "tion" itu menjadi "isasi, sasi, atau si: ke dalam bahasa Indonesia. Demikian pula semua kata berakhiran "ment" yang kita serap dari bahasa Inggris akan menjadi "men" dalam bahasa Indonesia.

Ini contohnya:

communication --> komunikasi
adminstration --> administrasi
depression --> depresi
television --> televisi
dst

Lalu:

management --> manajemen
parliament --> parlemen
department --> departemen
compartment --> kompartemen
amendment --> amendemen
commitment --> komitmen

Seturut dengan itu, maka kata "investment" seharusnya kita serap menjadi "invesmen". Mengapa kok jadi "investasi"? Soalnya anggota milis ini nggak satu pun berani bilang "invesmen" dan kebanyakan malu-malu menerjemahkan kata itu dengan penanaman modal.

Padahal, sebuah lembaga di bawah Departemen Keuangan bernama BKPM, singkatan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan bukan Badan Koordinasi Investasi (BKI). Jadi, daripada menggunakan "investasi" mengapa tidak kita gunakan saja "penanaman modal".

KBBI Pusba yang baru terbit ternyata tidak juga mencatat "invesmen". Kamus ini tetap konsisten dengan investasi. Barangkali ini sebuah pengecualian, tetapi saya menggugat karena tidak sejalan dengan proses penyerapan kata sebagaimana lazimnya.


Umbu Rey

Idulfitiri jatuh pada hari H

Menurut kalender resmi tahun Masehi, hari Idulfitri tahun 2008 jatuh pada hari Rabu 1 Oktober 2008 . Pada kenyataannya tidak ditulis demikian lantaran para pejabat berwenang dan para wartawan justru terbiasa menuliskan Idulfitri itu jatuh pada hari H.

Dalam kalender nasional nama hari yang kita kenal adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Cuma ada tujuh hari, dan tidak ada hari H.

Entah mengapa disebut hari H, saya tidak paham benar. Setelah tanya sana tanya sini, saya mendapat jawaban bahwa hari H itu ada lantaran orang atau pejabat dan wartawan suka latah. Konon, hari H itu muncul sebagai terjemahan D-Day dalam bahasa Inggris.

Arti huruf D dalam D-Day itu tidak ada yang pasti. Kamus Wikipedia mengatakan D-Day dapat juga berarti Day of Days. Istilah ini semula hanya digunakan di kalangan militer saja. Mungkin itu sebabnya D-Day lalu diterjemahkan menjadi Hari H. Cuma, istilah militer itu lalu dipakai juga untuk hari keagamaan, jadi ganjil juga rasanya.

Kebetulan sekali --mohon maaf sekali-- Idullfitri tahun 2008 jatuh pada 1 Oktober (jika ditetapkan demikian) bersamaan dengan peristiwa kudeta berdarah tahun 1965 yang dilakukan oleh PKI pimpinan Aidit. Tanggal 1 Oktober 1965 itu adalah D-Day penculikan tujuh jenderal oleh PKI, dan karena itu disebut Gestok atau Gerakan Satu Oktober. Tetapi, pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto menyebut D-Day PKI terjadi pada 30 September dan karena itu disebut G-30 S/PKI atau Gerakan 30 September.

Ada sebagian orang yang mengatakan D- adalah singkatan dari kata (Inggris) Decision. Jadi, D-Day adalah hari penentuan atau hari yang ditetapkan. Kalau demikian, huruf H dalam hari H itu singkatan dari kata apa? Ya, sudahlah, biarkanlah begitu.

Yang menjadi masalah kemudian adalah, apakah hari H itu cuma sehari, ataukah dua hari karena Idulfitri ditetapkan jatuh pada tanggal 1 dan 2 Oktober 2008. Tahun yang lalu (2007) dalam milis ini pernah juga disinggung secara singkat perkara hari H itu lantaran penggunaannya terserah pada yang menyebutnya. Jadi, mana suka sajalah. Yang bingung orang yang baca.

Kantor Berita Antara cenderung mengatakan hari H itu adalah tanggal 1 dan 2 Oktober. Jadi, H-1 (baca: Ha min satu) adalah "satu hari sebelum" tanggal 1 Oktober, dan H+1 (baca; Ha plus satu) adalah adalah "satu hari setelah" tanggal 2 Oktober.

Mengapa begitu, karena tidak ada ketentuan yang menetapkan bahwa hari H itu cuma sehari di lembaga ini. Artinya, boleh dua hari dan boleh juga tiga hari. Nah, yang bikin pusing, hari Idulfitri itu menurut ketentuan agama ada berapa harikah?

Jika Idulfitri itu jatuh pada hari Rabu 1 Oktober (tahun Masehi) maka hari dan tanggal itulah yang disebut hari H, dan karena itu Kamis 2 Oktober merupakan masa libur tambahan.
Menurut saya, agaknya ada salah pengertian mengenai hari H yang merupakan hari yang ditetapkan, dan hari H yang merupakan masa Lebaran atau liburan Idulfitri.

Umbu Rey

Matahari dan beasiswa

Dulu ketika masih Sekolah Rakyat (SR), seingat saya kata "matahari" itu ditulis terpisah lantaran terdiri atas dua kata yakni "mata" dan "hari" sebagaimana kita menulis mata air, mata hati, mata pisau, mata kaki, dan mata rantai.

Sekarang ini "mata hari" (tercatat dalam kamus KBBI edisi ketiga) sudah menjadi lema sendiri dan penulisannya diserangkaikan menjadi "matahari", tetapi mata air, mata kaki, mata hati, mata pisau, dan mata rantai tetap saja dipisahkan penulisannya sampai sekarang.

Dua kata yang digabungkan itu terbentuk dari dua lema yang berlainan arti tetapi kemudian menghasilkan sebuah pengertian baru. Mungkin itulah yang disebut gabungan kata, tetapi saya tidak tahu persis.

Ada dua kata lain yang usianya lebih muda daripada mata air dan mata kaki, tetapi entah sejak kapan sudah ditulis serangkai seperti kita menulis "matahari". Yang saya maksudkan adalah kata "bea" dan "siswa". Dalam KBBI edisi ketiga saya temukan kata ini sudah menjadi lema sendiri menjadi "beasiswa" dan dianggap satu kata saja, tetapi bea cukai dan bea meterai tetap ditulis terpisah.

Saya tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk meneliti mengapa "matahari" dan "beasiswa" itu ditulis serangkai. Di dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988) hal mengenai proses penyerangkaian kata gabungan tidak saya temukan penjelasannya.

Setelah berpikir cukup lama sampai hampir pusing, akhirnya saya menemukan alasannya menurut rekaan saya sendiri. Kata "matahari" diserangkaikan penulisannya mungkin sekali karena alasan berikut:

(1) matahari sudah merupakan sebuah nama benda, dan
(2) matahari adalah benda yang di dunia ini cuma ada satu, atau dengan perkataan lain, tidak dapat dijumlahkan dengan pengulangan kata-katanya.
(3) karena dianggap satu kata menurut konsensus umum

Mata hari tidak dapat kita jumlahkan dengan proses pengulangan kata-katanya seperti kita menyebut "mata-mata hari" lantaran penjumlahan itu tidak akan menghasilkan mata hari yang lebih dari satu. Karena itu, nama sang surya itu kita tulis serangkai saja menjadi "matahari".

Tetapi,

Mata air, mata pisau, mata kaki, dan mata rantai adalah istilah atau sebutan (dan bukan nama benda) yang tiap-tiap kata dalam kata gabungan itu dapat kita jumlahkan dengan proses pengulangan kata awalnya sehingga menghasilkan jumlah yang lebih dari satu.

Kita dapat mengatakan mata-mata air, mata-mata kaki, mata-mata pisau, dan mata-mata rantai untuk menyatakannya lebih dari satu jumlahnya (banyak).

Sehubungan dengan butir (1) dan (2) di atas, maka saya menarik kesimpulan bahwa kata gabungan "kerja sama" dan "sepak bola" haruslah kita tulis serangkai menjadi "kerjasama" dan "sepakbola". Dua kata ini tidak dapat kita jumlahkan sebab sudah merupakan nama dan tidak dapat dijumlahkan. Bandingkan dengan kata "olahraga" yang telah ditulis dalam KBBI edisi ketiga menjadi satu kata saja.

Ada banyak kerjasama di bidang ekonomi atau di bidang politik antarnegara, misalnya, tetapi kata "kerjasama" itu tetaplah satu. Kita tidak lazim mengatakan kerja-kerja sama di bidang ekonomi.

Sejalan dengan itu, sepakbola itu pun di dunia ini adalah nama sebuah permainan di lapangan hijau dengan dua tim yang masing-masing terdiri atas 11 pemain yang saling berhadapan dan mengejar-ngejar bola untuk dimasukkan ke gawang lawan. Kita juga tidak lazim mengatakan "sepak-sepak bola", lantaran permainan itu hanya ada satu saja. Karena itulah permainan itu mestinya kita serangkaikan penulisannya menjadi "sepakbola" saja. Kata itu adalah terjemahan dari bahasa Inggris "football" (satu kata saja).

Yang mengherankan saya, mengapa KBBI menganggap istilah "beasiswa" itu sebuah lema yang penulisannya diserangkaikan pula padahal kata itu adalah gabungan kata "bea" dan "siswa" yang tiap-tiap katanya dapat kita jumlahkan menjadi bea-bea siswa.

Bukankah kata bea siswa itu sama dan serupa dengan bentuk gabungan kata yang lain seperti "beha siswi"? Mungkin belum dianggap gabungan kata.

Umbu Rey

Minggu, 08 November 2009

Setengah mati

Setengah mati bukan arti sesungguhnya. Sebetulnya maksudnya pingsan atau susah sekali, dan dapat juga berarti sangat, amat, nian, terlalu. Menderita setengah mati artinya sangat susah, tetapi cinta setengah mati artinya sangat sayang. Titiek Puspa bilang begitu.

Orang yang kena "stroke" setengah badan mati, setengahnya lagi hidup, tetapi yang mati itu cuma tidak bisa bergerak saja, tidak mati sesungguhnya. Yang begini ini bukan setengah mati. Lumpuh itu namanya.

KBBI rupanya tidak mencatat kata yang populer ini. Yang ada, setengah baya, atau setengah umur, dan setengah tiang. Yang berikut ini sebenarnya setengah gila atau setengah waras, tetapi bikin kita tersenyum juga:

1. Tidur dengan wanita cantik : bangga setengah mati
2. Tidur dengan wanita PSK : mahal setengah mati
3. Tidur dengan wanita jelek : setres setengah mati
4. Tidur dengan wanita hiperaktif : capeknya setengah mati
5. Tidur dengan pacar/istri tetangga : nafsu setengah mati
6. Tidur dengan istri sendiri : mending pura-pura mati
7. Tidur dengan istri tentara/polisi : sudah pasti mati!!!!

(Dari milis tetangga)

Umbu Rey

Kamis, 29 Oktober 2009

Penjudi --> pejudi

Saya belum pernah mendengar orang mengucapkan kata "pejudi". Yang sering kedengaran adalah "penjudi" karena sering dikejar-kejar polisi. Para penjudi itu ditangkap dan dijerat dengan pasal 303 KUHP.

Setakat ini "pejudi" tak dikenal orang dalam bahasa percakapan atau bahasa tulisan di media massa. Polisi pun cuek bebek, dan karena itu para "pejudi" tak pernah dikejar-kejar polisi, apalagi dihukum, padahal yang bermain judi justru pejudi itu juga. Kenapa yang ditangkap cuma penjudi?

Judi adalah permainan yang mempertaruhkan sejumlah uang atau barang berharga (lihat KBBI). Maka setiap permainan dengan memakai uang sebagai taruhan adalah judi. Main dadu, main kartu remi, atau domino itu adalah judi kalau pakai uang sebagai taruhan.

Karena itu main sepakbola pun disebut judi kalau pakai uang sebagai taruhan. Dulu, tahun 1985, ada kupon undian yang disebut "porkas". Orang beli kupon porkas untuk menentukan hasil pertandingan Galatama setiap minggu. Mereka cuma menentukan Menang, Seri, dan Kalah (M. S, K). Siapa yang tebakannya paling jitu akan mendapat hadiah Rp100 juta. Itu resmi, kuponnya pun dikeluarkan oleh Departemen Sosial.

Porkas itu kata serapan dari bahasa Inggris "forecast", yang artinya ramalan atau tebakan. Karena cuma ramalan, lebih banyak yang sial daripada yang hoki atau mujur. Uang paling banyak masuk ke Depsos (Departemen Sosial), konon, bisa satu miliar rupiah dalam seminggu. Tetapi uangnya entah dibuat apa, tak jelas.

Orang yang membeli kupon keranjingan, soalnya uang keluar tak seberapa, meskipun kenyataannya dia rugi terus, dan hidupnya seakan-akan bergantung pada keberuntungan membeli porkas itu. Siapa tahu nasib berubah setelah membeli kupon porkas, kata mereka.

Yang untung cuma Depsos, dan yang buntung selalu adalah yang pembeli kupon. Akhirnya MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengomel-ngomel. Porkas yang resmi itu lalu dianggap judi dan haram hukumnya. Sejak itu porkas pun lenyap. Karena itu setiap kali orang kedapatan bermain judi pastilah mereka akan ditangkap polisi, sebab menurut KUPH pasal 303 judi adalah perbuatan pidana.

Yang saya bicarakan ini bukan soal hukum pidana atau hukum agama atau hukum Taurat. Ini soal pengertian makna kata semata-mata, arti judi tok. Soalnya, arti kata itu dalam KBBI IV bagi saya tak jelas benar.

Dari kata dasar "judi" turun kata sbb:

(1) menjudikan -- penjudi --penjudian -- (tidak ada kata judian)

(2) berjudi -- pejudi -- memperjudikan -- perjudian

Pada butir (1) "penjudi" adalah berjudi, yakni "mempertaruhkan sejumlah uang atau harta benda dst". Dengan kata lain, awalan pe- pada kata "penjudi" bukan menunjukkan orang, dan karena itu "penjudi" bukanlah orang yang berjudi.

Pada butir (2) "pejudi" jelas diartikan orang yang suka berjudi lantaran dia mempertaruhkan uang atau harta benda dalam permainan tebak-tebakan, siapa tahu beruntung jadi orang kaya mendadak.

Dalam kasus judi porkas itu, Depsos menjual kupon, dan khalayak ramai membeli kupon dan menebak M, S, atau K sesukanya, siapa tahu tebakannya jitu dan mendapat Rp100 juta rupiah.

Yang jadi masalah, siapakah "penjudi" dan siapakah "pejudi" dalam kasus jual beli kupon
porkas itu? Soalnya dulu --tahun 1985 -- tidak ada yang ditangkap polisi meskipun Depsos dan khalayak ramai sama-sama main judi porkas.

Menurut pengamatan saya, KBBI IV Pusat Bahasa 2008 sesungguhnya telah menuntun kita semua untuk menggunakan bahasa mengikuti nalar tata bahasa yang benar. Perhatikan susunan lema dan sublema yang diterangkan dalam KBBI IV. Dalam bahasa Indonesia, menurut amatan saya, hanya ada dua awalan yang dapat membentuk kata kerja sebagai predikat, yakni (1) kata kerja berawalan me-, mem-, meng-, dan (2) kata kerja berawalan ber-.

Dari dua bentuk kata berawalan itulah makna kata dalam kamus KBBI IV itu disusun. Tetapi tampaknya para pengguna kamus itu belum atau tidak pandai membaca kamus, sehingga banyak yang tak mengerti mengapa ada kata "pejudi-penjudi, dan pejahat-penjahat, dan pejabat-penjabat.

Jikalau saya rumuskan, maka kata kerja berawalan me- dan ber- itu akan menurunkan sublema sbb: (D = kata Dasar).

(1) Me- D (kan) --> pen- D --> men- D - (i,kan) --> pe- D -an --> D - an

(2) Ber- D --> pe - D --> memper- D - kan --> per- D - an.

Jikalau kata dasar "judi, jahat, jabat" kita masukkan dalam rumus tersebut di atas, maka turunannya akan menghasilkan sublema sbb:

(3) Judi --> menjudi (kan) --> penjudi --> penjudian --> judian

(4) Judi --> berjudi --> pejudi --> memperjudikan --> perjudian

(5) Jahat --> menjahat(i) (kan) --> penjahat --> penjahatan --> jahatan

(6) Jahat --> berjahat-jahatan --> pejahat --> memperjahatkan --> perjahatan

(7) Jabat --> menjabat --> penjabat --> penjabatan --> jabatan

(8) Jabat --> berjabat --> pejabat --> memperjabatkan --> perjabatan

Tentu saja tidak semua kata dasar dapat dibentuk dengan awalan me- dan ber-, sebab dalam bahasa Indonesia, ada kata "berdagang, bertani", tetapi tidak ada kata "mendagang dan menani" dst.

Jika rumus kata jadian di atas kita anggap sebagai kesepakatan maka kata "pejudi, pejahat, dan pejabat" pada umumnya diberi arti "orang yang yang berprofesi sebagai" atau orang yang hidup karena melakukan pekerjaan yang disebutkan oleh kata dasarnya. Tetapi, "penjudi, penjahat, dan penjabat" pada umumnya dimengerti sebagai "orang atau pihak yang menjalankan tugas atau pekerjaan seperti yang tersebut oleh kata dasarnya.

Dalam cerita saya tentang judi porkas itu, orang atau badan atau lembaga yang menjalankan tugas atau pekerjaan judi adalah "penjudi" dan dalam kasus judi ini adalah Departemen Sosial, sebab lembaga inilah yang memainkan atau menjual kupon itu. Dialah bandarnya judi itu.

Tetapi, orang yang "berjudi" disebut "pejudi" lantaran dia mengharapkan kehidupan yang lebih baik dengan hasil pekerjaan tebak-tebakan kupon porkas itu. KBBI IV mengatakan "pejudi" adalah orang yang suka berjudi.

Umbu Rey

Senin, 10 Agustus 2009

Musim haji

Mengapa orang menyebut "musim haji"? Setahu saya, musim adalah waktu tertentu yang bertalian dengan keadaan iklim. Setidaknya, begitulah kata KBBI Edisi keempat. Karena itu di Indonesia hanya ada dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Kadang-kadang kita sebut musim dingin dan musim panas.

Di luar negeri ada pula musim gugur, musim semi, dan musim salju yang semuanya itu ada karena pertaliannya dengan keadaan iklim. Musim itu bukan peraturan manusia dan tidak bisa dikendalikan oleh kegiatan manusia.

Waktu masih di Sekolah Dasar di kampung, Pak Guru bilang musim hujan itu hanya datang masanya menuruti nama bulan yang berbunyi "er" atau "r". Maka hujan pun turun pada bulan September, Oktober, November, Desember, Januari, Februari, Maret, dan April.

Musim kemarau akan terjadi pada bulan Mei, Juni, Juli, dan Agustus. Dulu begitu selalu, tetapi karena pergolakan alam kadang-kadang terjadi penyimpangan. Sehubungan keadaan iklim itu maka buah-buahan, dan bunga pun muncul mengikuti aturan alam. Karena itu ada musim durian, dan ada pula pula musim rambutan dan duku.

Tentu saja tidak selalu begitu, sebab ada pohon dan atau tanaman berbuah tanpa musim, dan karena itu tidak ada musim kelapa dan musim pisang sebab tanaman itu muncul sepanjang tahun. Mugkin itulah yang disebut penyimpangan.

Alam juga mengatur tata hidup fauna atau dunia hewan, sehingga ada binatang hanya bertelur pada musim tertentu saja pada setiap tahun, sedangkan anjing hanya kawin pada bulan Mei dan Oktober setiap tahun ketika bulan terang pada malam hari. Ayam dan bebek kalau kawin kapan saja.

Musim pun tidak mengatur kegiatan manusia sebab manusia bisa menentang alam. Karena itu orang kawin tak perlu pakai musim, asal dua jenis kelamin manusia sudah berahi maka jadilah perkawinan. Itu sebabnya lahir manusia setiap hari dan setiap bulan saban tahun.

Menurut amatan saya, dewasa ini kata "musim" itu tak dapat lagi dibedakan lagi dari kata "masa". Muncullah istilah musim liburan, musim haji, musim lefa, musim tanam, dan musim panen, dan musim-musim yang lain.

Ketika hujan mulai turun para petani bergegas turun ke sawah atau ke ladang untuk bertanam. Kegiatan manusia yang melakukan pekerjaan tanam itu sebetulnya tidak dapat disebut "musim tanam", dan ketika sampai waktunya untuk memetik buah, maka kegiatan itu tak dapat pula disebut "musim panen".

"Lefa" adalah istilah dalam bahasa daerah di Kabupaten Lembata, khususnya Lamalera di NTT yakni kampungnya pakar bahasa Indoesia Gorys Keraf. "Lefa" adalah masa ketika para nelayan turun ke laut memburu ikan paus yang dimulai pada bulan Mei sampai bulan Oktober saban tahun. Kegiatan perburuan itu biasanya dimulai dengan misa kudus di tepi laut menurut kepercayaan Katolik.

Pada masa "lefa" itu, ikan paus yang kedinginan di kutub utara biasanya turun ke selatan mencari tempat yang panas di selatan atau sebaliknya. Dalam perjalanannya, paus-paus itu mengikuti jalur di Selat Ombai --antara Pulau Timor dan Kepulauan Alor- - dan bermain-main tak jauh dari patai Lamalera di selatan Pulau Lembata. Di perairan Lamalera itulah terjadi perburuan ikan paus dalam masa "lefa" itu.

Menurut KBBI, musim adalah waktu tertentu yang bertalian dengan keadaan iklim. Jadi, kalau tak bertalian dengan keadaan iklim, maka bukan musim namanya. Arti yang selanjutnya dalam kamus itu sebenarnya adalah rekaman dari kebiasaan orang mengucapkan kata "musim" secara salah kaprah.

"Masa" menurut KBBI adalah waktu, ketika, atau saat. Anak sekolah yang berlibur, dulunya disebut "pakansi" dan kalau pegawai negeri mengambil masa istirahat karena sakit atau mudik, disebut "perlop". Dua kata ini diserap dari bahasa Belanda. Sekarang ini "pakansi" sudah diganti dengan "libur" dan "perlop" diganti dengan "cuti".

Libur dan cuti adalah masa, sebab waktunya telah ditentukan oleh peraturan manusia, dan bukan karena kehendak alam atau iklim. Karena itu "libur" atau "cuti" bukanlah musim, karena masa libur itu ditentukan oleh peraturan Depdiknas, bukan karena keadaan iklim.

Demikian pula orang yang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci itu bukanlah kehendak alam atau karena pengaruh iklim, tetapi karena ditentukan oleh peraturan agama pada bulan Zulhijah menurut penanggalan Arab.

Karena itu pula ibadah haji bukanlah musim haji, karena merupakan kegiatan manusia mengikuti tata ibadat pada masa yang sudah ditentukan. Maka seharusnya kita mengatakan "masa liburan, masa berhaji, masa tanam, masa panen atau masa petik buah".

Tanggapan dari Zulkifli Harahap <zulk_har@yahoo. com>
Date: Thursday, July 16, 2009, 8:37 AM

Umbu SANGAT-SANGAT JELAS KELIRU, setidaknya menurut Kamus Bahasa Indonesia 1983 (KBI 83). Di situ tercantum arti 4: waktu atau masa ketika suatu kegiatan (permainan, dsb) banyak terjari atau sering berlangsung: musim layang-layang, musim durian; arti 3: waktu (ketika ada suatu peristiwa): musim gerombolan masuk desa.

Ada lagi arti 2: bilangan waktu tertentu (tiga bulan, empat bulan, dsb) ketika buah-buah atau hasil bumi lain banyak menghasilkan: musim panen. Oleh sebab itu di situ ada sublema "musim haji" waktu atau ketika orang2 menunaikan ibadah haji (pada bulan Zulhijah). Dengan demikan contoh TDA benar analog dengan arti 2."

Dengan KBI 83 pula "musim panen bersamaan dengan musim nikah di daerah itu" benar adanya; "musim panen" berdasarkan arti 2 dan "musim nikah" berdasarkan arti 4: "musim nikah" artinya waktu ketika orang-orang di daerah itu sudah kenyang, gizi tinggi, yang harus disalurkan; salah satunya ya ... kawin yang halal alias nikah.

Semoga penambah bagi yang kekurangan.

Zul

Jawaban saya:

Pada awalnya, ketika menulis pendapat tentang "musim haji" ini saya telah menyatakan "mungkin saya keliru". Tetapi, kalau Anda menyebut "Umbu SANGAT-SANGAT JELAS KELIRU", hehehe..., justru pernyataan Anda itulah yang mungkin keliru.

Kan saya sudah bilang..., KBBI III dan IV telah mendukung pendapat saya, bahwa musim itu adalah "waktu tertentu yang bertalian dengan keadaan iklim". Karena itu ada musim hujan ada musim kemarau. Itu saja. Jadi kalau tidak bertalian dengan keadaan iklim, bukan musim namanya itu, Bung!

Saya telah mempertegas pendapat saya bahwa sesuatu yang muncul menurut iklim atau keadaan alam, atau keadaan cuaca akan terjadilah demikian tanpa campur tangan manusia, sebab iklim itu tidak bisa diatur manusia. Maka buah duren atau durian itu akan muncul pada waktu yang ditentukan oleh iklim, demikian juga rambutan dan sebagainya. Pisang dan kelapa berbuah sepanjang tahun, itu pun diatur alam atau iklim, bukan aturan manusia.

Saya teringat kata Pak Yus Badudu pada acara pembinaan bahasa Indonesia di TVRI lebih kurang 30 tahun yang lampau, yang mengatakan arti kamus yang sebenarnya adalah yang disebut pertama. Arti yang lain yang disebut kemudian itu (arti ke-2, 3, 4 dst) adalah arti yang bersinonim, yang berkembang kemudian.

Arti yang berkembang itu mungkin sekali adalah kebiasaan penyebutan salah kaprah yang direkam begitu saja oleh kamus karena sudah berulang-ulang disebutkan oleh khalayak ramai dalam kurun waktu tertentu. Maka jadilah sebuah kata mempunyai arti lebih dari satu (polisemi), yang belum tentu sama persis artinya.

Dari sejak dulu kala sampai dengan KBBI Edisi ketiga terbit pada tahun 2002, kata "penggalangan" itu hanya berhubungan dengan pembuatan perahu atau kapal, tetapi sekarang sudah berkembang menjadi "penggalangan dana" yang diartikan sama dengan "mengumpulkan, mencari" dana. (KBBI IV).

Jadi, kalau Anda merujuk ke arti yang kedua, ketiga, dan keempat, dst pada Kamus Bahasa Indonesia (KBI tahun 1983)..., lha kok jauh amat mencari padanannya? Arti yang Anda sebutkan dalam tanggapan Anda itu pun ada dalam KBBI IV. Di situ ada musim haji ada pula musim duren, ada pula musim mangga.

Saya justru ingin mencoba meluruskan penggunaan kata "musim haji" itu. Singkat kata, haji itu bukan duren, bukan mangga, bukan pula rambutan. Lha, mengapa disamakan saja penyebutan waktunya. Haji kok disamakan saja dengan duren. Macam mana?

Sekarang orang terbiasa lagi menyebut "musim liburan" (sekolah). Lha, kalau murid-murid sekolah itu kembali belajar setelah liburan usai, apakah Anda sebut juga "musim sekolah" atau "musim belajar"? Nanti malam ketika orang sudah sangat penat karena bekerja seharian, maka tidurlah mereka itu. Waktu tidur itu apakah kita sebut itu "musim tidur"!?

Saya lebih suka berkata "sudah waktunya untuk tidur" dan bukan "sudah musimnya untuk tidur!" Dan lagi, tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah, begitu kata Obbie Messakh. Pengarang lagu itu tidak mengatakan "musim-musim di sekolah".

Setiap kata mestinya diletakkan pada tempatnya.

Umbu Rey

Seorang polisi tewas lagi

Kata lagi tertera dalam KBBI dan diberi banyak arti. Baiknya saya kutip dari KBBI daring seperti berikut:

(1). adv sedang (dl keadaan melakukan dsb); masih: jangan berisik, ayah -- tidur;
(2) adv tambah sekian (atau sedemikian) pula: tunggu sebentar --;
(3) adv kembali (berbuat dsb) spt semula; berulang spt semula; pula: kemarin sudah menonton, sekarang hendak menonton --;
(4) p dan; serta; juga: anak itu pandai -- rajin; istrinya muda, cantik, -- kaya;
(5) p partikel yg dipakai untuk menekankan kata atau kalimat yg mendahuluinya
(mengandung makna; sama sekali, betul-betul, amat sangat, dsb): kekejaman tentara penjajah sungguh tak terkatakan --; penderitaan rakyat Kamboja sudah tidak tertahan --;

Harian Umum KOMPAS pada halaman muka hari ini (14/7/09) menulis judul dengan kalimat sbb:

SEORANG POLISI TEWAS LAGI

Judul berita ini membuat saya agak bingung karena penggunaan kata "tewas lagi". Menurut pendapat saya, semua arti yang tertera dalam KBBI tidak memenuhi maksud kata lagi dalam kalimat itu.

Arti kata lagi yang disebut pada butir (2) KBBI di atas rasanya masuk akal jika menunjukkan jumlah yang tewas. Jadi, "tewas lagi" memberikan arti bahwa yang tewas itu tambah sekian, sehingga jumlah yang tewas menjadi sekian.

Tetapi, kata "tewas lagi" dalam kalimat judul berita di atas agaknya membatalkan arti pada butir (2) KBBI sebab yang tewas itu hanya ada satu orang polisi. Jadi, kalau seorang polisi tewas lagi, maka yang mati itu tidak akan bertambah banyak, sebab cuma seorang polisi itu saja yang mati.

Arti yang tersebut pada butir (3), yakni "kembali (berbuat dsb), berulang seperti semula, agaknya janggal juga kedengarannya, sebab kata "tewas" bukanlah perbuatan atau keadaan yang dapat diulang. Tewas dalam konteks ini sama artinya dengan mati. Polisi itu tewas dan bukan menewaskan. Jadi, mungkinkah "seorang polisi" tewas dua kali karena dia mengulangi lagi perbuatan tewas? Rasanya tidak masuk akal.

Kata lagi dalam kalimat di bawah ini mungkin berbeda maknanya:

(a) - Seorang lagi polisi tewas
(b) - Seorang polisi lagi tewas
(c) - Seorang polisi tewas lagi

Kalimat pada butir (a) menerangkan bahwa jumlah polisi yang tewas bertambah satu. Kalimat pada butir (b) menerangkan bahwa polisi itu tidak "sedang" tewas tetapi menunjukkan bahwa yang tewas itu tak lain adalah seorang polisi dan bukan seorang nelayan. Dengan pengertian lain, tadi polisi tewas dan sekarang polisi lagi yang tewas.

Kalimat pada butir (c) sama sekali tidak masuk akal. Kalimat seperti ini sama saja dengan "almarhum meninggal dunia". Orang mati tidak bisa mati dua kali.

Seorang teman mengusulkan kalimat "lagi, seorang polisi tewas" tetapi tidak saya masukkan sebagai bentuk lain dari kalimat menggunakan kata lagi. Itu kalimat khas jurnalistik surat kabar yang disusun antara lain supaya indah secara tipografis. Tetapi, kalau kalimat contoh kalimat itu kita tilik dari sudut tata bahasa, jelas keliru atau lebih tepat tidak lazim.

Jurnalistik Kantor Berita pada umumnya tidak menggunakan kalimat seperti itu, demikian juga radio dan televisi. Kantor Berita, radio dan televisi biasanya memulai kalimat judul dengan subjek, lalu predikat, kemudian objek secara taat asas.

Saya belum pernah mendengar penyiar radio dan televisi menyebut pokok berita, "Lagi, seorang polisi tewas". Saya pikir semua pendengar atau pemirsa akan bingung mendengar kata "lagi" di depan subjek kalimat itu. Apa itu lagi?

Kalau kalimat "lagi, seorang polisi tewas" dibenarkan, maka kita juga akan membenarkan kalimat berikut:

1. Hanya, seorang polisi tewas
2. Saja, seorang polisi tewas
3. Juga, seorang polisi tewas

Dalam surat kabar, kalimat judul yang dimulai dengan kata "lagi" biasanya diikuti dengan tanda baca koma (,) dan itu biasanya dibuat pada berita lanjutan (follow-up story). Kata "lagi' yang diikuti tanda koma itu menerangkan bahwa peristiwa yang sama dan sudah diberitakan sebelumnya, terjadi pula sekarang.

"Lagi, seorang polisi tewas" adalah kalimat (khas surat kabar) yang sengaja dibuat menyimpang dari asas tata bahasa untuk menarik perhatian.

Dalam milis ini dua tahun yang lalu saya telah menulis juga soal kalimat judul koran yang bentuknya begini: "Pemudik Dua Kali Ditarik Ongkos". Bagi saya, kalimat itu sama sekali tidak jelas. Tetapi begitulah koran. Orang awam "terpaksa" mengerti.

Umbu Rey

Rabu, 15 Juli 2009

Petani ikan?

Istilah "petani ikan" sungguh membuat saya geli. Sejak zaman Orde Baru istilah ini sudah dipakai sebagai kebiasaan sampai sekarang, dan dianggap benar oleh kesepakatan umum. Kantor Berita Antara masih tetap menggunakan istilah itu tetapi bagi saya, ini istilah adalah penyimpangan.

"Petani" adalah orang yang pekerjaannya bertani atau becocok tanam sedangkan "ikan" adalah binatang bertulang belakang yang hidup dalam air (KBBI edisi ketiga). Pokoknya, ikan itu binatang atau hewanlah, bukan tumbuh-tumbuhan atau tanaman. Karena itu ikan tidak bisa dipertanikan, atau tidak bisa ditanam. Entah siapa yang mencetuskan istilah "petani ikan" saya tidak tahu.

Petani ikan dipahami secara umum adalah orang yang pekerjaannya "menanam ikan". Padahal bibit ikan itu tidak ditanam tetapi ditebarkan di tambak. Istilah "petani ikan" itu aneh bagi saya, tetapi teman saya bilang "Itu sudah biasa, terima saja!" Kalau saya bilang, petani bebek atau petani kodok, teman saya itu protes, tidak setuju. Itu tidak lazim, katanya. Lha, kan bebek dan kodok biasa di air juga dan sama-sama binatang dan pelihara juga oleh petani.

Dahulu, hewan air dari jenis ikan kecil dan sedang, serta udang dipelihara supaya menghasilkan uang agar menghidupkan para nelayan. Pada masa-masa tertentu di musim angin barat gelombang laut sangat tinggi dan berbahaya, sehingga nelayan tak dapat melaut. Pada masa itu ikan pun sulit didapat.

Untuk menyambung hidupnya, para nelayan membuat tambak di pinggir laut supaya air mudah masuk sebab di dalam tambak itulah ikan dan udang dilepas dan dipelihara. Dari sebab itu para nelayan yang memelihara ikan dalam tambak disebut "petambak". Mereka bukan penambak.

Kata "petambak" muncul dari turunan kata dasar "tambak" yang berawalan ber-. Maka terjadilah sublema: tambak --> bertambak --> pertambakan --> petambak.

Jika kata jadian itu diartikan, maka bertambak adalah (mengusahakan) tambak, pertambakan adalah tempat bertambak, dan petambak adalah orang yang bekerja atau mengusahakan tambak untuk menghidupi dirinya dengan pekerjaan bertambak.

Lama-lama, ikan air tawar pun dapat dipelihara di daerah pergunungan dan di perbukitan, misalnya ikan mas, gurame, dan gabus. Ada petani yang menemukan satu jenis ikan tawar dan diberinya nama "mujair" sesuai dengan nama penemunya, yakni Pak Mujair. Ikan itu dipeliharanya di empang. Tetapi Pak Mujair bukan "pe-empang" sebab kata itu tidak berterima dalam bahasa Indonesia.

Usaha untuk menjadikan sesuatu itu bermanfaat dan menghasilkan disebut "budidaya". Karena itu, alih-alih menggunakan istilah "petambak ikan" orang lebih suka menyebut "pembudidaya ikan" sebab ikan itu dibudidayakan supaya dapat menghasilkan uang.

Dari sebab itu kata "petambak" sekarang sudah hampir lenyap. Yang tinggal adalah kata-kata tak bernalar semua, termasuk "kebun binatang" Ragunan. Di kebun binatang itu tidak ada petani monyet dan petani harimau. Yang ada pawang ular, bukan petani ular. Petani ikan apalagi..., tak ada.

Umbu Rey

Selasa, 14 Juli 2009

MemBERolahragakan?

Ini istilah lama peninggalan Presiden Kedua RI Soeharto. Siapakah yang berani membantah kalau Pak Harto omong salah ...., kagak ada!! Maka jadilah istilah itu bergaung sampai sekarang dan dianggap benar saja.

"Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat" belakangan baru dikoreksi setelah Pak Harto lengser keprabon. Soalnya setelah reformasi, orang sudah kagak takut lagi bilang Pak Harto itu salah karena dia tidak lagi berkuasa dan sekarang sudah almarhum. Coba kalau masih berkuasa...., elu bakal digebuk, tau!

Kata yang dikoreksi oleh teman-teman yang berkerja di media massa sekarang ini adalah mengolahragakan masyarakat. Kata itu dianggap salah karena alasan, masyarakat tidak dapat menjadi atau dijadikan olahraga.

Profesor Anton M. Moeliono, mantan kepala Pusat Bahasa, ketika diskusi bahasa di suatu tempat, dan saya lupa waktunya, berpendapat bahwa seharusnya kita mengatakan memBERolahragakan masyarakat. Kata berimbuhan "memberolahragakan" masyarakat itu mengandung makna "membuat masyarakat gemar berolahraga".

Yang perlu mendapat perhatian, menurut KBBI III kata "olahraga" itu adalah sebuah lema atau sebuah entri, atau sebuah kata dasar yang terdiri atas empat suku kata dan ditulis serangkai. Berolahraga artinya melakukan gerak badan (berenang, bermain bola, dsb).

Dari kata dasar olahraga akan turun sublema seperti ini:

1. Olahraga --> mengolahragakan --> pengolahraga --> pengolahragaan --> olahragaan

Jika kata dasar "olahraga" itu diberi awalan ber- maka:

2. Olahraga --> berolahraga - -> peolahraga --> memperolahragakan --> perolahragaan

Dalam butir (2), dalam kata "memPERolahragakan" terkandung maksud 'membuat masyarakat supaya gemar atau giat BERolahraga'.

Bandingkan dengan turunan kata daya ini:

3. Daya --> berdaya --> pedaya --> memperdayakan --> perdayaan

Turunan kata "memPERdayakan" pada butir (3) seharusnya berarti "membuat orang supaya BERdaya (guna)". Tetapi KBBI III malah mengartikan kata "memperdayakan" sama dengan memperdaya atau tipu muslihat atau menipu.

Dalam milis ini tahun yang lalu saya memperkenalkan kata MEMPERDAYAI untuk padanan kata tipu muslihat itu.

Kalau begitu, "memBERolahragakan" dan "memBERdayakan" masyarakat adalah penyimpangan tata bahasa. Jika kita hendak membuat orang supaya berdaya seharusnya kita "memPERdayakan" orang itu, dan jika kita hendak "membuat kebiasaan supaya masyarakat giat atau gemar berolahraga" maka seharusnya kita mengatakan "memPERolahragakan" masyarakat. Artinya, membuat masyarakat berolahraga.

Umbu Rey

Iklan kampanye SBY

Hari ini Selasa (23/6.09) di halaman muka bagian bawah harian umum Republika ada tertera satu iklan kampanye politik dari Partai Demokrat "SBY Presidenku", dan di situ terdapat pula gambar atau foto SBY bersama dengan calon wakilnya Boediono.

Iklan kampanye politik itu ditulis dengan kalimat:

Tegas Memberantas Korupsi, Tidak Cepat Memperkaya Diri.

Apakah maksud kalimat itu? Mungkin banyak tafsiran yang dapat dikemukakan, tetapi yang paling jelas tersirat maksud bahwa SBY sesungguhnya ingin dengan tegas memberantas korupsi (kalusa pertama), tetapi setelah itu dia ingin juga memperkaya dirinya sendiri dengan cara yang tidak cepat-cepat (klausa kedua).

Jadi, kalimat iklan kampanye pada klausa kedua itu dapatlah ditafsirkan bahwa SBY ingin menjadi presiden dengan maksud memperkaya diri juga, tetapi itu dilakukannya secara tahap demi tahap atau pelan-pelan saja.

Itu sebabnya setiap kali berkampanye, SBY selalu mengatakan "Lanjutkan!" Jargon ini pun --jika dikaitkan dengan kalimat pada iklan kampanye itu -- dapat pula ditafsirkan maksudnya, bahwa kalau jabatan presiden itu tidak dilanjutkan untuk kedua kalinya, maka upaya untuk cepat memperkaya diri tidak berhasil.

Umbu Rey

Rumah sakit bersalin

Di dekat Kampung Cerewed Bekasi Timur ada sebuah rumah di pinggir jalan. Di depan rumah itu ada papan nama dan tertera di situ tulisan besar-besar RUMAH SAKIT BERSALIN. Yang dimaksudkan dengan kata "bersalin" di papan nama itu tak lain adalah melahirkan anak atau beranak.

Dalam hati saya bertanya, "Itu rumah sakit siapa yang bikin bunting sampai bisa bersalin?" Kalau rumah itu dipersonafikasi, maka seakan-akan dia adalah seorang bini dari lelaki yang entah siapa namanya, tak tertulis di papan nama itu. Mungkin karena itu, sudah lama orang-orang mempersamakan saja istilah rumah sakit bersalin dengan "rumah sakit korban lelaki".

Teman saya, Mulyo Sunyoto, berkata bahwa yang dimaksudkan dengan "rumah sakit bersalin" itu tentu saja adalah rumah tempat bersalin. Itu sudah benar, katanya. Penjelasannya itu membuat saya geli, lantaran tak sesuai dengan kaidah tata bahasa yang saya pahami.

Kita telah lama mengenal istilah "rumah sakit" yang konon terjemahan dari bahasa Belanda "sicken huis". Ini istilah sudah lama berterima lantaran kita sudah terbiasa pula dengan istilah "rumah duka". Di milis ini rekan-rekan yang lain sudah menggunakan istilah "sepeda santai" dan sejak dulu kita terbiasa pula menyebut 'kursi malas".

Rumah sakit, rumah duka, sepeda santai, dan kursi malas, adalah gabungan dua kata yang kedua-duanya adalah kata dasar. Yang pertama adalah nomina (kata benda) dan kata yang mengikutinya adalah adjektiva. Kita tidak pernah menulis rumah bersakit-sakit, rumah berduka, sepeda bersantai, dan kursi bermalas-malasan.

Maka sejalan dengan itu, mestinya kita menyebut rumah di pinggir jalan dekat Kampung Cerewed itu adalah "rumah salin". Tetapi rumah salin tak ada hubungan dengan orang (bini) bersalin sebab kata dasar "salin" tidak merujuk pada arti "melahirkan anak". Lagi pula, kata "salin" itu bukan pula adjektiva.

Saya bilang pada Mulyo, bangsa ini kalau bicara tak pernah taat pada kaidah. Apalagi kalau mereka omong lisan tentang sesuatu, maka kata-kata keluar begitu saja dari bibirnya sebab yang penting lawan bicara mengerti. Mana penah mereka pikir soal kaidah bahasa.

Tetapi kalau kalimat itu dipaparkan dalam tulisan, maka kaidah bahasa mestilah mutlak dituruti supaya orang lain tidak bingung. Maka, jikalau kita mengikuti kaidah bahasa, frasa RUMAH SAKIT BERSALIN yang tertera di papan nama itu akan pasti bermakna rumah itu melahirkan anak.

Menurut kaidah yang saya paham, kata "bersalin" mestilah menurunkan kata "mempersalinkan" dan "persalinan" . Kata jadian atau sublema yang terakhir ini yakni "persalinan" merujuk pada makna "hal mengenai bersalin" atau "tempat bersalin".

Bandingkan dengan kata "bermukim -->mempermukimkan --> permukiman.

Jadi, kalau mau taat asas, maka di papan nama di depan rumah tempat orang (perempuan) melahirkan anak itu seharusnya adalah RUMAH PERSALINAN, yakni rumah tempat bersalin.

Mungkin saja saya keliru, tetapi saya pikir, "rumah persalinan" itu bagaimana pun lebih baik dan pas daripada "rumah sakit bersalin" apalagi "rumah sakit korban lelaki.

Umbu Rey

Minggu, 12 Juli 2009

Heng

Anda pasti tahulah masalah permainan sepak bola. Di daerah saya, di Sumba, NTT permainan ini sangat populer. Seorang mantan pemain nasional sepak bola PSSI bernama Sinyo Aliandu, pernah tenar pada akhir tahun 60-an sampai awal tahun 1970-an gara-gara sepak bola. Dia kemudian dipercaya menjadi pelatih nasional PSSI dan hampir-hampir meloloskan Adolf Kabo dan kawan-kawan masuk Piala Dunia.

Sinyo Aliandu pernah bermain di klub perserikatan PSMS Medan dan Persija Jakarta. Tidak banyak orang tahu bahwa dia belajar sepak bola justru di belakang dapur rumah saya. Soalnya, pas di belakang rumah saya itu ada sebuah kompleks Sekolah Guru Atas (SGA) dan Sekolah Guru Bantu (SGB) yang dikelola yayasan persekolahan Masehi (kalau saya tidak salah, sekarang sudah ditutup). Di situ dia bersekolah pada awal tahun 1960.

Pertandingan di lapangan luas dengan menendang-nendang bola kulit itu di negeri saya tidak disebut sepak bola. Kami menyebut pertandingan "bola kaki". Sebutan itu rasanya lebih tepat daripada "sepak bola". Soalnya, konon, itu permainan berasal dari Inggris dan diberi nama "football". Jadi terjemahannya mesti kita sebut "bola kaki". Di Amerika Serikat permainan itu disebut "soccer".

Permainan ini sangat digemari orang tua dan muda di kampung saya, dan karena itu semua penggemarnya pastilah tahu istilah dalam permainan itu. Cuma, sebutannya dalam bahasa Inggris diucapkan begitu saja menurut cara bibir orang sana menyebutnya.

Pemain menyundul bola disebut "kop", tendangan dari sudut kiri atau kanan disebut "kornel" (maksudnya corner). Tendangan bebas disebut "perkik". Wasit itu meniup "lufrik' atau "levrik", kadang-kadang "fluit". Penjaga gawang disebut "kifer" atau "kiper'.

Kalau ada pemain bola yang lari berliku-liku melewati beberapa pemain, maka istilahnya adalah "menggoreng bola". Pemain yang berada di belakang garis pertahanan biasanya ada dua orang, dan mereka disebut "bek". Itu dulu, sekarang ini yang disebut bek bisa terdiri atas empat orang sekaligus, tergantung strategi permainan yang diterapkan pelatihnya untuk menghadapi lawan.

Dalam dunia sepak bola moderen, ada sistem 4-4-2, yang artinya empat bek, empat pemain tengah dan dua penyerang. Strategi itu bisa ditukar-tukar menjadi 4-2-4, atau 4-3-3, atau 2-5-3, pokoknya pemain selain kiper itu harus berjumlah sepuluh. Pemain tengah pun ada yang disebut "gelandang", ada yang disebut "libero".

Tendangan hukuman dari titik putih itu disebut "12 pas". Dulunya dihitung dengan 12 langkah dari bawah garis gawang yang kira-kira sama dengan 12 meter. Sekarang kita kenal dengan tendangan penalti. Dulu, tendangan hukuman 12 pas itu biasa terjadi kalau bola menyentuh tangan pemain bertahan dalam daerah kotak penalti. Istilahnya mereka sebut "hensbol" atau "hens".

Saya periksa KBBI edisi ketiga dan keempat. Istilah untuk "menyentuh bola dengan tangan dalam permainan sepak bola disebut "heng". Istilah dari dialek mana itu saya kurang tahu.

Di kantor saya, kalau peranti lunak atau program komputer itu tidak bergerak atau "ngadat" ataau macet, teknisinya bilang "heng" juga. Jadi, program komputer "ngadat" dan bola tersentuh tangan pemain sama-sama "heng".

Kepala lagi pusing dan tidak bisa berpikir biasa kita sebut "otak lagi heng". Kalau lancar baru disebut heng ing eng.....!!!

Umbu Rey

Dikarenakan bingung

Milis guyubbahasa ini makin ramai dikarenakan pembicaraan tak ada kesepakatan. Ketika seorang mengajukan masalah munculah bantahan dikarenakan tidak setuju. Orang lain kasih alasan, tetapi yang lain menyangkal dikarenakan tak masuk akal. Situ setuju tetapi sana keberatan dikarenakan tidak sesuai dengan kaidah.

Saya menulis untuk menyampaikan satu istilah dikarenakan pemakaiannya rada-rada janggal, tetapi orang lain bilang itu sudah betul dikarenakan sudah biasa begitu. Masalah banjir kanal dan kanal banjir sudah dua minggu ramai cibicarakan di milis ini dikarenakan hukum DM dilanggar.

Banjir sudah mulai surut dikarenakan hujan sudah jarang jatuh dari langit, maka masalah ukuran sepinggang orang dewasa tidak lagi dibicarakan orang dikarenakan muncul masalah suami tercinta yang melibatkan artis mungil nan cantik berusuara merdu mendayu-dayu Yuni Shara. Suaminya masuk penjara dikarenakan kasus pidana.

Adakah kesepakatan dari semua perdebatan itu? Tidak ada! Mengapa, ya dikarenakan frasa "pengusaha wanita" dibolak-balik menjadi "wanita pengusaha", dan lagi pula, dikarenakan penjahit wanita dipertanyakan, apanya yang mau dijahit?

Anda dan kita semua omong soal istilah, dan ambil patokan dari kamus KBBI bikinan Pusat Bahasa untuk membenarkan alasan dan pendapat masing-masing, tetapi jidat kelihatan seperti terbentur dinding dikarenakan bingung.

Mengapa bingung? Dikarenakan KBBI itu merekam dan mencetak semua kata yang diucapkan orang baik yang baku maupun yang tidak baku. Salahkah KBBI? Tidak juga, dikarenakan orang ramai memang selalu dan setiap saat mengucapkan kata-kata itu dan jadilah itu sebagai konsensus umum.

Istilah yang baku, itu yang disebut bahasa standar. Yang tidak baku, itu yang disebut bahasa percakapan dan diberi penanda "cak" di dalam KBBI. Contohnya apa? Ya ini, DIKARENAKAN. Soalnya, mana ada MENGARENAKAN atau "mengkarenakan".

Sudah berapakah istilah, kata, dan frasa, kalimat sampai tata bahasa diketengahkan dalam debat pembicaraan di milis ini? Banyak sekali, tetapi tak tercapai kesatuan pendapat dikarenakan setiap orang mempertahankan alasannya kebenaran pendapatnya masing-masing.

Akh, sudah sedemikian jauh kita bicara, sudah cukup banyak masalah kita bahas, tetapi saya kadang-kadang "ngakak" terbahak-bahak sendirian melihat kita semua berdebat tetapi tetap bingung dikarenakan...ya bingung.

Hidup Bingung!

Umbu Rey