Jumat, 18 Desember 2009

HATI

Ini kata hanya terdiri atas empat huruf yakni dua huruf mati (konsonan h dan t) dan dua huruf hidup (vokal a dan i). Maka terbentuklah kata HATI. Tetapi, kata ini pernah membikin bingung para anggota guyub bahasa di Forum Bahasa Media Massa (FBMM).

Ketika lema (entri atau kata dasar) HATI ini diberi berimbuhan PERHATI dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga dicantumkan sebagai lema baru, meletuslah perdebatan sengit di milis guyubbahasa@yahoogroups.com. Hampir dua tahun lamanya kata ini diperdebatkan tetapi tak kunjung selesai, karena tidak mencapai kata sepakat. Akhirnya semua anggota diam, mungkin karena kecapaian.

Kata PERHATI, konon, diciptakan oleh ahli bahasa yang bersemayam di Jalan Daksinapati Rawamangun Jakarta, dan dikukuhkan sebagai kata dasar atau lema. Maka berkoar-koarlah mereka dalam tayangan televisi dengan mengucapkan kata "pemerhati" dan "memerhatikan". Persoalan muncul ketika para ahli bahasa mengatakan "memerhatikan" adalah adalah sublema atau turunan dari kata PERHATI.

Para pengamat bahasa pun uring-uringan, karena sudah ada bentuk sublema "memperhatikan" yang turun dari kata dasar HATI. Lalu, dari manakah asal kata "perhati" itu? Tak ada jawaban, tak ada penjelasan. Para pengguna bahasa pada umumnya berkata bahwa kata "perhati" sesungguhnya tidak ada. Mereka hanya mengenal kata dasar HATI, dan hanya ada kata berimbuhan "memperhatikan" yang turun dari kata dasar HATI itu. Bentuk turunannya sebagai berikut:

Hati -> berhati-hati -> memperhatikan -> perhatian

Lalu, mengapa ada kata bentukan baru "memerhatikan" yang sesungguhnya juga berasal dari kata HATI? Saya sendiri sebenarnya setuju saja ada kata baru bernama PERHATI untuk memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Tetapi, pendapat saya "dibombardir" hampir seluruh anggota milis dengan argumen mereka masing-masing.

Saya kutip tulisan seorang teman seguyub berikut ini:

BENARKAH ADA KATA DASAR “PERHATI”?

oleh Martinmosmarth

DALAM RAPAT pengurus pusat Forum Bahasa Media Massa (FBMM) pada hari Selasa 14
Februari 2006, lagi-lagi terjadi perdebatan yang cukup sengit. Harap maklum, begitulah senantiasa terjadi bila para redaktur dan “pemerhati” bahasa berkumpul.

Diskusi menjelang pembahasan agenda resmi ini, yang antara lain membahas program kerja tahun 2006, dimulai dengan pertanyaan: apakah kaidah “huruf awal k, p, t, dan s pada kata dasar akan luluh saat kata dasar tersebut mendapatkan awalan me” berlaku mutlak?

Terus terang, saya menjawab dengan bersikukuh bahwa semestinya kaidah, apa pun itu, berlaku mutlak dan pengecualian hanya boleh ada dalam keadaan yang sangat khusus. Kalau tidak demikian, tata bahasa Indonesia tidak akan pernah berwibawa.

Pertanyaan pun berlanjut dengan contoh praktis: apakah kata jadian “memperhatikan” itu harus luluh menjadi “memerhatikan” ? Lagi-lagi saya bersikeras bahwa tidak bisa begitu karena kata dasarnya “hati”.

Salah satu teman pun dengan sigap membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (KBBI-3) dan membacakan lema tersebut per sub-entry, lalu ia berteriak lantang bahwa “memperhatikan” bisa luluh menjadi “memerhatikan” karena kata dasarnya “perhati”.

Saya terhenyak, tapi penasaran: Benarkah ada kata dasar “perhati”? Kalau benar ada, kenapa kata itu tidak “bunyi” baik dalam perasaan maupun benak saya? (Dan: saya yakin demikian pula halnya dengan Anda!).

Sesampai di rumah pada malam harinya, saya membuka KBBI-2 (cetakan kedelapan 1996). Kata dasar “hati” ada pada halaman 344 KBBI-2 senarai huruf “h” dalam dua lema: “hati” dan sublema “berhati” dan “sehati”, serta kata ulangnya “hati-hati”dengan sublema “berhati-hati” . Lho, kata jadian yang lain dari kata dasar “hati” pada ke mana?

Aneh bin ajaib, saya baru mendapatinya pada halaman 754 KBBI-2 deretan huruf “p” pada lema “perhati” yang langsung disambung koma dan kata jadian “memperhatikan” , baru diikuti sublema “perhatian” dan “pemerhati”.

Apa artinya lema “perhati, memperhatikan” dalam KBBI-2? Bagi saya, ini berarti kata dasar “perhati” itu “lema semu”, karena harus diikuti kata jadian “memperhatikan” supaya dia “bunyi” atawa bermakna. Dengan kata lain, tidak ada kata dasar “perhati”.

Kalau sudah begini, saya pun terpaksa membuka kembali Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Bagian Pertama, W.J.S. Poerwadarminta (tjetakan ke-empat, 1966). Lema “hati” ada pada halaman 338-340, dengan urutan sublema: “berhati”, “(ber)hati-hati” , “memperhatikan” , “perhatian”, dan “perhatian! perhatian!”.

Dan: pada KUBI, Bagian Kedua, sama sekali tidak ada lema “perhati”. Dengan kata lain, tidak ada kata dasar “perhati” dalam bahasa Indonesia.

Tendy/Pikiran Rakyat:

Kalau memang "perhati" bukan kata dasar (lema), mengapa pada KBBI III kata tersebut tercantum sebagai lema tersendiri? Lalu, mengapa pada KBBI IV kata itu akan dihapus?
Enggak yakin?

Zulkifli Harahap:

Kata "perhati" itu bukan lema semu tetapi kata dasar sekunder bentukan
dari kata dasar primer "hati." Itu kata GK. Per-hati-kan semua buku
tata bahasa yang ada sekalipun buku itu ditujukan utk pelajar SMA; dengan
mem-per-hati-kan-nya wawasan kita akan semakin meluas.

Apollo Lase/Kompas:

Salam guyub,

Banyak kita temui surat kabar A menulis *memperhatikan* , surat kabar B bersikukuh memakai *memerhatikan* , surat kabar C menulis *memunyai,* sementara yang lain memilih *mempunyai* sebagai bentuk yang betul. Dan banyak hal lagi. Pembaca, termasuk saya, bingung dan barangkali ada yang menyelentuk, mengapa media massa tidak bisa sepakat untuk menyeragamkan istilah-istilah itu?

Abdul Gaffar Ruskhan/Pusat Bahasa:

Ketidakseragaman itu terjadi karena cara pandang yang berbeda. Dalam KBBI memang ditemukan (bukan ditemui, seperti yang dikemukkaan teman yang "bingung" itu karena menemui objeknya insani) memerhatikan dengan meluluhkan huruf /p/. Di samping itu, ada pula yang tidak meluluhkannya.

Saya pada dasarnya tidak sependapat meluluhkan huruf /p/ walaupun saya termasuk salah seorang penyusun KBBI. Ketidaksetujuan saya itu pernah saya tulis di dalam Rubrik Ulasan Bahasa Media Indonesia. Sekarang tulisan itu dapat dilihat dalam buku saya Kompas Bahasa Indonesia (2007) terbitan Grassindo. Memang banyak yang mengkritik saya. Bahkan, mengatakan saya tidak konsisten. Walaupun begitu, saya tetap mengatakan bahwa memperhatikan berasal dari kata dasar "hati", yang diberi imbuhan per-: perhati; yang merupakan bentuk sekunder dari hati. Karena itu, huruf /p/ tidak luluh.

Memperhatikan dapat dianalogikan dengan bentuk lain: memperjuangkan, memperbaiki, mempersoalkan, mempermainkan, dsb. Di dalam Tata Bahasa Baku, "memper-" dikelompokkan ke dalam imbuhan gabung. Sebagai imbuhan gabung, huruf /p/ tidak luluh.

Agar ada keseragaman, KBBI yang sedang direvisi tidak lagi mencantumkan lema pokok "perhati". Kata itu akan menjadi sublema dari "hati". Kata "memerhatikan" tidak akan ditemukan lagi dalam KBBI Edisi IV. Yang ada adalah "memperhatikan".

Saya sebetulnya prihatin juga apabila semua imbuhan gabung "memper-" menjadi "memer-". Akan banyak kata yang menjadi "korban". Apa jadinya kata "memperjuangkan, memperbaiki, mempersoalkan, mempermainkan" menjadi memerjuangkan, memerbaiki, memersoalkan, memermainkan. Dalam hal ini tidak perlu dipaksakan generalisasi kaidah peluluhan yang berakibat bahasa kita menjadi "aneh".

Masalah "mempunyai" dan "memunyai" harus dilihat dari etimologinya. Kata dasarnya memang "punya". Namun, kata itu berasal dari "empunya". Kata "punya dan empunya" akhirnya menjadi kata yang bervariasi dan memiliki makna yang sama. Karena itu, pembentukan dengan awalan "meng-" menghasilkan bentuk mempunyai yang berasal dari "meempunyai". Dua huruf /e/ pada mempunyai menghasilkan peluluhan salah satunya. Dapat juga alasannya bahwa huruf /p/ tidak diluluhkan untuk memudahkan pelacakan asal-usul kata. Prof. Harimurti memberikan alasan seperti itu. Saya pun setuju dengan pendapat itu.

Ini soal lain. Suatu ketika Pak TDA menanyakan padanan kata incumbent. Saya jawab, padanannya adalah "pejabat kini". Ulasannya sudah dimuat di Media Indonesia. Pak TDA katakan, kan belum banyak yang tahu. Beliau usul agar semua tulisan saya yang dimuat pada Sabtu dalam "Ulasan Bahasa" Media Indonesia disebarluaskan melali milis guyub. Saya senang juga. Tapi, saya minta tanggapan teman-teman anggota, apakah akan saya miliskan atau dibaca saja dalam MI. Jika setuju, saya akan miliskan.

Terima kasih.

Riko Alfonso/Anggota milis guyubbahasa:

Wah, seru juga membaca komentar mengenai keseragaman istilah ini. Saya jadi ingin pula menyumbang pendapat mengenai hal ini. Terutama dari penjelasan Pak Gaffar dari Pusat Bahasa.

Pertama, saya sangat gembira mendapat info dari Pak Gaffar bahwa untuk KBBI Edisi IV kata "perhati" tidak lagi dijadikan lema pokok, tetapi menjadi sublema dari kata hati. Itu berarti Pusat Bahasa akhirnya mau memperbaiki kesalahan yang telah menimbulkan kebingungan di antara pengguna bahasa.

Perlu diingat, bahwa kata perhati sudah dijadikan lema pokok sejak KBBI edisi II (saya tidak tahu pada KBBI edisi I, karena di perpustakaan kami KBBI edisi I sudah gak ada lagi). Karena hingga di edisi III kata itu juga tetap tidak mengalami perubahan, kami pun menyimpulkan bahwa Pusat Bahasa mengakui bahwa kata perhati itu adalah lema dasar, bukan sublema.

Jadi kami para pengguna bahasa yang menaruh kepercayaan kepada Pusat Bahasa pun akhirnya mengikuti saja keputusan itu. Oleh karena itu, dalam penggunaannya dalam imbuhan, kata itu pun akhirnya harus kami sesuaikan dengan kaidah peluluhan dalam imbuhan: kata perhati berubah menjadi memerhatikan (p-luluh). Inilah yang menjadi alasan mengapa kami selalu meluluhkan kata perhati itu.

Alasan Pak Gafar yang menyatakan tidak setuju kata perhati itu luluh sangat masuk akal. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa kata itu sampai bisa dicantumkan sebagai lema pokok dalam KBBI edisi II dan III? Siapa yang memutuskan/merumuskannya jika Pak Gafar sendiri menyatakan tidak setuju dengan hal itu meski ia termasuk dalam tim penyusun KBBI?

Saya jadi curiga jangan-jangan ada kepentingan2 tertentu dari beberapa 'orang penting' di Pusat Bahasa yang sangat menginginkan kata perhati itu menjadi lema pokok. Ya, saya hanya berharap agar kejadian serupa ini tidak terulang lagi dalam KBBI edisi IV. Bahwa kepentingan2 lain harus dikesampingkan dulu saat para anggota tim menyusun KBBI. Buatlah KBBI yang terbaik dan tidak menimbulkan kerancuan di kalangan penggunanya.

Lalu, masalah "mempunyai dan memunyai". Saya baru tahu ternyata kita harus pula memperhatikan etimologi sebuah kata untuk menggunakannya secara tepat dalam imbuhan, terlepas kata itu sudah dianggap sebagai kata dasar. Selama ini saya hanya mengangap bahwa jika kata itu adalah kata dasar, ia akan mengalami peluluhan jika huruf awalnya /k,p,t,s/ dan mendapat imbuhan. Jadi saya menganggap kata punya itu diperlakukan sama dalam imbuhan (p-luluh), seperti halnya kata pukul, percaya, atau putus.

Saya juga heran mengapa pembentukan dengan awalan me- untuk empunya menjadi "meempunya", dan bukan "mengempunya". Saat saya lihat di KBBI edisi III, kata "empu" dan "empunya" memang ada di sana. Ketika mendapat awalan, kata empu berubah menjadi mengempu, bukan meempu.

Jika dianalogikan sama, kata empunya seharusnya menjadi mengempunya bila mendapat awalan, bukan meempunya (dengan dua huruf /e/). Dengan demikian saya menilai memang tidak ada bentuk meempunya itu. Yang ada ialah mengempunya.

Saya melihat dalam KBBI kata punya tidak 'diakui secara penuh' menjadi sebuah kata dasar. Sebab ia diperlakukan tidak sama seperti kata dasar berawalan /p/ lainnya saat bertemu dengan awalan. Hal inilah yang menjadi pangkal ketidakseragaman pemakaian kata punya ini.

Saya jelas kurang setuju dengan pernyataan Pusat Bahasa atas 'kekhususan' kata 'punya' ini. Sebaiknya tentukan dengan tegas, apakah 'punya' ialah kata dasar atau tidak. Jika ya, perlakukanlah kata 'punya' ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika tetap dianggap berasal dari kata empunya, penulisannya bukan menjadi mempunyai, melainkan "mengempunyai". Namun sampai masalah ini jelas, ya ada baiknya kawan-kawan menggunakan kata lain yang maknanya sama dengan 'punya'. Kata milik, misalnya.

Wassalam

Umbu Rey