Selasa, 15 April 2008

Seperti Apa?

Para wartawan pembuat berita biasanya akan memaparkan suatu kisah atau peristiwa berdasarkan jawaban terhadap lima pertanyaan, yakni APA, SIAPA, DI MANA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA.

Pertanyaan BAGAIMANA, menurut pengamatan saya, hampir tidak lagi atau jarang sekali diucapkan orang, dan sebagai gantinya orang sangat kerap mengajukan pertanyaan SEPERTI APA.

Hampir pada setiap kesempatan, apakah dalam suatu acara forum diskusi atau wawancara di layar televisi atau radio, pertanyaan SEPERTI APA selalu terucapkan. Kadang-kadang kedengarannya tidak logis, tetapi karena kebisaan, orang yang ditanya lancar-lancar saja menjawab.

Ketika pertanyaan BAGAIMANA dilontarkan, si penanya sebenarnya menghendaki agar orang yang ditanya dapat menggambarkan suatu peristiwa yang dialaminya atau menganalisa atau menerangkan pendapatnya mengenai suatu kejadian dan akibatnya juga.

Orang-orang cerdas pandai (intelektual) akan dengan mudah dan dengan lancar sekali menjawab pertanyaan BAGAIMANA tetapi orang awam di Indonesia, menurut pengamatan saya akan sulit sekali menjawab pertanyaan BAGAIMANA. Kebanyakan akan tampak tergagap-gagap seperti orang gagu ketika menjawab pertanyaan itu.

Orang bule (asing) yang kepadanya ditanyakan mengenai HOW atau BAGAIMANA-nya suatu peristiwa atau pendapatnya, akan tampak betapa lancar dia menjawab. Coba perhatikan wawancara wartawan dengan orang awam (Indonesia) di televisi atau radio. Kita akan jelas mendengar atau melihat betapa gagap orang yang ditanya itu.

Apa hambatannya, saya belum berani mengatakan soal intelektualitas yang rendah, tetapi kenyataannya seorang Indonesia biasanya mesti dituntun dengan memberi contoh atau gambaran lain yang serupa dengan itu. Itu mungkin sebabnya maka pertanyaan SEPERTI APA selalu diajukan untuk menggantikan BAGAIMANA.

Perhatikan penyiar radio atau televisi ketika bertanya mengenai peristiwa seperti ini:

"Pak, bisa Anda ceritakan peristiwa tenggelam kapal itu SEPERTI APA?"
"Pada waktu peristiwa itu terajdi tinggi gelombang laut SEPERTI APA?"
"Bisa diceritakan ketika kapal itu tenggelam, cuaca laut SEPERTI APA?"
"Bom ikan yang meledak itu SEPERTI APA?"
"Pak, kebakaran itu SEPERTI APA?"
"Bisa ceritakan SEPERTI APA rusaknya?"
"Kalau nilai uang rupiah turun, ekonomi kita secara umum tentu akan terganggu. Pendapat Bapak SEPERTI APA?"

Pertanyaan SEPERTI APA tampaknya diajukan agar orang yang ditanya dapat memberikan gambaran sesuatu dengan hal lain yang serupa dengan yang disaksikannya. Jikalau orang ingin mengetahui wajah si Umbu itu SEPERTI APA, maka bolehlah Anda menjawab "seperti monyet" sebab mungkin mirip dengan primata. Semua orang pastilah tahu rupa monyet, tetapi menggambarkan rupa manusia seperti monyet tentu tidak bijaksana, walaupun bentuknya mirip juga.

Lalu, pendapat Bapak SEPERTI APA? Dapatkah Anda menjawab bahwa "pendapat" Bapak itu seperti monyet juga?

Bagaimanakah Anda menggambarkan peristiwa kapal yang tenggelam di Laut Jawa itu SEPERTI APA. Mungkinkah kita menjelaskannya "seperti tengggelamnya kapal Van Der Wijck". Siapa yang bisa menerangkan peristiwa yang hanya ada dalam khayalan HAMKA itu.

Mungkinkah seperti tenggelamnya kapal Tampomas II? Mungkinkah juga seperti kapal Titanic yang tenggelam tahun 1912? Akh, tidak mungkin seperti itu, sebab peristiwa dan penyebab tenggelamnya dua kapal itu pun berbeda. Tampo Mas II tenggelam karena kelebihan muatan dan terbakar di perairan Masalembo, dan Titanic tenggelam karena menabrak gunung es. Jelas, kapal yang tenggelam di Laut Jawa itu pastilah bukan seperti itu.

Suatu peristiwa yang sesungguhnya, hanya mungkin dijawab dengan pertanyaan BAGAIMANA, sebab orang yang ditanya dan menjadi korban itu harus menjelaskan kejadian itu menurut apa yang dialaminya, apa yang dilihatnya dan apa yang dirasakannya. Si korban tidak mungkin diarahkan untuk menjawab kejadian itu "seperti tenggelamnya Titanic". Lha, waktu itu nenek moyangnya si korban saja belum lahir. Jadi bagaimana mungkin dia bisa mengalami hal yang sama dengan tenggelamnya kapal Titanic?

Lalu, SEPERTI APA tinggi gelombang laut? Apa mungkin seperti tiang listrik atau pohon kelapa? Dan lagi, SEPERTI APA cuaca di laut, dan SEPERTI APA kapal itu ketika gelombang mengamuk? Mana mungkin Anda menjawab, "Seperti bahtera nabi Nuh!" Itu dongeng yang dikarang oleh Nabi Musa dalam kitab Taurat.

Umbu Rey

Senin, 14 April 2008

Kandang Raya Ragunan

Saya tidak tahu sejarahnya, mengapa Ragunan itu disebut KEBUN BINATANG. Letaknya di sebelah selatan kota Jakarta Raya. Dahulu kebun binatang itu berada di tengah-tengah kota Jakarta, tetapi sekarang bekas kebun binatang itu sudah berubah menjadi Taman Ismail Marzuki yang biasa disingkat dengan TIM.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan pengetahuan orang awam pada umumnya, KEBUN itu adalah sebidang tanah yang ditanami dengan pohon misalnya kopi, mangga, jeruk, manggis, singkong, dan lain-lain. Karena itu KEBUN pastilah bukan sebidang tanah untuk menanam binatang atau hewan sebab satwa itu tidak bisa ditanam dan tidak dapat berbuah.

Karena itu pula kita tidak lazim mengatakan "petani binatang atau petani hewan". Yang biasa kita sebut adalah "petani cengkih, petani kopi, dan petani lada" dan sebagainya. Petani bekerja di kebun atau ladang atau sawah. Petani tidak pernah bekerja di dalam kandang hewan.

Entah mengapa pula, dewasa ini orang mulai latah berkata "petani ikan". Padahal kalau kita mau sedikit bernalar, seharusnya kita berkata "petambak ikan" lantaran ikan itu dipelihara di dalam tambak. Manalah mungkin ikan gurame atau mujair itu "ditanam" di dalam tambak. Ikan yang di laut lepas itu siapa pula yang tanam? Nelayan itu kerjanya menebar jala. Tidak pernah dia menanam ikan.

Meskipun begitu, kata "tanam" juga memiliki arti lain dalam bidang ekonomi dan keuangan, sehingga kita mengenal istilah "menanam modal". Tetapi menurut pengamatan saya, kata "menanam modal" itu sudah jarang sekali digunakan orang, atau boleh dibilang hampir hilang dari dunia kosa kata bahasa Indonesia.

Saya menduga, mungkin sekali karena orang merasa kurang enak menggunakan kata "tanam" untuk modal maka digunakanlah kata yang diserap dari bahasa Inggris "investasi" (bukan investmen?). Kedengarannya lebih keren dan terasa lebih tinggi derajatnya dan lebih berwibawa. Sebab kalau pakai kata "tanam modal" seakan-akan orang bisnismen dan pengusaha kaya raya disamakan saja dengan petani miskin di kampung dan di udik yang bergelut dengan lumpur.

KEBUN itu mau diganti dengan TAMAN sama juga artinya, yakni sebidang tanah yang digunakan untuk menanam bunga. Jikalau kita menggunakan kata TAMAN MARGASATWA agaknya kurang pas juga rasanya, sebab margasatwa itu binatang liar dan bukan bunga. Karena itu, KEBUN BINATANG tidak pernah disebut TAMAN BINATANG.

Yang rada-rada aneh, TAMAN itu ukurannya hampir sama dengan KEBUN, sehingga walaupun disebut mini atau kecil, luasnya sama seperti onderneming. Dewasa ini TAMAN itu bukan lagi sebidang tanah di depan rumah untuk ditanami dengan bunga. Di dalama taman itu sekarang ini tegak berdiri gedung-gedung tinggi dan rumah-rumah mewah, bahkan ada danau dan pulau-pulau. Contohnya Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Taman yang dibangun atas prakarsa Ibu Tien Soeharto di Jakarta Timur itu, meskipun disebut mini atau kecil, luasnya hampir sama dengan satu kecamatan.

Coba kalau TMII itu saya sebut Kebun Mini Indonesia Indah (KMII), tentu saja Anda sekalian pada binggung semua sebab di dalamnya tidak ada kandang jerapah, gajah, atau kandang harimau atau komodo, apalagi kandang singa. Di situ juga tidak ada pohon kopi atau lada, dan cengkih, apalagi pohon jambu monyet.

Taman Ismail Marzuki atau TIM itu sekarang menjadi tempat orang bermain tonil atau sandiwara. Di situ ada juga gedung teropong bintang yang disebut planetarium. Mana ada pohon bunga mawar atau bunga bakung di situ.

Di Bogor terdapat kebun yang di dalamnya ada pohon-pohon besar dan kecil dari segala jenis yang dipelihara dengan baik sejak zaman Belanda. Karena luasnya, maka kebun itu disebut KEBUN RAYA BOGOR. Itu istilah pas benar menurut nalar.

Demikian juga di Ragunan terdapat binatang atau hewan liar dan berbisa berbagai jenis dari segala penjuru dunia. Bintang-binatang itu ditempatkan di dalam kandang menurut jenisnya masing-masing. Karena luasnya wilayah dan besarnya kandang-kandang yang terdapat di dalamnya, maka seharusnya kita sebut KANDANG RAYA RAGUNAN.

Umbu Rey

Kamis, 10 April 2008

Pemenang itu ada berapa?

Menurut bahasa luar negeri, MENANG itu jumlahnya hanya satu. Karena itu kata PEMENANG itu juga berjumlah hanya satu, tidak pernah ada dua. Dalam bahasa Inggris orang atau pihak yang menang itu biasanya disebut The WINNER, demikian juga orang atau pihak yang kalah itu disebut The LOSER.

MENANG itu bisa lebih dari satu kali, demikian juga KALAH itu bisa lebih dari satu kali, tetapi PEMENANG selalu satu jumlahnya. Begitulah adatnya pertandingan internasional. Karena itu, dalam bahasa Inggris tidak ada istilah "the second winner atau third winner". Tim yang berada di tempat kedua itu disebut "runner-up", tetapi bukan pemenang.

Dalam bahasa Indonesia WINNER itu kita sebut PEMENANG tetapi apa itu LOSER tidak ada padanannya. Entah kenapa begitu, mungkin sekali karena sifat orang Indonesia ini pada umumnya memang munafik. Maunya MENANG saja dan tidak pernah mau KALAH.

Saya sebenarnya ingin pula menghormati orang yang kalah, dan untuk itu kata The LOSER itu saya padankan dalam bahasa Indonesia dengan PEKALAH. Tetapi karena tidak pernah digunakan apalagi disosialisasikan, maka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun tak pernah mencatatnya.

Itu sebabnya kata PEMENANG jumlahnya banyak sekali seperti "balonku ada lima, rupa-rupa warnanya". Maka, orang yang jadi PEMENANG dalam bahasa Indonesia itu bisa dua bisa tiga, dan bisa empat sampai enam orang jumlahnya, tergantung pada maunya panitia atau penyelenggara.

Dalam suatu pertandingan, perlombaan, festival, atau uji keterampilan menyanyi untuk memilih bintang radio dan televisi, akan muncul lebih dari satu pemenang. Begitu juga ada lebih dari satu juara, tetapi tidak pernah dihitung berapa jumlah orang yang kalah. Jadi, kasihan benar orang yang menderita kalah itu.

Coba kalau istilah PEKALAH yang saya sebutkan di atas berterima, mungkin sekali di samping ada Pemenang I, Pemenang II, dan Pemenang III akan ada pula Pekalah I dan Pekalah II, dan Pekalah III. Wartawan peliput olahraga sering menyebut PECUNDANG, tetapi kata itu tidak sama dengan PEKALAH karena PECUNDANG artinya orang yang menipu atau menghasut.

KBBI menyebut KECUNDANG artinya yang dikalahkan tanpa diduga. Mungkin mau disamakan bunyinya dengan kata KESANDUNG atau KESENGGOL. Tetapi KECUNDANG itu tidak pernah digunakan sebagai padanan The LOSER.

Anehnya, PECUNDANG itu ada dalam KBBI dan diberi arti sama dengan KECUNDANG (yaitu yang dikalahkan), tetapi dalam istilah olahraga, PECUNDANG diberi pengertian sebagai tim penghambat, atau yang mungkin mengalahkan tim yang diunggulkan menjadi pemenang.

Kata dasar CUNDANG turun kata MENCUNDANG dan diberi arti mengeluarkan perkataan yg pedas-pedas yg dapat menyakiti hati orang yg mendengarnya; menghasut. Tetapi tidak ada kata PENCUNDANG. Jadi, setelah menyimak KBBI maka bingungnya saya justru makin banyak jumlahnya.

Waktu PSSI minggu lalu dikalahkan oleh Arab Saudi dengan skor 1-2, jutaan pendukungnya, termasuk Presiden SBY, ngomel-ngomel dan marah-marah. Mereka protes menyalahkan pelatih dari UEA yang tidak becus memimpin pertandingan. Wasit itu malah dituduh telah berbuat curang dan berat sebelah (tidak adil) karena telah mengeluarkan kartu kuning terlalu banyak kepada tuan rumah (PSSI).

Pada hari Rabu 25 Juli 2007 PSSI dikalahkan lagi oleh Korea Selatan dengan skor 0-1. Jutaan pendukungnya, termasuk Presiden SBY dan Wapres JK, terpaksa manggut-manggut tetapi memuji dirinya sendiri bermain bagus. Tidak ada istilah PEKALAH.

Lantas, mengapa ketika kalah dari Arab Saudi tim PSSI protes? Karena dalam pertandingan sepakbola internasional PEMENANG itu cuma ada satu, padahal kebiasaan di Indonesia PEMENANG itu bisa dua atau tiga.

Coba kalau Konfederasi Sepakbola Asia (AFC) bilang, "Oh, Indonesia tidak kalah. PSSI bermain bagus, dan karena itu jadi PEMENANG kedua." Pendukung Indonesia saya yakin akan diam dan berbahagia, sebab walaupun kalah tetap disebut PEMENANG kedua. Memang tidak masuk akal, tetapi itulah Indonesia. Maklumlah!

Umbu Rey

Selasa, 08 April 2008

Para pelanggan yang terhormat

Bagi saya, naik kapal terbang zaman dulu sama saja dengan sekarang. Yang beda, cara pramugari menyapa penumpangnya. Dulu, sebelum kapal terbang itu lepas landas, pramugarinya selalu minta perhatian dan berkata, "Para PENUMPANG yang terhormat, sesuai dengan perarturan, kami harus memeragakan. ...dst".

Sekarang ini sudah lain. Waktu pesawat mau terbang, pramugarinya pasti bilang, "Para PELANGGAN yang terhormat,.. .dst." Saya pikir, pramugari tampaknya tidak mau kalah bersaing dengan sopir angkot dan bus-kota di Jakarta dalam menggunakan istilah.

Sopir dan kernet sekarang tidak mau lagi menggunakan kata PENUMPANG lantaran ada kesan bahwa yang "numpang" itu biasanya tidak membayar ongkos. Itu sebabnya setiap kali mereka melihat ada orang yang berdiri di jalan, si kernet lantas berteriak, "Stop, tunggu, tunggu...ada SEWA mau naik!" Yang dimaksudkan dengan SEWA tentu saja adalah PENUMPANG itu.

Lalu, mengapa disebut SEWA? Kalau para sopir menghendaki agar semua orang yang naik angkot atau bus itu harus membayar ongkos, mengapa para penumpang itu tidak mereka sebut ONGKOS? Mestinya si kernet bilang "Hei, Pir, tunggu. Ada ONGKOS mau naik!" Tetapi, itulah bibirnya sopir dan kernet angkot. Kadang-kadang dia mengucapkan sesuatu tanpa perintah otak. Asal "nyebut" doang.

Tetapi, kalau sekarang ini para pramugari mengganti istilah PENUMPANG dengan PELANGGAN, maka tersirat perngertian bahwa kernet dan pramugari itu tak ada bedanya dalam hal pernalaran. PENUMPANG adalah orang yang (pada umumnya) naik kapal, angkot, bus, atau kereta api, sedangkan PELANGGAN adalah orang membeli barang atau menggunakan jasa secara tetap.

Mengapa pramugari kapal terbang itu menyebut penumpangnya para PELANGGAN? Padahal, sepengetahuan saya, orang yang berada di dalamnya belum tentu (dan tidak selamanya) penumpang tetap. Kalau pulang kampung, kadang-kadang saya menggunakan jasa Lion Air, dan kadang-kadang Batavia Air, Sriwijaya Air dan atau Merpati. Sering juga saya menggunakan jasa kapal laut kalau sedang "bokek" kagak punya doku.

Ketika saya pulang kampung bulan yang lalu, sungguh saya merasa dilecehkan oleh pramugari kapal terbang Merpati dan Srwijaya Air. Soalnya, mereka menyapa para penumpang asing dengan bahasa Inggris yang sopan, "Ladies and Gentlemen,.. ."Tetapi dalam bahasa Indonesia mereka sapa penumpang dengan menyebut 'Para PELANGGAN yang terhormat". Mengapa mereka tidak menyebut penumpang Indonesia dengan sapaan "Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang terhormat". Atau, "Tuan dan Puan-puan yang terhormat!"

Para pramugari itu memang kurangajar semua!

Umbu Rey

Amir vs Mair

"Amir" dibolak balik jadi "mair" sepengetahuan saya sama saja artinya, yakni pemimpin sebuah negeri atau pemimpin rombongan. Zaman saiki "amir" digunakan setahun sekali ketika musim haji tiba. Kita menyebut "amirulhaj" yakni pemimpin jemaah haji.

Ini kata bukan bahasa Indonesia, dia diserap dari Tanah Arab entah sejak kapan. Kebanyakan orang lebih mengenal "amir" sebagai nama diri. Kata yang hampir sama dengan itu adalah "umar" yang juga dipakai sebagai nama orang. Sekarang ini UMAR adalah akronim dari "Untung Masih Ada Rambut".

Umar itu kalau mau diberi arti "pemimpin pemerintahan" harus lebih dulu ditambah huruf "a" di belakangnya supaya menjadi "umara". Tetapi kata itu pun tak pernah digunakan orang dalam tulisan apalagi dalam bahasa percakapan sehari-hari.

Kata "mair" entah ke mana rimbanya tak pernah lagi terdengar, dan barangkali sudah mati. Mungkin itu sebabnya KBBI memberi arti "maut" atau "kamatian". Kamus tesaurus bikinan Eko Endarmoko juga ikut-ikutan memberikan makna yang sama pada kata "mair". Itu yang membuat saya agak heran.

"Mair" diberi arti maut mungkin juga singkatan dari "mairat" yang juga berarti pergi, hilang, atau mati. Tetapi maaf, saya tidak mengerti sepotong pun bahasa Arab jadi mungkin sekali saya yang "go-block".

Dalam buku kumpulan Puisi Baru bikinan STA (Sutan Takdir Alisyahbana) ada sebuah puisi yang saya hapal sejak SMP di kampung, yakni pantun yang dikarang oleh Roetam Effendi:

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak negeri
Mesti menurut undangan MAIR

Kata MAIR itu mungkin sengaja dibalik oleh sastrawan Roestam Effendi dari kata AMIR supaya bersajak dengan kata SYAIR lantaran sebuah pantun biasanya mesti bersajak. Ada sajak aliterasi (sajak awal), ada sajak tengah, dan ada pula sajak akhir. "Sajak" adalah persamaan bunyi sedangkan "sanjak" adalah karangan pendek seperti pantun atau gurindam.

Karena alasan supaya bersajak itulah, menurut hemat saya, MAIR itu lebih masuk akal bermakna "pemimpin" daripada "maut" atau "kematian". Cobalah simak bait terakhir pantun di atas. Bukan beta budak negeri, mesti menurut undangan MAIR.

Bukankah yang wajib mengikuti perintah atasan (amir) itu selalu adalah budak negeri? Kalau MAIR itu diberi arti maut atau kematian, maka yang wajib menurut undangan MAIR itu tentu bukan hanya budak negeri. Pemimpin negeri (amir) dan "umara" pun mesti taat pada undangan maut sebab semua orang harus mati.

Selanjutnya:

Sarat saraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu

Sering saya sesat sesaat
Sebab madahan tidak nak datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurang lukisan mamang

Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah rangkaian pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun

Umbu Rey

Ngetem

Saya tidak tahu persis apakah kata NGETEM itu termasuk bahasa gaul atau prokem. Yang saya tahu, NGETEM itu belum muncul sebelum tahun 1980. Ini kata saban hari diucapkan arang di pinggir jalan atau di terminal bus tetapi KBBI belum mau mencatat. Mungkin dikira bukan bahasa Indonesia.

Entah ini gejala apa, semua kata hampir pasti dapat diberi "awalan" NGE" dalam bahasa Indonesia dialek Betawi atau Jakarta. Maka terdengarlah orang menyebut "ngelantur, ngedumel, ngelaba, ngelawan, ngebalas, ngerecoki, dan mungkin ngeres lalu ngejosss".

Anehnya, "awalan" NGE ini pun dapat mengikat kata Indonesia yang dipungut dari bahasa asing (terutama Inggris). Contoh: ngebos, ngefans, ngefren, lalu ada ngebesuk (dari bhs Belanda atau Jerman), dan sebuah stasiun teve menyebut dirinya NGETOP.

Sebermula, ketika terminal bus Lapangan Banteng masih menjadi pusat pengangkutan penumpang antar-kota antar-provinsi, lalu-lintas di Ibu Kota Jakarta sudah sangat semrawut dan menimbulkan macet di mana-mana.

Pada awal tahun 1980-an Departemen Perhubungan dipimpin oleh seorang menteri dari Angkatan Udara. Marsekal Rusmin Nurjadin namanya . Yang mengurus masalah lalu-lintas di darat (jalan raya dan jalan besi (rel) adalah pejabat di bawahnya, Dirjen Ir. Giri Suseno. Ibu kota negara DKI Jakarta waktu itu dipimpin oleh Suprapto yang menggantikan Tjokoropranolo.

Atas kebijakan pejabat negara ini, maka terminal Banteng ditutup dan pengangkutan penumpang ke daerah dan yang masuk Jakarta dipindahkan ke Pulo Gadung, Cililitan, dan Lebak Bulus. Lama-lama terminal Pulo Gadung pun menjadi sangat padat dan nyaris tidak dapat menampung bus yang masuk dari luar kota.

Dirjen Giri Suseno lalu mengeluarkan kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh DLLAJR agar arus masuk keluar terminal semua bus penumpang antar-kota ditertibkan. Setiap bus boleh masuk dan menunggu penumpang di dalam terminal tetapi tidak boleh lebih dari waktu yang telah ditentukan.

Maka setiap sopir bus wajib memiliki kartu jadwal parkir dalam terminal, dan setiap kali masuk terminal mereka harus menyerahkan kartu itu kepada petugas DLLAJR agar memudahkan pengaturan jam tunggu penumpang.

Celakanya, kolom masuk dan keluar terminal dalam kartu itu ditulis dengan istilah Inggris TIME. Dasar sopir yang "medok" Jawa dan Betawi kagak bisa omong Inggris "taim", maka sama seperti Tukul Arwana bicara Inggris di Empat Mata, meluncurlah dari mulut mereka kata TEM (seperti menyebut "rem", "bel" atau "lem").

Suatu ketika seorang sopir bus diusir dari terminal oleh anggota DLLAJR karena terlalu lama menunggu dalam terminal. Sang sopir lalu protes, tetapi petugas membentak, "Nah, kau ngetem kelamaan. Cepat kau keluar!" Sopirnya ngeri dan tergesa-gesa mengeluarkan busnya ke luar terminal. Maklum, petugasnya Batak pula.

Sejak itu, NGETEM menyebar ke seluruh Jakarta. Sopir bus menghentikan kendaraannya di tikungan pun disebut NGETEM untuk menunggu "sewa". Hei, jangan heran, di kalangan sopir, "sewa" itu sama artinya dengan PENUMPANG. Itu bahasa sopir-sopir bus. Saya cuma cerita asalnya, dan mungkin cuma asal-asalan sekadar NGECAP dalam milis ini. Ngecap itu bukan dari kata dasar CAP tetapi KECAP. Soalnya iklan kecap itu selalu unggul dan nomor satu. Yang lain, lewat semua. Maka orang yang suka "ngecap" biasa juga disebut NGEBO'ONG.

Percaya atau tidak, saya tidak ngebo'ong. Sungguh!

Umbu Rey

Kemari dan di mari

Saudara sekalian pastilah mengerti kalau saya berkata, "Mari". Itu kata seru yang menyatakan ajakan, ayo. Begitu kata kamus KBBI edisi ketiga. Selain itu ada pula dalam bahasa Indonesia kata "kemari".

Ini sebuah kata, yang bukan terdiri atas "ke" dan "mari". Maknanya pun sama, yaitu sebagai penunjuk tempat yang serupa dengan "ke sini". Yang beda, "kemari" satu kata dan "ke sini" dua kata.

Jikalau merujuk pada dialek Jakarta, kata "kemari" mestinya ditulis dengan dua kata, "ke" dan "mari". Kata itu menunjukkan keterangan tempat atau ajakan yang berarti "datanglah ke sini". Mungkin ini cuma sebuah dialek, dan karena itu KBBI tidak atau lupa mencatat.

Padahal kata-kata dari dialek Jakarta seperti "memble" dan "kece" pun sudah tercatat. Demikian juga kata-kata yang diucapkan oleh warga Glodok Jakarta Kota sudah masuk dalam KBBI, misalnya "ceban" yang artinya sepuluh ribu.

Saya usul, "kemari" itu mesti ditulis secara terpisah pula (jangan diserangkaikan). Jadi, mestinya kita menulis "ke mari". Soalnya, dalam percakapan sehari-hari, yang juga sudah sangat kerap diucapkan dalam percakapan di tayangan sinetron, orang Betawi selalu berkata dengan suara lantang, "Gue cari lu ke mane-mane, eh...ternyata elu ada di mari!"

Kata "di mari" itu tentu saja berarati "ada di sini". Karena itu "kemari" pun harus pula dipisahkan penulisannya.

Ada kata: di sana--> di sini; ke sana --> ke sini. Mestinya ada ke sana --> ke mari, dan ada di sini --> ada pula di mari.

Umbu Rey

Senin, 07 April 2008

Masing-masing vs Tiap-tiap

Saban hari kita mendengar dan saban hari pun kita membaca perkataan ini: MASING-MASING ORANG, masing-masing pihak, dan seterusnya. Pernahkah Anda mendengar orang berkata: TIAP-TIAP ORANG? Jarang sekali, dan saya kira nyaris tak terdengar dan tak pula terbaca perkataan itu di lembaran surat kabar.

Yang saya persoalkan, manakah yang benar, MASING-MASING ORANG atau TIAP-TIAP ORANG? Pastilah orang Indonesia lebih enteng mengucapkan kata MASING-MASING itulah yang benar karena begitulah kelaziman dia mengucapkannya.

Kata TIAP-TIAP atau SETIAP, saya khawatir tidak lagi tercatat dalam kamus besar edisi keempat nanti. Kelaziman pada umumnya membenarkan "salah kaprah" lantaran nalar tidak dapat bekerja sama dengan bibir dan akal pun tak sanggup mengendalikan tangan dan jari supaya menulis sesuai dengan perintah otak. Akhirnya, ya hantam kromo, yang penting orang ngertilah! Maka, MASING-MASING ORANG kita ucapkan saja saban hari tanpa sadar bahwa itu tidak tepat atau salah.

Guru saya di kampung berkata bahwa MASING-MASING itu berbeda kelasnya dari kata TIAP-TIAP dan karena itu berbeda pula penggunaannya dalam sebuah konteks. Perbedaan paling mencolok dari kedua kata adalah: TIAP-TIAP HARI itu dapat berubah menjadi SETIAP HARI, dan MASING-MASING ORANG itu tidak pernah dapat berubah menjadi SEMASING ORANG.

Maka berfirmanlah Orang Pusat Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atawa KBBI Edisi Ketiga. Demikian katanya: sesungguhnya kata MASING-MASING itu adalah pronomina, yaitu kata ganti orang atau benda (halaman 719) sedangkan TIAP-TIAP itu adalah adjektiva yakni kata yang menerangkan nomina atau kata benda (halaman 1189).

Jikalau sudah jelas bahwa kedua kata itu berlainan jenis dan kelasnya, maka seharusnya penggunaannya pun berbeda. Muhamnmad Ali itu tidak bisa disamakan saja dengan Antonio Inoki lantaran yang satu "petinju" dan yang lain adalah "pegulat". Ketika kedua orang kuat itu dipertandingkan di atas satu ring (30 tahun silam), maka ramailah orang berkata," Akh, ini namanya pertandingan sontoloyo."

Demikian juga, menurut hemat saya, MASING-MASING itu tidak boleh dipertukarkan saja dengan TIAP-TIAP sebab akan tercipta kalimat sontoloyo. Contoh kalimat di bawah ini mungkin akan memberi kejelasan:

Pak Guru membagikan sepuluh butir kelereng kepada lima murid:

1. Masing-masing mendapat dua butir (berterima)
2. Masing-masing murid mendapat dua butir (tidak berterima)
3. Semasing murid mendapat dua butir (tidak berterima)
4. Tiap-tiap murid mendapat dua butir (berterima)
5. Setiap murid mendapat dua butir (berterima)

Kalimat (2) tidak tepat karena kata "masing-masing" (pronomina) telah menggantikan kata murid. Masing-masing adalah murid-murid itulah. Demikian pula kalimat (3) tidak nalar karena memang tidak lazim dan tidak pernah kita gunakan seperti itu.

Sekadar informasi tambahan, maaf hanya untuk yang memang belum tahu.

1. "Masing-masing" tidak perlu/bahkan jangan diikuti kata benda, "tiap-tiap" harus diikuti kata benda.
2. "Masing-masing" dapat berdiri sendiri di dalam kalimat sehingga posisinya bisa bebas di awal atau di akhir.

Sebaliknya, "tiap-tiap" tidak bisa. Bandingkan dua kalimat berikut.

a. Masing-masing memberi sebuah hadiah. (berterima)
b. Tiap-tiap/setiap memberi sebuah hadiah. (tidak berterima)

Tiap-tiap/setiap orang memberi sebuah hadiah. (berterima)
c. Kesalahan itu menjadi tanggung jawab masing-masing. (berterima)
d. Kesalahan itu menjadi tanggung jawab tiap-tiap/setiap. (tidak berterima)
Kesalahan itu menjadi tanggung jawab tiap-tiap/setiap peserta.(berterima)

Umbu Rey

Mantan Jenderal

Semalam saya menonton tayangan Republik Mimpi di Metro TV. Ada dua orang dihadirkan dalam acara itu dan mereka disebut MANTAN JENDERAL. Benarkah ada MANTAN JENDERAL? Saya tidak tahu dari mana asal kata MANTAN. Dari bahasa Jawa (?) Akh, itu tidak penting.

MANTAN, seingat saya, baru populer pada pertengahan tahun 1980-an. Waktu itu orang ramai mengartikan MANTAN itu sama persis dengan BEKAS yang penggunaannya dalam kalimat bisa dipertukarkan. Maka itu ada yang berseloroh dan menyebut kota BEKASI di pinggir kota Jakarta itu adalah kota MANTANI.

Orang lupa bahwa kata BEKAS itu mempunyai beberapa arti. Jikalau kita mengatakan BEKAS LUKA di badan, itu berarti tanda yang tertinggal akibat luka yang sudah sembuh. BEKAS juga berarti sesuatu (barang) yang tidak dipakai lagi. Maka itu kita lazim menyebut BARANG BEKAS. Demikian bekas-bekas goresan di wajah orang tua itu adalah KESAN atau gambaran perjuangan.

Yang termasuk barang bekas itu adalah semua peralatan yang sudah usang atau rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Termasuk juga dalam kategori ini adalah semua orang yang tidak lagi digunakan jasanya atau tidak lagi menekuni pekerjaannya (karena beralih prfesi). Karena itu baco (kuli pelabuhan) yang sekarang telah menjadi petani atau sudah berkerja sebagai pegawai kantor kita sebut BEKAS BACO. Demikian juga seorang perempuan yang telah diceraikan suaminya kita sebut BEKAS ISTRI karena, hehehe, bekas dipakai juga kan?

MANTAN itu bukan barang bekas, sebab lebih berarti (orang) yang tidak lagi menjabat atau sudah meletakkan jabatannya dalam sebuah instansi, dinas, dan negara atau organisasi. Termasuk dalam hal ini adalah Ketua RT sampai Presiden.

Si Bejo dan si Polan penjual kain batik itu bisa disebut MANTAN LURAH atau MANTAN KETUA RT jikalau dahulu mereka pernah memegang jabatan itu. Mereka itu bukan bekas lurah atau bekas ketua RT.

Jenderal itu barang atau peralatankah, atau pekerjaan atau profesikah, atau jabatankah? Saya pikir bukan. Jenderal itu sama seperti gelar atau pangkat yang dicapai seseorang ketika dia berhasil menekuni pekerjaan dalama profesinya. Jenderal itu adalah predikat pangkat yang disandang karena kedudukan atau derajat seseorang yang dibawa sampai mati, tidak bisa diserahkan kepada orang lain. Bahkan dalam bidang militer, seorang tentara yang telah meninggal dunia pun masih diberi pangkat jenderal (anumerta), kecuali jika pangkat itu diicopot karena yang terlibat dalam tindak pidana berat.

Seorang bergelar akademik dari universitas atau perguruan tinggi juga berhak mendapat gelar "doktorandus" atau "sarjana hukum" atau "insinyur" di bidangnya masing-masing. Gelar itu tidak pernah akan lepas dari namanya sampai dia masuk ke liang lahad. Itu sebabnya tidak ada pula mantan insinyur.

Karena itu saya dapat mengatakan sebutan MANTAN JENDERAL dalam tayangan Repblik Mimpi atau NewsdotCom di Metro TV itu adalah keliru. Pak Wiranto itu adalah mantan panglima ABRI tetapi bukan mantan jenderal. Dalam bahasa Inggris, seorang tentara berpangkat jenderal yang tidak lagi bertugas disebut "Retired General".

Dia tidak lagi bertugas tetapi tetap jenderal. Dalam bahasa Inggris ada istilah "former president" tetapi tidak ada "former general".

Umbu Rey

Perombakan Kabinet

Pada Senin tanggal 7 Mei 2007 koran-koran Ibu Kota ramai memberitakan soal "reshuffle". Salah satu di antaranya menulis judul besar-besar di halaman muka: PRESIDEN MENGUMUMKAN PEROMBAKAN KABINET."

"Reshuffle" itu bahasa Inggris. Kata itu terdiri atas "shuffle" yang berarti "mengocok" dan kata "re" yang pada umumnya dipakai sebagai awalan dengan arti kembali atau ulang. Kata bentukan yang sama dengan itu adalah "rewrite" (tulis ulang), "resign" (mengundurkan diri), dan "renewable" (daur ulang).

Jadi, "reshuffle" itu artinya kocok ulang. Kata "reshuffle" biasanya digunakan dalam permainan kartu. Itu mungkin sebabnya kata Inggris itu tidak cocok diterjemahkan menjadi "kocok ulang" dalam istilah politik di Indonesia. Dalam permainan remi atau domino (gaple) proses kocok ulang tidak akan mengakibatkan kartu itu terbuang. Semua kartu akan terpakai kembali tetapi susunannya akan teracak-acak.

Terjemahan "reshuffle" yang paling atau mendekati ketepatan yakni PEROMBAKAN kabinet. Dalam proses perombakan, maka ada kemungkinan satu atau dua pejabat menteri yang akan digusur atau mungkin jabatan itu akan dihilangkan.Tetapi politisi dan politikus di Senayan tampaknya lebih senang menggunakan istilah Inggris itu apa adanya, dan mengucapkannya menurut kebiasaan bibir orang bule.

Wartawan Kantor Berita Antara malah sering bikin bingung ketika dengan sengaja menyerap kata itu menjadi RESAFEL. Untung istilah serapan itu ternyata tidak terjual karena sebelum sampai ke tangan para pembaca, sudah diubah lebih dulu menjadi PEROMBAKAN di meja sunting.

PEROMBAKAN dalam bahasa Indonesia adalah proses, cara atau perbuatan merombak (lihat KBBI edisi ketiga). Perombakan kabinet sebenarnya telah dilakukan oleh Presiden SBY di rumah kediamannya di Cikeas Bogor beberapa hari sebelumnya. Hasil perombakan itu baru diumumkan pada khlayak ramai (disiarkan secara langsung oleh televisi) di Istana Presiden.

Karena itu, koran-koran Ibu Kota seharusnya menulis judul berita sebagai berikut:

1. PRESIDEN SBY MENGUMUMKAN KABINET BARU
2. PRESIDEN SBY MENGUMUMKAN SUSUNAN KABINET BARU
3. PRESIDEN SBY MENGUMUMKAN SUSUNAN KABINET ROMBAKAN

Jadi, Presiden SBY di Istana Presiden sebenarnya bukan MENGUMUMKAN PEROMBAKAN KABINET. Dengan perkataan lain, Presiden SBY tidak mengumumkan "reshuffle" kabinet.

Saya mungkin keliru.

Umbu Rey

Madu

Yang saya tahu, madu itu adalah cairan manis yang keluar dari sarang lebah atau dari bunga yang sedang mekar. Madu itu berkhasiat bagi kesehatan tubuh manusia lantaran bisa bikin segar badan kalau diminum dengan telur ayam kampung.

Dalam masyarakat suku Jawa, madu dicampur dengan ramuan lain seperti susu, dan jahe atau halia dan diminum sebagai obat penangkal penyakit masuk angin. Maka itu disebut jamu STMJ (Susu Telur Madu Jahe).

Madu sering dikait-kaitkan dengan perkawinan kedua seorang lelaki dan jadilah istri keduanya itu disebut MADU. Janda muda tanpa ikatan pada umumnya adalah gambaran kecantikan manis rupa yang menggoda libido, dan karena itu sering bikin lelaki pusing kepala. Mungkin itu sebabnya jamu STMJ itu lalu diselewengkan menjadi "Susah Tidur Memikirkan Janda".

Banyak lelaki melirik janda, lalu mencari jalan untuk sekadar "pedekate". Itu istilah anak muda untuk melakukan pendekatan. Kalau nasib mujur, maka ibarat kumbang mengisap madu, maka janda itu boleh menjadi istrinya. Itu mungkin sebabnya perempuan itu disebut MADU. Istri atau bini yang kedua, ketiga dan keempat itu biasanya lebih MUDA daripada yang pertama maka disebutlah istri yang muda itu MADU.

Contoh kasus (maaf), adalah dai kondang yang kini mulai redup popularitasnya, Aa Gym, yang menjadikan Teh Rini sebagai madunya. MADU tidak selamanya perempuan janda. Perempuan lajang juga bisa dibikin jadi madu, tetapi manisnya itu sering membuat rumah tangga orang pecah berantakan.

Kisah kasus rumah tangga Bambang Tri Suharto (anak mantan Presiden Soeharto) yang konon dalam proses bercerai dengan istri pertamanya Halimah adalah contoh lain dari akibat godaan manisnya MADU.

Bambang diam-diam telah mengisap madunya Mayangsari dari kalangan artis yang bahenol tanpa minta permisi dari istri pertama. Kalau orang berduit semisal tokoh terkenal mencari madu maka persoalannya selesai di meja hijau. Habis bayar harto gono-gini, lalu sumpah setia dan janji di depan penghulu dan saksi. Madu sudah boleh dinikmati.

Yang jadi persoalan, kalau lelaki tak berduit ingin mengisap madu. Dia hanya BBM alias baru bisa mimpi. Celakanya, untuk mewujudkan impiannya, dia sering keluar beli "eceran". Maka jamu STMJ itu disebut lagi dengan istilah Sembayang Tekun Maksiat Jalan.

Kata MADU dalam kasus kawin-mawin bukan saja perempuan yang diibaratkan dengan cairan manis yang keluar dari sarang lebah atau bunga. Kuat dugaan saya bahwa MADU itu berasal dari kata PADU. Kita sering berkata bahwa sepasang remaja yang berpacaran adalah insan yang sedang "memadu cinta". Artinya cinta kedua remaja (lelaki dan perempuan) itu hendak "dipadu" atau disatukan supaya mereka dapat berumah tangga dan bersanggama.

Istri sah dari seorang lelaki sering berteriak dan protes kepada suaminya, "Saya tidak mau dimadu!" Sebenarnya yang dimaksudkannya adalah, dia tidak mau di-PADU-kan dengan perempuan lain. Kasus Bambang Suharto itu contohnya. Halimah tidak mau dipadukan dalam sebuah rumah tangga dengan perempuan lain, karena itu dia minta cerai. Atau, mungkin juga Bambang menceraikannya karena Mayangsari tidak mau di-PADU-kan dengan Halimah.

Kata PADU menjadi MADU itu sama halnya dengan kata lain seperti PINTA dan POHON. Dua kata yang terakhir ini tidak lagi digunakan orang sebagaimana mestinya. Orang lebih suka bilang MINTA dan MOHON. Alih-alih mengatakan "Apa yang kaupinta dan apa yang kita pohonkan kepada-Nya", setakat ini orang lebih suka berkata "Apa yang kauminta, dan apa yang kita mohon kepada-Nya".

Karena itu, saya mohon maaf kalau keliru.

Umbu Rey

Tanah Aerku Endonesya

Saya pernah bercerita mengenai NGETEM beberapa waktu yang lalu. Betapa sulitnya lidah bangsa ini mengucapkan diftong "ai" sehingga TIME (baca: taim) kok bisa-bisanya menjadi TEM. Sebenarnya perubahaan bunyi itu tidak hanya terjadi ketika mereka mengucapkan kata Inggris. Vokal ganda dalam bahasa Indonesia pun sama dan serupa, semuanya disebutnya dengan E.

Kebanyakan orang Indonesia terutama yang bermukim di wilayah Indonesia bagian barat tidak dapat dengan benar mengucapkan diftong "ai" sebagaimana kita menuliskannya. Yang dapat mengucapkannya dengan benar menurut pengamatan saya antara lain hanya orang-orang Padang (Sumatera Barat). Mungkin karena di sana ada Lembah Anai.

Orang Indonesia di bagian timur juga kebanyakan tidak dapat mengucapkannya dengan benar terutama karena pengaruh bahasa daerahnya. Orang-orang Rote yang besar pengaruhnya di kota Kupang NTT, kemudian orang Ambon dan orang Manado pada umumnya mengucapkan AI dengan AE. Kata-kata seperti BAIK dan LAIN mereka ucapkan menjadi BAE (huruf K dihilangkan) dan LAEN.

Orang-orang Timor karena sangat dipengaruhi oleh bahasa Rote, terbiasa mengucapkan bahasa daerahnya: bae sonde bae tana Timor lebe bae (baik atau tidak baik, tanah Timor lebih baik). Itu sanjungan atau kata puji-pujian bagi daerahnya seperti peribahasa "hujan emas di negeri orang hujan batu negeri sendiri."

Karena begitu kuat pengaruh Rote di daratan Pulau Timor, maka TIMOR itu pun seakan-akan sudah menjadi singkatan dari Tanah Ini Milik Orang Rote. Soalnya, hampir semua nama tempat di kota Kupang disebutkan dalam bahasa Rote, seperti Oesapa, Oepura, Oeba, dan Oebobo. Kata OE jangan diucapkan U.

Salam "good night" dalam bahasa Ingggris kita ucapkan "gutnet". Terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia adalah "selamat malam", tetapi orang Timor, Ambon dan Manado mengatakan "malam bae" (malam baik). Orang Manado bilang kita bale ngana so laen, kita bale ngana so kaweng.

Diftong "ai" berikut semuanya diucapkan dengan "e":

rantai -->rante, satai -->sate, santai -->sante, cerai -->cere, tapai -->tape, pakai -->pake, petai -->pete, parai -->pare, perangai -->perange, gadai -->gade, balai-->bale, ramai --> rame, selai -->sele, selesai -->selese, ....dst.

Selain AI, diftong "aau"juga dibunyikan atau diucapkan dengan "o".

Pisau -->piso, atau -->ato, kasay -->kaso, rantau -->ranto, pantau-->panto, walau -->walo, kacau -->kaco, tembakau -->tembako, ...dst.

Selama tidak mengubah makna kata, bunyi-bunyi itu sebenarnya tidaklah menajdi persoalan besar, tetapi perubahan bunyi "I" menjadi "E" justru sangat merisaukan saya. Bangsa ini sekarang tidak dapat lagi mengucapkan namanya sendiri dengan baik dan benar.

Orang Inggris mengucapkan INDONESIA dengan sangat sempurna tetapi bangsa ini berkata TANAH AERKU ENDONESYA.

Sangat memalukan, dan sungguh....kita kehilangan jati diri.

Umbu Rey

Aman vs Selamat

"Menteri PU Djoko Kirmanto termasuk yang SELAMAT dari perombakan kabinet padahal sebelumnya dia termasuk yang diisukan akan diganti dengan alasan kesehatan." Itu kalimat dalam berita yang disiarkan Kantor Berita Antara hari Senin 7 Mei 2007.

Pada hemat saya, kabinet itu ibarat sebuah perahu sedangkan Presiden itu juragannya, dan menteri-menteri adalah para awak perahu menurut tugasnya masing-masing. Suatu saat ketika musim barat tiba, gelombang laut bergelora hingga perahu pun terancam akan tenggelam. Perahu diperkirakan takkan sampai ke tempat tujuan. Juragan itu tampaknya telah menilai bahwa para awak-perahunya itu tak becus lagi bekerja sehingga perahu oleng tak bisa menembus gelombang.

Maka juragan itu pun lalu mengambil keputusan agar beberapa awak kapal harus diberhentikan atau diganti dan yang lain harus pindah posisi. Si Bejo harus pindah dari buritan ke haluan untuk mengendalikan layar. Soalnya, layar tak bisa berkembang dengan baik lantaran angin-sakal tak tentu arah. Sebaliknya si Polan memegang kemudi di buritan karena lebih mengerti sifat ombak. Kalau tidak, perahu itu mungkin sekali tidak akan sampai ke tujuan atau akan karam seketika.

Kalau kita mengikuti perumpamaan ini, maka awak perahu yang diganti oleh juragan itu mestinya berterima kasih karena SELAMAT, sebab dia luput dari ancaman tenggelam jika saja perahu itu ditelan badai dan ombak laut.

Zaman dulu di kampung saya, orang Islam yang menerima jabatan tinggi akan selalu mengucapkan "innalilahi waina ilaihi rajiun" sebab dia telah menerima beban tugas amat berat yang harus diselesaikannya sebagai amanah yang bukan untuk dirinya sendiri. Dia harus mengemban tugasnya itu dengan baik seperti seorang yang beribadah dengan amat khusyuk seakan-akan hendak mati besok. Jabatan itu musibah baginya.

Tetapi zaman saiki, ceritanya terbalik. Orang naik jabatan, apalagi jadi menteri, seakan-akan dia telah sampai ke puncaknya keberhasilan walaupun kinerja jeblok. Dia enggan turun dari kabinet sebab kabinet itu bukan lagi sekadar perahu, tetapi surga tempat dia bersenang-senang. Sebab itu ketika ditunjuk jadi menteri dia bersujud syukur sampai wajah menyentuh tanah, padahal kerja belum dimulai, belum apa-apa.

Di kantor-kantor pemerintah --termasuk di Kantor Berita Antara tempat saya mengabdi-- orang berlomba-lomba mencari jabatan meski dengan cara apa saja supaya dikenal dan dirangkul pemimpin umum. Cari muka dan jilat pantat sana sini sudah biasa sejak dahulu, dan itu dianggap halal walaupun muka badak tabiat budak.

Kalau jabatan minimal kepala redaksi sudah di pangkuan, maka kerja tidak perlu, pikir pun tidak usah karena otak harus istirahat total. Yang pasti, fasilitas lebih dari memadai karena bisa duduk ongkang-ongkang sambil kipas-kipas muka pakai duit. Jabatan adalah tujuan atau visi, tetapi misi tak perlu harus dikerjakan. Banyak wartawan tak bisa menulis dengan logika, sebab katanya yang penting AMAN, yang penting SELAMAT.

"Umbu, buat apa idealis, itu kuno. Zaman saiki zaman edan, sopo sing orang edan ora keduman," begitu katanya. Maka kata idealisme sudah berubah arti menjadi "idiot". Bikin kalimat cukup kasih fakta seadanya, soal logika terserah yang baca. Sabodo amat! Yang penting kan orang ngerti, begitu kata wartawan Antara.

Itu sebabnya kalau ada pergantian pemimpin, maka perombakan manajemen atau perombakan kabinet akan menjadi teka teki yang bikin pusing kepala si Anu. Jantung dak dik duk tidak keruan, si Anu lalu duduk sendirian di sudut kamar sambil menunggu tokek berbunyi. Tokek... selamat, tokek....aman, tokek...aman, sampai tokeknya lama-lama mati sendiri.

Anehnya, yang tidak terpilih lagi diartikan sebagai mendapat musibah, dan yang bertahan di kabinet itu namanya SELAMAT, AMAN. Ini cerita klasik yang telah diulang-ulang. Ini masalah juga bukan persoalan bahasa. Siapa bilang? Presiden penyair Indonesia membuka kredo puisinya dengan kalimat: "Pada mulanya adalah kata."

Bukankah segala sesuatu yang telah jadi, dan yang akan jadi itu berawal dari sebuah kata? Kalimat kini hancur lebur berantakan karena logika dijungkir-balikkan. Makna kata dihalus-haluskan supaya korupsi tidak kentara. Jepang dan Korea Selatan bahkan Malaysia sekarang telah GO-INTERNATIONAL, sedangkan ENDONESYA TANAH AER BETA sudah lewat usia 60 tahun, tetapi tetap saja GO-BLOCK.

Anehnya lagi, para pemuda dan pemudi generasi sekarang masih bilang," Ah.. masih SELAMAT, kita masih AMAN. Tenang sajalah!

Umbu Rey

Desis

Guru saya di kampung pada suatu ketika bertanya, apakah bedanya ular dan manusia. Saya bingung, sebab guru saya ini kadang-kadang suka bikin pertanyaan yang konyol-konyol. Jangankan nenek-nenek, orok yang baru bisa omong pun tahu bedanya.

Guru saya itu rupa-rupanya memandang kedua makluk ciptaan Tuhan itu sama saja bentuk, sifat, dan tabiatnya. Manusia ganti baju, ular pun ganti kulit. Lidah manusia itu tak bertulang, lidah ular itu bercabang dua. Keduanya MUNAFIK, atau hipokrit, persis seperti kata budayawan dan wartawan senior Indonesia, Mochtar Lubis (almarhum). Bedanya, ular tak bisa berbisik tetapi manusia sekarang bisa mendesis. Dengan perkataan lain, ular tak bisa menjadi manusia, tetapi manusia bisa menjadi ular. Nggak percaya?

Saya membaca sebuah kisah cinta dalam sebuah novel. Seorang pemuda yang jatuh cinta berkata kepada kekasihnya pada suatu saat ketika mereka bercengkrama dan bercumbu di bawah naungan pohon yang rindang."Aku cinta padamu, Sayang!" desisnya.

Dulunya saya pikir, yang berkokok itu cuma ayam (jantan), yang berkicau itu cuma burung (kalau burung unta, tak tahu saya), sapi itu melenguh, kerbau menguak, harimau mengaum, tikus mencicit, kuda meringkik, anjing menyalak, kucing mengeong, angin mendesir, peluru berdesing, besi pun berdencing. Buaya itu cuma bisa "mangap" di pinggir kali tanpa mengeluarkan suara. Dia cuma bisa menguap tetapi tak bisa cuap-cuap seperti manusia.

Buaya tak pernah biungung karena tidak bisa berpikir, tetapi saya bingung kenapa laki-laki disamakan tabiatnya dengan buaya. Manusia bisa meniru semua bunyi hewan meskipun tak bisa menjadi binatang (dalam arti sesungguhnya) . Tetapi kenapa mau omong cinta saja, orang berpacaran mesti berubah dulu menjadi ular supaya bisa mendesis?

Zaman kini makin maju pesat, bahasa manusia pun makin berkembang, begitu kata rekan saya sekantor. Di milis ini pun pernah seseorang berkata bahwa kita bebas menggunakan satu kata "suka-suka" kita. Tak peduli orang lain protes. Dia bilang asyyiiiikkk meskipun orang pda bingung.

Sebenarnya sudah ada kata "bisik" untuk mengucapkan kata dengan suara halus supaya tak terdengar orang lain? Mengapa kalimat cinta dalam novel itu tidak dinyatakan dengan kalimat ini:"Aku cinta padamu, Sayang!" bisiknya.

Mendesis itu suara halus yang hanya keluar dari mulut ular dan terdengar seperti bunyi napas tetapi tidak berupa kata-kata seperti ketika orang berbisik. Dan, berbisik-bisik adalah budaya manusia yang gemar menyebarkan gosip dan kasak-kusuk dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Dengan alasan metafora, ibarat atau umpama, zaman sekarang orang makin senang mengharubirukan logika. Sampai tega-teganya menganggap Ronaldinho itu seekor kuda yang "merumput" (makan rumput) di Barselona. Saya pikir, semua yang kita ucapkan sebenarnya adalah logika. Metafora atau ibarat itu pun adalah logika berpikir dan karena itu seharusnya dibuat menurut kenyataan, tidak bisa dibuat asal-asalan.

Mungkin cuma ada satu hal yang terkecuali. "Asmara, tak kenal dengan logika", kata penyanyi si burung camar Vina Panduwinata. Barangkali itu sebabnya orang mengucapkan cinta dengan mendesis, sebab cinta itu dianggap tidak kenal logika. Akibatnya, para artis sinetron di televisi itu saban hari dikabarkan bercerai, pindah dari satu pelukan ke dekapan lelaki yang lain.

Gadis-gadis dan janda di desa pun konon ikut-ikutan pindah dari perut ke selangkangan lelaki yang lain. Baca saja "Nah Ini Dia" di harian Pos Kota. Kenapa pasangan suami istri sering bercerai, mungkin karena mereka mengucapkan cinta dengan MENDESIS, meniru-niru suara ular yang lidahnya bercabang dua.

Betul, bukan? Kalau tidak setuju, terseraaaaahhhh. Saya tidak sedang mendesis.

Umbu Rey

Rabu, 02 April 2008

Lengkap

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia ) edisi ketiga mengartikan "lengkap" adalah tidak ada
kurangnya, genap. Lengkap juga berarti tersedia segala-galanya. Tetapi seberapa banyakkah wartawan Antara yang mengerti persoalan lengkap ini?

Lengkap dalam arti leksikal tersebut tentu saja berlaku juga dalam karya jurnalistik. Ketika Anda menuliskan suatu peristiwa di atas kertas menurut kesaksian Anda maka yang dituntut oleh pembaca adalah kelengkapan beritanya.

Kelengkapan adalah perihal lengkap, genap, dan komplet. Maka segala sesuatu mengenai peristiwa yang Anda tuliskan haruslah tersedia segalanya. Jika tidak demikian, maka pembaca akan bingung, dan mungkin sekali akan bengong kesinting-sintingan lantaran berita Anda tak memberikan kepada mereka suatu peristiwa yang lengkap.

Berita tanpa kelengkapan sama seperti makanan zonder garam. Hambar. Tidak lengkap hidangan di meja makan, istri pun jadi sasaran amukan emosi. Gara-gara hidangan tak lengkap, kadang-kadang perangkat makan pun berubah menjadi "unidentified flying object" (UFO) alias piring terbang. Ruang makan jadi berantakan.

Lengkap yang begini tentu saja didasarkan atas kesepakatan menu makanan keluarga. Orang bilang, empat sehat lima sempurna. Lengkaplah suatu hidangan jika di meja ada sepiring nasi, semangkuk sayur, sebutir telur atau tempe sepotong, buah dan air segelas. Kurang dari ketentuan itu disebut tidak lengkap, dan lebih dari itu disebut semrawut.

Hal ketentuan atau kesepakatan itu pun berlaku dalam hidangan berita. Ada judul, ada baris tanggal, ada teras (lead), ada tubuh berita. Lalu, ada pula tubuh berita yang menceritakan fakta peristiwa atau pendapat. Isi berita itu dijabarkan menurut rumusan 5W + 1 H, lalu ditambahkan latar belakang peristiwa, dan penutup berita, tak lupa ada nama atau kode penulisnya.

Lantaran itu, dapatlah saya tambahkan sebuah difinisi baru, bahwa berita yang lengkap adalah "cukuplah demikian, menurut kesepakatan". Kurang dari itu harus dilengkapi dan lebih dari itu adalah mubazir.

Dalam hal berita yang bersifat mendesak atau sangat mendesak tentu saja ada kesepakatan pengecualian. Persoalan "kecuali" itu bukan mencla-mencle, tetapi demikianlah ketentuan menurut kemauan pembaca juga. Bukankah mereka perlu cepat, sebab bumi ini pun berputar cepat, sampai-sampai makanan pun perlu cepat saji?

Berita apakah yang perlu cepat? Bacalah pedoman langgam, di situ telah ada ketentuan. Dalam hal peristiwa sangat mendesak, Anda dibenarkan mengirimkan berita secepat kilat tanpa perlu kelengkapan. Bahkan dalam peristiwa sangat penting maka sebuah frasa atau dua potong kata pun sudah boleh disiarkan menjadi berita. Tetapi, segera setelah itu berita yang lengkap pun harus menyusul.

Anda sering mendengar orang keinggris-inggrisan yang omong asal bunyi "round-up". Mengapa tidak menggunakan bahasa Indonesia saja? Round-up itu Inggris yang kurang lebih berarti melengkapi, atau mengumpulkan.

Jadi, apa salahnya menggunakan istilah dalam bahasa Indonesia. Kantor berita ini sudah dari dulu menggunakan kata "pumpunan" tetapi tak seorang pun wartawan mengerti apa arti kata itu. Bukankah pumpunan itu adalah hasil dari pekerjaan memumpun atau menghimpun, atau mengumpulkan atau melengkapi?

Yang harus diingat, cepat itu bukan singkat dan bukan pula kata-kata yang disingkat-singkatkan sehingga menjadi singkatan. Sebab kalau itu yang Anda lakukan pembaca akan kebingungan, dan saya khawatir, hidangan berita kita pun akan ditinggalkan pelanggan. Kita yang rugi.

Dengarkan lagu Bimbo yang dinyanyikan pada awal tahun 1970-an:

Sekarang zaman sedang demam singkat
di jalan motor mobil adu cepat
manusia ingin kaya cara kilat
yang goblok dan blo'on pun meningkat.

Terserah Anda sekarang. Mau lengkap atau mau main singkatan dan menjadi
orang goblok dan blo'on. Hei, ini memang cuma persoalan kecil, tetapi ini masalah penting dalam
pemberitaan. Lalu, kenapa berita tidak dibikin lengkap menurut kesepakatan dan ketentuan yang saya sebutkan di atas.

Sayangnya, seringkali wartawan Antara membuat berita terlalu panjang, dan dikiranya supaya lengkap. Padahal, berita itu disusunnya dengan kalimat yang dipanjang-panjangkan sehingga mubazir. Karena kecapaian menulis yang terlalu panjang, maka dibuatlah singkatan-singkatan terlalu banyak menurut maunya sendiri. Akbatnya, penyunting bingung dan pembaca pun jadi blo'on. Maka para penyunting di Redaksi Inggris sering berolok-olok, atau memperolok-olokkan berita yang dibuat oleh pewarta, "Hei, Umbu..., ini berita apa novel?"

Adakah ketentuan kelengkapan berita ini pada kantor berita Antara?" Tidak ada, dan inilah susahnya. Anda tidak percaya? Cobalah simak moto berita kita: Cepat, Akurat, Penting.
Lalu.., mana lengkapnya?

Misi pemberitaan Antara sejak zaman dulu (yang saya tahu) adalah:

1. Memberikan masukan kepada pelanggan. Masukan itu adalah berita mutakhir atau berita terbaru yang belum diketahui oleh para pelanggan. Dengan begitu, mereka dapat mengerahkan wartawannya sendiri untuk liputan selanjutnya. Itu sebabnya berita itu haruslah disajikan dengan CEPAT.

2. Berita yang kita sajikan digunakan pelanggan sebagai tolok banding atau tolok ukur. Para pelanggan atau pembaca biasanya ingin mengetahui kebenaran dan ketepatan berita yang tersaji oleh liputan wartawan mereka sendiri atau dengan berita koran yang lain dibandingkan dengan berita Antara. Itu sebabnya berita Antara harus AKURAT.

3. Berita yang disajikan Antara dibuat untuk dikutip oleh surat kabar pelanggan sebagian atau secara keseluruhan. Itu sebabnya berita Antara harus LENGKAP.

Dari tiga butir misi pemberitaan yang PENTING di atas, maka moto Antara seharusnya CEPAT, AKURAT, LENGKAP.

Kata "penting" dalam moto yang kini berlaku sekarang sebenarnya berlebihan atau mubazir. Kenapa, sebenarnya dalam kata "berita" yang kita buat sudah terkandung pengertian penting itu. Maka buatlah berita yang lengkap supaya bermakna bagi pembaca dan pelanggan kita.

(tulisan ini sudah dimuat dalam milis Antara untuk maksud klinik editorial)

Umbu Rey

Mubazir

"Mubazir" adalah kata yang masuk dalam khazanah bahasa Indonesia dari bahasa Arab. Mubazir itu artinya tidak berguna, sia-sia, terbuang-buang karena tidak berguna. Kata itu juga dapat berarti royal, pemborosan yang dapat menghabiskan uang dalam jumlah yang berlebihan.

Karena itu semua tindakan dan perkataan yang termasuk dalam kategori mubazir itu harus
dihindarkan. Kata-kata yang kita gunakan dalam pemberitaan juga mubazir jika tidak tidak ada manfaatnya, tidak berguna sebab pastilah akan menghamburkan uang juga.

Zaman dulu ketika pengiriman berita dilakukan dengan surat kawat atau telegram, semua berita harus dihitung jumlahnya sebab setiap kata yang terkirim akan dihitung ongkosnya. Semakin banyak kata yang kita gunakan secara tidak perlu semakin besar pula ongkos yang kita keluarkan. Artinya semakin besar pula biaya sebuah berita setiap kali penerbitan.

Ketika mesin cetak masih menggunakan sistem tekan atau press dengan huruf timah, semua kata yang tersunting pun harus dihitung jumlahnya supaya pas benar dengan kolom berita sebab ruang yang lain dalam surat kabar itu harus diisi dengan advertensi yang kelak akan melancarkan kehidupan koran itu.

Adakah korelasinya perhitungan itu setelah zaman canggih ultra modern seperti sekarang ini? Tentu ada. Malah semakin banyak kata mubazir kita gunakan maka akan semakin besar pulsa telepon dan faksimile yang akan kita gunakan dan akhirnya semakin besar pula ongkos berita yang kita hambur-hamburkan karena kata mubazir itu.

Dari sebab itu bahasa Indonesia jurnalistik ditulis berdasarkan prinsip ekonomi kata. Kita harus ekonomis artinya harus berhati-hati setiap kali kita menggunakan bahasa supaya jangan sampai terlalu banyak pengeluaran uang karena kata-kata yang tidak perlu. Inilah prinsip dasar ekonomi dalam perusahaan pers, yang sekarang ini justru diabaikan saja oleh para wartawan. Sesungguhnya, dari sinilah suatu tindakan harus diperhitungkan dengan matang.

Prinsip ekonomi kata itu berhubugan juga dengan ruang dan waktu, dan semuanya mengarah pada penghematan (uang atau biaya). Karena itu semua tindakan diarahkan untuk maksud menghindarkan sesuatu yang mubazir itu.

Bahasa Indonesia jurnalistik disebut berciri khas lantaran berhubungan juga dengan masalah penghematan kata dan biaya ini. Khas artinya tidak bertele-tele, tidak menggunakan kata yang sama berulang-ulang dengan tidak tepat sasaran, tidak tepat makna, dan tidak menggunakan kata yang bersifat taksa (bermakna ganda).

Lantaraan itu pula, setiap wartawan haruslah sudah mengerti benar dan mahir pula menggunakan kata yang tepat guna (diksi), tepat makna, supaya kita dapat menghindarkan pengertian mubazir itu.

Ciri khas yang lain dari bahasa Indonesia jurnalistik itu adalah demokratis. Artinya setiap kata yang kita gunakan tidak lagi membangkit-bangkitkan paham feodalisme. Itu sebabnya seorang presiden RI dapat kita singkat namanya (atas persetujuan atau karena konsensus umum)
dengan SBY atau Gus Dur saja. Bahkan presiden Amerika Serikat pun dapat disingkat namanya JFK (John Fitzgerald Kennedy).

Ciri yang lain dari bahasa Indonesia jurnalistik adalah "sastra" dan "ilmu". Kita sebut "sastra" karena menyangkut keindahan berbahasa, menyusun kata dan kalimat agar berita enak dibaca. Pembaca akan betah duduk berlama-lama di kursi malas menikmati sajian berita kita. Meskipun begitu, kata-kata yang digunakannya haruslah pula memperhatikan penghematan kata, agar tidak mubazir. Itu sebabnya para wartawan sering pula mendapat julukan "sastrawan yang tergesa-gesa". Dia menuliskan karya tulisnya karena dikejar-kejar tenggat penyiaran.

Bahasa Indonesia jurnalistik juga berciri "ilmu" karena dia harus dipelajari. Dia termasuk dalam ilmu terapan yang mengandung unsur sebab dan akibat, dan harus dikuasai oleh setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam dunia kewartawanan. Karena itu, menjadi wartawan atau penulis tidak cukup hanya mengandalkan bakat, harus pula mendalami ilmu komunikasi di perguruan tinggi.

Contoh yang paling sederhana dari kata yang mubazir itu adalah "jatuh ke bawah". Dalam frasa ini kata keterangan "ke bawah" adalah mubazir sebab kata "jatuh" itu sudah memberikan pengertian ke bawah. Tetapi, untuk menyatakan bahwa kata "ke bawah" itu mubazir atau tak berguna, tidak diperlukan pemikiran seorang bergelar S-2. Seorang anak TK pun pastilah tahu bahwa yang jatuh itu tentu arahnya ke bawah.

Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa untuk menjadi wartawan cukuplah kita pekerjakan seorang anak TK yang mengerti soal jatuh ke bawah, dan tidak perlu seorang bergelar S-2. Tetapi pada kenyataannya, kata mubazir ini di lembaga ini justru dilakukan oleh mereka yang bergelar. Tentu saja hal ini dapat kita mengerti karena latar belakang ilmu yang dimiliki seorang wartawan di lembaga ini juga memengaruhi cara penulisannya. Yang saya maksudkan adalah setiap wartawan lembaga ini haruslah sudah benar-benar memahami prinsip dasar penulisan kata, yakni menghindarkan kata mubazir itu, apa pun latar belakang pendidikannya.

Menurut pengamatan saya, kata-kata mubazir inilah yang banyak sekali memboroskan uang lembaga dan secara jurnalistik telah merusak tata bahasa (ilmu) dan keindahan penulisan (sastra), dan akibatnya banyak pelanggan mencela berita kita sebagai sampah.

Pada umumnya kita mengabaikan masalah kecil ini secara sadar hanya gara-gara ingin agar tercapai jumlah nilai kredit dan tunjangan fungsional. Tetapi secara tidak sadar kita sebeanrnya telah membunuh diri kita sendiri dengan kata-kata mubazir itu, sebab kita telah menghambur-hamburkan uang terlalu banyak.

Coba perhatikan berita-berita politik khususnya mengenai pilkada dari seluruh daerah di Indonesia. Ada berapa banyak kata pilkada digunakan secara berulang-ulang, lalu dikombinasikan dengan pilgub, pilcagub, pilwakot, pilcawakot. Di Sumatera Utara ditambah lagi akronim khas Medan pilgubsu dan pilcawagubsu. Alangkah kacaunya, dan bayangkan betapa pembaca kita paksa untuk mengerutkan dahinya ketika membaca.

Kata-kata singkatan dan akronim itu mungkin dimaksudkan untuk menyingkat kata, tetapi ketika digunakan secara berulang-ulang justru kita telah menghamburkan uang dengan penggunaan kata yang mubazir. Menurut pengamatan saya, hampir 50 persen kata-kata ini mendominasi sebuah berita politik.

Kata-kata singkatan itu pun telah menjungkirbalikkan tata bahasa dan merusak keindahan berbahasa, dan lebih lagi, membuyarkan konsentrasi pembaca karena terlalu banyak kata pilkada yang tidak perlu. Kalau pembaca bosan, maka berita ini akan dia tinggalkan, dan akibatnya, konyol. Kita rugi.

Tahukah Anda sekalian, bahwa kata-kata singkatan itu sebenarnya dapat kita ganti dengan hanya satu kata saja dengan jelas dan padat, yakni "pemilihan". Bukankah pemilu, dan pil pil yang lain sampai pilkades itu adalah "pemilihan" juga?

Karena itu:
1. Pastikan bahwa sebuah berita yang kita tulis adalah mengenai satu masalah saja (straight news). Dengan begitu, Anda tidak perlu menggunakan macam-macam singkatan dan akronim dalam satu berita, yang berhubungan dengan masalah yang akan Anda beritakan.

2. Jika dalam sebuah berita, kita bercerita tentang "pemilihan kepala daerah" pastikan bahwa pemilihan kepala daerah itu adalah gubernur, atau bupati, atau walikota. Maka pemilihan kepala daerah itu dapat dipadatkan menjadi "pemilihan gubernur" saja. Dengan demikian frasa ""kepala daerah" sudah kita buang karena mubazir.

3. Kita --setiap wartawan-- sebenarnya harus cermat, dan mengetahui benar bahwa sistem pemilihan di Indonesia sekarang ini sudah mengarah pada sistem demokrasi murni. Maka kata "pemilihan gubernur" sudah pastilah mengikutsertakan sekaligus wakilnya. Jadi buat apa lagi Anda menulis pemilihan calon wakil gubernur. Karena terlalu panjang, Anda lalu menyingkatkan lagi kata itu menjadi pilcawagubsu dan pilcawakot. Bingung orang membacanya. Mubazir lagi.

4. Pemilihan calon walikota itu cukuplah ditulis pada alinea pertama atau pada teras dan judul berita saja. Selanjutnya cukuplah menuliskan kata pemilihan, sebab yang dimaksudkan dalam berita adalah pemilihan gubernur seperti yang tertera pada judul dan teras berita. Bukankah
tubuh berita itu menerangkan mengapa dan bagaimana atau penjabaran lead atau teras berita?

5. Sistem penulisan berita seperti ini berlaku pula pada topik pemberitaan yang lain, dengan maksud menghindarkan kata mubazir. Yang diperlukan dalam hal membuang kata mubazir ini sebenarnyalah kecermatan, dan keterampilan berbahasa. Tidak perlu pemikiran S-2. Buat apa orang banyak dengan gelar banyak S-2 kalau kata yang digunakannya juga mubazir semua.

Berita yang terlalu banyak menggunakan kata mubazir itulah antara lain yang disebut dengan berita sampah.

(Tulisan ini telah dimuat di milis Antara untuk maksud klinik editorial)

Umbu Rey