Selasa, 08 April 2008

Amir vs Mair

"Amir" dibolak balik jadi "mair" sepengetahuan saya sama saja artinya, yakni pemimpin sebuah negeri atau pemimpin rombongan. Zaman saiki "amir" digunakan setahun sekali ketika musim haji tiba. Kita menyebut "amirulhaj" yakni pemimpin jemaah haji.

Ini kata bukan bahasa Indonesia, dia diserap dari Tanah Arab entah sejak kapan. Kebanyakan orang lebih mengenal "amir" sebagai nama diri. Kata yang hampir sama dengan itu adalah "umar" yang juga dipakai sebagai nama orang. Sekarang ini UMAR adalah akronim dari "Untung Masih Ada Rambut".

Umar itu kalau mau diberi arti "pemimpin pemerintahan" harus lebih dulu ditambah huruf "a" di belakangnya supaya menjadi "umara". Tetapi kata itu pun tak pernah digunakan orang dalam tulisan apalagi dalam bahasa percakapan sehari-hari.

Kata "mair" entah ke mana rimbanya tak pernah lagi terdengar, dan barangkali sudah mati. Mungkin itu sebabnya KBBI memberi arti "maut" atau "kamatian". Kamus tesaurus bikinan Eko Endarmoko juga ikut-ikutan memberikan makna yang sama pada kata "mair". Itu yang membuat saya agak heran.

"Mair" diberi arti maut mungkin juga singkatan dari "mairat" yang juga berarti pergi, hilang, atau mati. Tetapi maaf, saya tidak mengerti sepotong pun bahasa Arab jadi mungkin sekali saya yang "go-block".

Dalam buku kumpulan Puisi Baru bikinan STA (Sutan Takdir Alisyahbana) ada sebuah puisi yang saya hapal sejak SMP di kampung, yakni pantun yang dikarang oleh Roetam Effendi:

Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak negeri
Mesti menurut undangan MAIR

Kata MAIR itu mungkin sengaja dibalik oleh sastrawan Roestam Effendi dari kata AMIR supaya bersajak dengan kata SYAIR lantaran sebuah pantun biasanya mesti bersajak. Ada sajak aliterasi (sajak awal), ada sajak tengah, dan ada pula sajak akhir. "Sajak" adalah persamaan bunyi sedangkan "sanjak" adalah karangan pendek seperti pantun atau gurindam.

Karena alasan supaya bersajak itulah, menurut hemat saya, MAIR itu lebih masuk akal bermakna "pemimpin" daripada "maut" atau "kematian". Cobalah simak bait terakhir pantun di atas. Bukan beta budak negeri, mesti menurut undangan MAIR.

Bukankah yang wajib mengikuti perintah atasan (amir) itu selalu adalah budak negeri? Kalau MAIR itu diberi arti maut atau kematian, maka yang wajib menurut undangan MAIR itu tentu bukan hanya budak negeri. Pemimpin negeri (amir) dan "umara" pun mesti taat pada undangan maut sebab semua orang harus mati.

Selanjutnya:

Sarat saraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu

Sering saya sesat sesaat
Sebab madahan tidak nak datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurang lukisan mamang

Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah rangkaian pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun

Umbu Rey

Tidak ada komentar: