"Menteri PU Djoko Kirmanto termasuk yang SELAMAT dari perombakan kabinet padahal sebelumnya dia termasuk yang diisukan akan diganti dengan alasan kesehatan." Itu kalimat dalam berita yang disiarkan Kantor Berita Antara hari Senin 7 Mei 2007.
Pada hemat saya, kabinet itu ibarat sebuah perahu sedangkan Presiden itu juragannya, dan menteri-menteri adalah para awak perahu menurut tugasnya masing-masing. Suatu saat ketika musim barat tiba, gelombang laut bergelora hingga perahu pun terancam akan tenggelam. Perahu diperkirakan takkan sampai ke tempat tujuan. Juragan itu tampaknya telah menilai bahwa para awak-perahunya itu tak becus lagi bekerja sehingga perahu oleng tak bisa menembus gelombang.
Maka juragan itu pun lalu mengambil keputusan agar beberapa awak kapal harus diberhentikan atau diganti dan yang lain harus pindah posisi. Si Bejo harus pindah dari buritan ke haluan untuk mengendalikan layar. Soalnya, layar tak bisa berkembang dengan baik lantaran angin-sakal tak tentu arah. Sebaliknya si Polan memegang kemudi di buritan karena lebih mengerti sifat ombak. Kalau tidak, perahu itu mungkin sekali tidak akan sampai ke tujuan atau akan karam seketika.
Kalau kita mengikuti perumpamaan ini, maka awak perahu yang diganti oleh juragan itu mestinya berterima kasih karena SELAMAT, sebab dia luput dari ancaman tenggelam jika saja perahu itu ditelan badai dan ombak laut.
Zaman dulu di kampung saya, orang Islam yang menerima jabatan tinggi akan selalu mengucapkan "innalilahi waina ilaihi rajiun" sebab dia telah menerima beban tugas amat berat yang harus diselesaikannya sebagai amanah yang bukan untuk dirinya sendiri. Dia harus mengemban tugasnya itu dengan baik seperti seorang yang beribadah dengan amat khusyuk seakan-akan hendak mati besok. Jabatan itu musibah baginya.
Tetapi zaman saiki, ceritanya terbalik. Orang naik jabatan, apalagi jadi menteri, seakan-akan dia telah sampai ke puncaknya keberhasilan walaupun kinerja jeblok. Dia enggan turun dari kabinet sebab kabinet itu bukan lagi sekadar perahu, tetapi surga tempat dia bersenang-senang. Sebab itu ketika ditunjuk jadi menteri dia bersujud syukur sampai wajah menyentuh tanah, padahal kerja belum dimulai, belum apa-apa.
Di kantor-kantor pemerintah --termasuk di Kantor Berita Antara tempat saya mengabdi-- orang berlomba-lomba mencari jabatan meski dengan cara apa saja supaya dikenal dan dirangkul pemimpin umum. Cari muka dan jilat pantat sana sini sudah biasa sejak dahulu, dan itu dianggap halal walaupun muka badak tabiat budak.
Kalau jabatan minimal kepala redaksi sudah di pangkuan, maka kerja tidak perlu, pikir pun tidak usah karena otak harus istirahat total. Yang pasti, fasilitas lebih dari memadai karena bisa duduk ongkang-ongkang sambil kipas-kipas muka pakai duit. Jabatan adalah tujuan atau visi, tetapi misi tak perlu harus dikerjakan. Banyak wartawan tak bisa menulis dengan logika, sebab katanya yang penting AMAN, yang penting SELAMAT.
"Umbu, buat apa idealis, itu kuno. Zaman saiki zaman edan, sopo sing orang edan ora keduman," begitu katanya. Maka kata idealisme sudah berubah arti menjadi "idiot". Bikin kalimat cukup kasih fakta seadanya, soal logika terserah yang baca. Sabodo amat! Yang penting kan orang ngerti, begitu kata wartawan Antara.
Itu sebabnya kalau ada pergantian pemimpin, maka perombakan manajemen atau perombakan kabinet akan menjadi teka teki yang bikin pusing kepala si Anu. Jantung dak dik duk tidak keruan, si Anu lalu duduk sendirian di sudut kamar sambil menunggu tokek berbunyi. Tokek... selamat, tokek....aman, tokek...aman, sampai tokeknya lama-lama mati sendiri.
Anehnya, yang tidak terpilih lagi diartikan sebagai mendapat musibah, dan yang bertahan di kabinet itu namanya SELAMAT, AMAN. Ini cerita klasik yang telah diulang-ulang. Ini masalah juga bukan persoalan bahasa. Siapa bilang? Presiden penyair Indonesia membuka kredo puisinya dengan kalimat: "Pada mulanya adalah kata."
Bukankah segala sesuatu yang telah jadi, dan yang akan jadi itu berawal dari sebuah kata? Kalimat kini hancur lebur berantakan karena logika dijungkir-balikkan. Makna kata dihalus-haluskan supaya korupsi tidak kentara. Jepang dan Korea Selatan bahkan Malaysia sekarang telah GO-INTERNATIONAL, sedangkan ENDONESYA TANAH AER BETA sudah lewat usia 60 tahun, tetapi tetap saja GO-BLOCK.
Anehnya lagi, para pemuda dan pemudi generasi sekarang masih bilang," Ah.. masih SELAMAT, kita masih AMAN. Tenang sajalah!
Umbu Rey
Senin, 07 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar