Senin, 30 Januari 2012

Jiplak


Zaman dulu ketika saya masih duduk di Sekolah Rakyat (SR) di kampung, Pak Guru biasanya mengharuskan murid-muridnya menggambar peta sebuah pulau tatkala dia mengajar ilmu bumi. Kalau Pak Guru menerangkan mengenai Pulau Jawa misalnya, maka gambar pulau itu harus ditempelkan di buku catatan ilmu bumi murid-muridnya.

Dengan begitu, murid-murid terbiasa melihat peta dan mengetahui persis letak kota dan wilayah di pulau itu dengan hanya melihat titik-titik yang tertera pada gambar itu. Peta yang dibuat murid-murid itu disebut “peta buta”.

Untuk menggambar bentuk pulau itu secara lebih tepat, kami menempelkan kertas tipis transparan di atas gambar Pulau Jawa dalam peta atau atlas lalu menarik garis mengikuti bentuk pulau yang ada di bawah kertas tipis itu. Hasilnya dipindahkan ke buku catatan ilmu bumi milik murid pada bagian atau bab mengenai Pulau Jawa.

Pekerjaan memindahkan gambar Pulau Jawa dari peta atau atlas ke buku catatan ilmu bumi melalui kertas putih transparan itu disebut “menjiplak atau penjiplakan”. Proses menjiplak itu kemudian disebut juga sebagai “mencontek”, dan belakangan berkembang pula pengertiannya menjadi “mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai karangan sendiri”.

Dahulu, menjiplak adalah pekerjaan yang boleh-boleh saja dilakukan oleh para murid SR karena pada umumnya mereka tidak pandai menggambar peta. Tetapi, ketika pengertiannya berkembang menjadi “mencuri karangan orang lain” maka perbuatan menjiplak itu masuk kategori pidana atau kejahatan melalui tulisan. Itu sebabnya orang yang menjiplak karangan atau tulisan orang lain dapat dituntut ke muka pengadilan.

Setakat ini banyak calon sarjana melakukan hal itu baik secara keseluruhan maupun sebagian saja. Maka supaya terhindar dari tuduhan penjiplakan, pada catatan kaki skripsinya selalu ditulis sumbernya. Kalau tidak begitu, si calon sarjana bisa dituduh mencuri karangan orang lain dan gelar sarjana bisa dibatalkan dan bahkan mahasiswa penjiplaknya dapat dijeboskan ke dalam penjara karena penipuan.

Perbuatan menjiplak itu sebenarnya bukanlah perbuatan tercela selama dilakukan dengan jujur. Orang menyalin karangan orang lain asalkan tidak disebarkan dan diperjualkanbelikan tanpa sepengetahuan (izin) pemiliknya dengan maksud untuk kepentingan sendiri tak akan menimbulkan dampak kejahatan.

Uang kertas yang ada di tangan Anda itu bukankah hasil penjiplakan juga? Aslinya hanya ada satu saja dari tiap-tiap nilai pecahan rupiah, dan yang lain-lain itu walaupun kelihatannya sama persis dengan aslinya, sesungguhnya palsu semua. Pada zaman Orde Lama di dalam uang kertas tertera tulisan “Barangsiapa meniru atau memalsukan uang kertas dan barangsiapa mengeluarkan dengan sengaja atau menyimpan uang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan akan dituntut di muka hakim.”

Lalu, siapakah “yang meniru atau memalsukan” uang kertas itu, tentulah pemerintah juga. Yang mengeluarkan dengan sengaja pemerintah juga, yang menyimpan yang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan adalah pemerintah juga. Kalau begitu yang dituntut di muka hakim, seharusnya pemerintah juga, tetapi polisi diam saja, tidak ada yang dituntut di muka hakim.

Pada zaman Orde Baru kalimat pada uang kertas itu diperbaiki, “Barangsiapa meniru, memalsukan uang kertas dan atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara.” Sama saja dengan uang Orde Lama. Perbedaan paling mendasar terbaca pada frasa terakhir “dituntut di muka hakim” diganti dengan “diancam dengan hukuman penjara”. Pelaku kejahatan dia-dia juga (pemerintah), tetapi tidak diancam dengan hukuman penjara.

Itu sebabnya pada zaman Reformasi tulisan di uang kertas sudah dikoreksi dan diganti dengan kalimat “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai....” Dengan begitu penjiplakan uang menjadi sah atau resmi. Pemerintah yang menjiplak uang kertas itu pun tak akan pernah dituntut di muka hakim, juga tak ada ancaman penjara. Kalau penjiplakan dilakukan oleh masyarakat umum dengan maksud memalsukan untuk kepentingan sendiri barulah polisi akan bertindak.

Kalimat dalam uang kertas pada zaman Reformasi sekarang ini tampaknya ingin meniru-niru uang kertas dolar Amerika Serikat, tetapi kelihatan agak malu-malu karena nanti dikira menjiplak. Di dalam uang kertas dolar Amerika Serikat tertulis IN GOD WE TRUST. Hanya empat kata, maka resmilah uang kertas itu sebagai alat pembayar. Tak perlu pakai tulisan ancaman penjara sebab pastilah itu terjadi kalau polisi telah menangkap para pemalsu uang kertas.

Saya agak ragu untuk mengatakan bahwa seorang profesor di Indonesia telah menemukan sesuatu yang baru dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doktor sebab yang ditulisnya itu sesungguhnya penuh dengan catatan kaki dari teori-teori ilmuwan sebelumnya. Jadi, gelar doktor yang diraihnya adalah hasil penjiplakan juga, yakni karangan orang lain yang dikutip lewat catatan kaki.

Penjiplakan itu bahasa kerennya adalah “plagiarism” dari kata kerja “plagiarize” (Inggris). Orang yang menjiplak disebut “plagiarist” atau plagiator , sama juga artinya dengan penjiplak atau tukang jiplak. Kalau tak ada catatan kaki atau sumber tulisan, sang doktor pun bisa dituduh melakukan kejahatan lewat tulisan.

Mesin fotokopi dibikin untuk memudahkan pekerjaan menyalin sebab sebelum mesin –yang berkembang menjadi faksimile--- itu ditemukan, orang hanya melakukan pekerjaan menyalin atau menulis ulang di kertas lain. Mengetik dengan menggunakan karbon dapat juga disebut menyalin. Itu sebabnya salinan dari hasil pengetikan disebut juga tembusan atau tindasan dalam surat menyurat resmi. Disebut “tembusan” karena diketik sampai menembus ke kertas tik di belakangnya.

Ketika mesin fotokopi perlahan-lahan tergantikan oleh sistem kerja komputer maka pekerjaan menyalin tulisan atau gambar menjadi lebih mudah dilakukan. Dewasa ini, proses penyalinan dilakukan hanya dengan menekan jari telunjuk pada tetikus atau “mouse” komputer. Dalam hitungan detik saja pekerjaan penyalinan tulisan selesai dilakukan.

Proses yang begini ini lazim disebut dalam istilah komputer “copy paste”. Dalam bahasa Indonesia sudah mulai diperkenalkan istilah “salin tempel” sebagai padanannya, yakni memindahkan suatu tulisan atau gambar lalu menempelkannya pada halaman lain. Sebenarnya sama juga artinya dengan “menjiplak”. Teknologi ”salin tempel” itu dibuat untuk memudahkan pekerjaan manusia lantaran waktu terasa semakin sempit dan usia manusia yang dirasakan terlalu singkat.

Sayangnya, teknologi itu ketika masuk ke dunia orang go-block (apa pun agamanya) telah menjadikan mereka semakin jauh tertinggal ratusan tahun di belakang kecerdasan komputer. Mereka tidak bisa mencipta karena semua yang terjadi dan yang akan tercipta kelak bergantung pada kehendak Tuhan menurut keyakinan mereka.

“Kita tidak boleh mendahului Tuhan,” begitu kata-kata klasik yang keluar dari mulut mereka yang fanatis karena menganggap pekerjaan mencipta sesuatu oleh manusia adalah perbuatan syirik. Maka yang mereka lakukan saban hari adalah meminta-minta dan mengemis-ngemis pada tuhannya dalam sujud doa ritual agama. Tetapi tak ada yang jatuh dari langit sebagaimana ayat-ayat suci yang dipercaya diturunkan dari langit.

Anehnya, doa pun banyak dilakukan dengan menjiplak sesuatu yang telah diucapkan oleh orang lain sebelumnya, dan diulang-ulang pula sampai ratusan kali. Semua yang hendak berdoa hampir pasti menggunakan istlah “memanjatkan”doa, dan karena itu Gus Dur pernah kasih komentar, “Kita seharusnya banyak-banyak memanjatkan doa, sebab doa memang tidak bisa memanjat sendiri.” Kalau doa saja mesti dijiplak, Tuhan pun tentu saja marah. Pantas doa bangsa ini tak pernah terkabul. Lha, kan doa jiplakan, dan mana pula ada doa pakai catatan kaki.

“Copy paste” atau salin tempel kini digunakan untuk melakukan penipuan dalam tindak perbuatan jiplak-menjiplak. Di dunia artis Indonesia, jiplak-menjiplak dilakukan di mana-mana dan kapan saja. Amerika bikin “breakdance” kita jiplak, orang kulit hitam bikin musik jazz kita jiplak, belakangan mereka bikin musik “mengomel-ngomel” yang disebut “rap” kita jiplak juga. Anehnya, musik keroncong dan campur sari serta dangdut tak pernah dijiplak orang bule. Yang kita klaim sebagai milik asli bangsa ini ternyata jiplakan juga. Di dunia film sama juga begitu.

Sebuah grup band anak-anak muda Indonesia menamakan dirinya G-Pluck untuk mengangkat popularitas dirinya di kancah persaingan dunia hiburan. Sebenarnya nama G-Pluck itu tak ada artinya apa-apa, tetapi ketika nama itu diucapkan dalam ejaan Inggris maka terdengar dalam bahasa Indonesia kata “ji-plak”. Mereka ternyata menjiplak gaya dan lagu pemusik “The Beatles” asal Liverpol, Inggris yang legendaris itu. Massih untung mereka menyebut penciptanya.

Kita paling getol menuduh Malaysia menjiplak lagu atau hasil budaya Indonesia, tetapi kita tidak pernah sadar bahwa kita sendiri pun menjiplak lagu “What A Friend We Have In Jesus” dan menggantinya dengan “Kulihat Ibu Pertiwi”. Begitu juga lagu yang dinyanyikan pada saat mengheningkan cipta pada acara kenegaraan, seratus persen adalah jiplakan lagu rohani yang dinyanyikan di gereja-gereja. Di dunia teknologi bagaimana. Ternyata kita tidak bisa menjiplak, kita tertinggal jauh sekali.

Jiplak itu berbeda dari meniru atau mencontoh. Proses penjiplakan akan menghasilkan bentuk yang sama persis tetapi meniru atau mencontoh paling-paling hanya menghasilkan wujud yang mirip-mirip dengan aslinya. Anda boleh saja meniru sebab setiap orang menjadi tahu karena meniru atau mencontoh tetapi hasilnya tak akan sama persis dengan yang yang ditiru.

Belajar adalah proses meniru juga, dan anak-anak menjadi dewasa karena meniru-niru orang-tuanya, tetapi jiplak atau penjiplakan atau plagiat cenderung dilakukan untuk kejahatan sebab biasanya dengan maksud mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai karangannya sendiri. Kalau tidak ketahuan, perbuatan penjiplakan akan menghasilkan keuntungan uang sangat banyak.

Agama ternyata tak bisa mengatur umatnya untuk tidak menjiplak lantaran ternyata ada agama yang terbentuk karena jiplakan dari agama yang sudah ada lebih dahulu. Umatnya fanatis melakukan ritual sampai ke sumbernya di Timur Tengah –katanya untuk membela agama, meneguhkan keyakinan, dan menghapus dosa-- tetapi sesampainya di negeri sendiri, ritual penjiplakan juga dimulai, tanpa rasa salah tanpa rasa dosa.

Jangan heran, seorang pemimpin redaksi di perum penerbitan pers pun melakukan penjiplakan tanpa rasa bersalah. Dia sajikan makalah jiplakan seratus persen dari karangan orang lain yang telah diterbitkan tiga tahun sebelumnya dan diakui sebagai karangannya sendiri.

Pada akhir makalah jiplakan itu ada tambahan catatan kaki yang menerangkan bahwa penulisnya adalah pemimpin pedaksi dan pernah menjabat kepala biro luar negeri. Seakan-akan dia hendak meyakinkan para peserta disikusi bahwa dialah penulis makalah yang disajikannya itu. Padahal semuanya penipuan belaka. Jadi apa boleh bikin.

Emangnya yang saya tulis itu ada? Ada, ada faktanya! Suatu bukti bahwa kita ternyata baru bisa menjiplak, mencuri karangan orang lain sajalah. Dosa? Akh, kan bisa terhapus kalau bilang “tobat”.

I. Umbu Rey

Selasa, 24 Januari 2012

Lembaga Pemasyarakatan Cipinang

Frasa “Lembaga Pemasyarakatan” kedengaran di telinga saya rada-rada aneh, sebab tak sesuai dengan pernalaran akal dan budi. Setiap kali saya bertanya-tanya, itu lembaga sebenarnya mau memasyarakatkan apa, dan untuk apa?

Dahulu penjara atau bui itu tempat menahan orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri karena melakukan tindak kejahatan. Sejak awal dekade tahun 1970-an istilah penjara itu diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan, dan dikenal dengan singkatan lapas atau LP saja.

Mungkin istilah penjara dianggap tidak manusiawi karena tidak sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab menurut sila kedua Pancasila. Sebenarnya kata “penjara” itu sudah terpeleset pula dari kata aslinya “penjera” yakni tempat orang dihukum supaya jera.

Dahulu, kalau orang meringkuk dalam penjara Tangerang, masuk gemuk pulang tinggal tulang karena kerja secara paksa. Begitulah gambaran keadaan dalam bui yang disampaikan dalam syair lagu D’Loyd. Itu sebabnya orang jahat suka melarikan diri dari kejaran aparat penegak hukum sebab takut disiksa, dan banyak orang takut melakukan perbuataan yang melawan hukum.

Penjara sebenarnya dibuat supaya orang yang terbukti melakukan tindak pidana kejahatan dapat dibikin jera dan bertobat sehingga kelak di kumudian hari jika dia lepas kembali tidak lagi mengulangi perbuatannya. Banyak dari mereka yang telah mendekam bertahun-tahun terbukti bertobat, meskipun sebagian lagi tetap mengulangi lagi kejahatannya. Dalam istilah hukum mereka itu disebut residivis.

Setelah keluar dari penjara bekas orang tahanan itu tetap menganggur karena tidak ada pekerjaan dan tidak dibekali apa-apa untuk mencari nafkah. Mencari pekerjaan halal sulit lantaran nama mereka sudah tercemar sebagai orang jahat yang ditakuti oleh lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal.

Tak ada lagi orang yang percaya, dan karena (mungkin) nama sudah tercemar dan tidak ada lagi jalan lain, terpaksalah mereka mengikuti jalan nasib, kembali jadi orang jahat untuk melakukan pekerjaan pidana rutin, siapa tahu mujur nasib bisa berubah. Kalau tertangkap kembali paling-paling masuk bui lagi, dan makan gratis kalau perlu seumur hidup. Mereka itulah yang disebut penghuni hotel prodeo, atau istilah sekarang “romantis”, rombongan makan gratis.

Sekarang ini pemerintah berupaya memanusiakan mereka agar kembali ke dalam masyarakat supaya hidup baik-baik sebagaimana layaknya masyarakat biasa. Karena itu orang jahat dimasukkan ke dalam LP atau Lembaga Pemasyarakatan dan bukan lagi masuk penjara.

Penjara atau bui adalah bangunan tempat mengurung orang hukuman (lihat KBBI – Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV). Jelas pengertiannya. Tetapi lembaga pemasyarakatan --bagi saya-- tak jelas benar arti maksudnya.

Menurut KBBI “lembaga” berarti asal mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, atau tumbuhan). Jadi, lembaga pemasyarakatan mungkin sekali mengacu pada pengertian bakal manusia yang menjalani proses pemasyarakatan. Tetapi narapidana atau orang hukuman itu bukan bakal manusia, sebab mereka itu adalah manusia dewasa yang karena kejahatannya, ketangkap polisi lalu masuk bui.

Bakal manusia itu sesungguhnya masih berupa janin atau embrio dalam kandungan ibunda. Jadi, pengertian “lembaga pemasyarakatan” sama saja dengan janin atau embrio yang hendak menjalani proses memasyarakatkan manusia. Tak mungkinlah janin dimasyarakatkan? Untuk apa?

Kamus Tesaurus bikinan Eko Endarmoko (cetakan kedua 2007) menyatakan lembaga bersinonim dengan badan, dewan, institusi, institut, majelis, organisasi, dinas, instansi, jabatan, jawatan, kantor, maktab. Karena bersinonim, maka saya ambil saja salah satu kata yang mirip artinya dengan “lembaga”, yakni dinas, jawatan, atau institusi.

Dinas adalah bagian kantor pemerintah yang mengurus pekerjaan tertentu, dalam hal ini mengurus orang jahat atau narapidana. Maka Lembaga Pemasyarakatan itu adalah dinas yang bertugas untuk memasyarakatkan narapidana. Dalam benak saya, pengertian ini pun janggal sekali. Untuk apa narapidana itu dimasyarakatkan? Bukankah narapidana atau orang hukuman itu sebelumnya memang sudah anggota masyarakat?

Menurut KBBI, masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Tetapi, mereka itu juga terdiri atas manusia yang mempunyai berbagai perangai atau watak. Ada yang baik dan ada pula yang jahat. Anggota masyarakat yang baik akan melakukan hal yang baik menurut budayanya, tetapi yang wataknya jelek akan tetap jelek dan tidak mungkin diselamatkan oleh ayat agama apa pun.

Kata masyarakat jika mendapat imbuhan, turunannya begini:

(1). Masyarakat – pemasyarakat – memasyarakatkan – pemasyarakatan – masyarakatan.

Masyarakat itu jelas artinya. Pemasyarakat adalah orang atau dinas yang memasyarakatkan. Pemasyarakatan adalah proses, cara, atau perbuatan memasyarakatkan atau memasukkan dalam masyarakat (KBBI), sedangkan masyarakatan adalah hasil dari proses memasyarakatkan atau yang dimasyarakatkan (istilah masyarakatan itu belum berterima sampai kini dan karena itu belum tercatat dalam KBBI edisi keempat).

Frasa Lembaga Pemasyarakatan Cipinang yang saya tulis sebagai judul coret-coretan ini terasa janggal juga ditinjau dari sudut tata bahasa. Lembaga pemasyarakatan itu sebenarnya hendak memasyarakatkan apa? Jikalau lembaga pemasyarakatan itu kita perlakukan sebagai subjek maka yang hendak dimasyarakatkan adalah Cipinang (objek penderita). Mengapa Cipinang hendak dimasyarakatkan? Tujuannya apa? Cipinang itu bukankah nama tempat di Jakarta Timur, dan semua orang pastilah sudah tahu. Sudahlah, mungkin ini terlalu mengada-ada sebab kita toh semua tahu bahwa Cipinang adalah nama Lembaga Pemasyarakatan itulah.

Jikalau mengikuti logika, frasa pada judul tulisan di atas seharusnya tertulis Lembaga Pemasyarakatan Narapidana di Cipinang. Frasa ini menurut saya benar jika kita mengikuti logika tata bahasa, karena yang hendak dimasyarakatkan tentulah narapidana. Yang jadi persoalan, mengapa narapidana itu dimasyarakatkan, dan untuk apa? Toh, kalau dia kembali ke masyarakat akan menjadi penjahat juga. Orang naik haji saja pergi tobat pulang kumat, karena itu biasanya disebut Haji Tomat. Apalagi narapidana bebas dari kungkungan lapas.

Kalau Pak Harto dulu mengucapkan frasa “memasyarakatkan olahraga” maka itu artinya olahraga mesti digalakkan di dalam masyarakat supaya orang dapat hidup lebih sehat, sebab pada dasarnya olahraga itu memang kegiatan yang menyehatkan. Sejalan dengan itu, jikalau LP hendak “memasyarakatkan narapidana” juga, maka itu artinya narapidana atau orang jahat itu akan lebih digalakkan lagi dalam masyarakat. Tetapi, narapidana itu sesungguhnya tidak menyehatkan karena sudah dicap sebagai orang jahat.

Maka pantaslah tabiat jahat napi kumat lagi kalau sudah keluar dari penjara, atau dimasyarakatkan kembali, bahkan mungkin lebih jahat lagi. Peri bahasa mengatakan orang jahat itu ibarat anjing, biar dirantai dengan rantai emas sekalipun, kalau lepas ke tempat sampah pula dia kembali. Sama juga dengan narapidana yang jika lepas dari lapas akan tetap menjadi jahat.

Contohnya narapidana pengguna narkoba --di mana-mana bahkan di kalangan artis pun banyak-- susah meninggalkan kebiasaannya. Sesudah lepas dari lembaga pemasyarakatan, kembali pula ia menenggak narkoba. Akhirnya banyak yang mati terkapar karena penyakit AIDS.

Ada yang bisa melupakan kebiasaan buruknya itu setelah lepas dari penjara tetapi bukan karena pengaruh ritual agama, tetapi karena siksaan perbuatannya sendiri. Mereka itu tersiksa karena menenggak narkoba, tersiksa karena dikejar bayangan menakutkan karena dia telah merampok dan membunuh orang banyak. Itu sebabnya penjara pada zaman dulu dibuat seperti tempat siksaan supaya orang jadi jera.

Ada penjahat yang menyesal lalu masuk agama tertentu, sesungguhnya untuk mencari perhatian saja, padahal dulunya si pengguna narkoba atau penjahat itu memang sudah beragama. Rupanya dia dipakai untuk mempopulerkan agama tertentu sambil pamer simbol agama di layar teve. Dia disambut oleh pemuka agama untuk memberikan kesaksian, seakan-akan ingin memperlihatkan dirinya sebagai jalan, dan kebenaran, dan hidup. Padahal agama sama sekali tak berperan apa-apa untuk membuat si pengguna narkoba itu menyesal dan bertobat.

(2). Bermasyarakat – mempermasyarakatkan – permasyarakatan – pemasyarakat

Menurut butir (2) di atas, bermasyarakat itu jelas maksudnya. Mempermasyarakatkan artinya membuat supaya bermasyarakat, dan permasyarakatan maksudnya hal bermsyarakat atau tempat bermasyarakat. Pemasyarakat dalam pengertian ini artinya orang yang bermasyarakat.

Jadi, paling tepat seharusnya kita sebut Lembaga Permasyarakatan Narapidana, yakni lembaga (penjara) tempat orang bermasyarakat. Jikalau kita ingin mengembalikan narapidana itu ke dalam masyarakat bebas di luar sana, biarkanlah dulu dia bermasyarakat di dalam bui. Di situ si koruptor dapat bergaul bebas dengan penjudi, pengedar narkoba, pembunuh, perampok, maling ayam, pelacur dan sebagainya. Dengan begitu dia tahu bahwa koruptor itu ternyata lebih jahat dan bahkan lebih hina daripada penjambret dan maling ayam. Mudah-mudahan dia sadar lalu bertobat.

Belakangan muncul istilah baru yang lebih keren dan dianggap sangat manusiawi dan konon sungguh-sungguh sesuai dengan falsafah Pancasila. Orang tahanan atau narapidana itu sekarang disebut warga binaan. Istilah itu pun tidak masuk akal. Soalnya, mereka itu dibina dulu selama dalam bui supaya mendapat bekal hidup yang baik, dan kalau sudah sampai waktunya mereka akan dimasyarakatkan kembali atau dikembalikan ke dalam masyarakat, dengan harapan moga-moga jadi orang baik-baik.

Yang dibina di dalam penjara pun bukan hanya napi kere kelas teri tak kenal hukum, tetapi termasuk di dalamnya juga Pak Antasari Azhar. Lha, yang membina Pak Antasari siapa? Siapa lagi kalau bukan sipir bui atau kalapas. Ganjil betul kedengarannya istilah warga binaan itu.

Semua orang pastilah sudah tahu bahwa Pak Antasari itu orang intelek, ahli hukum yang cerdas pandai. Dia juga mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua orang pun tahu Antasari masuk penjara karena korban kongkaling aparat penegak hukum yang munafik. Lha, Ketua KPK kenapa harus pula dibina di dalam penjara, oleh sipir bui lagi.

Anehnya lagi, narapidana warga binaan itu semuanya BERAGAMA, begitulah yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Akh, kalau BERAGAMA mengapa mereka harus menjalani pembinaan dalam LP? Apa peran agama dan mengapa tidak mampu mencegah mereka masuk LP?

Pada kenyataannya, menjadi orang baik-baik di LP toh harus bayar juga. Tidak semuanya ingin bertobat setelah mendapat binaan. Konon, menurut penelitian mahasiswa hukum universitas terkenal di Indonesia, tiap-tiap remisi harus dihitung dengan besar uang yang harus dibayarkan kepada petugas supaya lekas keluar dari LP. (sumber: acara Indonesia Lowyers Club di TVone). Kalau tidak dapat remisi nanti penjara akan cepat penuh. Penjahat dan koruptor yang lain pada gilirannya tidak dapat tempat, dan tentu saja tidak kebagian pembinaan.

Para pengacara berlomba-lomba membela koruptor dengan dalih kliennya teraniaya, atau karena ingin membuka jaringan mafia. Pengacara berkelit mencari celah hukum pembenaran untuk meringankan hukuman sampai seringan-ringannya berdasarkan HAM atau hak asasi manusia.

Mereka, para pembela itu berkelit, HAM tidak bisa dibatasi oleh tembok penjara. Akhirnya, kliennya masuk penjara paling lama lima atau tujuh tahun. Setelah dapat remisi, paling banter kliennya mendekam dua tahun saja, itu pun kamar penjara bisa divermak jadi kamar hotel bintang lima. Enak betul dia. Padahal waktu dia melakukan korupsi, mana pernah dia pakai HAM. Disikatnya habis uang rakyat sampai tuntas.

Menurut mantan Ketua Umum PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) yang juga mantan narapidana, Nurdin Halid, yang ketika itu enggan turun dari jabatannya itu, orang yang sudah menjalani vonis hukuman penjara artinya dia sudah dipulihkan kembali karena sudah dibina. Karena itu bekas napi (narapidana) itu pun berhak pula menjadi presiden RI.

Kalau kita turuti logika Nurdin Halid, maka seharusnya istilah lembaga pemasyarakatan itu sudah waktunya diganti dengan Lembaga Pembinaan Narapidana. Dalam pengertian ini unsur kejahatan hanya melekat pada kata narapidana, tetapi setelah usai masa tahanan tidak ada lagi bekas napi, atau bekas orang hukuman. Yang ada bekas binaan sebab sudah terhapus kesalahannya berkat pembinaan.

Dulu memang dia pernah menjadi napi tetapi sekarang sudah pulih karena sudah dibina, bukan? Padahal kelakuannya tetap rusak juga, karena dari sononya memang sudah rusak. Pokoknya, ungkapan “mens sana in corpore sano” tak berlaku di dalam LP. Tubuh mereka memang kuat-kuat dan kekar semuanya tetapi di dalamnya terdapat jiwa yang sakit.

Itu sebabnya penjara atau bui dibuat pada awalnya sebagai tempat penyiksaan supaya orang bertobat, kenapa sekarang jadi tempat pembinaan? Bukankah Tuhan juga menyiksa manusia supaya mereka bertobat? Tuhan Yang Mahaadil biasanya menyadarkan dan mengembalikan setiap manusia yang sesat ke jalan yang benar dengan penyiksaan, lantaran mereka telah melecehkan iman dan menghina Tuhan. dalam kitab suci ceritanya begitu.

Tuhan tidak pernah menggunakan agama untuk menyadarkan manusia. Firaun yang tak pernah sadar dari siksaan sepuluh bala atau malapetaka, akhirnya mati terkubur hidup-hidup di bawah gulungan ombak. Firaun itu beragama apa? Kalau pun dia beragama, agamanya pun tak akan mungkin menyelamatkan Firaun dari kematian.

Anton Medan dan Jhony Indo –dulunya penjahat ulung-- kembali menjadi orang baik sesungguhnya bukan karena agama yang mereka anut. Mereka itu bertobat sebenarnya karena siksaan perbuatannya sendiri selama hidup, jiwa mereka terkungkung seperti diikat dengan borgol berlapis-lapis. Mereka menderita oleh perbuatannya sendiri, sesudah itu mereka sadar lalu menganut agama untuk cari popularitas.

Banyak orang di negeri ini tidak tanggung-tanggung melakukan kejahatan. Pembunuh bayaran bengisnya bukan main, mafia narkoba bisnis besar merusakkan generasi. Tukang korupsi tidak tanggung-tanggung makan uang rakyat, tilap uang negara bermiliar-miliar, ketangkap masuk LP, paling-paling jadi warga binaan. Soalnya, pengacaranya orang cerdas pandai yang dibayar sangat mahal (dari uang korupsi juga), jadi tak soal masuk bui, sebab nanti dapat remisi. Uang hasil korupsi kan masih bejibun. Keluar penjara kagak kerja duduk ongkang-ongkang bisa hidup sepanjang umur. Contohnya Gayus Halomoan Tambunan.

Di dalam LP, ada narapidana mengikuti kuliah, dan sampai waktunya setelah dapat remisi keluarlah dia dengan menyandang titel atau gelar akademik Sarjana Hukum. Habis itu apa kerjanya? Tipu sana tipu sini, rampok sana rampok sini juga, sebab dari sononya memang sudah begitu. Mereka cuma jadi residivis.

I. Umbu Rey

Kamis, 12 Januari 2012

“Ke” dan “Di” yang amburadul

Kata depan “di” dan “ke” masuk kelas “kata tugas” yang hanya memiliki arti gramatikal saja tetapi tidak mempunyai arti leksikal. Arti suatu kata tugas bukan ditentukan oleh kata itu secara lepas, tetapi oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat. Tugasnya semata-mata memungkinkan kata lain berperanan dalam kalimat.

Berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat, kata tugas dibagi dalam lima kelompok, yakni preposisi (kata depan), konjungsi (kata sambung), interjeksi (kata seru), artikel (seperti “sang, sri, hang, dang”) dan partikel (seperti “kah, lah, tah, dan pun).

Peroposisi atau kata depan adalah kata tugas yang bertugas sebagai unsur pembentuk frasa preposisional. Letaknya di bagian awal frasa dan unsur yang mengikutinya dapat berupa nomina, adjektiva, atau verba. Dengan begitu dari nomina pasar dan verba mengail dapat kita bentuk frasa ke pasar dan dengan mengail.

Yang dibicarakan dalam tulisan ini hanya menyangkut preposisi atau kata depan “di” dan “ke” saja, seperti tertulis pada judul tulisan di atas. Dua kata depan ini paling sering atau paling banyak digunakan secara salah kaprah saban hari. Yang dimaksud dengan salah kaprah adalah kesalahan lazim atau umum yang dianggap benar saja oleh si penutur dan pendengarnya.

Akibatnya, orang atau para penulis tidak lagi dapat membedakan mana awalan dan mana kata depan dan penulisannya pun ditulis secara serampangan sehingga kita tidak lagi dapat membedakan apakah itu awalan atau kata depan.

Yang sering terjadi dalam penggunaan adalah kedua kata depan ini ditulis serangkai atau digabungkan dengan kata yang mengikutinya, misalnya “disana, disini, disitu, dimana, didalam dirumah, dikantor, kesana-sini, kekantor dan kepasar” dll.

Secara sederhana, kata depan “di” hanya untuk menandai hubungan tempat berada dan kata depan “ke” menandai hubungan arah menuju suatu tempat. Menurut pedoman umum Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, dua kata depan ini haruslah ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.

Contoh: -- Di mana ada Siti di situ ada Sidin

-- Mereka ada di rumah

-- Mari kita berangkat ke pasar

-- Saya pergi ke sana-sini mencarinya.

Dalam bahasa lisan atau bahasa tuturan, kata depan “di” dan “ke” mungkin tidak dipedulikan atau dipermasalahkan lantaran orang hanya memahami konteks kalimatnya saja. Jadi, terserah yang bicara saja, pendengarnya pastilah dianggap sudah tahu maksudnya.

Media massa elektronik seperti televisi atau radio --yang menggunakan bahasa lisan sebagai pengantar-- tentu saja tidak peduli apakah itu kata depan atau awalan. Dalam layar televisi kita sering melihat tulisan dalam “running text” yang tidak sesuai dengan aturan EYD, terutama mengenai kata depan “di” dan “ke”.

Tampaknya, yang penting bagi media televisi, apa yang disampaikan oleh pembaca atau apa yang dimaksudkan oleh seorang pewara atau “presenter” dapat dimengerti atau dipahami oleh pemirsa atau pendengarnya. Persoalan taat asas dalam penulisan kata depan ini pun diabaikan saja.

Akibatnya, salah tulis kata depan dianggap biasa saja oleh khalayak ramai sebab mereka menganggap toh sudah pasti dimengerti apa maksudnya. Lagi pula, pengabaian taat asas penulisan kata depan ini dianggap tidak terlalu mengganggu konteks kalimat yang ditulis.

Di kalangan siswa dan pelajar pun salah tulis kata depan tampaknya sudah menjadi kebiasaan umum. Pada umumnya mereka sulit membedakan mana awalan dan mana kata depan lantaran “di” dan “ke” juga dipakai sebagai awalan.

Susahnya, tak semua pelajar atau siswa mengetahui apa itu kata benda dan keterangan tempat, dan apa itu kata kerja ketika mereka menulis sebuah karangan. Akibatnya, penulisan kata depan diletakkan secara sembarangan menurut kebiasaan mereka dalam percakapan.

Dengan pemikiran paling sederhana, sesungguhnya kita dapat dengan mudah menulis kata depan “di” sebagai kata depan untuk membedakannya dengan awalan. Kata depan “di” selalu dipisahkan penulisannya jika diikuti oleh kata benda (nomina) dan kata keterangan tempat. Sebagaimana namanya (kata depan), maka letaknya pun selalu di depan dan tidak diserangkaikan dengan kata yang mengikutinya. Contoh: di meja, di pohon, di batu, di sana, di atas, di situ dll.

Hal seperti itu tidak akan mungkin diabaikan oleh para redaktur media massa cetak seperti koran atau majalah terpercaya. Kesalahan penulisan sekecil apa pun semisal salah cetak atau salah letak kata depan “di” dan “ke” akan menjadi pembahasan dalam rapat redaksi, karena wartawannya dianggap telah melakukan kebodohan.

Salah tulis kalimat dalam bahasa koran dan majalah akan dianggap menyesatkan para pembaca, karena mungkin sekali akan menimbulkan salah tafsir. Lagi pula, bahasa koran dan majalah memang selalu dipakai sebagai acuan oleh murid, pelajar, dan mahasiswa. Itu sebabnya kalimat bahasa dalam media cetak seperti koran dan majalah tidak boleh menyimpang dari aturan bahasa yang baku.

Koran dan majalah terkemuka semisal KOMPAS dan majalah TEMPO bahkan telah menyediakan redaktur bahasa (Indonesia) yang khusus bertugas untuk mengoreksi kesalahan bahasa, kalimat, dan ejaan sebelum sebuah berita diturunkan ke percetakan untuk diterbitkan. Selalu ada kesalahan kecil di sana-sini yang tak terhindarkan biasanya disebabkan kesalahan teknis.

Kesalahan penulisan kata depan “di” dan “ke” mungkin juga disebabkan oleh kebiasaan menulis dalam “bahasa gaul” di internet atau dalam “short message service (SMS) atau layanan pesan singkat telefon genggam, yang memerlukan kecepatan tetapi hanya tersedia ruang yang sempit. Akibatnya, kata depan pun ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Tanpa sadar, kebiasaan buruk ini terbawa dalam tulisan resmi yang mengharuskan kita menulis dengan ejaan yang benar.

Dalam bahasa tulisan atau surat-menyurat resmi, kata tugas di pada frasa dibalik buku ini (“di” ditulis serangkai dengan kata balik) adalah sebuah kekeliruan. Sebenarnya kata dibalik tidak menunjukkan verba pasif sebab bukan pula lawan kata membalik buku. Kata dasar “balik” adalah keterangan tempat.

Frasa “dibalik buku ini” mengandung maksud bahwa ada sesuatu di belakang buku ini. Karena itu frasa dibalik buku ini seharusnya ditulis di balik buku ini. Kata dasar balik adalah nomina atau kata benda yang berarti sisi yang sebelah belakang dari yang kita lihat. (Periksa KBBI –Kamus Besar Bahasa Indonesi-- edisi keempat 2008).

Demikian juga kata kemeja bapak dalam bahasa lisan atau tuturan mungkin sekali menunjuk pada arah meja tulis yang biasanya digunakan oleh bapak, tetapi dalam bahasa tulisan kata kemeja bapak boleh jadi menunjuk pada pengertian pakaian (baju T-shirt) yang biasanya dipakai oleh bapak.

Jika kita hendak menunjuk pada arah meja atau letak meja bapak, maka dalam bahasa tulisan kata depan “ke” hendaknya dipisahkan penulisannya dari kata meja, sehingga menjadi ke meja bapak. Letak meja tulis bapak mungkin berada di sudut ruangan sebelah timur atau barat.

Menurut amatan saya, kesalahan penggunaan kata depan ini dalam kalimat tulisan, bukan hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga dalam surat-menyurat yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta, atau perorangan.

Anehnya, salah kaprah penggunaan kata depan ini bukan hanya dilakukan oleh mereka pada hampir semua tingkat pendidikan, tetapi juga dilakukan oleh semua usia. Bahkan lebih aneh lagi, orang yang lahir setelah tahun 1980-an pun melakukan kesalahan serupa, dalam arti tidak bisa membedakan bagaimana menulis kata depan “di” dan “ke” dan bagaimana menulis awalan “di” dan “ke”.

Bahkan lebih kacau lagi, awalan “di” (yang merupakan awalan, bukan kata depan) malah ditulis terpisah dengan kata verba yang mengikutinya, seperti pada kata di buang, di kembangkan, di masukkan dst.

Padahal, Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) yang telah berlaku sejak awal tahun 1972 menurut Keputusan Presiden No.52 tahun 1972, dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober 1972 No. 0156/P/1972 dengan segala perubahannya, telah mengatur dengan jelas masalah kata depan ini.

Terasa amat janggal, jikalau murid sekolah dasar atau mahasiswa yang belajar tata bahasa setelah tahun 1980-an masih juga tidak dapat membedakan awalan dan kata depan. Mungkinkah salah guru yang mengajar, atau salah suratan takdir?

Tetapi, kata depan “di” tidak dapat diletakkan di depan kata keterangan waktu. Akan terasa amat janggal jika kita mengatakan di tanggal 5, di bulan April, di tahun 2011, atau di saat itu. Dalam konteks ini kata depan “di” seharusnya diganti dengan kata tugas “pada” yang menandai hubungan tempat atau waktu. Jadi seharusnya kita mengatakan pada tanggal, pada tahun, atau pada saat itu.

Penyimpangan ini hanya dapat dilakukan oleh para penyair atau penggubah lagu, karena sesuai dengan profesinya sebagai seniman mereka mendapat kelonggaran menggunakan kata depan “di” untuk menyesuaikan dengan not atau tanda nada tertentu pada musik.

Karena itu para penyair boleh saja mengatakan “di senja kelabu selembab ini ... aku datang lagi manis”. Demikian pula para penyanyi keroncong misalnya dapat dengan bebas mengucapkan frasa “ Tetapi apalah dayaku...di saat itu kecewa...yang kutrima hanyalah sampul kosong belaka”.

Selain contoh kata depan di atas, kata “di” pada umumnya menunjuk pada awalan yang membentuk kalimat pasif dan karena itu penulisannya pun harus diserangkaikan dengan kata yang mengikutinya.

Kata depan “ke” selalu ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya jika menunjukkan hubungan arah. Letaknya pun selalu di depan kata yang mengikutinya. Contoh: ke sana, ke timur, ke laut, dll, kecuali dalam gabungan kata yang sudah dianggap sebagai satu kata seperti “kepada”, dan “keluar” (sebagai lawan kata masuk).

Kata depan “ke” ditulis terpisah dengan kata “luar” karena menandai arah menuju suatu tempat (luar) dan lazimnya dikenal sebagai lawan kata “di dalam”. Tetapi kata “kemari” adalah sebuah kata dasar yang bukan lawan kata “dimari”. Dalam bahasa Indonesia kata “dimari” tidak dikenal.

Sejak zaman dahulu kita mengenal ungkapan sindiran “laki-laki mata keranjang”. Pada umumnya orang mengerti secara salah kaprah bahwa kata “keranjang” menunjuk pada mata laki-laki yang diibaratkan seperti keranjang karena senang atau hobinya suka melihat perempuan cantik.

Lantas, apa hubungan “keranjang” dengan “mata laki-laki” yang diberi makna ‘hobi melihat perempuan cantik’? Tidak ada kaitannya sama sekali. Sesungguhnya kata “keranjang” itu bukan sebuah benda tempat menaruh sampah atau sejenis bakul besar yang terbuat dari pandan atau bambu.

Jadi, tidak masuk akal kalau keranjang sampah diibaratkan dengan mata laki-laki. Sebesar apa pun mata laki-laki akan terasa janggal jika diibaratkan dengan keranjang. Paling-paling kita menyebut laki-laki itu adalah sejenis “genderuwo” yakni hantu yang konon serupa manusia yang tinggi besar dan berbulu lebat. Tetapi, genderuwo tidak mempunyai hobi suka melihat wanita cantik.

Jikalau kita cermat memperhatikan kata “keranjang”, sebenarnya “ke” pada kata “keranjang” adalah kata depan yang ditulis secara salah kaprah. “Ke” seharusnya ditulis terpisah di depan kata “ranjang” sebab ranjang adalah tempat tidur yang terbuat dari besi, biasanya diberi berkelambu. Ranjang pengantin adalah tempat tidur yang dipakai oleh pengantin baru.

Itu sebabnya metafora di atas seharusnya ditulis dengan bahasa yang benar: Laki-laki mata ke ranjang”. Kata depan “ke” menandai hubungan arah menuju pada suatu tempat (ranjang), dan karena itu harus ditulis terpisah dari kata “ranjang’. Bukankah laki-laki yang hobinya melihat perempuan cantik, mata dan pikirannya selalu menuju ke arah ranjang? Ada tahulah maksudnya.

I. Umbu Rey

Jumat, 06 Januari 2012

Kubang

Di Pulau Sumba ada dua hewan ternak sangat spesial, yakni kerbau dan babi. Binatang ini lebih tinggi harganya daripada kambing dan anjing meskipun sama-sama berkaki empat dan dimakan orang pula. Tinggi harganya karena dua binatang itu harus digunakan dalam adat kawin dan perkabungan atau kematian.

Dalam perkawinan pihak lelaki harus membayar kerbau atau babi sebagai mas kawin di samping benda lain semisal tombak, gading, dan emas (mamuli) yang besarnya bergantung pada penawaran. Dalam bahasa Sumba mas kawin atau mahar itu disebut “belis” (lihat KBBI). Tetapi suku kata “be” harus diucapkan seperti kita menyebut “bela” atau “belok”. (KBBI itu salah sebut).

Demikian juga jika ada kematian atau perkabungan, kedua jenis ternak ini akan menjadi korban sembelihan untuk menjamu pelayat yang akan membuka batu kubur. Daging kerbau dipotong-potong dan dibagikan kepada tetamu, dan boleh dibawa pulang, sama seperti pembagian daging korban pada perayaan Iduladha atau Idul Kurban dalam agama Islam.

Kerbau biasanya disembelih untuk lauk makanan ribuan orang penarik batu kubur sedangkan babi lebih banyak disembelih untuk menjamu para pelayat yang datang berdoa atau mendoakan si mayat, semacam tahlilan, waktu “mete” bagi penganut Kristen. Mete itu sebenarnya juga berarti melek sepanjang malam menunggui mayat, biasanya selama tiga malam berturut-turut sebelum penguburan.

Kerbau dan babi ada yang hitam ada pula yang belang warnanya. Keduanya adalah binatang berkuku belah, tetapi hanya kerbau yang memamah biak. Kerbau makan rerumputan dan ditelan begitu saja, nanti baru dimuntahkan kembali lalu dimamah atau dikunyah. Babi lebih banyak makan ubi-ubian, sejam kemudian langsung jadi tahi.

Persamaan khas kedua binatang ini adalah suka “berkubang” dan ini yang mau saya bicarakan. “Berkubang” sebenarnya berarti berguling-guling dalam lumpur, termasuk Anda juga boleh berkubang dalam lumpur. Kalau tidak dalam lumpur bukan berkubang namanya. Kerbau dan babi berkubang karena maunya sendiri sebab kebiasaannya memang begitu. Lumpur itu menutupi kulitnya supaya tidak panas. Itu sebabnya tidak pernah ada orang yang “mengubangkan” kerbau dan babi.

KBBI Pusba memunculkan kata berimbuhan “mengubangkan” di bawah lema “kubang” dan diberi penjelasan “memandikan.....dst”. Kalau memandikan, maka airnya harus jernih dan bersih, dan harus ada usaha manusia yang membuat kerbau itu mandi, lantaran kerbau dan babi tidak biasa mandi. Kalau sudah begitu prosesnya maka seharusnya kita sebut “memandikan kerbau” bukan “mengubangkan”.

“Memandikan” beda dari “bermandi”. Ibu biasanya memandikan anaknya. Meskipun anaknya dicemplungkan dalam bak mandi lalu berguling-guling di dalamnya, anak itu tidak bisa disebut “berkubang”, tetap saja mandi. “Bermandi” itu kebiasaan atas kemauan sendiri. Karena itu Mus Mulyadi melantunkan lagu keroncong Dewi Murni. Salah satu kalimatnya berbunyi “....Untuk menyambut sang Dewi Murni, turun bermandi di telaga Dewa....dst”. Dewi Murni bermandi atas maunya sendiri. Mana ada Dewi yang mau dimandikan. Wah, enak betul yang kasih mandi. Saya sih mau juga.

Bermandi di telaga harus berair jernih bukan di dalam lumpur. Dalam ritual orang Kristen ada “permandian” yakni hal bermandi atau bersiram. Dalam permandian, seseorang disiram dan dipercik dengan air dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Permandian disebut juga pembaptisan. Sebagian aliran Kristen melakukan pembaptisan dengan mencelupkan seluruh badan dalam kolam, meskipun demikian hal itu tidak bisa disebut “mengubangkan”.

Seingat saya, sejak zaman dahulu dalam bahasa Indonesia hanya ada kata “berkubang” dari lema “kubang”. Buktinya, KUBI tidak menurunkan kata “mengubangkan”. Kata “kubangan” muncul dalam kamus mungkin karena rekaman ucapan yang salah kaprah. Ada peri bahasa lama “setinggi-tinggi terbangnya bangau surutnya ke kubangan juga”.

Dalam peri bahasa itu muncul kata “kubangan” yang entah dari mana asal-muasalnya, saya tidak tahu persis. Itu mungkin sebabnya KBBI menurunkan kata berimbuhan “mengubangkan” karena dari situlah terbentuk kata “kubangan”.

1. ** Kubang – pengubang -- mengubangkan – pengubangan – kubangan.

KUBI dan KBBI mengartikan “kubangan” idem dito, yakni kubang juga. Mestinya “kubangan” diberi penjelasan “hewan yang dikubangkan”. Pada butir (1) , pengubang adalah orang yang mengubangkan, pengubangan adalah cara atau proses mengubangkan, dan kubangan adalah hasil dari proses mengubangkan, atau sesuatu (hewan) yang dikubangkan.

2.** Kubang – berkubang -- memperkubangkan – perkubangan – pekubang

Pada butir (2), “memperkubangkan” adalah membuat supaya (kerbau, babi) berkubang, dan “perkubangan” adalah hal berkubang atau tempat berkubang, dan pekubang adalah kerbau atau babi yang berkubang.

Kalau kita menghendaki kerbau atau babi itu “berkubang” maka seharusnya kita mengatakan “memperkubangkan” dan bukan “mengubangkan”. Demikian juga bangau dalam peri bahasa itu terbang setinggi-tingginya, seharusnya surutnya ke perkubangan juga, dan bukan ke kubangan.

Dugaan saya, kata “kubangan” itu ada dalam kamus KUBI dan KBBI adalah rekaman percakapan orang –orang yang terbiasa mengatakan “kubang” sama dengan “kubangan”. Demikian juga orang terbiasa mengatakan “kubur” sama dengan “kuburan”. Maka KBBI pun mengartikan “kubur” sama saja dengan “kuburan” yakni tanah tempat menguburkan mayat (kuburan) atau lubang di tanah tempat menyimpan mayat (kubur).

KBBI menyebutkan bahwa dari kata “kubur” turun kata “berkubur” artinya mayat yang dimakamkan. Dari kata berkubur itu turun pula kata “pekuburan” yang artinya tempat yang luas yang khusus digunakan untuk menguburkan jenazah. Ini pun kebiasaan umum yang dianggap benar dan terekam dalam kamus besar itu.

Sama halnya dengan kata “kubang” di atas, maka:

3.** Kubur --> berkubur --> memperkuburkan ---> perkuburan --> pekubur.

“Kubur” artinya tanah tempat menyimpan mayat, “berkubur” artinya dikuburkan, “memperkuburkan” artinya melakukan sst supaya dikuburkan atau berkubur dan “perkuburan” (bukan pekuburan) adalah tanah luas yang khusus tempat mayat-mayat berkubur atau dikuburkan, dan “pekubur” adalah orang atau mayat yang dikuburkan.

Sama juga halnya dengan kata "kabung" yang seharusnya menurunkan kata berimbuhan berikut:

4.** Kabung --> berkabung --> memperkabungkan --> perkabungan --> pekabung.

(Arti kata berimbuhan yang terbentuk dari lema "kabung" semuanya merujuk ke kata "berkabung").

Kalau penjelasan atau buah pikiran saya ini keliru, maka saya dinyatakan “resmi salah” lantaran arti dan pengucapan sebuah kata tidak selalu begitu, banyak kali bergantung pula pada konsesus umum. Artinya begitu orang ramai mengucapkannya maka begitulah kata itu terekam dalam kamus.

Namanya juga buah pikiran. Soalnya, membaca kamus juga kadang-kadang saya bingung.

I. Umbu Rey

Kamis, 05 Januari 2012

KARENA dan DEMI

Dalam percakapan sehari-hari dua kata ini --KARENA dan DEMI-- sangat kerap digunakan orang. Sebenarnya dua kata ini tak dapat saling menggantikan sebab tidak sama persis artinya. Paling-paling kita mengatakan bersinonim atau mirip-mirip doang atau beda-beda tipis.

Ketika seorang pejabat mengangkat sumpah pada acara pelantikannya ia menyebut “DEMI Allah saya bersumpah”. Tidak pernah terdengar seorang pejabat atau saksi dalam kasus perkara di Pengadilan Negeri mengucapkan “KARENA Allah saya bersumpah”.

Dalam konteks sumpah-bersumpah ini kata “DEMI Allah dan KARENA” Allah mengandung pengertian bahwa sumpahnya itu diucapkan semata-mata untuk kepentingan Allah atau menurut kehendak Allah, padahal Tuhan tidak mempunyai kepentingan apa-apa dalam sumpah jabatannya itu. Anda diridai Tuhan bukan karena sumpahmu itu, dan karena itu jangan berharap pula akan masuk Surga lantaran sumpah dan janji atas nama Allah.

“DEMI Allah“ dimaksudkan tak lain untuk meyakinkan hakim atau pejabat yang mengambil sumpahnya dan kepada orang banyak bahwa yang diucapkan atau yang akan dikerjakannya nanti adalah atas dasar ikhlas dan jujur seakan-akan disaksikan Tuhan Yang Maha Esa. Benarkah demikian? Saya dapat mengatakan bahwa kesaksian atas nama Tuhan adalah ucapan sumpah yang sesungguhnya hanya basa-basi dan kebohongan Orang BERAGAMA.

Sumpah yang begini ini adalah hiasan acara ritual agama yang tujuannya tak lain untuk menipu orang banyak dan mengelabui mata Tuhan. Padahal, Tuhan tidak pernah mengukur kebenaran manusia ciptaan-Nya dengan sumpah ritual agama.

Sumpah sebenarnya tidak perlu dengan menyebut nama Tuhan atau Allah. Pada zaman Kerajaan Majapahit berdiri, Maha Patih Gajah Mada juga bersumpah bahwa dia tidak akan makan palapa atau rebung (makanan paling enak pada zamannya) sebelum seluruh Nusantara ditaklukkan atau dikuasai Majapahit. Tetapi, sumpahnya itu tidak diucapkan demi nama Dewa atau berhala, apalagi demi Tuhan Allah. Sumpahnya itu terwujud karena keikhlasan dan kesungguhan perbuatannya.

Pada 28 Oktober 1928 para pemuda dan pemudi di Nusantara ini juga bersumpah, bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, tetapi sama sekali tidak diucapkan demi nama Tuhan Allah. Toh, sumpah itu terwujud juga dan kita sekarang ini mengakuinya.

Pernahkah Anda mendengar ada Orang BERAGAMA yang jujur perilaku dan ucapannya berdasarkan sumpahnya itu? Umar Bakre dalam syair lagu Iwan Fals hanyalah cerita fiksi tentang seorang guru yang jujur berbakti walaupun tidak pernah bersumpah (apalagi demi Allah) sebelum mengajar di depan kelas.

Cerita Umar Bakre adalah gambaran kejujuran seorang guru pada zaman Jepang yang bertekad membangun rakyat yang cerdas berbakti kepada tanah air dan bangsanya. Boleh jadi cerita itu benar (untuk menjadi contoh), sebab demikianlah tekad para penjuang bangsa ini pada zaman itu.

Sekarang ini, tidak ada lagi cerita jujur berbakti semisal guru Umar Bakre. Kepala sekolah makan uang dana BOS sudah dianggap lumrah asalkan ada peluang dan niat. Guru agama “makan” murid perempuannya sendiri adalah cerita lama yang sudah terjadi sejak sebelum republik ini berdiri. Apalagi pejabat tinggi atau perwira tinggi, kau tahu sendirilah, perut mereka pada gendut semua KARENA makan uang rakyat setelah mengucapkan sumpah DEMI Allah.

Da’i terkenal dan pendeta serta pastor pun sekarang ini boleh-boleh saja terlibat main seks dengan anak perempuan berumur belasan tahun, meskipun saban malam dia berkoar-koar melantunkan ayat-ayat suci agamanya di layar teve, KARENA dan DEMI nama Allah. Akh, paling juga terhapus itu dosa setelah mulutnya mengucapkan “tobat”. Kan mereka manusia juga. Masa depan korban yang keperawananya sudah terkoyak masa bodoh amat, dia bilang! Suatu bukti bahwa dorongan syahwat di selangkangan ternyata lebih kuat daripada ajaran agama.

Itu sebabnya pengucapan sumpah atau janji atas nama Tuhan --apalagi atas nama batu karang atau pohon beringin-- oleh seorang saksi atau pejabat negara tidak dibolehkan dalam kepercayaan Kristen baik Protestan maupun Katolik. Sumpah dan janji atas nama Tuhan dan batu karang adalah palsu atau omong kosong belaka. Dan, itu sebabnya pula penganut Kristen di seluruh dunia hanya diperkenankan mengakhiri kalimat sumpahnya dengan mengatakan “so help me God” atau “kiranya Tuhan menolong saya”.

KARENA dan DEMI adalah partikel yang masuk dalam golongan kata tugas. Keduanya tidak mempunyai arti leksikal dan tidak pernah terkena imbuhan (awalan dan akhiran), juga tak bisa dipengaruhi bahasa asing sebagaimana kata-kata lain seperti lantainisasi, atau sengonisasi dan kentonganisasi (pinjam istilah Menteri Penerangan zaman Orba, Pak Harmoko).

Tak pernah kita mengatakan “men-DEMI-kan atau di-DEMI-kan, atau DEMI-nisasi” dalam sebuah konteks kalimat, juga kita tidak lazim kita mengucapkan “meng-KARENA-kan”, dan oleh sebab itu kata kerja pasif “di-KARENA-kan” pun tidak berterima menurut tata bahasa. KBBI hanya merekam kata “dikarenakan” sebab telah terucapkan sangat kerap oleh mulut manusia secara salah kaprah.

Dalam pengertian sehari-hari, kata KARENA adalah partikel yang merupakan penanda sebab akibat atau alasan. Sesuatu dialakukan atau diadakan atau telah terjadi adalah akibat atau pengaruh dari sebab yang lain. Maka beginilah pantun nasihat berbunyi:

KARENA apa binasa pandan, kalau tidak KARENA paku, KARENA apa binasa badan, kalau tidak KARENA laku.

“DEMI” adalah partikel juga, dan dipakai dalam pengertian “atas nama” atau “untuk (kepentingan). DEMI juga mempunyai pengertian lain seperti pada “satu DEMI satu (lihat KBBI), tetapi arti yang lain dari itu jarang sekali digunakan orang dalam percakapan sehari-hari.

Perbedaan KARENA dan DEMI dapat kita telusuri melalui contoh-contoh kalimat di bawah ini:

1 a. DEMI kesembuhan anaknya yang semata wayang dia merelakan ginjalnya. (Dalam konteks ini kata DEMI mengandung pengertian “untuk kepentingan” kesembuhan anaknya dia memberikan ginjalnya. Demikianlah Pance Pondaag melantunkan lagu “DEMI kau dan si buah hati, terpaksa aku harus begini”).

b. KARENA kesembuhan anaknya yang semata wayang dia merelakan ginjalnya (penggunaan KARENA dalam kalimat butir 1.a. tidak tepat atau tidak masuk akal. Kata KARENA dalam konteks ini sama artinya dengan akibat).

2. a. DEMI Tuhan saya bersumpah. (Artinya atas nama Tuhan saya ingin meyakinkan orang banyak bahwa saya benar atau saya telah melakukan sesuatu sesuai dengan yang sebenarnya, meskipun saya berbohong).

b. KARENA Tuhan saya bersumpah .(Frasa ini pun tidak masuk akal sebab tidak ada sumpah “menurut kehendak” Tuhan. Pada hemat saya, Tuhan tidak memerlukan sumpahmu dan tidak pernah menyuruh kau bersumpah sebab semua yang kauucapkan atas nama Tuhan adalah palsu, dan biasanya keluar dari hati orang BERAGAMA yang dusta munafik). Lihat saja kenyataannya di Indonesia. Bukankah yang melakukan korupsi dan segala macam maksiat adalah Orang BERAGAMA yang telah bersumpah “DEMI Allah” atau semata-mata berbuat dengan dalih “KARENA Allah” sambil memegang kitab suci?

3. a. DEMI ayahnya yang pembesar itu, SH menjadi direktur redaksi di sebuah perum pemerintah. (Mungkin saja kata DEMI dalam kalimat ini benar jikalau ayahnya yang pembesar itu adalah pemilik perum. Misalkan SH menjadi direktur atas nama atau DEMI ayahnya maka jabatannya itu sah saja karena perum ini milik ayahnya. Ya, suka-suka dialah, suka-suka bapaknya. Kita mau bilang apa?).

b. KARENA ayahnya yang pembesar itu, SH menjadi direktur redaksi. (Nah, kalimat yang menggunakan KARENA seperti ini adalah benar. Tetapi, perum ini kita ketahui milik pemerintah dan bukan milik bapaknya SH. Hanya karena pengaruh bapaknya yang pembesar itu, SH bisa menjadi direktur redaksi. Dulu SH ditunjuk menjadi dirut oleh Presiden Gus Dur semata-mata KARENA bapaknya SH itu pernah jadi ketua PBNU, bukan?). Perhatikan perbedaan kalimat berikut ini:

4 a. DEMI kecerdasannya, SH menjadi direktur redaksi.

b. KARENA kecerdasannya, SH menjadi direktur redaksi.

Kalimat pada butir 4.a. di atas tidak masuk akal, sebab tidak ada kelaziman bahwa orang diangkat menjadi direktur atas nama atau DEMI kecerdasan. Kalimat pada butir 4.b. memang jelas bernalar dalam hal bentuknya, sebab KARENA kecerdasannyalah SH ditunjuk menjadi direktur.

Menurut amatan saya, hampir semua wartawan di lantai 20 Gedung Wisma Antara bekerja bukan DEMI cita-citanya, tetapi lebih banyak KARENA tidak ada kerja yang lain dan terpaksa jadi wartawan sajalah. Mereka bekerja seperti syair lagu Pance yakni DEMI anak dan istri, atau dengan perkataan lain, “numpang hidup sajalah di perum ini”.

Anehnya, mereka tak lupa sembahyang saban hari KARENA Allah atau DEMI Allah supaya mendapat pahala tetapi kerja maksiat jalan terus. Maka itu muncullah sindiran dalam singkatan STMJ (Sembahyang Tekun, Maksiat Jalan). Ini pun mungkin dilakukan DEMI Allah atau Karena Allah?

Umbu Rey

Ketua itu bukan Pimpinan, Pak Pansus!

Saya bingung, mengapa para anggota dewan memanggil pemimpinnya atau ketuanya dengan sebutan “Pak Pimpinan”. Mengapa mereka tidak menyebut pemimpinnya itu Pak Ketua?

Yang saya paham sejak zaman saya masih sekolah rakyat, “ketua” itu orang yang tertua atau dituakan (karena usia atau karena kaya pengetahuan dan pengalaman) dan biasanya ditunjuk untuk memimpin rapat atau lembaga. Karena sudah kebiasaan lidah mengucapkan, tak ada lagi orang yang sadar bahwa “ketua” itu tidak sama derajatnya dengan “pimpinan”.

Awalnya hanya ada ketua adat, karena itu ada tetua adat yakni orang-orang tua tokoh adat yang biasanya memegang teguh peraturan adat istiadat dan perintahnya ditaati atau dipatuhi di kampung tertentu, supaya tidak kena tulah.

Zaman dulu para murid yang paling tua atau yang dianggap paling pandai atau paling menonjol (sikap, atau kelakuannya) biasanya ditunjuk sebagai ketua kelas. Di dalam keluarga, bapak atau ayah adalah kepala atau ketua keluarga, dan anak yang paling kakak selalu diberi hak menjadi ketua untuk memimpin adik-adiknya.

Karena itu, ketua itu sesungguhnya sama atau sederajat dengan pemimpin. Ada ketua sidang, ada ketua dewan, ketua panitia, ketua Rukun Tetangga (ketua RT) atau ketua lembaga dsb. Demikian juga ada pemimpin sidang, ada pemimpin rapat, dan ada pula pemimpin pasukan.

Sebaliknya “pimpinan” tak lain dari kelompok orang, lembaga, organisasi atau sesuatu yang dipimpin (oleh). Kalau kita mengatakan Partai Demokrat pimpinan Anas Urbaningrum, itu artinya Partai Demokrat dipimpin (oleh) Anas Urbaningrum, atau Partai Demokrat yang dipimpin yang dipimpin (oleh) Anas.

Dengan perkataan lain, Anas Urbaningrum memimpin Partai Demokrat. Jadi, posisi Anas adalah pemimpin partai atau ketua partai itu. Pemimpin selalu berada di muka sebagai penuntun dan pimpinan biasanya ada di belakang karena dia dituntun.

Begitu juga gerombolan teroris “pimpinan” Nurdin Top adalah gerombolan “yang dipimpin” oleh Nurdin Top. Artinya, Nurdin itu pemimpin atau ketua gerombolan, sedangkan gerombolan teroris adalah pimpinan atau yang dipimpin Nurdin Top.

PSSI adalah persatuan sepakbola pimpinan Nurdin Halid. Artinya, PSSI itu dipimpin oleh Nurdin Halid. Dengan demikan Nurdin Halid adalah ketua atau pemimpin PSSI, dan bukan pimpinan.

Dalam sidang paripurna Pansus Angket Century belum lama ini para anggota DPR-RI berebut-rebutan melakukan interupsi –entah mungkin karena sadar mereka disorot kamera televisi, atau sekadar untuk melontarkan pertanyaan tak bermakna apa-apa.

“Pimpinan, Pimpinan...., interupsi Pak Pimpinan..!!!!” begitu mereka berteriak bersahut-sahutan. Padahal, di depan meja Pak Marzuki Alie sebagai orang yang memimpin sidang itu tertera sangat jelas kata KETUA di atas meja, dan bukan PIMPINAN. Kalau begitu, anggota dewan yang berteriak-teriak itu sebenarnya memanggil siapa?

Turunan kata dasar “pimpin” itu terjadi seperti berikut:

(1) Pimpin – pemimpin -- memimpin – pemimpinan – pimpinan.

Pemimpin adalah orang yang memimpin, pemimpinan adalah proses atau cara memimpin, dan pimpinan adalah hasil pemimpinan atau yang dipimpin. Jadi, yang dipimpin atau pimpinan itu tak mungkinlah disebut KETUA.

Sama saja dengan kata didik yang berikut:

(2) Didik – pendidik – mendidik -- pendidikan -- didikan

Sejalan dengan butir (1) di atas, maka “pendidik” adalah orang yang mendidik (pemimpin atau guru) dan “didikan” itu adalah hasil proses pendidikan atau orang yang dididik (murid atau pelajar).

Di dalam ruang kelas tak mungkinlah, dan tak pernah terjadi, para murid menginterupsi gurunya dengan mengatakan ,“Didikan, Didikan...., maaf Pak Didikan, saya mau bertanya!” Dalam lingkup ruang kelas itu yang disebut didikan sebenarnya adalah murid-murid itulah. Guru yang mengajar itu disebut pendidik.

Belakangan muncul anggapan atau pengertian bahwa “pimpinan” dimaksudkan sebagai "kumpulan pemimpin-pemimpin". Pengertian ini dipakai sebagai bandingan dengan istilah “lautan” yang berarti kumpulan laut-laut.

Pengertian ini saya temukan penjelasannya dalam lembaran komunikasi Pusat Bahasa, tetapi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat tidak dijelaskan sama sekali. Kamus tebal itu hanya menjelaskan bahwa “pimpinan” adalah hasil memimpin; bimbingan; tuntunan. Demikian juga “didikan” adalah hasil mendidik.

Jikalau “lautan” itu adalah kumpulan laut-laut, lantas Lautan Pasifik itu kumpulan laut-laut apa, dan Lautan Hindia itu kumpulan laut-laut apa? Tak mungkinlah Laut Banda, Laut Arafuru, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Sawu, dan Laut Sulawesi yang ada di Indonesia itu pergi berkumpul atau terkumpul atau mengumpulkan dirinya di Lautan Hindia. Buat apa mereka ke situ? Lagi pula, dongeng ceritanya belum pernah saya dengar.

Jikalau di dunia ini ada Lautan Indonesia, atau Samudera Indonesia mungkin masuk akal jika "lautan" itu adalah kumpulan laut-laut yang ada di Indonesia seperti saya sebutkan di atas. Tetapi Lautan Indonesia itu sampai hari tidak ada dan tidak tertera dalam atlas atau peta dunia. Itu sebabnya Indonesia juga bukan negara “lautan”.

Istilah “lautan” sebagai kumpulan laut-laut pun menyimpang dari pernalaran (saya). Indonesia ini bukan saja terdiri atas laut-laut, tetapi juga pulau-pulau. Karena terdiri atas pulau-pulau maka Indonesia disebut negara “kepulauan”, atau kumpulan pulau-pulau. Mestinya Indonesia boleh juga disebut negara “kelautan” karena terdiri atas laut-laut atau banyak laut. Karena itu, “kelautan” adalah kumpulan laut-laut.

Di dalam laut-laut itu terdapat berjenis-jenis ikan tak terbilang banyaknya. Lantaran itu, maka Indonesia boleh jugalah disebut negara “keikanan”. (Istilah ini karangan saya semata-mata, sebab tidak lazim dan karena itu tidak tercatat dalam KBBI).

Karena ikan-ikan itu adalah potensi kekayaan untuk kesejahteraan rakyat, maka dibentuklah kementerian yang mengurus soal laut-laut dan ikan-ikan itu. Seharusnya pun kementerian dalam kabinet Presiden SBY itu kita sebut “Kementerian Kelautan dan Keikanan”.

Imbuhan “ke – an” yang mengapit kata benda (nomina) pada umumnya berarti hal tentang banyak (benda) yang tersebut dalam kata dasar. Kelurahan, kecamatan, dan kementerian, bahkan kepresidenan itu adalah hal mengenai banyak lurah, camat, menteri, dan presiden.

Sejalan dan seirama dengan itu ada pula imbuhan “per-an” yang biasanya mengapit kata ulang dan menyatakan jamak. Contoh: coba-coba --> percobaan; hati-hati --> perhatian; undang-undang --> perundang-undangan; kota-kota --> perkotaan; kampung-kampung --> perkampungan; tanah-tanah --> pertanahan, sehingga terbentuk pula ikan-ikan --> perikanan.

Itu sebabnya ada “Dinas Perikanan” yang mengurusi ikan-ikan sebagai potensi kesejahteraan rakyat. Bumi dan matahari itu cuma ada satu saja karena itu tidak akan mungkin terbentuk imbuhan “perbumian” dan “permataharian”.

Kata berimbuhan “lautan” dapat juga berarti sesuatu yang dilautkan. Kata itu diturunkan dari:

(3) Laut – pelaut – melaut(kan) – pelautan --lautan

Lautan dalam butir (3) di atas mungkin juga berarti kapal atau sampan atau apa saja yang dilautkan atau yang dimasukkan atau diluncurkan ke laut, dari hasil proses pelautan. Tetapi sejak dahulu, kata lautan sudah diartikan sama dengan laut yang luas sekali atau samudera. Entahlah bagaimana kisah ceritanya, saya tidak tahu.

Kembali ke istilah “pimpinan” dalam sidang Pansus Century di atas. Jika kepulauan dan kelautan itu masing-masing disebut kumpulan pulau-pulau dan kumpulan laut-laut maka seharusnya para pemimpin sidang itu disebut “kepemimpinan” atau kumpulan pemimpin-pemimpin. Mereka itu bukan pimpinan fraksi tetapi para pemimpin fraksi sebab mereka memimpin fraksi, dan fraksi itulah pimpinan atau yang dipimpinnya.

Mungkin dapat disebut juga kumpulan ketua-ketua fraksi, dan karena itu bolehlah disebut juga “keketuaan”. Kalau disebut “ketuaan” artinya terlalu tua, para ketua fraksi pastilah berteriak-teriak lagi melancarkan interupsi. Mereka protes karena belum merasa tua atau tidak mau dibilang tua. Itu sebabnya rambutnya disemir hitam semua supaya kelihatan muda.

I. Umbu Rey (28-3-2011)