Kamis, 12 Januari 2012

“Ke” dan “Di” yang amburadul

Kata depan “di” dan “ke” masuk kelas “kata tugas” yang hanya memiliki arti gramatikal saja tetapi tidak mempunyai arti leksikal. Arti suatu kata tugas bukan ditentukan oleh kata itu secara lepas, tetapi oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat. Tugasnya semata-mata memungkinkan kata lain berperanan dalam kalimat.

Berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat, kata tugas dibagi dalam lima kelompok, yakni preposisi (kata depan), konjungsi (kata sambung), interjeksi (kata seru), artikel (seperti “sang, sri, hang, dang”) dan partikel (seperti “kah, lah, tah, dan pun).

Peroposisi atau kata depan adalah kata tugas yang bertugas sebagai unsur pembentuk frasa preposisional. Letaknya di bagian awal frasa dan unsur yang mengikutinya dapat berupa nomina, adjektiva, atau verba. Dengan begitu dari nomina pasar dan verba mengail dapat kita bentuk frasa ke pasar dan dengan mengail.

Yang dibicarakan dalam tulisan ini hanya menyangkut preposisi atau kata depan “di” dan “ke” saja, seperti tertulis pada judul tulisan di atas. Dua kata depan ini paling sering atau paling banyak digunakan secara salah kaprah saban hari. Yang dimaksud dengan salah kaprah adalah kesalahan lazim atau umum yang dianggap benar saja oleh si penutur dan pendengarnya.

Akibatnya, orang atau para penulis tidak lagi dapat membedakan mana awalan dan mana kata depan dan penulisannya pun ditulis secara serampangan sehingga kita tidak lagi dapat membedakan apakah itu awalan atau kata depan.

Yang sering terjadi dalam penggunaan adalah kedua kata depan ini ditulis serangkai atau digabungkan dengan kata yang mengikutinya, misalnya “disana, disini, disitu, dimana, didalam dirumah, dikantor, kesana-sini, kekantor dan kepasar” dll.

Secara sederhana, kata depan “di” hanya untuk menandai hubungan tempat berada dan kata depan “ke” menandai hubungan arah menuju suatu tempat. Menurut pedoman umum Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, dua kata depan ini haruslah ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.

Contoh: -- Di mana ada Siti di situ ada Sidin

-- Mereka ada di rumah

-- Mari kita berangkat ke pasar

-- Saya pergi ke sana-sini mencarinya.

Dalam bahasa lisan atau bahasa tuturan, kata depan “di” dan “ke” mungkin tidak dipedulikan atau dipermasalahkan lantaran orang hanya memahami konteks kalimatnya saja. Jadi, terserah yang bicara saja, pendengarnya pastilah dianggap sudah tahu maksudnya.

Media massa elektronik seperti televisi atau radio --yang menggunakan bahasa lisan sebagai pengantar-- tentu saja tidak peduli apakah itu kata depan atau awalan. Dalam layar televisi kita sering melihat tulisan dalam “running text” yang tidak sesuai dengan aturan EYD, terutama mengenai kata depan “di” dan “ke”.

Tampaknya, yang penting bagi media televisi, apa yang disampaikan oleh pembaca atau apa yang dimaksudkan oleh seorang pewara atau “presenter” dapat dimengerti atau dipahami oleh pemirsa atau pendengarnya. Persoalan taat asas dalam penulisan kata depan ini pun diabaikan saja.

Akibatnya, salah tulis kata depan dianggap biasa saja oleh khalayak ramai sebab mereka menganggap toh sudah pasti dimengerti apa maksudnya. Lagi pula, pengabaian taat asas penulisan kata depan ini dianggap tidak terlalu mengganggu konteks kalimat yang ditulis.

Di kalangan siswa dan pelajar pun salah tulis kata depan tampaknya sudah menjadi kebiasaan umum. Pada umumnya mereka sulit membedakan mana awalan dan mana kata depan lantaran “di” dan “ke” juga dipakai sebagai awalan.

Susahnya, tak semua pelajar atau siswa mengetahui apa itu kata benda dan keterangan tempat, dan apa itu kata kerja ketika mereka menulis sebuah karangan. Akibatnya, penulisan kata depan diletakkan secara sembarangan menurut kebiasaan mereka dalam percakapan.

Dengan pemikiran paling sederhana, sesungguhnya kita dapat dengan mudah menulis kata depan “di” sebagai kata depan untuk membedakannya dengan awalan. Kata depan “di” selalu dipisahkan penulisannya jika diikuti oleh kata benda (nomina) dan kata keterangan tempat. Sebagaimana namanya (kata depan), maka letaknya pun selalu di depan dan tidak diserangkaikan dengan kata yang mengikutinya. Contoh: di meja, di pohon, di batu, di sana, di atas, di situ dll.

Hal seperti itu tidak akan mungkin diabaikan oleh para redaktur media massa cetak seperti koran atau majalah terpercaya. Kesalahan penulisan sekecil apa pun semisal salah cetak atau salah letak kata depan “di” dan “ke” akan menjadi pembahasan dalam rapat redaksi, karena wartawannya dianggap telah melakukan kebodohan.

Salah tulis kalimat dalam bahasa koran dan majalah akan dianggap menyesatkan para pembaca, karena mungkin sekali akan menimbulkan salah tafsir. Lagi pula, bahasa koran dan majalah memang selalu dipakai sebagai acuan oleh murid, pelajar, dan mahasiswa. Itu sebabnya kalimat bahasa dalam media cetak seperti koran dan majalah tidak boleh menyimpang dari aturan bahasa yang baku.

Koran dan majalah terkemuka semisal KOMPAS dan majalah TEMPO bahkan telah menyediakan redaktur bahasa (Indonesia) yang khusus bertugas untuk mengoreksi kesalahan bahasa, kalimat, dan ejaan sebelum sebuah berita diturunkan ke percetakan untuk diterbitkan. Selalu ada kesalahan kecil di sana-sini yang tak terhindarkan biasanya disebabkan kesalahan teknis.

Kesalahan penulisan kata depan “di” dan “ke” mungkin juga disebabkan oleh kebiasaan menulis dalam “bahasa gaul” di internet atau dalam “short message service (SMS) atau layanan pesan singkat telefon genggam, yang memerlukan kecepatan tetapi hanya tersedia ruang yang sempit. Akibatnya, kata depan pun ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Tanpa sadar, kebiasaan buruk ini terbawa dalam tulisan resmi yang mengharuskan kita menulis dengan ejaan yang benar.

Dalam bahasa tulisan atau surat-menyurat resmi, kata tugas di pada frasa dibalik buku ini (“di” ditulis serangkai dengan kata balik) adalah sebuah kekeliruan. Sebenarnya kata dibalik tidak menunjukkan verba pasif sebab bukan pula lawan kata membalik buku. Kata dasar “balik” adalah keterangan tempat.

Frasa “dibalik buku ini” mengandung maksud bahwa ada sesuatu di belakang buku ini. Karena itu frasa dibalik buku ini seharusnya ditulis di balik buku ini. Kata dasar balik adalah nomina atau kata benda yang berarti sisi yang sebelah belakang dari yang kita lihat. (Periksa KBBI –Kamus Besar Bahasa Indonesi-- edisi keempat 2008).

Demikian juga kata kemeja bapak dalam bahasa lisan atau tuturan mungkin sekali menunjuk pada arah meja tulis yang biasanya digunakan oleh bapak, tetapi dalam bahasa tulisan kata kemeja bapak boleh jadi menunjuk pada pengertian pakaian (baju T-shirt) yang biasanya dipakai oleh bapak.

Jika kita hendak menunjuk pada arah meja atau letak meja bapak, maka dalam bahasa tulisan kata depan “ke” hendaknya dipisahkan penulisannya dari kata meja, sehingga menjadi ke meja bapak. Letak meja tulis bapak mungkin berada di sudut ruangan sebelah timur atau barat.

Menurut amatan saya, kesalahan penggunaan kata depan ini dalam kalimat tulisan, bukan hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga dalam surat-menyurat yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta, atau perorangan.

Anehnya, salah kaprah penggunaan kata depan ini bukan hanya dilakukan oleh mereka pada hampir semua tingkat pendidikan, tetapi juga dilakukan oleh semua usia. Bahkan lebih aneh lagi, orang yang lahir setelah tahun 1980-an pun melakukan kesalahan serupa, dalam arti tidak bisa membedakan bagaimana menulis kata depan “di” dan “ke” dan bagaimana menulis awalan “di” dan “ke”.

Bahkan lebih kacau lagi, awalan “di” (yang merupakan awalan, bukan kata depan) malah ditulis terpisah dengan kata verba yang mengikutinya, seperti pada kata di buang, di kembangkan, di masukkan dst.

Padahal, Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) yang telah berlaku sejak awal tahun 1972 menurut Keputusan Presiden No.52 tahun 1972, dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober 1972 No. 0156/P/1972 dengan segala perubahannya, telah mengatur dengan jelas masalah kata depan ini.

Terasa amat janggal, jikalau murid sekolah dasar atau mahasiswa yang belajar tata bahasa setelah tahun 1980-an masih juga tidak dapat membedakan awalan dan kata depan. Mungkinkah salah guru yang mengajar, atau salah suratan takdir?

Tetapi, kata depan “di” tidak dapat diletakkan di depan kata keterangan waktu. Akan terasa amat janggal jika kita mengatakan di tanggal 5, di bulan April, di tahun 2011, atau di saat itu. Dalam konteks ini kata depan “di” seharusnya diganti dengan kata tugas “pada” yang menandai hubungan tempat atau waktu. Jadi seharusnya kita mengatakan pada tanggal, pada tahun, atau pada saat itu.

Penyimpangan ini hanya dapat dilakukan oleh para penyair atau penggubah lagu, karena sesuai dengan profesinya sebagai seniman mereka mendapat kelonggaran menggunakan kata depan “di” untuk menyesuaikan dengan not atau tanda nada tertentu pada musik.

Karena itu para penyair boleh saja mengatakan “di senja kelabu selembab ini ... aku datang lagi manis”. Demikian pula para penyanyi keroncong misalnya dapat dengan bebas mengucapkan frasa “ Tetapi apalah dayaku...di saat itu kecewa...yang kutrima hanyalah sampul kosong belaka”.

Selain contoh kata depan di atas, kata “di” pada umumnya menunjuk pada awalan yang membentuk kalimat pasif dan karena itu penulisannya pun harus diserangkaikan dengan kata yang mengikutinya.

Kata depan “ke” selalu ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya jika menunjukkan hubungan arah. Letaknya pun selalu di depan kata yang mengikutinya. Contoh: ke sana, ke timur, ke laut, dll, kecuali dalam gabungan kata yang sudah dianggap sebagai satu kata seperti “kepada”, dan “keluar” (sebagai lawan kata masuk).

Kata depan “ke” ditulis terpisah dengan kata “luar” karena menandai arah menuju suatu tempat (luar) dan lazimnya dikenal sebagai lawan kata “di dalam”. Tetapi kata “kemari” adalah sebuah kata dasar yang bukan lawan kata “dimari”. Dalam bahasa Indonesia kata “dimari” tidak dikenal.

Sejak zaman dahulu kita mengenal ungkapan sindiran “laki-laki mata keranjang”. Pada umumnya orang mengerti secara salah kaprah bahwa kata “keranjang” menunjuk pada mata laki-laki yang diibaratkan seperti keranjang karena senang atau hobinya suka melihat perempuan cantik.

Lantas, apa hubungan “keranjang” dengan “mata laki-laki” yang diberi makna ‘hobi melihat perempuan cantik’? Tidak ada kaitannya sama sekali. Sesungguhnya kata “keranjang” itu bukan sebuah benda tempat menaruh sampah atau sejenis bakul besar yang terbuat dari pandan atau bambu.

Jadi, tidak masuk akal kalau keranjang sampah diibaratkan dengan mata laki-laki. Sebesar apa pun mata laki-laki akan terasa janggal jika diibaratkan dengan keranjang. Paling-paling kita menyebut laki-laki itu adalah sejenis “genderuwo” yakni hantu yang konon serupa manusia yang tinggi besar dan berbulu lebat. Tetapi, genderuwo tidak mempunyai hobi suka melihat wanita cantik.

Jikalau kita cermat memperhatikan kata “keranjang”, sebenarnya “ke” pada kata “keranjang” adalah kata depan yang ditulis secara salah kaprah. “Ke” seharusnya ditulis terpisah di depan kata “ranjang” sebab ranjang adalah tempat tidur yang terbuat dari besi, biasanya diberi berkelambu. Ranjang pengantin adalah tempat tidur yang dipakai oleh pengantin baru.

Itu sebabnya metafora di atas seharusnya ditulis dengan bahasa yang benar: Laki-laki mata ke ranjang”. Kata depan “ke” menandai hubungan arah menuju pada suatu tempat (ranjang), dan karena itu harus ditulis terpisah dari kata “ranjang’. Bukankah laki-laki yang hobinya melihat perempuan cantik, mata dan pikirannya selalu menuju ke arah ranjang? Ada tahulah maksudnya.

I. Umbu Rey

Tidak ada komentar: