Senin, 30 Januari 2012

Jiplak


Zaman dulu ketika saya masih duduk di Sekolah Rakyat (SR) di kampung, Pak Guru biasanya mengharuskan murid-muridnya menggambar peta sebuah pulau tatkala dia mengajar ilmu bumi. Kalau Pak Guru menerangkan mengenai Pulau Jawa misalnya, maka gambar pulau itu harus ditempelkan di buku catatan ilmu bumi murid-muridnya.

Dengan begitu, murid-murid terbiasa melihat peta dan mengetahui persis letak kota dan wilayah di pulau itu dengan hanya melihat titik-titik yang tertera pada gambar itu. Peta yang dibuat murid-murid itu disebut “peta buta”.

Untuk menggambar bentuk pulau itu secara lebih tepat, kami menempelkan kertas tipis transparan di atas gambar Pulau Jawa dalam peta atau atlas lalu menarik garis mengikuti bentuk pulau yang ada di bawah kertas tipis itu. Hasilnya dipindahkan ke buku catatan ilmu bumi milik murid pada bagian atau bab mengenai Pulau Jawa.

Pekerjaan memindahkan gambar Pulau Jawa dari peta atau atlas ke buku catatan ilmu bumi melalui kertas putih transparan itu disebut “menjiplak atau penjiplakan”. Proses menjiplak itu kemudian disebut juga sebagai “mencontek”, dan belakangan berkembang pula pengertiannya menjadi “mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai karangan sendiri”.

Dahulu, menjiplak adalah pekerjaan yang boleh-boleh saja dilakukan oleh para murid SR karena pada umumnya mereka tidak pandai menggambar peta. Tetapi, ketika pengertiannya berkembang menjadi “mencuri karangan orang lain” maka perbuatan menjiplak itu masuk kategori pidana atau kejahatan melalui tulisan. Itu sebabnya orang yang menjiplak karangan atau tulisan orang lain dapat dituntut ke muka pengadilan.

Setakat ini banyak calon sarjana melakukan hal itu baik secara keseluruhan maupun sebagian saja. Maka supaya terhindar dari tuduhan penjiplakan, pada catatan kaki skripsinya selalu ditulis sumbernya. Kalau tidak begitu, si calon sarjana bisa dituduh mencuri karangan orang lain dan gelar sarjana bisa dibatalkan dan bahkan mahasiswa penjiplaknya dapat dijeboskan ke dalam penjara karena penipuan.

Perbuatan menjiplak itu sebenarnya bukanlah perbuatan tercela selama dilakukan dengan jujur. Orang menyalin karangan orang lain asalkan tidak disebarkan dan diperjualkanbelikan tanpa sepengetahuan (izin) pemiliknya dengan maksud untuk kepentingan sendiri tak akan menimbulkan dampak kejahatan.

Uang kertas yang ada di tangan Anda itu bukankah hasil penjiplakan juga? Aslinya hanya ada satu saja dari tiap-tiap nilai pecahan rupiah, dan yang lain-lain itu walaupun kelihatannya sama persis dengan aslinya, sesungguhnya palsu semua. Pada zaman Orde Lama di dalam uang kertas tertera tulisan “Barangsiapa meniru atau memalsukan uang kertas dan barangsiapa mengeluarkan dengan sengaja atau menyimpan uang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan akan dituntut di muka hakim.”

Lalu, siapakah “yang meniru atau memalsukan” uang kertas itu, tentulah pemerintah juga. Yang mengeluarkan dengan sengaja pemerintah juga, yang menyimpan yang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan adalah pemerintah juga. Kalau begitu yang dituntut di muka hakim, seharusnya pemerintah juga, tetapi polisi diam saja, tidak ada yang dituntut di muka hakim.

Pada zaman Orde Baru kalimat pada uang kertas itu diperbaiki, “Barangsiapa meniru, memalsukan uang kertas dan atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara.” Sama saja dengan uang Orde Lama. Perbedaan paling mendasar terbaca pada frasa terakhir “dituntut di muka hakim” diganti dengan “diancam dengan hukuman penjara”. Pelaku kejahatan dia-dia juga (pemerintah), tetapi tidak diancam dengan hukuman penjara.

Itu sebabnya pada zaman Reformasi tulisan di uang kertas sudah dikoreksi dan diganti dengan kalimat “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai....” Dengan begitu penjiplakan uang menjadi sah atau resmi. Pemerintah yang menjiplak uang kertas itu pun tak akan pernah dituntut di muka hakim, juga tak ada ancaman penjara. Kalau penjiplakan dilakukan oleh masyarakat umum dengan maksud memalsukan untuk kepentingan sendiri barulah polisi akan bertindak.

Kalimat dalam uang kertas pada zaman Reformasi sekarang ini tampaknya ingin meniru-niru uang kertas dolar Amerika Serikat, tetapi kelihatan agak malu-malu karena nanti dikira menjiplak. Di dalam uang kertas dolar Amerika Serikat tertulis IN GOD WE TRUST. Hanya empat kata, maka resmilah uang kertas itu sebagai alat pembayar. Tak perlu pakai tulisan ancaman penjara sebab pastilah itu terjadi kalau polisi telah menangkap para pemalsu uang kertas.

Saya agak ragu untuk mengatakan bahwa seorang profesor di Indonesia telah menemukan sesuatu yang baru dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doktor sebab yang ditulisnya itu sesungguhnya penuh dengan catatan kaki dari teori-teori ilmuwan sebelumnya. Jadi, gelar doktor yang diraihnya adalah hasil penjiplakan juga, yakni karangan orang lain yang dikutip lewat catatan kaki.

Penjiplakan itu bahasa kerennya adalah “plagiarism” dari kata kerja “plagiarize” (Inggris). Orang yang menjiplak disebut “plagiarist” atau plagiator , sama juga artinya dengan penjiplak atau tukang jiplak. Kalau tak ada catatan kaki atau sumber tulisan, sang doktor pun bisa dituduh melakukan kejahatan lewat tulisan.

Mesin fotokopi dibikin untuk memudahkan pekerjaan menyalin sebab sebelum mesin –yang berkembang menjadi faksimile--- itu ditemukan, orang hanya melakukan pekerjaan menyalin atau menulis ulang di kertas lain. Mengetik dengan menggunakan karbon dapat juga disebut menyalin. Itu sebabnya salinan dari hasil pengetikan disebut juga tembusan atau tindasan dalam surat menyurat resmi. Disebut “tembusan” karena diketik sampai menembus ke kertas tik di belakangnya.

Ketika mesin fotokopi perlahan-lahan tergantikan oleh sistem kerja komputer maka pekerjaan menyalin tulisan atau gambar menjadi lebih mudah dilakukan. Dewasa ini, proses penyalinan dilakukan hanya dengan menekan jari telunjuk pada tetikus atau “mouse” komputer. Dalam hitungan detik saja pekerjaan penyalinan tulisan selesai dilakukan.

Proses yang begini ini lazim disebut dalam istilah komputer “copy paste”. Dalam bahasa Indonesia sudah mulai diperkenalkan istilah “salin tempel” sebagai padanannya, yakni memindahkan suatu tulisan atau gambar lalu menempelkannya pada halaman lain. Sebenarnya sama juga artinya dengan “menjiplak”. Teknologi ”salin tempel” itu dibuat untuk memudahkan pekerjaan manusia lantaran waktu terasa semakin sempit dan usia manusia yang dirasakan terlalu singkat.

Sayangnya, teknologi itu ketika masuk ke dunia orang go-block (apa pun agamanya) telah menjadikan mereka semakin jauh tertinggal ratusan tahun di belakang kecerdasan komputer. Mereka tidak bisa mencipta karena semua yang terjadi dan yang akan tercipta kelak bergantung pada kehendak Tuhan menurut keyakinan mereka.

“Kita tidak boleh mendahului Tuhan,” begitu kata-kata klasik yang keluar dari mulut mereka yang fanatis karena menganggap pekerjaan mencipta sesuatu oleh manusia adalah perbuatan syirik. Maka yang mereka lakukan saban hari adalah meminta-minta dan mengemis-ngemis pada tuhannya dalam sujud doa ritual agama. Tetapi tak ada yang jatuh dari langit sebagaimana ayat-ayat suci yang dipercaya diturunkan dari langit.

Anehnya, doa pun banyak dilakukan dengan menjiplak sesuatu yang telah diucapkan oleh orang lain sebelumnya, dan diulang-ulang pula sampai ratusan kali. Semua yang hendak berdoa hampir pasti menggunakan istlah “memanjatkan”doa, dan karena itu Gus Dur pernah kasih komentar, “Kita seharusnya banyak-banyak memanjatkan doa, sebab doa memang tidak bisa memanjat sendiri.” Kalau doa saja mesti dijiplak, Tuhan pun tentu saja marah. Pantas doa bangsa ini tak pernah terkabul. Lha, kan doa jiplakan, dan mana pula ada doa pakai catatan kaki.

“Copy paste” atau salin tempel kini digunakan untuk melakukan penipuan dalam tindak perbuatan jiplak-menjiplak. Di dunia artis Indonesia, jiplak-menjiplak dilakukan di mana-mana dan kapan saja. Amerika bikin “breakdance” kita jiplak, orang kulit hitam bikin musik jazz kita jiplak, belakangan mereka bikin musik “mengomel-ngomel” yang disebut “rap” kita jiplak juga. Anehnya, musik keroncong dan campur sari serta dangdut tak pernah dijiplak orang bule. Yang kita klaim sebagai milik asli bangsa ini ternyata jiplakan juga. Di dunia film sama juga begitu.

Sebuah grup band anak-anak muda Indonesia menamakan dirinya G-Pluck untuk mengangkat popularitas dirinya di kancah persaingan dunia hiburan. Sebenarnya nama G-Pluck itu tak ada artinya apa-apa, tetapi ketika nama itu diucapkan dalam ejaan Inggris maka terdengar dalam bahasa Indonesia kata “ji-plak”. Mereka ternyata menjiplak gaya dan lagu pemusik “The Beatles” asal Liverpol, Inggris yang legendaris itu. Massih untung mereka menyebut penciptanya.

Kita paling getol menuduh Malaysia menjiplak lagu atau hasil budaya Indonesia, tetapi kita tidak pernah sadar bahwa kita sendiri pun menjiplak lagu “What A Friend We Have In Jesus” dan menggantinya dengan “Kulihat Ibu Pertiwi”. Begitu juga lagu yang dinyanyikan pada saat mengheningkan cipta pada acara kenegaraan, seratus persen adalah jiplakan lagu rohani yang dinyanyikan di gereja-gereja. Di dunia teknologi bagaimana. Ternyata kita tidak bisa menjiplak, kita tertinggal jauh sekali.

Jiplak itu berbeda dari meniru atau mencontoh. Proses penjiplakan akan menghasilkan bentuk yang sama persis tetapi meniru atau mencontoh paling-paling hanya menghasilkan wujud yang mirip-mirip dengan aslinya. Anda boleh saja meniru sebab setiap orang menjadi tahu karena meniru atau mencontoh tetapi hasilnya tak akan sama persis dengan yang yang ditiru.

Belajar adalah proses meniru juga, dan anak-anak menjadi dewasa karena meniru-niru orang-tuanya, tetapi jiplak atau penjiplakan atau plagiat cenderung dilakukan untuk kejahatan sebab biasanya dengan maksud mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai karangannya sendiri. Kalau tidak ketahuan, perbuatan penjiplakan akan menghasilkan keuntungan uang sangat banyak.

Agama ternyata tak bisa mengatur umatnya untuk tidak menjiplak lantaran ternyata ada agama yang terbentuk karena jiplakan dari agama yang sudah ada lebih dahulu. Umatnya fanatis melakukan ritual sampai ke sumbernya di Timur Tengah –katanya untuk membela agama, meneguhkan keyakinan, dan menghapus dosa-- tetapi sesampainya di negeri sendiri, ritual penjiplakan juga dimulai, tanpa rasa salah tanpa rasa dosa.

Jangan heran, seorang pemimpin redaksi di perum penerbitan pers pun melakukan penjiplakan tanpa rasa bersalah. Dia sajikan makalah jiplakan seratus persen dari karangan orang lain yang telah diterbitkan tiga tahun sebelumnya dan diakui sebagai karangannya sendiri.

Pada akhir makalah jiplakan itu ada tambahan catatan kaki yang menerangkan bahwa penulisnya adalah pemimpin pedaksi dan pernah menjabat kepala biro luar negeri. Seakan-akan dia hendak meyakinkan para peserta disikusi bahwa dialah penulis makalah yang disajikannya itu. Padahal semuanya penipuan belaka. Jadi apa boleh bikin.

Emangnya yang saya tulis itu ada? Ada, ada faktanya! Suatu bukti bahwa kita ternyata baru bisa menjiplak, mencuri karangan orang lain sajalah. Dosa? Akh, kan bisa terhapus kalau bilang “tobat”.

I. Umbu Rey

Tidak ada komentar: