Selasa, 07 Agustus 2012

Anjing Perempuan




Pak Andy Noya menyambut kedatangan tamunya ke pentas acara Kick Andy di layar teve Metro (27 Juli 2012). Tamunya itu ahli melatih anjing. Bertanyalah Andy sebagai kata pembuka, “Ini anjing laki atau perempuan?” Sang pelatih bernama Pak Aang,  spontan menjawab, “Perempuan!” Nama anjing itu pun mirip pula dengan nama seorang perempuan. Anjing perempuan tentu saja yang dimaksudkan Pak Andy adalah anjing dari jenis kelamin betina.

Berserulah saya dalam hati, “Wahai kamu sekalian anjing-anjing dari segala jenis ras dan dari berbagai bentuk moncong dan monyong di seluruh Indonesia dan di muka bumi, berbahagialah kamu karena derajatmu telah terangkat menjadi sama dengan manusia. Pada hari ini dan seterusnya kamu telah disebut “anjing perempuan” dan “anjing laki-laki’. Maka pantaslah kamu dipanggil Heli, dan temanmu yang perempuan diberi nama Hesti. Kelak jika engkau melahirkan anak lelaki, namakanlah dia Fransiskus, dan jika anakmu perempuan namakanlah dia Siti Maryam binti Hesti.”

Alkisah, pada zaman dahulu kala ketika bahasa Melayu belum lagi diakui sebagai bahasa Republik, tersebutlah kata “empu” yang menunjuk ke bentuk netral, berhubung bahasa ini sesungguhnya tak mengenal jenis kelamin. Itu sebabnya setiap kata ganti yang menunjuk perempuan atau lelaki sama saja disebut “dia” atau “ia”, tidak seperti bahasa Inggris yang menyebut “he” untuk menunjuk jenis jantan atau lelaki, dan “she” untuk betina atau perempuan. Anak laki-laki disebut “son” dan yang perempuan “daughter”.  

Nenek selalu menunjuk kepada jenis kelamin perempuan dan lelaki juga. Nenek moyangku itu apakah pelaut atau petani adalah orang lelaki sekaligus perempuan. Kakek yang disebut sebagai nenek berjenis kelamin lelaki baru datang kemudian, entah dari bahasa apa. Demikianlah pula “cucu” itu bisa perempuan dan lelaki juga. Bapak ibu atau ayah bunda bukan jenis kelamin, tetapi panggilan kepada orang si pencari nafkah dan orang yang melahirkan anak dalam kelompok  keluarga.

Empu berarti tuan atau pemilik, atau ahli di bidang tertentu. Maka tersohorlah dalam kisah sejarah zaman baheula orang-orang bernama Empu Gandring, Empu Tantular, Empu Sendok, dan empu yang lain-lain lagi sebagai gelar kehormatan. Ketika kuasa atau benda tak ternilai harganya ada yang memiliki, maka tuan atau pemiliknya itu lalu disebut “yang empunya”. Setakat ini, sebutan “yang empunya” tak lagi lazim diucapkan orang dalam percakapan sehari-hari kecuali dalam bahasa tulisan karya sastra. Buku yang kini masih menggunakan kata “yang empunya” mungkin hanya Alkitab atau Injil (Perjanjian Baru), “…karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.”

Karena lidah penutur bahasa zaman saiki sulit atau tak terbiasa lagi mengucapkan “yang empunya”, maka terpelesetlah lidah (mungkin) oleh sebab dipaksa menggunakan awalan /mem/ sehingga terjadilah “me(m)-empunya-i” dan selanjutnya kini kita kenal kata kerja berimbuhan “mempunyai”. Mengapa kata dasar “empunya” tidak menurunkan kata kerja “me(ng)-empunya-i” mengikuti aturan tata bahasa, barangkali karena bibir orang Indonesia lebih enak menyebut mempunyai.

Kata “empu” menurunkan kata “empuan” atau “perempuan” yang berarti “permaisuri” yakni sebutan bagi istri raja. Perempuan atau “per – empu –an” atau per-tuan-an atau yang dipertuankan adalah Tuan Putri, dan karena dia adalah istri raja maka jadilah perempuan sebagai jenis kelamin lawan dari lelaki. Sebab, tak mungkinlah permaisuri itu lelaki. Tetapi, jenis kelamin perempuan dan lelaki itu sejak dulu hanya dimaksudkan untuk manusia atau orang saja. Hewan dan makhluk lain yang hidup berkawin-mawin seperti manusia disebut jantan untuk jenis kelamin laki-laki, dan betina untuk jenis kelamin perempuan.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga, perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Laki-laki adalah orang (manusia) yang mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan adakalanya berkumis. Secara naluriah, puki perempuan pun menjadi incaran pemuas nafsu berahi. Karena itu, dari zaman ke zaman ribuan tahun silam hingga saat ini, kata “perempuan” banyak kali berkaitan atau dihubung-hubungkan dengan pelacuran atau persundalan.

Tercatatlah dalam Kitab Keluaran (Perjanjian Lama) seorang bernama Rahab yang disebut “perempuan sundal” karena profesinya memang bersundal. Kakak beradik Ohola dan Oholiba adalah perempuan yang bersundal di Mesir sejak masa mudanya. Di sana susunya dijamah-jamah dan dada keperawanannya diraba-raba, begitulah riwayatnya dalam Kitab Yehezkiel. Dan lagi, raja Israel kedua bernama Daud --yang oleh kitab suci yang lain disebut nabi orang Yahudi-- telah mempersundalkan Batsyeba, istri dari Uria panglima perangnya sendiri. Dirangkulnya perempuan molek bahenol itu ke atas sotoh rumahnya lalu bercumbu rayu dan bersundal-sundalan di ranjang persundalan istana kerajaan.

Tak terhitung banyaknya orang dari segala macam bangsa dan agama baik yang ningrat maupun yang budak menggunakan kelamin perempuan hanya sebagai alat untuk persundalan. Sampai-sampai anggota DPR yang terhormat di Senayan Jakarta pun terlibat kasus porno, dan sasarannya selalu perempuan. Itulah (mungkin) sebabnya dalam bahasa Indonesia, istilah “perempuan” telah dianggap buruk atau aib dan tidak lagi disukai oleh kaum feminim di Nusantara ini.

Kaum ibu menganggap sebutan “perempuan” itu tidak beradab, kasar dan merendahkan sesama manusia ciptaan Tuhan. Apalagi kalau mereka dikata-katai atau diumpat dengan kalimat “akh…dasar perempuan lu!” maka pastilah semua ibu se-Indonesia serentak tersinggung. Untuk membedakannya dengan kaum lelaki, sebutan kaum “wanita” agaknya lebih mulia, sebab orang tidak akan berkata, “…dasar wanita lu!” 

Itu sebabnya sebutan “wanita” telah menggantikan “perempuan” untuk tidak memandang rendah kaum Hawa. Dahulu ada Kongres Perempuan tetapi kemudian diganti dengan Kongres Wanita. Tak boleh lagi ada “pengusaha perempuan” dan mestinya disebut “wanita pengusaha”, atau wanita karier. Polwan  itu adalah polisi wanita dan Wara berarti wanita angkatan darat. Dalam susunan kabinet ada Menteri Urusan Peranan Wanita, mungkin kalau disebut “peranan perempuan”, Ibu Menteri merasa risi atau malu tak enak hati. Aduh, kenapa kata perempuan “pelacur” dihalus-haluskan menjadi WTS atau Wanita Tuna Susila? Meskipun wanita, kerja mereka toh melacur juga. Oh, masih terdengar terlalu kasar, maka WTS dihaluskan lagi dengan istilah PSK --Pekerja Seks Komersial.

Kata “lelaki” lantas dihalus-haluskan pula menjadi “pria” tetapi tetap saja dia menjajah wanita sejak dulu, dan menjadikannya perhiasan sangkar madu. Meskipun kadang-kala pria tak berdaya dan bertekuk lutut di sudut kerling wanita, sang pria tetaplah berkuasa menekuk-nekuk lutut wanita. Begitu lutut sudah ketekuk, sang wanita pun pasrah berserah diri di gelanggang persetubuhan. Itu mungkin sebabnya “lelaki” tetaplah begitu. Kadang-kadang lelaki disebut (hewan) jantan sebagai lambang keperkasaan. “Akh, dasar laki-laki buaya!” tak ada yang tersinggung.

Maka terjadilah kejanggalan bahasa ketika seorang ibu muda melahirkan seorang anak  “wanita”. Bukankah wanita itu adalah perempuan yang sudah dewasa? Bagaimana mungkin seorang ibu muda bisa melahirkan wanita. Pak Bejo pun ikut-ikutan berkata bahwa istrinya telah melahirkan seorang putra dan seorang putri, padahal dia hanya seorang tukang bakso. Putra dan putri itu adalah bahasa Sanskerta untuk menyebut anak raja, bukan anak petani atau anak buruh pelabuhan, dan bukan pula anak pegawai negeri.

Tanpa kita sadari, perkara halus-menghaluskan sebutan jenis kelamin itu telah memindahkan kata “perempuaan” kepada anjing atau ternak dan hewan liar. Keagungan wibawa perempuan yang awalnya berarti permaisuri kini tergredasi, dan istilah “perempuan” telah disandang oleh kaum anjing. Pantaslah Andy F. Noya dalam acaranya itu menyebut “anjing perempuan”. 

Bahasa Indonesia demokratis sifatnya, setiap istilah boleh diterapkan di mana dan kepada siapa saja menurut maksudnya. Jikalau presiden bersantap bersama tamunya di istana negara maka anjing pun boleh menyantap makanannya di kolong meja. Demikian pun putra dan putri itu bukan lagi hanya anak raja, dan karena itu lelaki dan perempuan boleh dipakai untuk membedakan jenis kelamin binatang, sama seperti bahasa Inggris menyebut male and female untuk manusia dan binatang. Anjing wanita tidak ada, Brur!

Anehnya, kaum wanita mulia yang kini sudah sederajat dan sama hak dan kedudukannya dalam segala bidang kehidupan dengan kaum pria, sesungguhnya sama saja kelakuannya dengan perempuan sundal. Ada banyak wanita, baik yang berprofesi pengusaha, direktur, politisi maupun dosen bergelar profesor tetap saja bersundal. Mereka melacuri dirinya atau bersundal dengan uang demi jabatan dan kuasa. Kaum lelaki ditaklukkannya dengan uang suap jutaan bahkan miliaran rupiah. Jaringan korupsi  kelas kakap bahkan telah berada di bawah duli Tuanku Wanita Putri.

Lihatlah wahai Tuanku Wanita mulia, ibu dari anak-anakmu yang sekarat melarat di desa dan di dusun-dusun. Indonesia kini sedih menangisi dikau, sebab walaupun engkau telah disanjung dengan sebutan “wanita”,  kelakuanmu kok lebih sadis daripada perempuan sundal. Engkau lebih jorok daripada WTS alias Wanita Tuna Susila, sebab perempuan dursila tak pernah memakan hak orang miskin. Kalau begitu, di manakah kemuliaan wanita?

Tengoklah, sudah ada berapakah wanita Indonesia kini dalam pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi -KPK. Selalu saja ada alasan untuk membantah bahwa tidak semua wanita begitu. Aha, wanita yang lain hampir pasti sudah punya niat, mungkin kesempatan saja belum ada. Meski sekarang ini baru beberapa wanita terlibat kasus korupsi dan diperiksa KPK, Presiden SBY toh sudah bilang, “Karena nila setitik rusak susu sebelanga.”

I. Umbu Rey

Senin, 30 Juli 2012

Pegadaian




Ini nama sebuah lembaga atau kantor, maka sebenarnya tak usahlah dipersoalkan mengapa dia bernama Pegadaian. Sama seperti teman saya si Mulyo, tak perlulah kita persoalkan mengapa dia bernama begitu, meskipun ditilik dari persoalan kaidah bahasa mestinya namanya dipanggil Mulia. Bukankah orang Batak juga bernama Todung Mulia Lubis? Lha, bapaknya itu anak kan orang Jawa, maunya dikasih nama Mulyo, lantas kita mau bilang apa? Terserah dialah!

Akan tetapi nama Pegadaian masih pantas kita gugat dari sudut pandang tata bahasa, lantaran kantor itu sudah milik umum yang menyangkut masalah penggandaian atau gadai-menggadai. Lagi pula, kata “pegadaian” sudah menjadi konsensus umum dan masuk pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di dalam kamus kata pegadaian diberi arti tempat bergadai, atau rumah gadai. Itu yang jadi masalah. 

Motonya disebutkan dalam iklan televisi dan spanduk di mana-mana “mengatasi masalah tanpa masalah”, tetapi bertahun-tahun saya gelisah lantaran kata “pegadaian” justru telah menimbulkan masalah yang tak teratasi di benak saya. Meski dapat mengatasi masalah tanpa masalah, kantor itu ternyata hanya dapat mengatasi masalah penggandaian saja. Anda  tak akan mungkin mengatasi konflik politik atau masalah dugaan korupsi di proyek pembangunan pusat latihan atlet Hambalang lewat Kantor Pegadaian.

Bagi saya, nama Pegadaian itu perlu pula kita atasi juga sebab telah melanggar kaidah tata bahasa. Orang yang menggandaikan barangnya ke situ boleh saja “cuek bebek” dengan nama kantor itu,  sebab bagi mereka yang penting dapat uang dengan cara yang mudah dan cepat. Tetapi sampai sekarang saya tetap saja bingung mendengar nama itu. Kenapa bingung, karena saya bukan bapaknya si Mulyo.  

Kantor Pegadaian adalah tempat rakyat jelata (kebanyakan kaum tidak mampu) menggadaikan barang miliknya lantaran hampir setiap saat “kepepet duit” akibat  keperluan mendadak. Mereka lalu menyerahkan barang-barang miliknya yang paling berharga untuk ditukar dengan uang dengan nilai yang pantas. Rakyat jelata meminjam uang ke bank agak susah karena tak punya harta berupa tanah atau mobil sebagai jaminan atau agunan. Maka yang paling cepat menolong mereka adalah Pegadaian.

Di Pegadaian orang boleh menggadaikan barang miliknya apa saja, dan sebentar kemudian juru taksir menentukan berapa nilai uang yang akan diberikan kepada si penggadai. Si penggadai pun pulang dengan hati lega. Dalam waktu yang ditentukan kalau barang tidak bisa ditebus atau dilunasi, maka barang yang digadaikan itu akan dilelang. Yang tak bisa menebus barang gadaiannya pasrah saja kalau barang tak kembali, sebab masalah utama yakni terbebas dari beban “kepepet duit” untuk keperluan mendesak sudah teratasi. Pada umumnya barang gadaian dapat ditebus karena angsuran pengembalian sangat ringan.

Andai kata di dunia ini ada badan keuangan resmi bernama Dana Pegadaian Internasional (DPI) rasa-rasanya Republik Indonesia tak perlu kesulitan membayar subsidi BBM untuk rakyat tak mampu. Hubungi saja DPI, lalu gadaikan  Pulau Jawa beserta dengan segala isinya di dalam dan di atasnya. Pulau Jawa ditaksir sekian dolar, oke sajalah, dolar pun kita terima. Sampai batas waktunya, bisa ditebus kembali. Kalau tidak bisa ditebus, selesailah masalahnya, karena kita telah mengatasi masalah tanpa masalah. Itu lebih baik daripada pulau Sipadan dan Ligitan dicomot begitu saja oleh negara jiran tanpa proses penggadaian. Rugi kita, sebab tidak dapat duit.

Yang mungkin tak bisa diatasi Pegadaian adalah masalah cinta yang tergadai, sebab cinta bukan barang konkret yang bisa ditaksir dengan nilai uang. Orang –biasanya laki-laki—yang  cintanya tergadai mungkin bisa stres dan gelisah tak bisa tidur selama tiga hari tiga malam dan mengomel-ngomel sampai seminggu karena uang belanja tekor. Gaji sebulan ludes habis untuk ongkos berpacaran.

Itu mungkin sebabnya Gombloh menciptakan lagu “Kugadaikan Cintaku”. Habis mendengar lagu kesayangannya di radio, pukul tujuh dia apel ke rumah sang pacar. Eh, si pacar kelihatan di depan mata sedang duduk berdua-duaan dengan lelaki yang lain lagi sambil bercium-ciuman. “Mimpi apa aku semalam?” katanya. Begitulah cinta Gombloh telah tergadai, dan tak mungkin bisa ditebus di Kantor Pegadaian.

Suatu ketika dua orang sahabat bercanda dalam senda gurau. Bertanyalah seorang di ataranya, mengapa di dalam masjid tidak ada organ. Maka sahut temannya, “Sandal jepit saja hilang …apalagi organ.” Sahabatnya itu kebetulan beriman Kristen, dengan serta merta membalas, mengapa pada hari Natal semua Kantor Pegadaian ditutup. Jawabnya, “….sebab pada hari Natal Sang Penebus telah datang.” Akh, mosok Dia datang untuk menebus barang-barang gadaian. 

Itu soal gadai-menggadai dan tergadai. Nama Pegadaian itu dapatlah dipastikan, atau tentulah berawal dari kata “gadai”. Dari kata dasar “gadai” akan muncul kata kerja aktif “menggadai” atau “menggadaikan”. Proses menggadaikan itu kita sebut “penggadaian”. Maka seharusnya kita sebut kantor itu Kantor Penggadaian, karena telah terjadi proses menggadai di situ. Lalu mengapa kantor itu disebut  “Pegadaian”? Jangan-jangan “Pegadaian” telah kehilangan huruf  /ng/ karena telah tergadaikan dan tidak bisa ditebus.

Meminjam uang dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan disebut juga “bergadai’. Sekarang ini kata “bergadai” tidak lagi terdengar atau terucapkan orang banyak. Kata “bergadai” akan memunculkan  kata  berimbuhan “mempergadaikan” dalam arti membuat atau memaksa orang untuk bergadai (karena kepepet uang juga). Karena itu tempat orang bergadai mestinya disebut Kantor Pergadaian, dan bukan Pegadaian. Sebagai bandingan, tempat bermukim itu kita sebut “permukiman” dan tempat berlindung kita sebut perlindungan.

Rupa-rupanya kata “pegadaian” itu pun telah kehilangan huruf /r/. Mungkin juga karena telah tergadai dan tidaka pernah ditebus. Sebab itu orang banyak menyebutnya kini sebagai Kantor Pegadaian saja. Sialnya, KBBI dan kamus KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) di lemari buku saya hanya mencatat kata pegadaian sebagai kesepakatan umum, tetapi di situ tidak tercantum kata pergadaian. Jikalau ada kata “bergadai” maka haruslah ada “pergadaian”. Salah kaprah, tetapi kita mau bilang apa?

I. Umbu Rey 


 



    


Senin, 02 Juli 2012

Polisi Berhasil Bekuk DPO



Baru kali ini saya mendengar, ada polisi berhasil membekuk daftar. Ini bahasa wartawan atau siapa? Kalau wartawan yang  bikin berita saya tanya, pastilah dia mengatakan itu bahasanya polisi. Si wartawan tidak akan mungkin mengubah pernyataan polisi yang dikutipnya itu dalam berita, sebab begitulah kenyataannya. Itu fakta, kata wartawan yang menulis berita itu.

Maka saya berkesimpulan bahwa wartawan dan polisi sama-sama suka bikin bingung orang. Mana ada polisi, sepintar apa pun dia, bisa membekuk daftar. Tak tahulah saya, apakah polisi atau wartawan itu mengerti arti kata daftar. Semua orang  pastilah tahu bahwa daftar itu adalah catatan, dan catatan apa pun tak mungkinlah dapat dibekuk oleh polisi. Membekuk itu artinya menangkap (biasanya penjahat). Penjahat yang ditangkap polisi pun tak pernah membawa daftar. Lantas, polisi sebenarnya membekuk atau menangkap apa? Polsi berhasil membekuk DPO terasa amat ganjil., sebab sama saja artinya polisi membekuk daftar.

Polisi kalau bicara memang sering  bikin bingung lantaran terlalu sering menggunakan singkatan atau akronim. Wartawan penulis berita pun ikut-ikut bikin bingung karena tidak berani mengubah atau memperbaiki pernyataan polisi. Dikutipnya mentah-mentah pernyataan polisi, mungkin karena takut salah, atau dia sendiri juga sedang bingung, tidak tahu bagaimana membahasakan pernyataan polisi secara benar. Yang paling menderita adalah sidang pembaca atau pemirsa atau pendengar, yang sampai sekarang mungkin masih terus bingung. Bagaimana mungkin polisi bisa membekuk atau menangkap DPO.

DPO itu sudah umum diketahui orang adalah singkatan dari Daftar Pencarian Orang. Kalau juru bicara polisi mengumumkan bahwa polisi berhasil membekuk satu DPO, artinya dia sedang mengatakan polisi berhasil menangkap catatan atau daftar (pencarian orang). Padahal, orang awam pastilah mengerti bahwa catatan atau daftar itu selalu ada di kantor polisi, tersimpan rapi di dalam laci  lemari. Karena itu DPO tidak perlu dicari, diburu atau dikejar, ditangkap lalu dibekuk.

Ketika polisi bikin bingung, orang awam yang gagap teknologi telefon genggam pun ikut-ikut bikin bingung ketika mereka mengirim SMS. Mereka biasanya berkata, ”Saya kan sudah kirim SMS. Apa sudah diterima?” Pesannya mungkin sekali tak pernah sampai ke alamat sebab yang dikirimnya itu adalah “service”. SMS adalah singkatan dari Short Message Service, maka orang yang mengirimkan SMS sebenarnya sama saja dengan mengirimkan “service”. Idem dito dengan DPO, sama-sama keliru.

DPO (Daftar Pencarian Orang) adalah daftar tentang bagaimana (proses, atau cara) polisi mencari orang. Dalam daftar ini orang yang sedang dicari polisi tidak tentu, siapa saja yang dianggap salah, bukan hanya penjahat atau teroris saja. Anda yang naik motor atau sedang mengemudi mobil bisa-bisa juga masuk dalam DPO. Polisi memang gemar mencari-cari mangsa untuk masuk dalam DPO. Setiap saat polisi berjaga-jaga di perempatan jalan. Kalau Anda dianggapnya menerobos lampu merah, atau melanggar peraturan lalu-lintas, maka masuklah engkau dalam perangkap DPO. Anda tidak berhasil kasih tunjuk SIM, isi dompet ludes habis kena tilang.

Jangankan kau yang tidak punya SIM kena  tilang, polisi makan polisi pun sudah biasa, sesama polisi pun bisa masuk dalam DPO. JE Sahetapi, itu guru besar dan ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga secara terus terang dan sangat jelas tegas lugas menyatakan dalam acara Indonesia Lawyers Club di layar Tvone (5 Juni 2012) bahwa polisi adalah aparat paling busuk di negeri ini. Barangkali cuma Gus Dur (presiden ke-4 RI) yang masih menyisakan polisi tidur, patung polisi, dan mantan Kapolri Hugeng Iman Santoso saja yang terbilang jujur. 

DPO yang dibikin polisi itu pun sejak awal sudah salah kaprah. Daftar sama artinya dengan catatan, di dalamnya adalah catatan polisi mengenai “pencarian orang”. Itu urusan polisi. Orang awam tak mau  tahu bagaimana (proses) pencarian atau bagaimana dan dengan cara apa polisi mencari lalu membekuk penjahat.
Yang perlu diketahui orang banyak adalah daftar atau catatan polisi itu seharusnya berisi nama, ciri-ciri dan jumlah orang (penjahat atau teroris) yang dicari-cari polisi supaya dikenali umum. Dengan begitu, orang umum dapat membantu atau memudahkan proses “pencarian orang” yang dilakukan polisi. Banyak kali, polisi berhasil membekuk penjahat (yang dicari-cari) berdasarkan laporan atau keterangan orang banyak menurut ciri yang ada dalam daftar polisi.

Orang yang dicari-cari polisi biasanya disebut “buron” yang sudah tertentu. Buron itu kata dari bahasa Jawa yang (karena kebiasaan) ditambah lagi dengan akhiran “an” sehingga menjadi “buronan”. Kata buron atau buronan masuk dalam khazanah kosa-kata bahasa Indonesia entah sejak kapan saya tidak tahu. Sebenarnya kata “buron” sama saja dengan “buru” atau “kejar”. Tetapi, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia IV) mencatat sublema “memburon” tidak sama artinya dengan mengejar atau memburu. Memburon artinya menjadi buron.

Dalam masalah ekonomi sudah lama kita kenal juga istilah “Daftar Orang Tercela”. Maksudnya adalah daftar orang yang memenuhi kriteria perbuatan tercela di bidang perbankan sehingga mereka dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank (KBBI Pusba hal. 285). Daftar Orang Tercela kalau mau disingkat maka akan jadilah DOT.

Orang tercela yang masuk dalam DOT adalah orang yang dicela, sama juga artinya dengan  “orang celaan”. Maka singkatan itu boleh juga menjadi DOC atau Daftar Orang Celaan. Dalam istilah ekonomi tidak dikenal Daftar Pencelaan Orang atau DPO, karena menyalahi logika. Daftar itu bukan tentang bagaimana (proses, atau cara)  mencela orang, tetapi tentang orang-orang tertentu yang dinyatakan telah melakukan perbuatan tercela dalam bidang perbankan.

Menurut tata bahasa Indonesia, kata “buru” atau “kejar” akan mendapat imbuhan “pemburuan” dan “pengejaran” dalam arti proses atau cara memburu atau mengejar. Hasilnya adalah “buruan” atau “kejaran”. Buruan adalah sesuatu yang diburu, atau orang atau penjahat yang dicari polisi untuk ditangkap.

 “Buruan” atau “buronan” sama saja artinya. Jadi, catatan atau daftar polisi itu bukan DPO tetapi seharusnya disebut DB atau Daftar Buronan, atau Daftar Orang yang dicari atau Daftar Orang Carian disingkat dengan DOC. Orang carian adalah orang (penjahat) yang dicari polisi, dan yang dicari polisi itu sudah ditentukan. Siapakah yang dibekuk polisi dalam judul tulisan ini? Tentu saja buruan atau buron atau buronan yang dicari-cari. Mengapa polisi mengatakan berhasil membekuk DPO? Itu yang bikin bingung.

Anda tidak bingung? Kalau begitu Anda sama saja dengan polisi. Pembikin bingung juga.

I.Umbu Rey







   


Kamis, 28 Juni 2012

Ketua Dewan Pembina (harus punya hoki)



Pak SBY adalah Ketua Dewan Pembina dari partai berkuasa. Dialah salah seorang dari, konon, sembilan pengagas dan pendiri Partai Demokrat yang menjadi pemenang pemilu dua periode. Mungkin karena dia berperawakan besar dan ganteng pula, maka terpilihlah dia menjadi ketua dewan pembina, dan selanjutnya menjadi presiden Republik Indonesia.

Apa tolok ukur seorang menjadi ketua dewan pembina dalam partai itu saya tidak tahu, sama halnya saya tidak tahu pula mengapa SBY menjadi presiden Republik Indonesia keenam. Ada yang mengatakan hidup ini adalah wujud dari hasil kerja keras dan cerdas otak, tetapi ada pula yang mengatakan karena peruntungan. Anehnya, kerja keras dan cerdas akal pun tak mesti menentukan orang bisa memperoleh keberhasilan, kalau tidak disertai hoki. Maka berkatalah seorang pendeta yang menyebut dirinya “drunken priest” “Kalo lo kagak punya hoki, jangan harap lo masok sorga”.

Hoki itu bahasa Tionghoa yang dalam bahasa Indonesia kita sebut peruntungan atau nasib. Nasib bisa mujur tetapi bisa juga sial atau apes. Dunia kehidupan adalah ibarat gelanggang lomba bagi manusia yang telah ditentukan nasibnya menurut takdir. Yang terdahulu akan kemudian dan yang kemudian akan terdahulu. Kalau hoki menyertainya, dia mujur, dan kalau dalam perjalanan takdir dia  tidak memperoleh hoki, maka apeslah dia. Banyak orang cerdas pandai mengatakan hidup ini pilihan, tetapi pastilah tak ada manusia yang memilih hidup menjadi apes melulu. Itu mungkin sebabnya orang selalu saja mengharapkan nasib baik atau peruntungan dalam segala pekerjaan.

Dalam tayangan Kick Andy di layar teve Metro (15 Juni 2012), seorang Dahlan Iskan telah menjadi kaya dan ditunjuk pula oleh Presiden  SBY dalam kabinetnya sebagai menteri BUMN. Sebelumnya, dia memangku jabatan direktur utama PLN. Ketika kecil dia hidup miskin papa, tak punya apa-apa. Lahirnya kapan tak jelas pula. Dia menaksir umurnya dalam tahun 2012 adalah 61 tahun. Ayahnya mengatakan dia baru mulai merangkak waktu Gunung Kelut meletus, dan itu terjadi pada tahun 1951. Bulan dan tanggal lahir, dicatatnya saja sendiri sama dengan tanggal kelahiran RI, 17 Agustus.

Hidup dalam kemiskinan yang tak tentu arah macam Dahlan jumlahnya tak sedikit di kampungnya, tetapi hanya Dahlan saja yang ditentukan oleh hoki untuk menjadi menteri. Beberapa orang yang  lain mungkin juga jadi orang baik dan berhasil punya perusahaan besar dan hidup bermegah dalam kemewahan berlimpah, tetapi sisanya lebih banyak masih tertatih-tatih dalam alam “kere” yang mungkin tak kan berkesudahan. Mereka pun telah bekerja keras dan cerdas pula dalam perjalanan takdir kehidupannya. Tak diceritakan apakah menjadi menteri adalah cita-cita Dahlan kecil ketika masih sekolah di madrasah dulu dan bagaimana dia berusaha kerja keras dan cerdas untuk mencapai kedudukan menteri. Dia cuma mengatakan kemiskinan itu dinikmatinya saja apa adanya.

Barangkali Pak SBY pun demikian, hoki agaknya selalu saja menyertai perjalanan hidupnya dalam takdir yang tidak dia ketahui. Takdir adalah ketentuan atau ketetapan Tuhan (KBBI Pusba), dan karena itu orang mau jadi apa kemudian sesungguhnya adalah ketetapan Tuhan juga. Maka berkatalah Pengkhotbah, apa yang terjadi sekarang sesungguhnya telah ditentukan sebelumnya. Konon, SBY bercita-cita menjadi tentara seperti ayahnya, dan dia berhasil menjadi jenderal pula. Tetapi, hoki menyertai orang dalam perjalanan hidupnya untuk menjadi sesuatu yang tak pernah ada dalam angan-angannya ketika kecil. SBY pun menjadi presiden RI. Dia Ketua Dewan Pembina (Partai Demokrat) kini.

Ketua Dewan Pembina artinya ketua yang memimpin atau bertugas mengetuai dewan atau majelis atau badan yang terdiri atas beberapa orang anggota yang pekerjaannya memberikan nasihat, memutuskan suatu hal, dsb dengan jalan berunding (KBBI Pusba). Apakah SBY berhasil membina atau memimpin, mungkin pembaca coretan ini sudah banyak tahu.

Pada kenyataannya  SBY tampak geram ketika dia berpidato di layar televisi, lantaran partainya turun peringkat elektabilitas di mata rakyat, nyaris sampai pada titik paling nadir. SBY membina partainya untuk berdiri di atas asas cerdas, bersih, dan santun, tetapi orang pintar, cerdas, dan santun binaannya justru tidak jujur, dan melenceng dari asas itu, dan menjadi manusia paling  korup dan merusak citra partai Demokrat.

SBY pun berkata, “Karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Walaujpun begitu dia berkilah, persentase jumlah koruptor dalam partai yang dipimpinnya jauh lebih kecil  daripada partai besar lain, dengan menyebut data hasil survai entah dari mana sumbernya. Tetapi, para pengamat politik mengatakan nilai korup paling besar sampai mencapai triliunan rupiah justru dilakukan oleh hanya segelintir oknum Partai Demokrat.

Dari segi tata bahasa, SBY disebut memegang jabatan di partainya sebagai Ketua Dewan Pembina. Itu logika yang lurus, sebab dia adalah ketua yang memimpin dewan pembina. Bukankah dewan pembina itu adalah badan atau sekelompok  orang yang membina atau memimpin anggota partainya supaya berjalan lurus menurut asas yang telah ditentukan?

Pada umumnya  partai lain menyebutkan jabatan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Ini logika yang miring pengertiannya. Ketua Dewan Pimpinan Pusat boleh jadi juga berarti ketua dewan atau majelis yang dipimpin oleh pusat karena kata “pimpinan” berarti (orang) yang dipimpin atau hasil memimpin.

Kalau kita menyebut “dewan pimpinan pusat” maka “pusat” itu boleh kita pertanyakan siapakah dia, dan apakah jabatan dia sesungguhnya. Tentu saja dapat kia katakan bahwa “pusat” itulah yang memimpin dewan. Kalau begitu, “pusat” itu adalah ketua juga lantaran dialah yang memimpin dewan. Lantas, “ketua dewan pimpinan pusat” itu apa maksudnya. Ketua dewan yang dipimpin oleh pusatkah, atau ketua dewan pimpinan itu berada di pusat.

Kata “pimpin” seharusnya sama atau identik dengan “bina” karena keduanya berarti hasil memimpin dan hasil membina. Baik “pimpinan” maupun “binaan” bukanlah pemimpin atau  pembina. Jikalau Partai Demokrat memberikan SBY jabatan sebagai “Ketua Dewan Pembina”, mestinya partai yang lain pun menyebut “Ketua Dewan Pemimpin Pusat”. Demikian pun Ketua Dewan Pemimpin Daerah itu adalah ketua dewan yang memimpin di daerah atau di cabang. Mereka itu bukan pimpinan atau orang yang dipimpin. Mereka pemimpin dan bertugas memimpin di daerahnya.

Logika “dewan pimpinan’ ini miring jalannya lantaran kata “pimpinan” telah umum atau telanjur dimengerti atau diberi pengertian sebagai “kumpulan para pemimpin”. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia IV) mengartikan “pimpinan” adalah hasil  memimpin; bimbingan; tuntunan. Tentu saja “binaan” juga berarti hasil membina. Demokrat itu adalah partai binaan (yang dibina, dibangun oleh) SBY, artinya SBY adalah pembina Partai Demokrat.

SBY membangun partai dengan bahasa terang, logikanya lurus langsung. Logika yang lurus ini agaknya tak menentukan suatu partai yang dibina akan otomatis menjadi baik dan lurus pula jalannya sesuai asas yang telah ditentukan. Di negara demokrasi lain, semisal Amerika Serikat, logika menentukan jalannya kehidupan yang baik sebab bahasa mereka nalar untuk sampai pada tujuan dan mewujudkan cita-cita, tetapi di Indonesia logika masih harus ditentukan oleh hoki, peruntungan, atau nasib mujur.

Orang mewujudkan hoki dengan simbol-simbol baik benda maupun angka. SBY senang akan angka 999 menurut buku seri PAK BEYE karangan Wisnu Nugroho. Di mana-mana lambang angka 999 akan muncul, bahkan nomor telefon genggamnya pun bernomor buntut 9949. Itu tanggal lahirnya.

Benarkah tanggal lahir menentukan hoki seseorang? Pak Menteri Dahlan Iskan tak jelas tanggal lahirnya, toh jadi orang kaya juga dan menteri pula. Hoki bagi orang yang lain lagi mungkin menggunakan benda lain sebagai simbol peruntungan. Tomy Soeharto memiliki kekayaan berlimpah konon karena warisan hoki ayah bundanya. Dia mendirikan perusahaan bernama HUMPUSS tetapi orang banyak lalu memelesetkan nama perusahaan itu dari singkatan Hasil Usaha Mama Papa Untuk Saya Semua. Hokinya bagus betul dan simbol peruntungan adalah kekayaan itulah.

SBY teguh kokoh berdiri dalam lindungan hoki, meskipun partainya gonjang-ganjing diterpa isu korupsi. Satu dua kader sudah masuk bui KPK karena status tersangka dan narapidana, dan ketika kekuasaan SBY sudah hampir sampai pada kesudahan, ketua umumnya Anas Urbaningrum pun tergoncang badai korupsi.

Adakah Anas berambisi menggantikan SBY, agaknya iya, meskipun belum pasti betul. Usahanya untuk naik singgasana ketua umum Partai Demokrat, konon, dilakukannya dengan cara di luar asas cerdas, bersih, dan santun. Dia diduga kuat melakukan suap. Maka berkatalah pula Pengkhotbah, “Ketika orang bijak melakukan penipuan, sesungguhnya dia berlakon layaknya orang bodoh. Uang suap itu akan merusakkan keagungan wataknya.”

Berkatalah SBY dengan suara geram tetapi santun, “Perhatikan, kalau ada kader yang merasa telah melakukan perbuatan tercela, saya mohon keluar dari partai ini sekarang juga.” Para pengamat politik mengatakan SBY sedang menasihati seluruh kadernya, tetapi seorang ahli mengatakan itu sindirin lurus tepat ke sasaran Anas Urbaningrum, supaya dia mengundurkan diri saja. Agaknya hanya Ketua DPP bidang komunikasi Partai Demokrat saja yang mampu membaca pernyataan SBY. Sebelum SBY geram Ruhut sudah lebih dahulu meminta secara terang-terangan agar Ketua Umum Anas Urbaningrum mundur sementara. Dia telah ditegur oleh atasannya.

Anas telah diperiksa KPK, tetapi mungkinkah Anas tetap teguh di kursi ketua umum? Tergantung hoki.

Umbu Rey

            







 





          





      


Kamis, 17 Mei 2012

NEGARA PALING BERAGAMA



Seorang pendeta bernama Andar Ismail bercerita tentang Republik Suap di negeri Yahuda berdasarkan kisah Alkitab. Cerita di negeri  itu ditulisnya secara singkat dalam buku kecil seri Selamat Berkarunia. Asyik betul saya menyimak cerita itu lantaran praktik suap rupanya sudah berlangsung ribuan tahun sebelum Masehi. 

Syhadan, dia bilang di dalam itu negeri hakim dapat disuap, pembesar memberikan putusan sekehendaknya, dan hukum mereka putar balikkan. Semua urusan harus pakai suap. Ironisnya, yang kasih suap dan yang menerima suap adalah orang-orang yang beragama semuanya. Ternyata praktik suap menyuap dan sogok-menyogok memang sudah terbiasa dilakukan oleh orang yang beragama.

Orang-orang beragama itu amatlah saleh bertakwa dan khusuk sekali berdoa (kelihatannya begitu), tak pernah lupa melakukan ritual sembahyang ke sinagoga pada saatnya. Jumlahnya begitu banyak sampai luber ke pekarangan rumah ibadah karena terlalu penuh. Maka itu berkatalah sang pengkhotbah dengan bangga, “Negara kita ini adalah negara yang paling beragama!”

Cerita suap di negeri Yahuda itu mirip betul dengan praktik korupsi di negara Republik Indonesia sekarang ini. Saking maraknya korupsi dipraktikkan kelewat batas, maka penilaian internasional sampai menempatkan RI pada peringkat nomor wahid di antara negara-negara paling korup di Asia Tenggara, dan yang keempat di dunia.

Tetapi, pendeta yang cerdas ini mengatakan keliru kalau negara kita ditempatkan di peringkat paling atas dalam daftar negara-negara paling korup di dunia. Itu mungkin cuma salah ucap atau salah cetak saja. Barangkali yang dimaksud adalah bahwa negara RI termasuk peringkat “negara yang paling beragama”. Ya, paling beragama.

Suap-menyuap sesungguhnya bagian dari praktik korupsi juga, yakni penyelewengan atau penyalahguaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dsb) untuk kepentingan sendiri atau orang lain. Begitulah kata Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kalau demikian, apalah bedanya Republik Suap dan Republik Indonesia? Rakyat di kedua negara itu toh sama-sama beragama dan melakukan praktik suap juga.

Karena beragama, maka semua kegiatan yang berhubungan dengan urusan kenegaraan harus dijalankan dengan ritual agama atau dengan melibatkan Tuhan. Para menteri dan pejabat tinggi kalau dilantik Presiden haruslah mereka bersumpah atau mengangkat sumpah lebih dahulu demi Allah. Presiden pun harus bersumpah demi Allah. Demikian juga halnya dengan anggota DPR dan para hakim harus “disumpah” dahulu sebelum menjalankan tugas mulia yang dibebankan kepadanya. Orang yang menjadi saksi di pengadilan negeri pun harus mengangkat sumpah. Demi tuhannya juga.

Setelah habis bersumpah atau mengangkat sumpah? Terserah dia…, suka-suka dialah! Setelah itu, kabar yang terdengar adalah Presiden diisukan terlibat kasus Bank Century, anggota DPR-RI melalui Banggar (Badan Anggaran) terima uang suap dan menjadi kaya raya, dan sebagian sudah dihukum penjara. Dan, apalagi hakim dan jaksa yang makan uang sudah dijebloskan juga ke dalam penjara. Apakah ini hanya akal-akalan supaya dunia luar mendengar, tak tahulah kita, sebab nyatanya si terpidana hanya sebentar saja di penjara. Mereka bebas lagi karena bantuan HAM dan remisi. Tetapi, dana hasil korupsi sudah menumpuk abadi di rekening pribadi.

Di negara paling beragama ini setiap anggota masyarakat tidak boleh tidak harus mempunyai agama. Paling sedikit di dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) harus tertera agama apa yang dia anut (meskipun mungkin cuma bohong-bohongan saja). Siapa tahu kelak jika menjadi pejabat atau kalau diperlukan menjadi saksi di pengadilan maka yang bersangkutan harus pula bersumpah demi tuhannya.

Jikalau pejabat dilantik tanpa sumpah dan orang bersaksi di pengadilan tanpa sumpah demi tuhannya maka jabatannya atau kesaksiannya itu tidaklah sah. Tetapi, pengakuan di bawah sumpah walaupun diucapkan sebagai bohong-bohongan saja tetaplah resmi dan diakui negara. Siapa yang tahu bahwa orang yang mengucapkan sumpah jabatan itu serius dan jujur?

Sesungguhnya sumpah itu hanya sebuah pernyataan keteguhan hati atau kebulatan tekad seorang pejabat untuk mewujudkan sesuatu yang akan dikerjakannya kelak. Susahnya, kalau sumpah dicampuri dengan ritual agama dan atau melibatkan tuhan di dalamnya, maka sumpah itu patutlah dicurigai sebagai sumpah palsu. Demi Allah saya bersumpah, padahal demi kepentingaan dia sendiri.

Dulu, waktu zaman ORBA, ada tersedia lima agama yang diakui negara dan satu Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang terakhir ini terkenal mengajari pemirsa teve RI dengan istilah “eling”. Pokoknya eling sajalah. Ketika kekuasaan Pak Harto runtuh maka “eling” pun lenyaplah sudah. Koruptor mana ada yang eling, karena itu korupsi semakin merajalela di segala bidang kehidupan.

Gus Dur waktu naik takhta kepresidenan RI pada akhir abad 20 langsung bikin gebrakan untuk memberantas korupsi. Agama sebagai keyakinan ditambahnya lagi satu, yakni Konghucu, maka hari Imlek pun tercatat di kalender penanggalan sebagai hari libur resmi. Bahkan dua departemen, yakni Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dihapusnya dari kabinet karena dinilai paling banyak makan uang rakyat. Konon, Departemen Agama yang juga menjadi pusat praktik korupsi gagal dibubarkan.

Total agama yang mesti dianut umatnya di republik ini sekarang ada enam. Terlalu sedikit agaknya jikalau dibandingkan dengan jumlah manusia yang sudah mencapai 250 juta jiwa di negeri yang begini luas. Agama yang sedikit itu pada kenyataannya tidak mampu memperbaiki moral bangsanya. Tiap sebentar pejabat dilantik, dan saban hari mereka mengucapkan sumpah demi tuhan berdasarkan agama yang diyakininya tetapi korupsi juga mereka lakukan secara berjamaah tanpa rasa berdosa. Seakan-akan sumpah itu telah mengesahkan kejahatan korupsi dan menjadi kegiatan rutin setiap hari. Negara semakin parah dilanda wabah korupsi, lantaran tabiat rakyat dan moral pejabat sama saja.

Rakyat jelata dan mahasiswa lulusan perguruan tinggi apakah suci tanpa dosa korupsi? Orang bilang tergantung niat dan kesempatan saja. Niat pastilah sudah siap, tinggal kesempatan yang belum terbuka. Sedikit saja ada peluang, niat lalu mendorong mereka untuk masuk menjadi anggota tetap “perkumpulan para koruptor.” Sangat gampang masuk ke situ, sama gampangnya dengan seekor unta masuk melalui lubang jarum.

Semuanyakah begitu? Tentu tidak juga, sebab mereka yang niatnya baik dan jujur hanya menjadi kaum minoritas yang tidak terpilih, bahkan terbuang sampai tak bisa berbuat apa-apa lagi. Apakah mereka menjadi baik berkat peran agama? Sulit untuk menjawab ya, sebab di negeri yang dianggap kafir tak beragama sekalipun, lebih banyak orang yang moralnya sangat baik dan jujur, bukan karena mendapat pendidikan agama. Agama sama sekali tak berperan di dunia orang kafir, tetapi praktik korupsi mungkin hanya sedikit dilakukan. Mereka bahkan telah berperan membantu orang beragama yang kesulitan dan yang miskin papa. Pesawat terbang buatan tangan mereka telah banyak menyokong kelancaran ibadah orang beragama negeri ini. 

Lantas bagaimana kalau agama ditambah supaya banyak? Akh, agama dibatasi hanya enam saja dengan harapan tuhannya esa atau tunggal supaya negara teratur pun sudah amburadul tidak karu-karuan, apalagi banyak. Agama yang semakin banyak akan “menciptakan” tuhan menjadi banyak pula, maka yang mengatur umatnya pun tidak lagi Tuhan Yang Maha Esa. Tiap agama memiliki tuhannya sendiri, dan setiap tuhan akan akan berjuang hanya untuk kepentingan agamanya. Kok, tuhan jadi kayak anggota DPR-RI.

Untuk mengurus negeri yang penuh koruptor ini, tuhannya agama A pastilah tidak sependapat dengan tuhannya agama B, atau C. Demikian pun tuhan agama D menolak argumen tuhannya agama E dan F. Maka perdebatan antar-tuhan terjadilah untuk memberantas korups di negara paling beragama ini, sampai mungkin terjadi  seakan-akan tuhan berantam sesama tuhan dan kekacauan moral di republik ini semakin menjadi lebih buruk. Meskipun disebut “Yang Maha Esa” tak mungkinlah agama yang satu menaruh kepercayaannya pada Tuhan agama yang lain. Dalam kelompok agama Abrahamik sekalipun, yang satu menolak dogma yang lain meskipun tuhannya disebut Allah juga.

AGAMA menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dst) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dalam tanda kurung ada “dst” yang munngkin dapat ditafsirkan bahwa bukan kepada Tuhan atau Dewa saja orang menganut kepercayaan. Boleh juga orang percaya pada pohon beringin atau pada kepala banteng atau pada bintang biru bersudut tiga sebagai agama. Terserah dialah.

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) agaknya melokalisir pengertian agama hanya terbatas pada persoalan ajaran atau sistem yang mengatur tata iman dan peribadatan. Mungkin karena kata “agama” terambil dari bahasa Sanskerta yang berarti mengatur supaya tidak kacau. “A” berarti tidak, dan “gama” berarti kacau, sejalan dengan pola pembentukan kata “aneka” dan “asusila” atau bahkan “asu”. Maka agama sebenarnya bukanlah kepercayaan, dan bukan pula iman.

Dua kamus ini juga sama-sama memberikan pengertian pada kata “beragama” dalam arti memuja-muja sesuatu. Dalam bahasa percakapan sehari-hari kata “beragama” dapat berarti memuja uang dan harta benda sebagai tuhannya. Maka itu sebabnya, sebagai tersebut di atas, agama telah “menciptakan” tuhan bermacam-macam jenisnya menurut kepentingan penganutnya.

Anehnya, agama kini cendrung menjadi identik dengan tuhan dan dibela mati-matian oleh umatnya, kalau perlu, sampai titik darah penghabisan kalau ada orang lain atau agama lain menyinggung perasaan keberagamaannya. Agama kini tampaknya telah menggantikan peran tuhan. Karena itu peraturan, kebiasaan, dan upacara keagamaan adalah mutlak benar tanpa cacat cela atau keliru. Di luar agamanya, semua dianggap salah. Maka jadilah agama dipuja-puja dan disembah sebagai dewa kebenaran. 

Agama dibela berati tuhannya pun dibela. Kok, tuhan dibela? Ya, karena tuhan adalah ciptaan orang yang beragama. Itu sebabnya umatnya tidak segan-segan melakukan korupsi lantaran tuhan yang diciptakannya itu adalah zat yang mahabaik, maha pemurah, maha pengampun, lagi mahabijaksana. Hari ini koruptor bilang  tobat, besok korupsi diulangnya lagi. Soalnya lusa dia boleh bertobat dan diampuni lagi oleh tuhannya yang mahabaik itu. Tuhan tidak pernah marah pada umatnya, maka umatnya boleh sewenang-wenang, bebas berbuat korupsi untuk kepentingan sendiri, sama seperti pada hari-hari kemarin dan kemarin dulu.

Pada awalnya manusia percaya bahwa Tuhan pencipta segala sesuatu. Manusia pun adalah ciptaanNya. Keyakinan itu adalah iman. Dan, "iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita.” Begitu kata Alkitab orang Kristen (Ibr 11:1-2).

Karena itu umatnya sibuk meminta pembelaan dari Tuhannya dalam doa, tetapi tak ada jawaban. Di manakah Tuhan, atau mungkinkah Tuhan telah lama mati? Di mana-mana di negeri ini kekacauan dipicu oleh agama atau karena membela agama. Bom merusakkan rumah ibadah, umatnya dianiaya entah karena salah apa. Tetapi tak ada solusi. Maka berkumandanglah ke seluruh penjuru angin alunan lagu suara lembut penyanyi Ebiet G. Ade, “Mungkin tuhan mulai bosan melihat tingkah kita/ Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa”. Salahnya Ebiet, mengapa disuruhnya pula kita bertanya pada rumput yang bergoyang? Jangan-jangan dia juga mengakui rumput yang bergoyang sebagai tuhan. Atau mungkin Ebiet pun sedang bingung, tuhannya orang beragama ada di mana?

Agama dapatkah memberantas korupsi? Tampaknya tidak. Para pemuka agama khotbah berapi-api menyampaikan pesan Ilahi saban hari lewat teve dan pengeras suara, tetapi orang beragama lebih banyak cuek bebek alias masabodo amat. Ayat-ayat agama malah dijadikan alat untuk menipu umatnya dengan simbol-simbol suci. Allahuakbar, Insya Allah, Puji tuhan dan Haleluya tiap sebentar diucapkan hanya sebagai pemanis bahasa agar dia dipercaya.

Hari ini seorang menteri mengucapkan sumpah suci atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Ini hari dia bilang “demi Allah” besok dia juga yang duduk di kursi pengadilan dan menjadi terdakwa karena terlibat kasus korupsi berjamaah. Menteri Agama pun terperosok ke dalam kamar bui. Seorang pejabat yang bersumpah palsu sesunguhnya telah berdosa karena menghina Tuhan, dan karena menipu rakyat. Rakyat terkecoh dan berdemonstrasi menuntut pemberantasan korupsi di mana-mana. Hari ini begitu, besok ada lagi kasus korupsi, tak henti-henti terjadi.

Bung Karno, proklamator dan pendiri negara RI, sangat tidak setuju agama jadi urusan negara, sebab katanya, di Turki telah terjadi kenyataan bahwa agama justru telah menghancurkan negara. Di mana-mana di dunia ini, negara terpecah lantaran agama. Di negeri inlander ini agama adalah sontoloyo, karena umatnya menggunakan hukum agama untuk berzina dan korupsi. Agama (yang benar itu) telah dipakai umatnya untuk mengelabui mata Tuhan, kata Bung Karno.

Agama dapatkah memperbaiki moral manusia? Agaknya juga tidak. Lewat iklan partai berkuasa mereka berteriak-teriak dengan suara keras tegas, supaya meyakinkan orang banyak, “Katakan TIDAK pada korupsi.” Si cantik jelita mantan putri Indonesia mengucapkan “TIDAK, TIDAK, TIDAK PADA KORUPSI”, berulang-ulang sambil mengacungkan simbol partai yang suci. Rakyat percaya dan terpilihlah sang putri menjadi anggota DPRRI yang terhormat.

Sang putri malah telah menganut dua agama, yang pertama Kristen, dan karena terlibat asmara dia menjadi mualaf dan menganut Islam, maka rakyat semakin percaya korupsi akan diberantas lewat tangan si putri. Tetapi apalacur, sekarang rakyat pemilihnya malah gigit jari ketika melihat sang putri pujaannya diseret KPK masuk bui sebab sudah menjadi tersangka kasus korupsi Wisma Atlet bernilai miliaran rupiah. Agama ternyata tak sanggup menunjuk jalan kebenaran bagi manusia, juga bagi sang putri. Atau barangkali agama itu adalah muslihat sang Putri untuk kepentingan sendiri, atau kelompok.

Masih ingat iklan kampanye Partai Demokrat di harian Republika sehalaman penuh pada Selasa, 23 Juli 2009? “TEGAS MEMBERANTAS KORUPSI, TIDAK CEPAT MEMPERKAYA DIRI”. Frasa pertama pada kalimat iklan itu jelas, partai ingin memberantas korupsi. Frasa kedua juga jelas sekali, anggota partai juga ingin memperkaya diri, walaupun tidak cepat-cepat. Menerima uang suap bukankah itu usaha memperkaya diri?

Adakah lagi yang perlu diungkap dari negara paling beragama ini? Kasus korupsi saja tak habis dibicarakan lantaran terjadi di mana-mana dan di segala jabatan. Tuhan yang dulunya pemberang dan kejam menjatuhkan hukuman seberat yang tidak dapat dipikul manusia, kini agaknya telah lenyap dari sejarah, dan perannya digantikan agama. Kisah Sodom dan Gomora dan air bah adalah bukti kekejaman Tuhan, dan karena itu umat yang beriman berbuat sesuatu hanya karena panggilan Tuhan, lalu bekerja karena “takut akan Tuhan”.

Tetapi sekarang, tsunami menelan ratusan ribu manusia hidup-hidup, lalu gempa bumi mengguncang tanah, banjir menghancurkan ladang dan sawah sementara letusan gunung berapi merusakkan rumah tinggal sampai berantakan. Semua bencana dianggap biasa saja. Korbannya hanya bilang “apes”, tidak ada hubungannya dengan ajaran agama. Kata ayat agama, tuhan itu mahabaik, maha pengampun, dan maha pemurah. Besok kan bisa korupsi lagi, tuhan tidak marah. Agama tetaplah terus menjadi tumpuan dan arah hidup, tetapi korupsi entah sampai kapan dapat diberantas.

Umbu Rey

Senin, 30 Januari 2012

Jiplak


Zaman dulu ketika saya masih duduk di Sekolah Rakyat (SR) di kampung, Pak Guru biasanya mengharuskan murid-muridnya menggambar peta sebuah pulau tatkala dia mengajar ilmu bumi. Kalau Pak Guru menerangkan mengenai Pulau Jawa misalnya, maka gambar pulau itu harus ditempelkan di buku catatan ilmu bumi murid-muridnya.

Dengan begitu, murid-murid terbiasa melihat peta dan mengetahui persis letak kota dan wilayah di pulau itu dengan hanya melihat titik-titik yang tertera pada gambar itu. Peta yang dibuat murid-murid itu disebut “peta buta”.

Untuk menggambar bentuk pulau itu secara lebih tepat, kami menempelkan kertas tipis transparan di atas gambar Pulau Jawa dalam peta atau atlas lalu menarik garis mengikuti bentuk pulau yang ada di bawah kertas tipis itu. Hasilnya dipindahkan ke buku catatan ilmu bumi milik murid pada bagian atau bab mengenai Pulau Jawa.

Pekerjaan memindahkan gambar Pulau Jawa dari peta atau atlas ke buku catatan ilmu bumi melalui kertas putih transparan itu disebut “menjiplak atau penjiplakan”. Proses menjiplak itu kemudian disebut juga sebagai “mencontek”, dan belakangan berkembang pula pengertiannya menjadi “mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai karangan sendiri”.

Dahulu, menjiplak adalah pekerjaan yang boleh-boleh saja dilakukan oleh para murid SR karena pada umumnya mereka tidak pandai menggambar peta. Tetapi, ketika pengertiannya berkembang menjadi “mencuri karangan orang lain” maka perbuatan menjiplak itu masuk kategori pidana atau kejahatan melalui tulisan. Itu sebabnya orang yang menjiplak karangan atau tulisan orang lain dapat dituntut ke muka pengadilan.

Setakat ini banyak calon sarjana melakukan hal itu baik secara keseluruhan maupun sebagian saja. Maka supaya terhindar dari tuduhan penjiplakan, pada catatan kaki skripsinya selalu ditulis sumbernya. Kalau tidak begitu, si calon sarjana bisa dituduh mencuri karangan orang lain dan gelar sarjana bisa dibatalkan dan bahkan mahasiswa penjiplaknya dapat dijeboskan ke dalam penjara karena penipuan.

Perbuatan menjiplak itu sebenarnya bukanlah perbuatan tercela selama dilakukan dengan jujur. Orang menyalin karangan orang lain asalkan tidak disebarkan dan diperjualkanbelikan tanpa sepengetahuan (izin) pemiliknya dengan maksud untuk kepentingan sendiri tak akan menimbulkan dampak kejahatan.

Uang kertas yang ada di tangan Anda itu bukankah hasil penjiplakan juga? Aslinya hanya ada satu saja dari tiap-tiap nilai pecahan rupiah, dan yang lain-lain itu walaupun kelihatannya sama persis dengan aslinya, sesungguhnya palsu semua. Pada zaman Orde Lama di dalam uang kertas tertera tulisan “Barangsiapa meniru atau memalsukan uang kertas dan barangsiapa mengeluarkan dengan sengaja atau menyimpan uang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan akan dituntut di muka hakim.”

Lalu, siapakah “yang meniru atau memalsukan” uang kertas itu, tentulah pemerintah juga. Yang mengeluarkan dengan sengaja pemerintah juga, yang menyimpan yang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan adalah pemerintah juga. Kalau begitu yang dituntut di muka hakim, seharusnya pemerintah juga, tetapi polisi diam saja, tidak ada yang dituntut di muka hakim.

Pada zaman Orde Baru kalimat pada uang kertas itu diperbaiki, “Barangsiapa meniru, memalsukan uang kertas dan atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara.” Sama saja dengan uang Orde Lama. Perbedaan paling mendasar terbaca pada frasa terakhir “dituntut di muka hakim” diganti dengan “diancam dengan hukuman penjara”. Pelaku kejahatan dia-dia juga (pemerintah), tetapi tidak diancam dengan hukuman penjara.

Itu sebabnya pada zaman Reformasi tulisan di uang kertas sudah dikoreksi dan diganti dengan kalimat “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai....” Dengan begitu penjiplakan uang menjadi sah atau resmi. Pemerintah yang menjiplak uang kertas itu pun tak akan pernah dituntut di muka hakim, juga tak ada ancaman penjara. Kalau penjiplakan dilakukan oleh masyarakat umum dengan maksud memalsukan untuk kepentingan sendiri barulah polisi akan bertindak.

Kalimat dalam uang kertas pada zaman Reformasi sekarang ini tampaknya ingin meniru-niru uang kertas dolar Amerika Serikat, tetapi kelihatan agak malu-malu karena nanti dikira menjiplak. Di dalam uang kertas dolar Amerika Serikat tertulis IN GOD WE TRUST. Hanya empat kata, maka resmilah uang kertas itu sebagai alat pembayar. Tak perlu pakai tulisan ancaman penjara sebab pastilah itu terjadi kalau polisi telah menangkap para pemalsu uang kertas.

Saya agak ragu untuk mengatakan bahwa seorang profesor di Indonesia telah menemukan sesuatu yang baru dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doktor sebab yang ditulisnya itu sesungguhnya penuh dengan catatan kaki dari teori-teori ilmuwan sebelumnya. Jadi, gelar doktor yang diraihnya adalah hasil penjiplakan juga, yakni karangan orang lain yang dikutip lewat catatan kaki.

Penjiplakan itu bahasa kerennya adalah “plagiarism” dari kata kerja “plagiarize” (Inggris). Orang yang menjiplak disebut “plagiarist” atau plagiator , sama juga artinya dengan penjiplak atau tukang jiplak. Kalau tak ada catatan kaki atau sumber tulisan, sang doktor pun bisa dituduh melakukan kejahatan lewat tulisan.

Mesin fotokopi dibikin untuk memudahkan pekerjaan menyalin sebab sebelum mesin –yang berkembang menjadi faksimile--- itu ditemukan, orang hanya melakukan pekerjaan menyalin atau menulis ulang di kertas lain. Mengetik dengan menggunakan karbon dapat juga disebut menyalin. Itu sebabnya salinan dari hasil pengetikan disebut juga tembusan atau tindasan dalam surat menyurat resmi. Disebut “tembusan” karena diketik sampai menembus ke kertas tik di belakangnya.

Ketika mesin fotokopi perlahan-lahan tergantikan oleh sistem kerja komputer maka pekerjaan menyalin tulisan atau gambar menjadi lebih mudah dilakukan. Dewasa ini, proses penyalinan dilakukan hanya dengan menekan jari telunjuk pada tetikus atau “mouse” komputer. Dalam hitungan detik saja pekerjaan penyalinan tulisan selesai dilakukan.

Proses yang begini ini lazim disebut dalam istilah komputer “copy paste”. Dalam bahasa Indonesia sudah mulai diperkenalkan istilah “salin tempel” sebagai padanannya, yakni memindahkan suatu tulisan atau gambar lalu menempelkannya pada halaman lain. Sebenarnya sama juga artinya dengan “menjiplak”. Teknologi ”salin tempel” itu dibuat untuk memudahkan pekerjaan manusia lantaran waktu terasa semakin sempit dan usia manusia yang dirasakan terlalu singkat.

Sayangnya, teknologi itu ketika masuk ke dunia orang go-block (apa pun agamanya) telah menjadikan mereka semakin jauh tertinggal ratusan tahun di belakang kecerdasan komputer. Mereka tidak bisa mencipta karena semua yang terjadi dan yang akan tercipta kelak bergantung pada kehendak Tuhan menurut keyakinan mereka.

“Kita tidak boleh mendahului Tuhan,” begitu kata-kata klasik yang keluar dari mulut mereka yang fanatis karena menganggap pekerjaan mencipta sesuatu oleh manusia adalah perbuatan syirik. Maka yang mereka lakukan saban hari adalah meminta-minta dan mengemis-ngemis pada tuhannya dalam sujud doa ritual agama. Tetapi tak ada yang jatuh dari langit sebagaimana ayat-ayat suci yang dipercaya diturunkan dari langit.

Anehnya, doa pun banyak dilakukan dengan menjiplak sesuatu yang telah diucapkan oleh orang lain sebelumnya, dan diulang-ulang pula sampai ratusan kali. Semua yang hendak berdoa hampir pasti menggunakan istlah “memanjatkan”doa, dan karena itu Gus Dur pernah kasih komentar, “Kita seharusnya banyak-banyak memanjatkan doa, sebab doa memang tidak bisa memanjat sendiri.” Kalau doa saja mesti dijiplak, Tuhan pun tentu saja marah. Pantas doa bangsa ini tak pernah terkabul. Lha, kan doa jiplakan, dan mana pula ada doa pakai catatan kaki.

“Copy paste” atau salin tempel kini digunakan untuk melakukan penipuan dalam tindak perbuatan jiplak-menjiplak. Di dunia artis Indonesia, jiplak-menjiplak dilakukan di mana-mana dan kapan saja. Amerika bikin “breakdance” kita jiplak, orang kulit hitam bikin musik jazz kita jiplak, belakangan mereka bikin musik “mengomel-ngomel” yang disebut “rap” kita jiplak juga. Anehnya, musik keroncong dan campur sari serta dangdut tak pernah dijiplak orang bule. Yang kita klaim sebagai milik asli bangsa ini ternyata jiplakan juga. Di dunia film sama juga begitu.

Sebuah grup band anak-anak muda Indonesia menamakan dirinya G-Pluck untuk mengangkat popularitas dirinya di kancah persaingan dunia hiburan. Sebenarnya nama G-Pluck itu tak ada artinya apa-apa, tetapi ketika nama itu diucapkan dalam ejaan Inggris maka terdengar dalam bahasa Indonesia kata “ji-plak”. Mereka ternyata menjiplak gaya dan lagu pemusik “The Beatles” asal Liverpol, Inggris yang legendaris itu. Massih untung mereka menyebut penciptanya.

Kita paling getol menuduh Malaysia menjiplak lagu atau hasil budaya Indonesia, tetapi kita tidak pernah sadar bahwa kita sendiri pun menjiplak lagu “What A Friend We Have In Jesus” dan menggantinya dengan “Kulihat Ibu Pertiwi”. Begitu juga lagu yang dinyanyikan pada saat mengheningkan cipta pada acara kenegaraan, seratus persen adalah jiplakan lagu rohani yang dinyanyikan di gereja-gereja. Di dunia teknologi bagaimana. Ternyata kita tidak bisa menjiplak, kita tertinggal jauh sekali.

Jiplak itu berbeda dari meniru atau mencontoh. Proses penjiplakan akan menghasilkan bentuk yang sama persis tetapi meniru atau mencontoh paling-paling hanya menghasilkan wujud yang mirip-mirip dengan aslinya. Anda boleh saja meniru sebab setiap orang menjadi tahu karena meniru atau mencontoh tetapi hasilnya tak akan sama persis dengan yang yang ditiru.

Belajar adalah proses meniru juga, dan anak-anak menjadi dewasa karena meniru-niru orang-tuanya, tetapi jiplak atau penjiplakan atau plagiat cenderung dilakukan untuk kejahatan sebab biasanya dengan maksud mencuri karangan orang lain dan mengakuinya sebagai karangannya sendiri. Kalau tidak ketahuan, perbuatan penjiplakan akan menghasilkan keuntungan uang sangat banyak.

Agama ternyata tak bisa mengatur umatnya untuk tidak menjiplak lantaran ternyata ada agama yang terbentuk karena jiplakan dari agama yang sudah ada lebih dahulu. Umatnya fanatis melakukan ritual sampai ke sumbernya di Timur Tengah –katanya untuk membela agama, meneguhkan keyakinan, dan menghapus dosa-- tetapi sesampainya di negeri sendiri, ritual penjiplakan juga dimulai, tanpa rasa salah tanpa rasa dosa.

Jangan heran, seorang pemimpin redaksi di perum penerbitan pers pun melakukan penjiplakan tanpa rasa bersalah. Dia sajikan makalah jiplakan seratus persen dari karangan orang lain yang telah diterbitkan tiga tahun sebelumnya dan diakui sebagai karangannya sendiri.

Pada akhir makalah jiplakan itu ada tambahan catatan kaki yang menerangkan bahwa penulisnya adalah pemimpin pedaksi dan pernah menjabat kepala biro luar negeri. Seakan-akan dia hendak meyakinkan para peserta disikusi bahwa dialah penulis makalah yang disajikannya itu. Padahal semuanya penipuan belaka. Jadi apa boleh bikin.

Emangnya yang saya tulis itu ada? Ada, ada faktanya! Suatu bukti bahwa kita ternyata baru bisa menjiplak, mencuri karangan orang lain sajalah. Dosa? Akh, kan bisa terhapus kalau bilang “tobat”.

I. Umbu Rey

Selasa, 24 Januari 2012

Lembaga Pemasyarakatan Cipinang

Frasa “Lembaga Pemasyarakatan” kedengaran di telinga saya rada-rada aneh, sebab tak sesuai dengan pernalaran akal dan budi. Setiap kali saya bertanya-tanya, itu lembaga sebenarnya mau memasyarakatkan apa, dan untuk apa?

Dahulu penjara atau bui itu tempat menahan orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri karena melakukan tindak kejahatan. Sejak awal dekade tahun 1970-an istilah penjara itu diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan, dan dikenal dengan singkatan lapas atau LP saja.

Mungkin istilah penjara dianggap tidak manusiawi karena tidak sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab menurut sila kedua Pancasila. Sebenarnya kata “penjara” itu sudah terpeleset pula dari kata aslinya “penjera” yakni tempat orang dihukum supaya jera.

Dahulu, kalau orang meringkuk dalam penjara Tangerang, masuk gemuk pulang tinggal tulang karena kerja secara paksa. Begitulah gambaran keadaan dalam bui yang disampaikan dalam syair lagu D’Loyd. Itu sebabnya orang jahat suka melarikan diri dari kejaran aparat penegak hukum sebab takut disiksa, dan banyak orang takut melakukan perbuataan yang melawan hukum.

Penjara sebenarnya dibuat supaya orang yang terbukti melakukan tindak pidana kejahatan dapat dibikin jera dan bertobat sehingga kelak di kumudian hari jika dia lepas kembali tidak lagi mengulangi perbuatannya. Banyak dari mereka yang telah mendekam bertahun-tahun terbukti bertobat, meskipun sebagian lagi tetap mengulangi lagi kejahatannya. Dalam istilah hukum mereka itu disebut residivis.

Setelah keluar dari penjara bekas orang tahanan itu tetap menganggur karena tidak ada pekerjaan dan tidak dibekali apa-apa untuk mencari nafkah. Mencari pekerjaan halal sulit lantaran nama mereka sudah tercemar sebagai orang jahat yang ditakuti oleh lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal.

Tak ada lagi orang yang percaya, dan karena (mungkin) nama sudah tercemar dan tidak ada lagi jalan lain, terpaksalah mereka mengikuti jalan nasib, kembali jadi orang jahat untuk melakukan pekerjaan pidana rutin, siapa tahu mujur nasib bisa berubah. Kalau tertangkap kembali paling-paling masuk bui lagi, dan makan gratis kalau perlu seumur hidup. Mereka itulah yang disebut penghuni hotel prodeo, atau istilah sekarang “romantis”, rombongan makan gratis.

Sekarang ini pemerintah berupaya memanusiakan mereka agar kembali ke dalam masyarakat supaya hidup baik-baik sebagaimana layaknya masyarakat biasa. Karena itu orang jahat dimasukkan ke dalam LP atau Lembaga Pemasyarakatan dan bukan lagi masuk penjara.

Penjara atau bui adalah bangunan tempat mengurung orang hukuman (lihat KBBI – Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV). Jelas pengertiannya. Tetapi lembaga pemasyarakatan --bagi saya-- tak jelas benar arti maksudnya.

Menurut KBBI “lembaga” berarti asal mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, atau tumbuhan). Jadi, lembaga pemasyarakatan mungkin sekali mengacu pada pengertian bakal manusia yang menjalani proses pemasyarakatan. Tetapi narapidana atau orang hukuman itu bukan bakal manusia, sebab mereka itu adalah manusia dewasa yang karena kejahatannya, ketangkap polisi lalu masuk bui.

Bakal manusia itu sesungguhnya masih berupa janin atau embrio dalam kandungan ibunda. Jadi, pengertian “lembaga pemasyarakatan” sama saja dengan janin atau embrio yang hendak menjalani proses memasyarakatkan manusia. Tak mungkinlah janin dimasyarakatkan? Untuk apa?

Kamus Tesaurus bikinan Eko Endarmoko (cetakan kedua 2007) menyatakan lembaga bersinonim dengan badan, dewan, institusi, institut, majelis, organisasi, dinas, instansi, jabatan, jawatan, kantor, maktab. Karena bersinonim, maka saya ambil saja salah satu kata yang mirip artinya dengan “lembaga”, yakni dinas, jawatan, atau institusi.

Dinas adalah bagian kantor pemerintah yang mengurus pekerjaan tertentu, dalam hal ini mengurus orang jahat atau narapidana. Maka Lembaga Pemasyarakatan itu adalah dinas yang bertugas untuk memasyarakatkan narapidana. Dalam benak saya, pengertian ini pun janggal sekali. Untuk apa narapidana itu dimasyarakatkan? Bukankah narapidana atau orang hukuman itu sebelumnya memang sudah anggota masyarakat?

Menurut KBBI, masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Tetapi, mereka itu juga terdiri atas manusia yang mempunyai berbagai perangai atau watak. Ada yang baik dan ada pula yang jahat. Anggota masyarakat yang baik akan melakukan hal yang baik menurut budayanya, tetapi yang wataknya jelek akan tetap jelek dan tidak mungkin diselamatkan oleh ayat agama apa pun.

Kata masyarakat jika mendapat imbuhan, turunannya begini:

(1). Masyarakat – pemasyarakat – memasyarakatkan – pemasyarakatan – masyarakatan.

Masyarakat itu jelas artinya. Pemasyarakat adalah orang atau dinas yang memasyarakatkan. Pemasyarakatan adalah proses, cara, atau perbuatan memasyarakatkan atau memasukkan dalam masyarakat (KBBI), sedangkan masyarakatan adalah hasil dari proses memasyarakatkan atau yang dimasyarakatkan (istilah masyarakatan itu belum berterima sampai kini dan karena itu belum tercatat dalam KBBI edisi keempat).

Frasa Lembaga Pemasyarakatan Cipinang yang saya tulis sebagai judul coret-coretan ini terasa janggal juga ditinjau dari sudut tata bahasa. Lembaga pemasyarakatan itu sebenarnya hendak memasyarakatkan apa? Jikalau lembaga pemasyarakatan itu kita perlakukan sebagai subjek maka yang hendak dimasyarakatkan adalah Cipinang (objek penderita). Mengapa Cipinang hendak dimasyarakatkan? Tujuannya apa? Cipinang itu bukankah nama tempat di Jakarta Timur, dan semua orang pastilah sudah tahu. Sudahlah, mungkin ini terlalu mengada-ada sebab kita toh semua tahu bahwa Cipinang adalah nama Lembaga Pemasyarakatan itulah.

Jikalau mengikuti logika, frasa pada judul tulisan di atas seharusnya tertulis Lembaga Pemasyarakatan Narapidana di Cipinang. Frasa ini menurut saya benar jika kita mengikuti logika tata bahasa, karena yang hendak dimasyarakatkan tentulah narapidana. Yang jadi persoalan, mengapa narapidana itu dimasyarakatkan, dan untuk apa? Toh, kalau dia kembali ke masyarakat akan menjadi penjahat juga. Orang naik haji saja pergi tobat pulang kumat, karena itu biasanya disebut Haji Tomat. Apalagi narapidana bebas dari kungkungan lapas.

Kalau Pak Harto dulu mengucapkan frasa “memasyarakatkan olahraga” maka itu artinya olahraga mesti digalakkan di dalam masyarakat supaya orang dapat hidup lebih sehat, sebab pada dasarnya olahraga itu memang kegiatan yang menyehatkan. Sejalan dengan itu, jikalau LP hendak “memasyarakatkan narapidana” juga, maka itu artinya narapidana atau orang jahat itu akan lebih digalakkan lagi dalam masyarakat. Tetapi, narapidana itu sesungguhnya tidak menyehatkan karena sudah dicap sebagai orang jahat.

Maka pantaslah tabiat jahat napi kumat lagi kalau sudah keluar dari penjara, atau dimasyarakatkan kembali, bahkan mungkin lebih jahat lagi. Peri bahasa mengatakan orang jahat itu ibarat anjing, biar dirantai dengan rantai emas sekalipun, kalau lepas ke tempat sampah pula dia kembali. Sama juga dengan narapidana yang jika lepas dari lapas akan tetap menjadi jahat.

Contohnya narapidana pengguna narkoba --di mana-mana bahkan di kalangan artis pun banyak-- susah meninggalkan kebiasaannya. Sesudah lepas dari lembaga pemasyarakatan, kembali pula ia menenggak narkoba. Akhirnya banyak yang mati terkapar karena penyakit AIDS.

Ada yang bisa melupakan kebiasaan buruknya itu setelah lepas dari penjara tetapi bukan karena pengaruh ritual agama, tetapi karena siksaan perbuatannya sendiri. Mereka itu tersiksa karena menenggak narkoba, tersiksa karena dikejar bayangan menakutkan karena dia telah merampok dan membunuh orang banyak. Itu sebabnya penjara pada zaman dulu dibuat seperti tempat siksaan supaya orang jadi jera.

Ada penjahat yang menyesal lalu masuk agama tertentu, sesungguhnya untuk mencari perhatian saja, padahal dulunya si pengguna narkoba atau penjahat itu memang sudah beragama. Rupanya dia dipakai untuk mempopulerkan agama tertentu sambil pamer simbol agama di layar teve. Dia disambut oleh pemuka agama untuk memberikan kesaksian, seakan-akan ingin memperlihatkan dirinya sebagai jalan, dan kebenaran, dan hidup. Padahal agama sama sekali tak berperan apa-apa untuk membuat si pengguna narkoba itu menyesal dan bertobat.

(2). Bermasyarakat – mempermasyarakatkan – permasyarakatan – pemasyarakat

Menurut butir (2) di atas, bermasyarakat itu jelas maksudnya. Mempermasyarakatkan artinya membuat supaya bermasyarakat, dan permasyarakatan maksudnya hal bermsyarakat atau tempat bermasyarakat. Pemasyarakat dalam pengertian ini artinya orang yang bermasyarakat.

Jadi, paling tepat seharusnya kita sebut Lembaga Permasyarakatan Narapidana, yakni lembaga (penjara) tempat orang bermasyarakat. Jikalau kita ingin mengembalikan narapidana itu ke dalam masyarakat bebas di luar sana, biarkanlah dulu dia bermasyarakat di dalam bui. Di situ si koruptor dapat bergaul bebas dengan penjudi, pengedar narkoba, pembunuh, perampok, maling ayam, pelacur dan sebagainya. Dengan begitu dia tahu bahwa koruptor itu ternyata lebih jahat dan bahkan lebih hina daripada penjambret dan maling ayam. Mudah-mudahan dia sadar lalu bertobat.

Belakangan muncul istilah baru yang lebih keren dan dianggap sangat manusiawi dan konon sungguh-sungguh sesuai dengan falsafah Pancasila. Orang tahanan atau narapidana itu sekarang disebut warga binaan. Istilah itu pun tidak masuk akal. Soalnya, mereka itu dibina dulu selama dalam bui supaya mendapat bekal hidup yang baik, dan kalau sudah sampai waktunya mereka akan dimasyarakatkan kembali atau dikembalikan ke dalam masyarakat, dengan harapan moga-moga jadi orang baik-baik.

Yang dibina di dalam penjara pun bukan hanya napi kere kelas teri tak kenal hukum, tetapi termasuk di dalamnya juga Pak Antasari Azhar. Lha, yang membina Pak Antasari siapa? Siapa lagi kalau bukan sipir bui atau kalapas. Ganjil betul kedengarannya istilah warga binaan itu.

Semua orang pastilah sudah tahu bahwa Pak Antasari itu orang intelek, ahli hukum yang cerdas pandai. Dia juga mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua orang pun tahu Antasari masuk penjara karena korban kongkaling aparat penegak hukum yang munafik. Lha, Ketua KPK kenapa harus pula dibina di dalam penjara, oleh sipir bui lagi.

Anehnya lagi, narapidana warga binaan itu semuanya BERAGAMA, begitulah yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Akh, kalau BERAGAMA mengapa mereka harus menjalani pembinaan dalam LP? Apa peran agama dan mengapa tidak mampu mencegah mereka masuk LP?

Pada kenyataannya, menjadi orang baik-baik di LP toh harus bayar juga. Tidak semuanya ingin bertobat setelah mendapat binaan. Konon, menurut penelitian mahasiswa hukum universitas terkenal di Indonesia, tiap-tiap remisi harus dihitung dengan besar uang yang harus dibayarkan kepada petugas supaya lekas keluar dari LP. (sumber: acara Indonesia Lowyers Club di TVone). Kalau tidak dapat remisi nanti penjara akan cepat penuh. Penjahat dan koruptor yang lain pada gilirannya tidak dapat tempat, dan tentu saja tidak kebagian pembinaan.

Para pengacara berlomba-lomba membela koruptor dengan dalih kliennya teraniaya, atau karena ingin membuka jaringan mafia. Pengacara berkelit mencari celah hukum pembenaran untuk meringankan hukuman sampai seringan-ringannya berdasarkan HAM atau hak asasi manusia.

Mereka, para pembela itu berkelit, HAM tidak bisa dibatasi oleh tembok penjara. Akhirnya, kliennya masuk penjara paling lama lima atau tujuh tahun. Setelah dapat remisi, paling banter kliennya mendekam dua tahun saja, itu pun kamar penjara bisa divermak jadi kamar hotel bintang lima. Enak betul dia. Padahal waktu dia melakukan korupsi, mana pernah dia pakai HAM. Disikatnya habis uang rakyat sampai tuntas.

Menurut mantan Ketua Umum PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) yang juga mantan narapidana, Nurdin Halid, yang ketika itu enggan turun dari jabatannya itu, orang yang sudah menjalani vonis hukuman penjara artinya dia sudah dipulihkan kembali karena sudah dibina. Karena itu bekas napi (narapidana) itu pun berhak pula menjadi presiden RI.

Kalau kita turuti logika Nurdin Halid, maka seharusnya istilah lembaga pemasyarakatan itu sudah waktunya diganti dengan Lembaga Pembinaan Narapidana. Dalam pengertian ini unsur kejahatan hanya melekat pada kata narapidana, tetapi setelah usai masa tahanan tidak ada lagi bekas napi, atau bekas orang hukuman. Yang ada bekas binaan sebab sudah terhapus kesalahannya berkat pembinaan.

Dulu memang dia pernah menjadi napi tetapi sekarang sudah pulih karena sudah dibina, bukan? Padahal kelakuannya tetap rusak juga, karena dari sononya memang sudah rusak. Pokoknya, ungkapan “mens sana in corpore sano” tak berlaku di dalam LP. Tubuh mereka memang kuat-kuat dan kekar semuanya tetapi di dalamnya terdapat jiwa yang sakit.

Itu sebabnya penjara atau bui dibuat pada awalnya sebagai tempat penyiksaan supaya orang bertobat, kenapa sekarang jadi tempat pembinaan? Bukankah Tuhan juga menyiksa manusia supaya mereka bertobat? Tuhan Yang Mahaadil biasanya menyadarkan dan mengembalikan setiap manusia yang sesat ke jalan yang benar dengan penyiksaan, lantaran mereka telah melecehkan iman dan menghina Tuhan. dalam kitab suci ceritanya begitu.

Tuhan tidak pernah menggunakan agama untuk menyadarkan manusia. Firaun yang tak pernah sadar dari siksaan sepuluh bala atau malapetaka, akhirnya mati terkubur hidup-hidup di bawah gulungan ombak. Firaun itu beragama apa? Kalau pun dia beragama, agamanya pun tak akan mungkin menyelamatkan Firaun dari kematian.

Anton Medan dan Jhony Indo –dulunya penjahat ulung-- kembali menjadi orang baik sesungguhnya bukan karena agama yang mereka anut. Mereka itu bertobat sebenarnya karena siksaan perbuatannya sendiri selama hidup, jiwa mereka terkungkung seperti diikat dengan borgol berlapis-lapis. Mereka menderita oleh perbuatannya sendiri, sesudah itu mereka sadar lalu menganut agama untuk cari popularitas.

Banyak orang di negeri ini tidak tanggung-tanggung melakukan kejahatan. Pembunuh bayaran bengisnya bukan main, mafia narkoba bisnis besar merusakkan generasi. Tukang korupsi tidak tanggung-tanggung makan uang rakyat, tilap uang negara bermiliar-miliar, ketangkap masuk LP, paling-paling jadi warga binaan. Soalnya, pengacaranya orang cerdas pandai yang dibayar sangat mahal (dari uang korupsi juga), jadi tak soal masuk bui, sebab nanti dapat remisi. Uang hasil korupsi kan masih bejibun. Keluar penjara kagak kerja duduk ongkang-ongkang bisa hidup sepanjang umur. Contohnya Gayus Halomoan Tambunan.

Di dalam LP, ada narapidana mengikuti kuliah, dan sampai waktunya setelah dapat remisi keluarlah dia dengan menyandang titel atau gelar akademik Sarjana Hukum. Habis itu apa kerjanya? Tipu sana tipu sini, rampok sana rampok sini juga, sebab dari sononya memang sudah begitu. Mereka cuma jadi residivis.

I. Umbu Rey