Senin, 21 Desember 2009

Iklan kampanye SBY

Hari Selasa 23 Juni 2009, di halaman muka bagian bawah harian umum Republika ada tertera satu iklan SBY Presidenku, dan di situ terdapat pula gambar atau foto SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) bersama dengan calon wakilnya Boediono.

Iklan kampanye politik itu ditulis dengan kalimat sbb:

"Tegas Memberantas Korupsi, Tidak Cepat Memperkaya Diri".

Apakah maksud kalimat dalam iklan kampanye itu? Mungkin banyak tafsiran yang dapat dikemukakan, tetapi yang paling jelas tersirat maksud dalam dua penggal frasa itu bahwa:

1. Presiden SBY sesungguhnya ingin dengan tegas memberantas korupsi
2. Presiden SBY juga ingin memperkaya dirinya meskipun dengan cara yang tidak cepat-cepat.

Setelah SBY dilantik dan mengucapkan sumpahnya pada 20 Oktober 2009, dia membentuk kabinet baru bernama Kabinet Indonesia Bersatu II. Ada nama menteri yang baru, dan ada pula menteri lama yang berganti posisi.

Program 100 hari belum tuntas dilaksanakan tetapi Pak SBY tersandung kasus Bank Century yang melibatkan Wakil Presiden Boediono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Agaknya, makna kalimat kampanye SBY di atas mulai terkuak sedikit demi sedikit kebenarannya.

Presiden SBY memang benar telah bersungguh-sungguh memberantas korupsi. Tidak pandang bulu, bahkan besannya sendiri, Aulia Pohan, yang menjabat deputi gubernur BI masuk penjara karena terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Jadi, makna yang tersirat pada butir (1) di atas tampaknya benar.

Lalu, apakah Presiden SBY tidak ingin menjadi kaya? Pasti ingin, sebab dia juga manusia. Klausa kedua pada kalimat kampanye di atas jelas menunjukkan hal itu, ketika dia mengatakan "tidak cepat memperkaya diri". Artinya, boleh-boleh saja orang memperkaya diri, tetapi tidak perlu cepat-cepat. Agama pun tak pernah melarang orang menjadi kaya asalkan dengan cara yang halal.

Ketika skandal Bank Century merebak, rakyat Indonesia mulai bertanya-tanya. Soalnya, mantan Wapres Jusuf Kalla tanpa tedeng aling-aling berkata bahwa pemilik bank itu telah merampok uang nasabahnya sendiri sehingga menjadi krisis likuiditas. Pengamat ekonomi yang lain semisal Kwik Kian Gie yang juga mantan menko ekuin jelas mengatakan Bank Century sudah bobrok sejak lahirnya tahun 2001. Lalu, kenapa harus ditalangi?

Ada uang sejumlah Rp6,7 triliun talangan (bail-out) Bank Indonesia yang disuntikkan kepada bank itu, konon, dengan maksud untuk menyelamatkan bank itu dari badai krisis keuangan. Tetapi, para pengamat bank mengatakan kalau badai krisis menimpa, mengapa cuma Bank Century yang kena musibah, sedangkan bank-bank yang tetap sehat?

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengibaratkan Bank Century sebagai rumah penduduk yang terbakar di tengah-tengah sebuah perkampungan. Rumah yang terbakar itu tentu harus diselamatkan agar api tidak sampai menjalar ke rumah-rumah penduduk yang lain.

Pro dan kontra saling menyalib, silat lidah dan adu pendapat di layar teve meramaikan suasana, dan membuat para permirsa geleng-geleng kepala, tak mengerti, dan akhirnya DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket, ketika Badan Pengawas Keuangan (BPK) memperlihatkan keanehan aliran dana talangan Rp6,7 triliun itu.

Ke manakah dana talangan itu mengalir? Benarkan sebagian di antaranya masuk ke kantong SBY dan partainya? Jika kabar itu benar, maka bunyi kalimat pada iklan kampanye di atas agaknya mulai mengungkap kebenaran bahwa SBY sedang berupaya "ingin memperkaya diri".

Tetapi, SBY langsung bertindak dan membantah kabar itu. Dia berbicara di depan para wartawan dan dengan tegas berucap, "Itu fitnah!" Maka, untuk sementara, kalimat pada butir (2) bahwa Presiden SBY ingin memperkaya diri masih harus dibantah kecuali jika sidang Pansus Hak Angket Bank Century sudah dapat membuktikan hal itu.

Umbu Rey

Polisi tewas lagi

Kata LAGI tertera dalam KBBI dan diberi banyak arti. Baiknya saya kutip dari KBBI daring seperti berikut:

(1). adv sedang (dl keadaan melakukan dsb); masih: jangan berisik, ayah -- tidur;
(2) adv tambah sekian (atau sedemikian) pula: tunggu sebentar --;
(3) adv kembali (berbuat dsb) spt semula; berulang spt semula; pula: kemarin sudah menonton, sekarang hendak menonton --;
(4) p dan; serta; juga: anak itu pandai -- rajin; istrinya muda, cantik, -- kaya;
(5) p partikel yg dipakai untuk menekankan kata atau kalimat yg mendahuluinya
(mengandung makna; sama sekali, betul-betul, amat sangat, dsb): kekejaman tentara penjajah sungguh tak terkatakan --; penderitaan rakyat Kamboja sudah tidak tertahan --;

Harian Umum KOMPAS pada halaman muka hari ini (14/7/09) menulis judul dengan kalimat sbb:

SEORANG POLISI TEWAS LAGI

Judul berita ini membuat saya agak bingung karena penggunaan kata "tewas lagi". Menurut pendapat saya, semua arti yang tersebut dalam KBBI di atas tidak memenuhi maksud kata LAGI dalam kalimat itu.

Arti kata LAGI yang disebut pada butir (2) KBBI di atas rasanya masuk akal jika menunjukkan jumlah yang tewas. Jadi, "tewas lagi" memberikan arti bahwa yang tewas itu tambah sekian, sehingga jumlah yang tewas bertambah sekian.

Tetapi, kata "tewas lagi" dalam kalimat judul berita di atas agaknya membatalkan arti pada butir (2) KBBI sebab yang tewas itu hanya ada satu orang polisi. Jadi, kalau seorang polisi tewas lagi, maka polisi yang mati itu tidak akan bertambah banyak. Dengan kata lain, cuma polisi itu saja yang mati.

Arti yang tersebut pada butir (3), yakni "kembali (berbuat dsb), berulang seperti semula, agaknya ganjil juga kedengarannya, sebab kata "tewas" bukanlah perbuatan atau keadaan yang dapat diulang atau berulang. Tewas dalam konteks ini sama artinya dengan mati. Polisi itu tewas dan bukan menewaskan. Jadi, mungkinkah "seorang polisi" tewas dua kali karena dia mengulangi lagi keadaan tewas? Rasanya tidak masuk akal.

Kata LAGI dalam kalimat di bawah ini mungkin berbeda maknanya:

(a) - Seorang lagi polisi tewas
(b) - Seorang polisi lagi tewas
(c) - Seorang polisi tewas lagi
(d) - Lagi, seorang polisi tewas

Manakah yang benar, kalimat (a), (b), (c), atau (d)?

Kalimat pada butir (a) menerangkan bahwa jumlah polisi yang tewas bertambah satu. Butir (b) menerangkan bahwa polisi itu tidak "sedang" tewas" tetapi menunjukkan bahwa yang tewas itu bukan nelayan atau orang lain. Artinya, tadi polisi tewas dan sekarang polisi lagi yang tewas.

Kalimat pada butir (c) sama sekali tidak masuk akal. Mungkinkah polisi yang sama tewas dua kali, atau tewasnya terulang. Mati itu cuma sekali, jadi kalau sudah mati maka matinya itu tidak dapat diulang lagi. Kalimat seperti ini sama saja dengan "almarhum meninggal dunia". Orang mati (almarhum) tidak bisa mati dua kali.

Kalimat pada butir (d) yakni "lagi, seorang polisi tewas" lebih janggal lagi. Itu kalimat khas jurnalistik surat kabar yang disusun antara lain supaya indah secara tipografis. Tetapi, kalau kalimat itu kita tilik dari sudut tata bahasa, jelas keliru atau lebih tepat tidak lazim.

Jurnalistik Kantor Berita pada umumnya tidak menggunakan kalimat seperti itu, demikian juga radio dan televisi. Kantor Berita, radio dan televisi biasanya memulai kalimat judul dengan subjek, predikat, kemudian objek secara taat asas.

Saya belum pernah mendengar penyiar radio dan televisi menyebut pokok berita, "Lagi, seorang polisi tewas". Saya pikir semua pendengar atau pemirsa akan bingung mendengar kata "lagi" di depan subjek kalimat itu. Apa makna kata "lagi" itu?

Kalau kalimat "lagi, seorang polisi tewas" dibenarkan, maka kita juga akan membenarkan kalimat berikut:

1. Hanya, seorang polisi tewas
2. Saja, seorang polisi tewas
3. Juga, seorang polisi tewas

Dalam surat kabar, kalimat judul yang dimulai dengan kata "lagi" biasanya diikuti dengan tanda baca koma (,) dan itu biasanya dibuat pada berita lanjutan (follow-up story). Kata "lagi' yang diikuti tanda koma itu menerangkan bahwa peristiwa yang sama dan sudah diberitakan sebelumnya, terjadi pula sekarang.

"Lagi, seorang polisi tewas" adalah kalimat (tertulis) yang sengaja dibuat menyimpang dari asas tata bahasa untuk menarik perhatian pembaca. Yang mau disampaikan dalam konteks kalimat itu ialah bahwa tadi polisi mati dan sekarang polisi lagi yang mati.

Dalam milis ini dua tahun yang lalu saya telah menulis juga soal kalimat judul koran yang bentuknya begini: "Pemudik Dua Kali Ditarik Ongkos". Bagi saya, kalimat itu sama sekali tidak jelas. Tetapi begitulah koran. Orang awam "dipaksa" harus mengerti.

Umbu Rey

Penumpang melonjak

Setelah saya renungkan sekian lama sesudah Lebaran ini berlalu, ternyata berita-berita tentang mudik telah menipu saya, terutama mengenai penumpang bus di terminal dan kereta api di stasiun.

Hampir semua berita yang disiarkan surat kabar, televisi, dan radio bahkan berita daring (dalam jaringan = online) di internet, sangat sering menggunakan kata "melonjak" dan "menumpuk". Saban tahun ketika masanya orang mudik Lebaran istilah ini sangat populer.

Para wartawan mengatakan penumpang bus di terminal Pulogadung pada H-3 melonjak 10 persen dibanding tahun yang lalu. Tiap tahun penumpang itu melonjak 10 persen, artinya tahun yang lalu penumpang itu melonjak 10 persen dan tahun ini pun melonjak 10 persen lagi dibandingkan dari tahun yang lalu. Bisa dibayangkan, setiap tahun penumpang yang mudik Lebaran itu melonjak makin tinggi saja. Untuk apa mereka melonjak?

Cobalah Anda pergi ke terminal Pulogadung. Di sana Anda akan ternganga-nganga keheranan, sebab para penumpang yang naik bus itu ternyata tidak melonjak. Mereka semuanya duduk tenang-tenang saja di dalam bus dan gerbong kereta. Mereka tidak melonjak, apalagi melonjak-lonjak. Paling-paling loyo kepanasan karena sumpek dalam ruangan sempit atau karena kecapaian.

Saya semakin bingung, sebab rupa-rupanya yang dimaksudkan dengan "melonjak" sama artinya dengan meningkat. Lalu, apanya yang meningkat? Penumpang mau meningkat ke mana? Mungkin yang dimaksud adalah jumlah penumpangnya yang meningkat, tetapi kata meningkat tidak sama dengan melonjak. Kalau melonjak itu disebut pengandaian atau metafora, maka pengandaian ini menurut saya sudah menyimpang dari nalar.

Melonjak adalah gerakan menaikkan tubuh ke atas dengan menggunakan dua kaki secara bersamaan sebagai tumpuan. Jadi, misalnya kedua tangan Anda tidak dapat menggapai sesuatu yang tergantung di langit-langit rumah, Anda perlu suatu gerakan melonjak supaya sesuatu itu dapat Anda raih.

Kata melonjak sebenarnya sama artinya dengan meloncat sebab gerakan ini menggunakan kedua kaki untuk melepaskan diri dari pijakan atau melambung ke udara. Yang membedakan, melonjak adalah gerak dari bawah ke atas, sedangkan meloncat biasanya dilakukan dari atas ke bawah. Gerakan meloncat dan melonjak dalam kasus ini hanya dalam pengertian yang dilakukan oleh manusia. Kutu dan kodok walaupun meloncat, lain lagi ceritanya sebab mereka tidak mudik.

Dalam kasus ini saya tidak membicarakan soal kata "melompat" sebab tidak pernah digunakan oleh wartawan peliput berita di stasiun dan di terminal bus. Padahal, gerakan melompat inilah justru yang banyak dilakukan oleh para pemudik.

Di Pulogadung, saya tidak melihat penumpang mudik itu melonjak ketika hendak meletakkan barang bawaannya di atas bus. Buat apa melonjak, sebab semuanya sudah terukur. Waktu naik bus pun mereka tidak melonjak, karena ada sudah tangga untuk berpijak. Paling-paling yang terlihat, mereka berdesak-desakan naik lewat satu pintu supaya dapat tempat duduk. Setelah melompat, mereka bergelantungan di jendela kereta api.

Penumpukan

Coba perhatikan siaran berita di televisi. Penyiarnya dengan lantang mengatakan telah terjadi penumpukan bus di dermaga Merak (Banteng) dan Bakauheni (Lampung). Padahal ketika gambarnya ditayangkan, tak terlihat sedikit pun penumpukan di dua dermaga itu. Semua kendaraan berjejer-jejer teratur atau tidak teratur memadati pelabuhan, tetapi tidak menumpuk.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), "menumpuk" adalah menaruh sesuatu bersusun-susun, menimbun atau melonggokkan. Jadi, manalah mungkin polisi atau petugas bisa menumpuk bus-bus itu di pelabuhan.

Di pelabuhan Tanjungpriok, penumpukan itu memang terlihat dengan jelas setiap hari. Yang menumpuk di situ bukan kendaraan mudik tetapi peti kemas. Peti kemas ini kalau tidak ditumpuk-tumpuk akan memakan tempat, sebab luas dermaga tidak sebanding dengan jumlah peti kemas.

Dulu, kita kenal kata "jubel" dan "berjubel-jubel". Artinya penuh sesak, dan bisa menggantikan kata menumpuk dan melonjak. Tetapi, kata ini mungkin sudah menjadi mayat karena mati,
tidak digunakan lagi. Jadi, bus dan kendaraan pribadi berjubel-jubel memadati terminal pelabuhan Merak.

Penggunaan istilah yang tidak tepat sering membingungkan, dan karena itu ada kesan
bahwa wartawan media massa itu sebenarnya bukan menyiarkan berita, mereka sedang menipu kita.

Umbu Rey

Jumat, 18 Desember 2009

Ilmu peNGetahuan

Kata berimbuhan "pengetahuan" pastilah memiliki atau berasal dari kata dasar TAHU (bukan tempe). Orang menjadi tahu karena "mendengarkan dan menyaksikan". Sesuatu yang didengar kita sebut kedengaran dan yang disaksikan kita sebut kesaksian. Maka sesuatu yang telah diketahui pun kita sebut ketahuan.

Dari kata dasar "dengar" akan turun kata "pendengaran", dan dari kata "saksi" akan turun kata "penyaksian". Maka sejalan dengan itu, dari kata TAHU sesungguhnya akan turun pula kata "penahuan".

Lalu, dari mana turunnya kata "peNGetahuan"? Mungkin dari "ketahuan". Tetapi, dari kata kedengaran tidak pernah terbentuk kata berimbuhan "peNgedengaran" dan dari kata kesaksian pun tidak pernah turun kata "peNGesaksian".

Jika saya melakukan penelusuran maka turunan kata-kata tersebut di atas sbb:

1. Dengar --> pendengar --> mendengar(kan) --> pendengaran --> dengaran

2. Saksi --> penyaksi --> menyaksikan --> penyaksian --> saksian

maka,

3. Tahu --> penahu --> menahukan --> penahuan --> tahuan

Turunan kata pada butir (3), agaknya tidak berterima karena "penahuan" mungkin dimengerti sebagai kata berimbuhan yang turun dari kata dasar "nahu", yakni kata serapan dari bahasa Arab yang berarti 'tata bahasa", atau mungkin proses membuat tahu (sejenis makanan dari kedelai).

Tetapi, kata berimbuhan "peNGEtahuan" pun sangatlah aneh di pikiran saya jika dia berasal dari kta KETAHU. Soalnya, saya tidak menemukan kata itu dalam KBBI edisi pertama sampai ketiga. Entahlah mungkin pada KBBI IV (saya belum memiliki kamus itu ketika tulisan ini saya buat).

Kata yang sebentuk dengan "ketahu" kita kenal ada kata "KETEMU", tetapi kata itu agaknya bukan dari kata dasar "temu", sebab kata berimbuhan yang terjadi dari kata "ketemu" tak pernah menghasilkan bentukan atau sublema "meNGetemukan", atau "peNgetemuan".

Karena itu, kata berimbuhan "peNGEtahuan" saya anggap sebuah bentuk penyimpangan tata bahasa. Jika kata itu benar diturunkan dari kata dasar TAHU maka seharusnya kita menyebut "Ilmu peNahuan" oleh sebab nasal N adalah fonem T yang diluluhkan.

Jadi, hendaklah semua orang "menahui" , dan bukan 'mengetahui" .

Umbu Rey

Tanggapan Bung Yanwardi:

Masalah yang diangkat Umbu kali ini kian memperlihatkan bahwa bahasa tidak dapat dirumuskan seperti ilmu pasti. Ada saja rumpang dalam pola-pola bahasa. Kita harus menyikapinya dengan bijaksana. Akan tetapi, sekalipun ada rumpang, tetap saja ada sebuah sistem yang bisa menjawab rumpang itu.

Demikian pula untuk kasus kata "pengetahuan" . Sebenarnya, kata ini bukan pangkal masalahnya. Sudah sama-sama kita ketahui, kata benda (berafiks pe-/pe-an) dalam bahasa Indonesia umumnya diturunkan dari kata kerjanya (berafiks me-/me--kan/ -i).

tulis-menulis- penulis-penulisa n-(tulisan)
buat-membuat- pembuat-pembuata n-(buatan)
amat-mengamati- pengamat- pengamatan- (amatan)
bunuh-membunuh- pembunuh- pembunuhan (ada rumpang)

Kata "pengetahuan" diturunkan dari kata "mengetahui" . Yang menjadi masalah apa bentuk dasar dari kata "mengetahui" ? Kalau bentuk dasarnya "tahu", dari mana asal fonem /ng/? Andai merujuk pada KBBI IV, kita menjadi jelas: di halaman 1377, terdapat kata (sublema) "ketahu".

Jadi, "ketahu" adalah kata jadian dari proses afiksasi (pengimbuhan) prefiks (awalan) "ke+tahu". Saya sendiri secara deskriptif tidak atau belum menemukan data kata "ketahu". Dalam idiolek saya, juga kata ini tidak terterima. Namun, saya yakin KBBI IV tidak asal mencatat kata ini. Pasti ada dasarnya.

Dengan berasumsi bahwa kata "ketahu" terterima, kata "pengetahuan" menjadi tidak bermasalah. Kata ini juga memiliki "saudara" dalam bahasa Indonesia ragam standar, yakni ketua, kekasih, dan kehendak. Berikut pola hierarki kata-kata berprefiks ke- tersebut (kecuali kata kekasih, yang proses pembentukan katanya berhenti di sini).

tahu-ketahu- mengetahui- pengetahuan

tua-ketua-mengetuai -pengetua- (pengetuaan? )

hendak-kehendak- mengehendaki (kata ini masih banyak ditemukan, bersaing dengan "menghendaki" ; harian "Sinar Harapan" masih menggunakannya, dan KUBI Poerwadarminta masih mencatatnya).

Dalam paradigma kata berprefiks ke-, tampak banyak rumpangnya. Makna pe-an dalam "pengetahuan" adalah 'hasil dari perbuatan mengetahui'. Jadi, berbeda dengan makna konfiks "pe-an" yang umum, yakni 'proses dari verbanya'. Sebaliknya, makna pe-an di sini sama dengan makna sufiks (akhiran) -an, yakni 'hasil perbuatan verbanya' (tulisan, lukisan, buatan, amatan, dll).

"Untunglah", makna (gramatikal) afiks pe-an, sebagaimana dalam pengetahuan (yakni 'hasil' ), memiliki "teman", yaitu dalam kata "penghasilan (saya)", "pendapatan (karyawan)", dan "pemasukan (pedagang)". Konfiks pe-an yang bermakna 'hasil' tampak dalam konstruksi (frasa) kepemilikan' dan konstituen yang mengikutinya merupakan subyek. Sebaliknya, "pe-an" yang bermakna 'proses' terdapat dalam konstruksi modifikatif dan konstituen yang mengikutinya merupakan obyek (pembunuhan mantan artis, penggosokan intan, pencemaran udara).

Luar biasa memang masalah kata "pengetahuan" : satu kata memunculkan banyak keterkaitan. Belum lagi masalah pelesapan/peleburan fonem /k/ mengapa terjadi dalam "mengetuai" dan "mengetahui" , tetapi tidak dalam "memperkuat" dan "memperkencang" ? Padahal, kasusnya sama: ke- dan per- merupakan imbuhan dan /k/ dan /p/ adalah konsonan letup takbersuara. Ada komentar?

Terima kasih Umbu yang telah membuka gerbang.


Tanggapan saya:

Hehehe.., rupa-rupanya ada pula kata "ketahu". Bahasa Indonesia memang mengenal kata "ketua" dan "kehendak", serta "kekasih", tetapi dalam pikiran saya, dari bentuk kata "ketua" hanya turun kata "mengetuai" dan kata "kehendak" tidak menurunkan kata "meNGEhendaki" , sedangkan "kekasih" stop sampai di situ.

Jikalau "ketahu" itu memang ada dalam KBBI IV maka "pengetahuan" tidaklah menjadi masalah. Cuma, dari mana datangnya "ketahu" itu perlu pula dicari jawabannya, soalnya saya belum pernah dengar.

Barangkali yang perlu dibicarakan sekarang soal kata "kekasih" yang menurut pendapat saya (mungkin sekali) berasal dari bentuk kata ulang "(ber)kasih- kasih(an) ". Itu sebabnya kata "kekasih" tak pernah mendapat imbuhan me-kan(i) dan pe-an.

Pembentukan awalan (?) ke + kasih --> kekasih tampaknya memiliki pola yang sama dengan kata berikut:

Tua-tua --> tetua (orang tua-tua adat)
Tangga-tangga --> tetangga (rumah dulu selalu pakai tangga)
Daun-daun --> dedaunan
Pohon-pohon - -> pepohonan
Rumput-rumput --> rerumputan
Batu-batu --> bebatuan (yang ini lagunya Ebiet G Ade) dstnya.

Dua tahun yang lalu dalam milis ini saya pernah membuka forum untuk membicarakan soal istilah "reruntuhan" pesawat. Saya tidak setuju dengan istilah itu karena pesawat terbang tidak pernah runtuh.

Pesawat itu jatuh dari udara dan karena itu lebih tepat kita gunakan istilah "jejatuhan" untuk menyebut bangkai pesawat terbang yang hancur itu. Soalnya, sekarang ini sudah muncul pula kata "jejaring" yang mungkin berasal dari "jaring-jaring" .

Maka, mulai sekarang bolehlah kita menggunakan istilah "lelongsoran" tanah karena di mana-mana terjadi banyak tanah longsor ketika hujan mulai turun dan gempa terjadi di mana-mana.

Umbu Rey

"--------," tukasnya.

TUKAS. Ini kata apa? Sudah beberapa kali (mungkin) kata ini dibicarakan. Setiap kali dikeritik lebih banyak lagi penggunaannya disalahartikan. Kantor Berita Antara, menurut pengamatan saya, paling kerap menggunakan kata TUKAS itu secara tidak tepat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI dengan jelas menerangkan bahwa TUKAS, atau MENUKAS adalah mendakwa (menuduh) dengan alasan yang tidak cukup atau asal menuduh saja.

Coba perhatikan kalimat langsung dalam berita hari Kamis (6/7) yang diturunkan Kantor Berita Antara berikut ini:

"Kalau paket Rancangan Undang-Undang (RUU) baru selesai Januari 2008, itu masih tetap normal, tidak mengganggu tahapan pemilu," TUKAS Andi Yuliani Paris.

Kalimat dalam kutipan langsung di atas dimulai dengan kata KALAU. Itu berarti bahwa kalimat itu adalah sebuah pengandaian. Jadi jelas sekali kalimat itu bukan menuduh atau tuduhan. Dengan kata lain, Andi Yuliani tidak menuduh siapa-siapa dengan alasan yang tidak cukup.

Lalu, mengapa wartawan Antara mengatakan "tukas" Andi Yuliani Paris? Penggunaan kata yang tidak tepat seperti ini dapat membuat kuping orang yang bernalar pastilah gatal karena dia bingung atau tidak mengerti.

Kata di belakang kutipan langsung sepengetahuan saya tidak asal saja menggunakan kata yang kita sukai. Biasanya, yang umumnya digunakan adalah semua kata yang diawali dengan awalan ber-. Jadi, ada kata bertanya, berkata, berjawab, bersahutan, bertambah ...dstnya, itulah yang dapat kita gunakan menjadi: tanyanya, katanya, jawabnya, sahutnya, tambahnya,...dst.

Itu sebabnya janggal sekali rasanya jikalau para wartawan dan para penulis novel seenaknya menggunakan kalimat langsung dalam kutipan seperti ini' " ------------," akunya, apalagi "batinnya", dan "jelasnya". Apanya yang jelas? Ganjil betul.

Jikalau terpaksa saya hendak menulis kata "tukas" atau "jelas" untuk mengakhiri kalimat dalam kutipan langsung, biasanya saya menggunakan bentuk seperti ini , "-----------," katanya menukas, atau "--------------," katanya menjelaskan.

Bentuk seperti itu saya gunakan karena tidak ada kata "bertukas, atau berjelas.

Dewasa ini, dalam bentuk yang lain, bahasa Indonesia memang makin sering digunakan secara sembarangan, dan celakanya, jika di-Inggris-kan tentu akan membuat mata orang asing terbelalak karena tidak mengerti atau bingung. Kalimat Indonesia (yang banyak salahnya) biasanya diterjemahkan lurus-lurus saja menurut versi Indonesia. Persis seperti Tukul Arwana berbahasa Inggris di acara Empat Mata.

"Jam terbang" diterjemahkan menjadi "fly watch". Di dalam istilah sepakbola, "main kayu" (maksudnya main keras, atau kasar) diterjemahkan menjadi "playwood". Waktu saya masih meliput olahraga bulutangkis dulu, Susi Susanti dan kawan-kawannya menerjemahkan "ibu kota" menjadi "mother city".

Negeri ini memang mempunyai kebiasaan berbahasa paling membingungkan di dunia. Hari ini (Kamis 6/7/007) Presiden SBY mengutip pernyataan mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Collin Powell, yang mengatakan "Indonesia is the most misunderstood country in the world". Hehehe...mungkin yang dimaksudkannya, negara yang paling tidak bisa dimengerti di dunia.

Pak SBY mungkin sedang menukas dalam bahasa Inggris.

Umbu Rey

Parafrasa

Suatu ketika, tepatnya awal Maret 2008, saya kembali dari acara diskusi bahasa di stasiun televisi RCTI Kebun Jeruk Jakarta. Pembicara dalam diskusi kecil itu adalah ahli bahasa dari Pusat Bahasa, Ibu Meity Qodratillah, yang menjadi ketua penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat.

Kamus besar itu kemudian diberi nama KBBI Pusba (Pusat Bahasa) lantaran hampir semua kamus yang terbit kemudian, konon, sama persis isinya dengan kamus bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa.

Ketika hendak pulang sehabis diskusi, saya menghantar Ibu Meity dengan menggunakan mobil pribadi saya. Dalam mobil itu ada juga teman lain ikut serta. Rupanya perbincangan dalam forum diskusi masih terus dilanjutkan dalam mobil.

Ketika itu, Ibu Meity mengatakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV) akan diluncurkan bersamaan dengan Kongres Bahasa Indonesia Internasional di Jakarta bulan Oktober 2008. Pada kenyataannya, kamus itu terbit dalam tahun 2009 dalam bentuk luks dan harga yang selangit.

Dalam mobil itulah Ibu Meity mengakui bahwa kata dasar PERHATI itu sebenarnya memang tidak ada. Dia mengatakan pula bahwa dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi terakhir, kata PERHATI tidak lagi dicantumkan sebagai lema dasar, tetapi tetap dimasukkan sebagai sublema di bawah kata dasar HATI.

Ketika masalah itu saya tulis dalam milis guyubbahasa, tersebarlah kabar itu di media massa dan disambut hangat oleh anggota FBMM yang menentang kata "pemerhati dan memerhatikan". Seorang pengamat bahasa Indonesia memberikan tanggapannya dalam rubrik Kompas di bawah judul Parafrasa sbb:

Saya termasuk salah seorang yang paling lega mengetahui dari rubrik ini 4 April lalu bahwa entri perhati direncanakan dikeluarkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk edisi keempat nanti. Penggunaan bentuk memerhatikan telah lama bikin saya senewen. Saya sudah menulis ke mana-mana untuk meluruskan bentuk tersebut, tetapi tidak digubris.

Terakhir, dalam pertemuan Forum Pembaca, Penulis, dan Peresensi Kompas di Hotel Santika, Bandung, tahun lalu, masalah yang sama sekali lagi sempat saya kemukakan. JS Badudu menasihati saya agar jangan berkecil hati.

Malangnya, setiap kali saya menulis memperhatikan, oleh editor media massa tertentu selalu dikoreksi menjadi memerhatikan. Apa akal? Akhirnya saya menyiasati kejengkelan saya dengan tidak menggunakan kata memperhatikan lagi untuk sementara. Sebagai gantinya saya memilih bentuk pasif diperhatikan atau frasa memberi perhatian.

Jika kita menulis menaruh perhatian alih-alih memperhatikan, itu disebut menggunakan parafrasa. Menaruh perhatian, misalnya, adalah parafrasa terhadap memperhatikan. Contoh lain: kata kalah bisa memiliki parafrasa mengalami kekalahan, menderita kekalahan, atau
menelan kekalahan. Lantas mengapa penutur bahasa menggunakan parafrasa dan kapan?

Parafrasa dipilih lantaran bentuk kata yang hendak dipakai diragukan atau ditentang kebenarannya. Ada saja orang, daripada pusing-pusing, lantas memilih parafrasa melontarkan kritik alih-alih mengritik, mengkritik, mengritisi, atau mengkritisi. Sulit menentukan memprogram atau memrogram? Pakai saja membuat program atau bentuk pasif diprogram!

Parafrasa dipakai dengan pertimbangan untuk menghasilkan variasi. Normalnya, kata-kata yang sering muncul dalam komunikasi sehari-hari memiliki parafrasa. Tidak setiap kata atau frasa menyandang parafrasa. Mungkin perlu waktu sampai suatu kata mengalami pemunculan dengan frekuensi cukup kerap, barulah ia mendapatkan parafrasanya. Dengan semakin populernya sepakbola, misalnya, muncul beberapa parafrasa untuk mengungkapkan terjadinya gol, antara lain: membuat gol, mencetak gol, membuahkan gol, atau menghasilkan gol.

Parafrasa menjadi pilihan apabila sebuah bentuk kata atau frasa dinilai terlalu vulgar. Ada saja orang berbudi pekerti halus yang merasa sungkan menggunakan kata mengusir sehingga ia memilih memakai parafrasa dipersilakan meninggalkan tempat atau dimohon mengosongkan tempat.

Parafrasa juga untuk berindah-indah, bersopan-sopan, merendahkan hati, atau menyindir. Berjanji diperindah menjadi memadu janji, tetapi sesewaktu disiasati pula menjadi sindiran dalam bentuk frasa menebar janji.

Akhirnya, bila kelak tidak ada lagi bentuk memerhatikan, sebaiknya bentuk pemerhati juga tidak dipakai lagi. Kata pengamat atau penilik (dari kata tilik --melihat atau mengawasi dengan sungguh-sungguh--) kiranya cukup pas diangkat sebagai alternatifnya. Kata memperhatikan pada satu sisi sebenarnya pantas pula sekaligus memadani concern, kata Inggris yang cukup digandrungi disisipkan penutur bahasa Indonesia kini dalam percakapan dan penulisan.

LIE CHARLIE Sarjana Bahasa Indonesia

HATI

Ini kata hanya terdiri atas empat huruf yakni dua huruf mati (konsonan h dan t) dan dua huruf hidup (vokal a dan i). Maka terbentuklah kata HATI. Tetapi, kata ini pernah membikin bingung para anggota guyub bahasa di Forum Bahasa Media Massa (FBMM).

Ketika lema (entri atau kata dasar) HATI ini diberi berimbuhan PERHATI dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga dicantumkan sebagai lema baru, meletuslah perdebatan sengit di milis guyubbahasa@yahoogroups.com. Hampir dua tahun lamanya kata ini diperdebatkan tetapi tak kunjung selesai, karena tidak mencapai kata sepakat. Akhirnya semua anggota diam, mungkin karena kecapaian.

Kata PERHATI, konon, diciptakan oleh ahli bahasa yang bersemayam di Jalan Daksinapati Rawamangun Jakarta, dan dikukuhkan sebagai kata dasar atau lema. Maka berkoar-koarlah mereka dalam tayangan televisi dengan mengucapkan kata "pemerhati" dan "memerhatikan". Persoalan muncul ketika para ahli bahasa mengatakan "memerhatikan" adalah adalah sublema atau turunan dari kata PERHATI.

Para pengamat bahasa pun uring-uringan, karena sudah ada bentuk sublema "memperhatikan" yang turun dari kata dasar HATI. Lalu, dari manakah asal kata "perhati" itu? Tak ada jawaban, tak ada penjelasan. Para pengguna bahasa pada umumnya berkata bahwa kata "perhati" sesungguhnya tidak ada. Mereka hanya mengenal kata dasar HATI, dan hanya ada kata berimbuhan "memperhatikan" yang turun dari kata dasar HATI itu. Bentuk turunannya sebagai berikut:

Hati -> berhati-hati -> memperhatikan -> perhatian

Lalu, mengapa ada kata bentukan baru "memerhatikan" yang sesungguhnya juga berasal dari kata HATI? Saya sendiri sebenarnya setuju saja ada kata baru bernama PERHATI untuk memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Tetapi, pendapat saya "dibombardir" hampir seluruh anggota milis dengan argumen mereka masing-masing.

Saya kutip tulisan seorang teman seguyub berikut ini:

BENARKAH ADA KATA DASAR “PERHATI”?

oleh Martinmosmarth

DALAM RAPAT pengurus pusat Forum Bahasa Media Massa (FBMM) pada hari Selasa 14
Februari 2006, lagi-lagi terjadi perdebatan yang cukup sengit. Harap maklum, begitulah senantiasa terjadi bila para redaktur dan “pemerhati” bahasa berkumpul.

Diskusi menjelang pembahasan agenda resmi ini, yang antara lain membahas program kerja tahun 2006, dimulai dengan pertanyaan: apakah kaidah “huruf awal k, p, t, dan s pada kata dasar akan luluh saat kata dasar tersebut mendapatkan awalan me” berlaku mutlak?

Terus terang, saya menjawab dengan bersikukuh bahwa semestinya kaidah, apa pun itu, berlaku mutlak dan pengecualian hanya boleh ada dalam keadaan yang sangat khusus. Kalau tidak demikian, tata bahasa Indonesia tidak akan pernah berwibawa.

Pertanyaan pun berlanjut dengan contoh praktis: apakah kata jadian “memperhatikan” itu harus luluh menjadi “memerhatikan” ? Lagi-lagi saya bersikeras bahwa tidak bisa begitu karena kata dasarnya “hati”.

Salah satu teman pun dengan sigap membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (KBBI-3) dan membacakan lema tersebut per sub-entry, lalu ia berteriak lantang bahwa “memperhatikan” bisa luluh menjadi “memerhatikan” karena kata dasarnya “perhati”.

Saya terhenyak, tapi penasaran: Benarkah ada kata dasar “perhati”? Kalau benar ada, kenapa kata itu tidak “bunyi” baik dalam perasaan maupun benak saya? (Dan: saya yakin demikian pula halnya dengan Anda!).

Sesampai di rumah pada malam harinya, saya membuka KBBI-2 (cetakan kedelapan 1996). Kata dasar “hati” ada pada halaman 344 KBBI-2 senarai huruf “h” dalam dua lema: “hati” dan sublema “berhati” dan “sehati”, serta kata ulangnya “hati-hati”dengan sublema “berhati-hati” . Lho, kata jadian yang lain dari kata dasar “hati” pada ke mana?

Aneh bin ajaib, saya baru mendapatinya pada halaman 754 KBBI-2 deretan huruf “p” pada lema “perhati” yang langsung disambung koma dan kata jadian “memperhatikan” , baru diikuti sublema “perhatian” dan “pemerhati”.

Apa artinya lema “perhati, memperhatikan” dalam KBBI-2? Bagi saya, ini berarti kata dasar “perhati” itu “lema semu”, karena harus diikuti kata jadian “memperhatikan” supaya dia “bunyi” atawa bermakna. Dengan kata lain, tidak ada kata dasar “perhati”.

Kalau sudah begini, saya pun terpaksa membuka kembali Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Bagian Pertama, W.J.S. Poerwadarminta (tjetakan ke-empat, 1966). Lema “hati” ada pada halaman 338-340, dengan urutan sublema: “berhati”, “(ber)hati-hati” , “memperhatikan” , “perhatian”, dan “perhatian! perhatian!”.

Dan: pada KUBI, Bagian Kedua, sama sekali tidak ada lema “perhati”. Dengan kata lain, tidak ada kata dasar “perhati” dalam bahasa Indonesia.

Tendy/Pikiran Rakyat:

Kalau memang "perhati" bukan kata dasar (lema), mengapa pada KBBI III kata tersebut tercantum sebagai lema tersendiri? Lalu, mengapa pada KBBI IV kata itu akan dihapus?
Enggak yakin?

Zulkifli Harahap:

Kata "perhati" itu bukan lema semu tetapi kata dasar sekunder bentukan
dari kata dasar primer "hati." Itu kata GK. Per-hati-kan semua buku
tata bahasa yang ada sekalipun buku itu ditujukan utk pelajar SMA; dengan
mem-per-hati-kan-nya wawasan kita akan semakin meluas.

Apollo Lase/Kompas:

Salam guyub,

Banyak kita temui surat kabar A menulis *memperhatikan* , surat kabar B bersikukuh memakai *memerhatikan* , surat kabar C menulis *memunyai,* sementara yang lain memilih *mempunyai* sebagai bentuk yang betul. Dan banyak hal lagi. Pembaca, termasuk saya, bingung dan barangkali ada yang menyelentuk, mengapa media massa tidak bisa sepakat untuk menyeragamkan istilah-istilah itu?

Abdul Gaffar Ruskhan/Pusat Bahasa:

Ketidakseragaman itu terjadi karena cara pandang yang berbeda. Dalam KBBI memang ditemukan (bukan ditemui, seperti yang dikemukkaan teman yang "bingung" itu karena menemui objeknya insani) memerhatikan dengan meluluhkan huruf /p/. Di samping itu, ada pula yang tidak meluluhkannya.

Saya pada dasarnya tidak sependapat meluluhkan huruf /p/ walaupun saya termasuk salah seorang penyusun KBBI. Ketidaksetujuan saya itu pernah saya tulis di dalam Rubrik Ulasan Bahasa Media Indonesia. Sekarang tulisan itu dapat dilihat dalam buku saya Kompas Bahasa Indonesia (2007) terbitan Grassindo. Memang banyak yang mengkritik saya. Bahkan, mengatakan saya tidak konsisten. Walaupun begitu, saya tetap mengatakan bahwa memperhatikan berasal dari kata dasar "hati", yang diberi imbuhan per-: perhati; yang merupakan bentuk sekunder dari hati. Karena itu, huruf /p/ tidak luluh.

Memperhatikan dapat dianalogikan dengan bentuk lain: memperjuangkan, memperbaiki, mempersoalkan, mempermainkan, dsb. Di dalam Tata Bahasa Baku, "memper-" dikelompokkan ke dalam imbuhan gabung. Sebagai imbuhan gabung, huruf /p/ tidak luluh.

Agar ada keseragaman, KBBI yang sedang direvisi tidak lagi mencantumkan lema pokok "perhati". Kata itu akan menjadi sublema dari "hati". Kata "memerhatikan" tidak akan ditemukan lagi dalam KBBI Edisi IV. Yang ada adalah "memperhatikan".

Saya sebetulnya prihatin juga apabila semua imbuhan gabung "memper-" menjadi "memer-". Akan banyak kata yang menjadi "korban". Apa jadinya kata "memperjuangkan, memperbaiki, mempersoalkan, mempermainkan" menjadi memerjuangkan, memerbaiki, memersoalkan, memermainkan. Dalam hal ini tidak perlu dipaksakan generalisasi kaidah peluluhan yang berakibat bahasa kita menjadi "aneh".

Masalah "mempunyai" dan "memunyai" harus dilihat dari etimologinya. Kata dasarnya memang "punya". Namun, kata itu berasal dari "empunya". Kata "punya dan empunya" akhirnya menjadi kata yang bervariasi dan memiliki makna yang sama. Karena itu, pembentukan dengan awalan "meng-" menghasilkan bentuk mempunyai yang berasal dari "meempunyai". Dua huruf /e/ pada mempunyai menghasilkan peluluhan salah satunya. Dapat juga alasannya bahwa huruf /p/ tidak diluluhkan untuk memudahkan pelacakan asal-usul kata. Prof. Harimurti memberikan alasan seperti itu. Saya pun setuju dengan pendapat itu.

Ini soal lain. Suatu ketika Pak TDA menanyakan padanan kata incumbent. Saya jawab, padanannya adalah "pejabat kini". Ulasannya sudah dimuat di Media Indonesia. Pak TDA katakan, kan belum banyak yang tahu. Beliau usul agar semua tulisan saya yang dimuat pada Sabtu dalam "Ulasan Bahasa" Media Indonesia disebarluaskan melali milis guyub. Saya senang juga. Tapi, saya minta tanggapan teman-teman anggota, apakah akan saya miliskan atau dibaca saja dalam MI. Jika setuju, saya akan miliskan.

Terima kasih.

Riko Alfonso/Anggota milis guyubbahasa:

Wah, seru juga membaca komentar mengenai keseragaman istilah ini. Saya jadi ingin pula menyumbang pendapat mengenai hal ini. Terutama dari penjelasan Pak Gaffar dari Pusat Bahasa.

Pertama, saya sangat gembira mendapat info dari Pak Gaffar bahwa untuk KBBI Edisi IV kata "perhati" tidak lagi dijadikan lema pokok, tetapi menjadi sublema dari kata hati. Itu berarti Pusat Bahasa akhirnya mau memperbaiki kesalahan yang telah menimbulkan kebingungan di antara pengguna bahasa.

Perlu diingat, bahwa kata perhati sudah dijadikan lema pokok sejak KBBI edisi II (saya tidak tahu pada KBBI edisi I, karena di perpustakaan kami KBBI edisi I sudah gak ada lagi). Karena hingga di edisi III kata itu juga tetap tidak mengalami perubahan, kami pun menyimpulkan bahwa Pusat Bahasa mengakui bahwa kata perhati itu adalah lema dasar, bukan sublema.

Jadi kami para pengguna bahasa yang menaruh kepercayaan kepada Pusat Bahasa pun akhirnya mengikuti saja keputusan itu. Oleh karena itu, dalam penggunaannya dalam imbuhan, kata itu pun akhirnya harus kami sesuaikan dengan kaidah peluluhan dalam imbuhan: kata perhati berubah menjadi memerhatikan (p-luluh). Inilah yang menjadi alasan mengapa kami selalu meluluhkan kata perhati itu.

Alasan Pak Gafar yang menyatakan tidak setuju kata perhati itu luluh sangat masuk akal. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa kata itu sampai bisa dicantumkan sebagai lema pokok dalam KBBI edisi II dan III? Siapa yang memutuskan/merumuskannya jika Pak Gafar sendiri menyatakan tidak setuju dengan hal itu meski ia termasuk dalam tim penyusun KBBI?

Saya jadi curiga jangan-jangan ada kepentingan2 tertentu dari beberapa 'orang penting' di Pusat Bahasa yang sangat menginginkan kata perhati itu menjadi lema pokok. Ya, saya hanya berharap agar kejadian serupa ini tidak terulang lagi dalam KBBI edisi IV. Bahwa kepentingan2 lain harus dikesampingkan dulu saat para anggota tim menyusun KBBI. Buatlah KBBI yang terbaik dan tidak menimbulkan kerancuan di kalangan penggunanya.

Lalu, masalah "mempunyai dan memunyai". Saya baru tahu ternyata kita harus pula memperhatikan etimologi sebuah kata untuk menggunakannya secara tepat dalam imbuhan, terlepas kata itu sudah dianggap sebagai kata dasar. Selama ini saya hanya mengangap bahwa jika kata itu adalah kata dasar, ia akan mengalami peluluhan jika huruf awalnya /k,p,t,s/ dan mendapat imbuhan. Jadi saya menganggap kata punya itu diperlakukan sama dalam imbuhan (p-luluh), seperti halnya kata pukul, percaya, atau putus.

Saya juga heran mengapa pembentukan dengan awalan me- untuk empunya menjadi "meempunya", dan bukan "mengempunya". Saat saya lihat di KBBI edisi III, kata "empu" dan "empunya" memang ada di sana. Ketika mendapat awalan, kata empu berubah menjadi mengempu, bukan meempu.

Jika dianalogikan sama, kata empunya seharusnya menjadi mengempunya bila mendapat awalan, bukan meempunya (dengan dua huruf /e/). Dengan demikian saya menilai memang tidak ada bentuk meempunya itu. Yang ada ialah mengempunya.

Saya melihat dalam KBBI kata punya tidak 'diakui secara penuh' menjadi sebuah kata dasar. Sebab ia diperlakukan tidak sama seperti kata dasar berawalan /p/ lainnya saat bertemu dengan awalan. Hal inilah yang menjadi pangkal ketidakseragaman pemakaian kata punya ini.

Saya jelas kurang setuju dengan pernyataan Pusat Bahasa atas 'kekhususan' kata 'punya' ini. Sebaiknya tentukan dengan tegas, apakah 'punya' ialah kata dasar atau tidak. Jika ya, perlakukanlah kata 'punya' ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika tetap dianggap berasal dari kata empunya, penulisannya bukan menjadi mempunyai, melainkan "mengempunyai". Namun sampai masalah ini jelas, ya ada baiknya kawan-kawan menggunakan kata lain yang maknanya sama dengan 'punya'. Kata milik, misalnya.

Wassalam

Umbu Rey