Jumat, 18 Desember 2009

Parafrasa

Suatu ketika, tepatnya awal Maret 2008, saya kembali dari acara diskusi bahasa di stasiun televisi RCTI Kebun Jeruk Jakarta. Pembicara dalam diskusi kecil itu adalah ahli bahasa dari Pusat Bahasa, Ibu Meity Qodratillah, yang menjadi ketua penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat.

Kamus besar itu kemudian diberi nama KBBI Pusba (Pusat Bahasa) lantaran hampir semua kamus yang terbit kemudian, konon, sama persis isinya dengan kamus bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa.

Ketika hendak pulang sehabis diskusi, saya menghantar Ibu Meity dengan menggunakan mobil pribadi saya. Dalam mobil itu ada juga teman lain ikut serta. Rupanya perbincangan dalam forum diskusi masih terus dilanjutkan dalam mobil.

Ketika itu, Ibu Meity mengatakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV) akan diluncurkan bersamaan dengan Kongres Bahasa Indonesia Internasional di Jakarta bulan Oktober 2008. Pada kenyataannya, kamus itu terbit dalam tahun 2009 dalam bentuk luks dan harga yang selangit.

Dalam mobil itulah Ibu Meity mengakui bahwa kata dasar PERHATI itu sebenarnya memang tidak ada. Dia mengatakan pula bahwa dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi terakhir, kata PERHATI tidak lagi dicantumkan sebagai lema dasar, tetapi tetap dimasukkan sebagai sublema di bawah kata dasar HATI.

Ketika masalah itu saya tulis dalam milis guyubbahasa, tersebarlah kabar itu di media massa dan disambut hangat oleh anggota FBMM yang menentang kata "pemerhati dan memerhatikan". Seorang pengamat bahasa Indonesia memberikan tanggapannya dalam rubrik Kompas di bawah judul Parafrasa sbb:

Saya termasuk salah seorang yang paling lega mengetahui dari rubrik ini 4 April lalu bahwa entri perhati direncanakan dikeluarkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk edisi keempat nanti. Penggunaan bentuk memerhatikan telah lama bikin saya senewen. Saya sudah menulis ke mana-mana untuk meluruskan bentuk tersebut, tetapi tidak digubris.

Terakhir, dalam pertemuan Forum Pembaca, Penulis, dan Peresensi Kompas di Hotel Santika, Bandung, tahun lalu, masalah yang sama sekali lagi sempat saya kemukakan. JS Badudu menasihati saya agar jangan berkecil hati.

Malangnya, setiap kali saya menulis memperhatikan, oleh editor media massa tertentu selalu dikoreksi menjadi memerhatikan. Apa akal? Akhirnya saya menyiasati kejengkelan saya dengan tidak menggunakan kata memperhatikan lagi untuk sementara. Sebagai gantinya saya memilih bentuk pasif diperhatikan atau frasa memberi perhatian.

Jika kita menulis menaruh perhatian alih-alih memperhatikan, itu disebut menggunakan parafrasa. Menaruh perhatian, misalnya, adalah parafrasa terhadap memperhatikan. Contoh lain: kata kalah bisa memiliki parafrasa mengalami kekalahan, menderita kekalahan, atau
menelan kekalahan. Lantas mengapa penutur bahasa menggunakan parafrasa dan kapan?

Parafrasa dipilih lantaran bentuk kata yang hendak dipakai diragukan atau ditentang kebenarannya. Ada saja orang, daripada pusing-pusing, lantas memilih parafrasa melontarkan kritik alih-alih mengritik, mengkritik, mengritisi, atau mengkritisi. Sulit menentukan memprogram atau memrogram? Pakai saja membuat program atau bentuk pasif diprogram!

Parafrasa dipakai dengan pertimbangan untuk menghasilkan variasi. Normalnya, kata-kata yang sering muncul dalam komunikasi sehari-hari memiliki parafrasa. Tidak setiap kata atau frasa menyandang parafrasa. Mungkin perlu waktu sampai suatu kata mengalami pemunculan dengan frekuensi cukup kerap, barulah ia mendapatkan parafrasanya. Dengan semakin populernya sepakbola, misalnya, muncul beberapa parafrasa untuk mengungkapkan terjadinya gol, antara lain: membuat gol, mencetak gol, membuahkan gol, atau menghasilkan gol.

Parafrasa menjadi pilihan apabila sebuah bentuk kata atau frasa dinilai terlalu vulgar. Ada saja orang berbudi pekerti halus yang merasa sungkan menggunakan kata mengusir sehingga ia memilih memakai parafrasa dipersilakan meninggalkan tempat atau dimohon mengosongkan tempat.

Parafrasa juga untuk berindah-indah, bersopan-sopan, merendahkan hati, atau menyindir. Berjanji diperindah menjadi memadu janji, tetapi sesewaktu disiasati pula menjadi sindiran dalam bentuk frasa menebar janji.

Akhirnya, bila kelak tidak ada lagi bentuk memerhatikan, sebaiknya bentuk pemerhati juga tidak dipakai lagi. Kata pengamat atau penilik (dari kata tilik --melihat atau mengawasi dengan sungguh-sungguh--) kiranya cukup pas diangkat sebagai alternatifnya. Kata memperhatikan pada satu sisi sebenarnya pantas pula sekaligus memadani concern, kata Inggris yang cukup digandrungi disisipkan penutur bahasa Indonesia kini dalam percakapan dan penulisan.

LIE CHARLIE Sarjana Bahasa Indonesia

Tidak ada komentar: