Jumat, 16 Mei 2008

Pemudik 2 Kali Ditarik Ongkos

Harian Warta Kota hari ini (11/9/07) yang saya baca di Stasiun Kereta Api Bekasi menulis judul besar-besar di halaman muka: PEMUDIK 2 KALI DITARIK ONGKOS. Saya merenung sejenak, mengapa pemudik ditarik ongkos sampai dua kali, ke mana ditarik, dan bagaimana pemudik itu ditarik. Mengapa pemudik itu disamakan saja dengan gerbong kereta api yang ditarik lokomotif?

Menurut KBBI, mudik berarti 1 (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman): dari Palembang mudik sampai ke Sakayu; 2 cak pulang ke kampung halaman.
Arti yang pertama tidak pernah dihiraukan orang, tetapi arti yang kedua sangat populer terutama di Pulau Jawa lantaran tradisi tahunan menjelang hari raya Idulfitri.

Jadi, apakah artinya PEMUDIK itu? Awalan "pe" dalam tata bahasa Indonesia dapat berarti alat, dan dapat pula berarti orang (yang). Jikalau awalan "pe" itu kita artikan sebagai "orang (yang)" maka PEMUDIK memiliki dua arti. Yang pertama, orang yang pulang kampung dan yang kedua, mungkin pula berarti orang yang memudikkan orang lain ke kampung halamannya masing-masing.

Kalimat pada judul harian Warta Kota itu jelas merupakan kalimat pasif berawalan "di". Jikalau kalimat itu saya ubah menjadi kalimat aktif (transitif) maka judul itu dapat dibaca: ONGKOS MENARIK PEMUDIK 2 KALI.

Ongkos itu apa? Menurut KBBI "ongkos" itu sama persis dengan biaya. Lalu, dapatkah ongkos atau biaya itu (dalam kasus ini) diperlakukan sebagai persona sebab kita kenal istilah personafikasi? Saya pikir, sampai kucing tumbuh tanduk sekalipun, ongkos ya tetaplah ongkos, dan tak mungkin bisa melakukan pekerjaan menarik pemudik.

Yang biasanya ditarik dalam pengertian awam adalah ongkos, dan bukan pemudik. Dan, semua orang pastilah mengerti, bahwa yang menarik ongkos itu selalu adalah kondektur, dan bukan penumpang bus. Lalu, mengapa wartawan harian itu tidak menulis dengan kalimat aktif transitif yang sederhana:

1/ Kondektur menarik ongkos dari pemudik dua kali.
2/ PEMUDIK MEMBAYAR ONGKOS DUA KALI.

Frasa "menarik ongkos" pada kalimat (1) adalah metafora, sama seperti lazimnya orang berkata "menarik becak" atau "menarik perhatian". Menarik ongkos itu arti sesungguhnya adalah menagih atau meminta uang dari pemudik yang adalah penumpang bus.

Kalimat pada butir (2) lebih jelas sebab tersusun menurut kaidah bahasa Indonesia yang benar. Jika kalimat itu kita jadikan kalimat pasif, maka makna kalimatnya pun tidak akan berubah. Pemudik membayar ongkos sama artinya dengan ongkos dibayar pemudik.

Kantor berita ANTARA --yang statusnya kini sudah berubah menjadi perusahaan umum (disingkat perum) kemarin (10/10/07) juga menurunkan berita yang kalimatnya mirip betul dengan judul koran tersebut:

PEMUDIK ITU TERPAKSA TIDAK DIBELIKAN TIKET

Kalimat yang diturunkan oleh wartawan Kantor Berita Antara dari Biro Semarang ini sangat sembrono (sembarangan) . Kacau benar susunan tata bahasanya, sehingga kalau dipikir-pikir terus, lama-lama orang yang membacanya bisa sinting permanen.

Menurut KBBI, "terpaksa" adalah berbuat di luar kemauan sendiri karena terdesak oleh keadaan; mau tidak mau harus; tidak boleh tidak. Contoh: kami terpaksa menerimanya karena tidak ada jalan lain.

Coba perhatikan kalimat yang diturunkan oleh Kantor Berita Biro Semarang di atas. Siapakah yang terpaksa? Jawabannya, yang terpaksa itu tentu saja pemudik. Siapakah yang tidak dibelikan tiket? Pemudik juga. Lalu, mengapa orang yang tidak dibelikan tiket itu terpaksa? Ganjil sekali, bukan?

Orang itu disebut "terpaksa" melakukan sesuatu karena dia terdesak oleh keadaan. Atau, keadaan itu memaksanya untuk melakukan sesuatu di luar rencana atau kemauannya sendiri. Pemudik itu dalam kalimat di atas tidak melakukan sesuatu, dan tidak juga memiliki tiket. Jikalau orang lain tidak mau membelikan tiket untuk pemudik, mengapa pula pemudik itu terpaksa?

Bandingkan ini:

1. Pemudik terpaksa tidak dibelikan tiket
2. Pemudik terpaksa membeli tiket dengan harga mahal

Nyata benar bedanya. Kalimat pada butir (1) tentu saja tidak bernalar.

Anehnya, ketika wartawan senior yang menulis kalimat itu saya tanyakan maksud PEMUDIK TERPAKSA TIDAK DIBELIKAN TIKET, dengan tegas dia menjawab, "Tidak ada yang salah dalam kalimat itu. Semua orang yang saya suruh baca mengerti maksudnya."

Tambah bingung saya!

Umbu Rey

Rabu, 14 Mei 2008

Mengarungi rumah tangga

Ini kebiasaan orang omong zaman saiki. Kebetulan saya menonton acara tayangan acara "infotaimen" di layar Trans TV. Ada artis Ibu Kota yang baru saja menikah dan pewaranya mengucapkan: SELAMAT MENGARUNGI RUMAH TANGGA.

Si pewara boleh jadi sangat yakin bahwa kata-kata yang diucapkannya itu benar adanya, sebab begitulah lazimnya orang menyampaikan salam kepada teman atau handai taulan yang melangsungkan pernikahan.

Kata MENGARUNGI mungkin diturunkan dari dua kata dasar. Bisa ARUNG, dan bisa pula KARUNG, bergantung pada konteks kalimat yang kita gunakan. ARUNG artinya berjalan menyeberangi sungai atau menjelajah samudra, sedangkan KARUNG adalah kantong besar yang terbuat dari goni, tempat menyimpan beras.

Mungkinkah dua kata dasar itu bertalian atau berhubungan dengan "rumah tangga"? Mungkin, tetapi saya bingung, itu rumah tangga mau diarungi ke mana, dan bagaimana pula rumah tangga itu dimasukkan ke dalam karung (mengarungi = membungkus dengan karung atau memasukkan ke dalam karung).

Zaman dulu ketika saya masih di kampung, orang yang menikah itu ibarat dua insan yang naik dalam sebuah perahu atau bahtera. Mereka harus pergi dari rumah kedua orang tuanya untuk hidup mandiri, mencari kehidupan baru. Karena harus hidup mandiri, lepas dari tanggungan orang tuanya itulah maka mereka disebut pergi ke laut lepas dengan menumpang kapal yang disebut "bahtera rumah tangga".

Bahtera itu pastilah harus berjalan di atas permukaan air, menjelajah samudra. Manalah mungkin bahtera itu dimasukkan ke dalam karung goni (dikarungi/mengarungi) lalu dihanyutkan atau dilarung ke laut. Kalau itu dilakukan maka orang tua kedua mempelai itu pastilah manusia biadab.

Sebab apa? Kedua mempelai itu tidaklah mungkin mendapat kebahagiaan, karena sebelum sempat mencicipi nikmatnya acara persetubuhan pengantin baru, mereka malah sudah tenggelam ke dalam air. Mampuslah mereka itu, bukan? Tega benar orang tua dan mertua itu kalau betul-betul mereka MENGARUNGI rumah tangga anaknya atau menantunya.

MENGARUNGI bahtera rumah tangga itu apakah benar? Menurut hemat saya, sama saja salahnya dengan MENGARUNGI rumah tangga. Mungkinkah bahtera rumah tangga itu diarungi atau dikarungi?

KBBI edisi ketiga halaman 67 berkata bahwa yang diarungi itu adalah lautan, atau sungai, atau juga hutan rimba. Jadi, kalau bahtera rumah tangga itu yang diarungi maka pastilah remuk dinjak-injak orang sekampung yang sedang merayakan pesta pernikahan kedua mempelai.

Apakah si pewara pada acara "infotaimen" itu sadar bahwa dia telah melakukan kekeliruan? Gaya dan alunan suaranya begitu meyakinkan padahal jika kita cermat beripikir, sesungguhnya MENGARUNGI rumah tangga yang diucapkannya itu adalah kesalahan fatal.

Seharusnya pewara itu berkata bahwa kedua artis berlainan jenis itu sedang MENGAYUH bahtera rumah tangga. Kata MENGAYUH itu berasal dari kata dasar KAYUH yang sama artinya dengan DAYUNG, yaitu kayu yang dibuat pipih dan lebar untuk menggerakkan perahu supaya maju. Tentu saja bahtera itu harus berada di permukaan air.

Jadi, kedua mempelai itu sebenarnya ibarat orang yang menumpang bahtera (rumah tangga) yang akan mengarungi samudra luas. Maka saya pun ikut mengucapkan "Selamat mengayuh bahtera rumah tangga". Atau "Selamat mengarungi samudra rumah tangga".

Umbu Rey

INDONESIA RAYA

Inilah teks lengkap lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dikarang WR Supratman.

Ayat pertama:

Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku.
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan Tanah Airku.
Marilah kita berseru: "Indonesia bersatu!"
Hiduplah tanahku,
Hiduplah negriku,
Bangsaku, rakyatku, semuanya.
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya.

CHORUS:

Indonesia Raya, merdeka, merdeka
Tanahku, negriku yang kucinta
Indonesia raya, merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Ulang:
Indonesia Raya, merdeka, merdeka
Tanahku, negriku jang kucinta.
Indonesia Raya, merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia Raya.

Ayat kedua:

Indonesia tanah yang mulya,
Tanah kita yang kaya.
Di sanalah aku berada
Untuk s'lama-lamanya.
Indonesia tanah pusaka,
P'saka kita semuanya.
Marilah kita mendoa: "Indonesia bahagia!
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, rakyatnya, semuanya.
Sadarlah hatinya, sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya.

CHORUS

Ayat ketiga:

Indonesia tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti.
Di sanalah aku berdiri
'Njaga ibu sejati.
Indonesia tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi.
Marilah kita berjanji:"Indonesia abadi!"
S'lamatlah rakyatnya, s'lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya.
Majulah negrinya, majulah pandunya
Untuk Indonesia Raya.

CHORUS

Selasa, 13 Mei 2008

Singkat yang bukan singkatan

Saya tidak begitu suka dengan singkatan atau akronim sebab banyak orang jadi bingung, dan saya juga jadi bingung sendiri akibat singkatan itu. Biarpun begitu saya suka juga pada sesuatu yang singkat-singkat. Daripada mengikuti jalan panjang lebih baik kita mengikuti jalan potong atau jalan singkat supaya cepat sampai ke tempat tujuan, supaya pas waktu dan hemat biaya.

Jalan singkat itu semata-mata kita gunakan untuk menghemat waktu, ruang, dan uang, lantaran kita akan selalu ketinggalan oleh kecepatan zaman yang berlalu tanpa bilang permisi.

Yang singkat-singkat itu tidak sama persis dengan singkatan, meskipun singkatan itu memang hasil dari proses penyingkatan. Yang saya maksudkan di sini bukanlah menyingkat kata supaya jadi akronim, tetapi berhubungan dengan bagaimana kita menyerap kata asing ke dalam bahasa Indonesia secara singkat dan tepat guna. Yaitu, menghemat huruf atau aksara supaya efisien dan pas pula diucapkan bibir.

Waktu berbicara dalam diskusi bahasa FBMM di harian Kompas 2 Oktober 2007, saya telah menyinggung masalah efektivitas penggunaan aksara dalam tulisan bahasa Indonesia yang tampaknya terlalu royal atau boros. Ketika menyerap bahasa Arab atau bahasa asing lain kita seakan-akan telah menjadi budak yang takluk pada bunyi atau cara pengucapan dalam bahasa asalnya.

Coba perhatikan kata-kata Indonesia yang kita serap dari bahasa Arab. Pada umumnya, kita terpaksa atau dipaksa-paksa harus mengucapkannya seperti orang Arab. Padahal, bibir kita ini tidak bisa sama dengan bibirnya orang Arab. Wajah kita ini Melayu, mengapa bibir dan lidah kita tekuk-tekuk supaya sama seperti orang Arab, Inggris, Belanda atau Jerman? Kita takluk kepada bahasa asing.

Begitu juga dengan huruf-hurufnya, kita susun supaya bila diucapkan akan sama dengan bunyi yang diucapkan oleh bangsa Arab. Konon, supaya maknanya tidak berubah lantaran kata orang ahli, setiap huruf yang berubah dalam bahasa aslinya (Arab), maka berubah pula makna katanya dalam bahasa Indonesia.

Ini alasan mungkin betul dalam beberapa kasus, tetapi tampaknya terlalu konyol jika kita kasih alasan lain, bahwa bahasa Arab itu adalah bahasa kitab suci, dan bahasa yang ditulis dalam kitab suci itu adalah bahasanya Tuhan.

Lalu, apakah Tuhan itu cuma mengerti bahasa Arab, dan apakah bahasa Indonesia itu tidak dapat dimengerti oleh Tuhan? Kalau begitu adanya, alangkah gobloknya Tuhan itu. Maka kalau saya ini beragama, saya akan berkata bahwa Tuhan itu tidak mahatahu. Mosok bahasa Indonesia dia "kagak ngerti".

Sebenarnya kalau kita mau taat asas, setiap kata yang kita serap dari bahasa asing, maka kata itu haruslah taat pula pada kebiasaan ucapan bibir dan lidah kita. Peri bahasa menyatakan masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kuda meringkik. Maka setiap kata asing yang masuk ke dalam wilayah artikulasi Indonesia, haruslah diucapkan menurut kebiasaan kita.

Coba perhatikan orang Jepang menyebut kata yang berasal dari bahasa Inggris. Television itu mereka sebut "terebi" dan elevator itu mereka ucapkan "erebeta". Kata-kakta asing itu pun ditulis dengan huruf yang lain, khususnya huruf "katakana". Pokoknya, semua kata serapan takluk di bawah kekuasaan bibir Jepang. Bahkan nama orang pun mereka ucapkan menurut kebiasaan Jepang. Teman saya dari Maluku bernama Otniel, tetapi nama itu disebut menurut ucapan Jepang menjadi "Otonire".

Anehnya, akhir-akhir ini, hampir semua kata Arab yang sudah menjadi baku dalam ucapan bibir Indonesia malah dikembalikan ke ucapan bahasa aslinya. Kata "kalbu" itu sudah kita kenal sebagai "hati" semenjak zaman pujangga lama. Tetapi gara-gara agama, kiai kondang Aa Gym mengucapkannya menjadi "qolbu" (manajemen qolbu), sebab katanya, kalbu itu artinya anjing dalam bahasa Arab.

Di redaksi kantor berita Antara, pernah terjadi peristiwa beberapa wartawan senior ribut dan berkelahi memperdebatkan kata "salat" gara-gara setengah orang mempertahankan kesucian sebutan ritual agama Islam itu. Maunya mereka, kata itu haruslah disebut menurut versi aslinya dalam bahasa Arab yakni "shalat" atau "sholat", tidak boleh sembarangan diganti dengan "salat".

Demikian juga kata Allah, meskipun telah ditulis dengan huruf "a" ucapannya dipersis-persiskan dengan bahasa Arab sehingga berbunyi "Olloh" atau "Alloh". Maka berubahlah kata "mesjid" menjadi "masjid" dan "jemaah" menjadi "jamaah". Padalah sepanjang pengetahuan saya, bagaimana pun atau dengan cara apa pun kita menyebutkan sebuah kata dari bahasa Arab dalam versi Indonesia (meskipun mungkin salah), orang Arab atau bahkan raja Arab sendiri tidak pernah melancarkan protes.

Buktinya, "kalbu" itu aman-aman saja sejak dulu, tidak pernah diprotes oleh raja Arab. Tetapi, anehnya, bangsa ini kok malah seperti cacing kepanasan kalau tidak mengucapkan "qolbu". Padahal, kata para ahli, vokal "o" seperti pada "qolbu" dalam bahasa Arab itu tidak dikenal.

Coba suruh orang Arab menyebut "panas". Mana bisa dia. Paling juga dia sesuaikan dengan kebiasaan bibirnya. Maka pastilah dia mengatakan "fanas" dan palsu dia bilang "falsu". Tak tahulah saya, bagaimana orang Arab mengucapkan "cacing" atau "cendol", sebab bunyi ca ci cu ce co itu tidak ada dalam bahasa Arab.

Karena itu, menurut saya, tidaklah perlu kata "paham" itu kita ucapkan menurut bibir Arab "faham". Karena apa? Karena konsonan atau fonem "f" itu tidak dikenal dalam bahasa Melayu, yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia. Malah kata "pihak" acap kali kita sebut seperti bunyi bahasa Arab "fihak". Padahal "pihak" itu asli Melayu.

Kalau mau jujur, sebenarnya huruf yang dikenal dalam bahasa Indonesia tidak sampai 26 jumlahnya. Aa, Bb, Cc, Dd, Ee, Gg, Hh, Ii, Jj, Kk, Ll Mm, Nn, Oo, Pp, Rr, Ss, Tt, Uu, Ws, dan Yy.
Huruf-huruf Ff, Vv, Qq, Xx, Zz, tidak dikenal atau tidak dapat diucapkan dalam bahasa Indonesia, dan baru masuk dalam alfabet Indonesia melalui penyerapan kata asing.

Fonem Ff, dan Vv, hanya dapat diucapkan oleh orang Indonesia dari suku Flores, Rote, Timor, Kisar (di Maluku Tenggara) dan orang Papua. Selain itu, semua suku di Indonesia (Jawa Bali, Lombok, Kalimantan dan semua suku di Pulau Sumatera) tak mengenal bunyi "f" dalam bahasa daerahnya.

Demikian juga konsonan rangkap terutama pada awal kata dasar tidak pula dikenal dalam bahasa Indonesia. Karena itu kata serapan berkonsonan rangkap baik dari Inggris maupun dari bahasa Jawa selau kita sisipkan vokal "e" pepet (lemah) supaya berbunyi. Contohnya, "gladi" dari bahasa Jawa menjadi "geladi", "trampil" menjadi "terampil".

Kata serapan dari bahasa Inggris sekarang ini sudah kita kembalikan penyebutannya seperti aslinya. Maka "perioritas" sekarang menjadi "prioritas", demikian juga kata "isteri, putera, puteri" dari bahasa Sansekerta kita kembalikan ke penyebutan aslinya "istri, putra dan putri".

Dahulu kita kenal kata "chabar" dan setelah tahun 1972 kata itu kita ganti menjadi "khabar" (menuruti EYD). Sekarang kata yang sama kita ubah lagi ucapannya menjadi "kabar" (dengan menghilangkan fonem "h"). Lalu, kenapa "khawatir" tidak berani kita sederhanakan menjadi "kawatir" atau menurut ucapan awam "kuatir". Atau "khayal" kita sebut saja "kayal" atau "hayal". Sekarang ini kita ribut lagi supaya kata "Ramadhan" menjadi "Ramadan" (tanpa huruf "h"). Alasannya pun tak jelas benar. Mungkin karena konsonan rangkap "dh" tidak dikenal.

Fonem "h" pada "khawatir' itu sebenarnya tidak berbunyi, dan karena itu tidak ada gunanya sebab memboroskan huruf. Kata itu akan menjadi lebih boros huruf karena awalan me- tidak dapat meluluhkan konsonan rangkap "kh. Maka terpaksalah kita menyebut "mengkhawatirkan".

Susah sekali mengucapkan kata itu, bukan? Karena ada empat huruf mati yang bejejer di situ yakni "ngkh". Padahal dalam bahasa Indonesia pada umumnya di setiap dua huruf mati haruslah terselip satu huruf hidup sehingga kata itu berbunyi.

Kalau kita sekarang berani mengubah "khabar" menjadi "kabar" dan "Ramadhan" menjadi "Ramadan" dengan membuang huruf mati "h", maka itu berarti kita telah menghemat satu huruf. Karena itu saya mengajukan usul, agar setiap kata berkonsonan rangkap "kh" tidak lagi digunakan karena terlalu boros, dan tidak sesuai dengan ucapan bibir Indonesia.

Maka "khawatir" hendaknya menjadi "kawatir" demikian juga khayal-->kayal, hayal; khilaf -->kilaf; khitan -->kitan; khianat -->kianat; khusus -->kusus; ridho atau ridlo -->rida, dan seterusnya. Dengan begitu, mudah kita mengucapkannya jika mendapat imbuhan "me-an" atau peng-an".

Itulah yang saya maksudkan dengan singkat, tetapi bukan singkatan.

Umbu Rey

Rikues dan kanun

Siapa berani membendung arus kata asing ke bahasa Indonesia akan digulung oleh gelombang kata itu. Ketika di Nangroe Aceh dibolehkan menggunakan peraturan menurut Syariat Islam setelah dilanda tsunami, masyarakat pun seakan-akan tergulung lagi oleh gelombang bahasa Arab. Semua instansi mesti pakai bahasa Arab.

Sialnya, kata istilah dari bahasa Arab itu enggan rasanya diindonesiakan. Orang tidak mau lagi menerjemahkannya, atau mencari padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Kata dari bahasa Arab pun ditelan mentah-mentah, dan muncullah "qanun".

Itu kata tampaknya haram pula hukumnya jika diserap dengan menggunakan huruf "k". Jangan sampai kita gunakan "kanun", nanti kualat. Padahal, yang dimaksud dengan "qanun" ternyata tidak lain dari "peraturan daerah" yang disingkat dengan "perda".

Orang Indonesia yang sekuler pun tak mau kalah. Diserapnya kata-kata Inggris tanpa permisi pada Pusat Bahasa. Hei, Pusat Bahasa itu apa'an? Begitu kata mereka. Suka-suka gue dong mau bilang apa. Kalau kita hendak memohon agar diputarkan sebuah lagu ke salah satu radio atau televisi, jangan sampai bilang "minta lagu". Itu kuno. Kita harus bilang "rikues" barulah penyiarnya mengerti.

Dengarkan juga kata-kata penyiar radio dangdut pada tengah malam. Ketika pendengar sudah meminta lagu sebuah lagu, penyiarnya akan bertanya, "Ronda-ronda ke mana ni?. Rupanya yang dia maksudkan dengan "ronda-ronda" itu adalah "kirim lagu ke mana dan kepada siapa?

Lantas, "rikues" itu apa? Setelah saya membolak-balik kamus Inggris bikinan Hassan Shadily ternyata "rikues" itu artinya "minta". Kata Inggris ini aslinya adalah "request" tetapi orang sekularis Indonesia menyerap begitu saja menuruti ucapan lidah dan bibirnya sesuka hati. Maka jadilah "rikues".

Di kalangan pendengar dan penyiar radio, "rikues" agaknya tidak bisa disejajarkan atau diganti dengan perkataan "minta". Itu kata bukan cuma dianggap keren, malah lebih agung dan mulia daripada "minta", sebab sesuatu yang kita kehendaki tidak usah pakai uang.

Karena itu, "rikues" tidak pernah digunakan di toko-toko kelontong di Pasar Senen atau di mal-mal mewah. Tidak laku, karena barang-barang yang dipajang di situ tidak boleh kita bilang rikues. Harus bayar pakai uang dulu baru barang dibawa pulang.

"Minta" itu lebih rendah derajatnya di bawah "rekues". Dia hanya digunakan oleh pengemis pinggir jalan atau di dalam kereta rel listrik kelas ekonomi, karena berhubungan dengan uang receh. Yang menggunakan kata "minta" itu cuma pengemis, atau paling umum digunakan di dalam keluarga atau dengan teman sejawat. Di restoran waralaba Anda tidak mungkin berkata, "Pak, rikues jus satu gelas!"

Para wartawan dan pejabat sekarang agaknya enggan menggunakan "minta". Dalam pemberitaan biasanya mereka pakai kata yang derajatnya dianggap agak lebih tinggi, yakni "mohon" atau "imbau".

Coba perhatikan pendeta, pastor atau ustaz yang mengangkat doa di pesta-pesta perkawinan atau pada acara ritual memperingati hari besar keagamaan. Hampir tidak ada yang pakai kata "minta pada Tuhan". Mereka mesti pakai kata "mohon kedua mempelai diberi rezeki dan kebahagiaan dunia dan akhirat". Orang tua mempelai pun kalau mengundang tidak pernah "minta" kehadiran kita. Pastilah mereka pakai kata "mohon doa restu".

Tetapi pada kenyataannya, Tuhan banyak kali tidak mengabulkan permintaan mereka. Artis-artis di kota besar dan orang kampung di pelosok udik perdesaan malah mendapat hadiah perceraian setelah mengucapkan janji setia dan mohon doa. Karena apa? Mungkin sekali salah penggunaan kata.

Karena itu kalau Anda berdoa, gunakanlah kata yang derajatnya lebih tinggi: "Ya Tuhan, kami rikues kepada-Mu, kabulkanlah permohonan kami dan berikanlah kami otak yang cerdas, hati yang bijaksana, supaya kami dapat mengikuti qanun yang telah ditetapkan!"

Begitu. Campur-campur saja bahasa Arab dan Inggris. Mudah-mudahan Tuhan tidak bingung.

Umbu Rey

Senin, 12 Mei 2008

Seronok, maknya dirodok

Saya yakin Anda sekalian pastilah tahu arti kata SERONOK. Saya hampir yakin juga bahwa kebanyakan dari Anda dan kita sekalian pastilah memahami seronok adalah kata yang memberikan kesan tidak enak atau tidak sedap didengar atau tidak elok dipandang mata.

Inilah kita orang Indonesia. Sesuatu yang baik dianggapnya tidak baik dan yang tidak baik justru dianggapnya baik. Dulu kita kenal kata "acuh" yang berarti mengindahkan atau peduli, tetapi kata-kata itu sekarang sudah terbalik artinya. Sekarang ini tidak lagi dikenal kalimat "acuhkanlah perintah gurumu", sebab kata "acuh" itu sudah dimaknai sebagai tidak memedulikan perintah guru.

SERONOK itu juga digunakan dengan makna yang terbalik. Pada umumnya orang memahami SERONOK seperti orang menyebut "maknya dirodok". Kata maki-makian ini mirip benar dengan kebiasaan orang-orang di Indonesia bagian timur yang saban hari suka berkata "cuki mai".

"Maknya" itu berasal dari kata "emak" yang sama maknanya dengan "mai". Kata "mai" itu (mungkin dari bahasa Portugis), sama artinya dengan ibu atau betina. "Rodok" sama persis dengan "cuki" yang berarti "tusuk" (dalam pengertian sanggama). Jadi maksud kata "maknya dirodok" dan cuki mai" itu kau tahulah maksudnya. Tidak sedap diucapkan dalam tata krama.

Padahal, sesungguhnya SERONOK itu memberi kesan indah, menyenangkan hati, sedap dilihat dan enak didengar. Orang Malaysia suka berkata SERONOK ketika melihat gadis cantik. "Aduh seronoknya," kata mereka.

KBBI merekam kata SERONOK itu dalam pengertian yang positif, indah, dan menyenangkan hati. Untunglah, Pusat Bahasa sampai kini belum mau merekam SERONOK dalam pengertian yang "maknya dirodok" atau "cuki mai" itu.

Mengapa SERONOK bisa terbalik pengertiannya? Pada hemat saya, karena pada umumnya kata dalam bahasa Indonesia yang berakhir dengan bunyi "ok, ok dan ok" itu selalu memberikan kesan yang tidak sedap didengar.

Cobalah Anda pergi ke WC. Kata "jongkok" pastilah berhubungan dengan "cebok". Kalau bokong dibersihkan jangan pakai diobok-obok" dan kata-kata itu jangan sekali-kali diucapkan di meja makan. Bisa muntah kita. Apalagi yang "borok-borok" itu selalu saja berarti "jorok juga.

Anda tahu artinya "popok"? Itu pakaian bayi atau bayi. Kalau dibiarkan terus dan tidak pernah dicuci akan "jorok" juga. Orang Jawa suka menghubungkan kata "popok" itu dengan lumpur, yang menurut orang suka akan kebersihan, tentu tidak sedap dipandang.

Popok itu juga berarti "hantu yang ditakuti orang. Kata lain dari hantu itu adalah "momok". Tahukah Anda bahwa "momok" itu juga berarti kemaluan anak perempuan, dan tidak pantas diucapkan di depan umum. Orang Jakarta biasa bilang "memek" yang meskipun tak pantas diucapkan menurut sopan santun, sangat disukai oleh lelaki hidung belang.

Eceng "gondok" adalah tumbuhan yang hidup di air, tetapi tidak disukai karena kesannya mengotori sungai. Sama juga penyakit "gondok" yang bisa membuat leher orang menjadi lebih besar dari ukuran. Kalau akarnya sampai mencekik tenggorokan, orang bisa koit juga. Sama juga tidak enaknya kalau orang turun "berok". Kebiasaan orang Indonesia yang paling disukai adalah main "sogok" supaya dapat proyek. Mereka juga suka merotok (bersungut-sungut) kalau tidak kebagian angpao. Padahal itu penyakit juga.

"Mogok"' itu tentu saja tidak disukai oleh orang di semua lapisan masyarakat. Kalau buruh "mogok" kerja maka pengusaha akan kelimpungan. Apalagi kalau mobil mewah miliknya "mogok" melulu, tentu pemiliknya akan stres. Rakyat jelata juga akan marah-marah kalau bus dan kereta api "mogok" lantaran pakai mesin "rongsok". Bisa terlambat masuk kantor.

Orang "katrok" itu sama dengan bodoh menurut istilah Mr Tukul Arwana, tetapi yang bikin sebal sebenarnya orang yang "goblok"nya tidak ketulungan. Orang bodoh biasa dikiaskan dengan otak "jongkok", sama seperti udang yang bentuknya bongkok atau bengkok. Orang yang begini ini biasa disebut bodoh atau "dongok".

Di Jakarta ini kita harus hati-hati karena banyak "perampok". Sedikit saja kita meleng maka harta di tangan lenyap. Itu semua tidak sedap didengar dan yang menjadi korban akan menjadi setres dan kepikiran sampai rambutnya "rontok". Pencuri atau maling yang tertangkap tangan akan di-"keroyok" ramai-ramai sampai kepalanya "bonyok". Tentu saja kita akan merasa ngeri kalau leher rampok itu kena "gorok".

Orang yang disebut biang "kerok" adalah sumber masalah dan karena itu dia tidak suka buka "kedok", sebab mukanya memang sudah mirip burung "belekok" yang suka makan "kodok". Mau ok, ok, dan ok yang lain? Cari sendiri!

Sebenarnya tidak semua kata yang berbunyi "ok ok dan ok" itu selalu memberikan kesan buruk. Ayam jantan berkokok bisa membangunkan kita pada pagi hari. Jorok itu bisa juga positif dalam pengertian darat yang menjorok ke laut. Merokok dapat menyebabkan sakit jantung dan paru-paru, dan janin, tetapi konon memberikan kenikmatan juga bagi perokok.

Yang satu ini lain. Gadis manis cantik rupawan, mulus, molek dan montok. Itu yang saya suka!

Umbu Rey

Penolongan

Saya tidak tahu mengapa bahasa Indonesia tidak mengenal kata berimbuhan PENOLONGAN, padahal dewasa ini banyak sekali bencana yang perlu ditanggulangi dengan PENOLONGAN. Yang biasa kita berikan kalau terjadi musibah adalah PERTOLONGAN, dan dengan itu saja kita menyelamatkan orang dari penderitaan.

KBBI edisi ketiga halaman 1204 mencatat lema TOLONG, dan dari kata itu tercatat pula kata bertolong-tolongan, menolong, tolong-menolong, tertolong, pertolongan, penolong, dan ketolongan. Tidak ada kata PENOLONGAN. Padahal, kalau kita tilik proses pengimbuhan kata maka turunan kata TOLONG itu sebagai berikut:

TOLONG --> MENOLONG--> PENOLONG--> PENOLONGAN--> TOLONGAN

PENOLONG adalah orang yang melakukan pekerjaan menolong, PENOLONGAN adalah cara atau proses menolong, dan TOLONGAN adalah hasil dari proses penolongan.

Pertolongan terjadi karena bertautan dengan kata berawalan "ber". Dari kata TOLONG turun pula kata BERTOLONG-TOLONGAN --> MEMPERTOLONGKAN--> PERTOLONGAN.

Orang-orang yang TERTOLONG adalah yang sudah mendapat PERTOLONGAN. Lalu, siapakah yang memberikan PERTOLONGAN? Terserah, siapa saja boleh, dokter atau pemerintah, dan mereka itu boleh disebut PENOLONG juga. Dengan begitu, kata PETOLONG bolehlah kita sebut orang yang ditolong atau korban musibah.

PERTOLONGAN itu apa? KBBI memberi arti "perbuatan atau sesuatu yang dipakai untuk menolong. Jadi, PERTOLONGAN itu sebenarnya sama saja dengan bantuan. Mungkin berupa makanan atau obat-obatan.

Kalau begitu, PENOLONGAN itu apa? Menurut hemat saya, "usaha atau proses, atau cara untuk menolong. PENOLONGAN itu kita lakukan ketika atau pada saat orang sedang dalam marabahaya, atau ketika bencana itu sedang terjadi.

Contoh: Ketika seorang hanyut terbawa arus banjir yang deras, pada saat itu juga kita melakukan PENOLONGAN dengan cara berenang dan menarik orang yang hanyut itu ke tepi sungai. Jadi, PENOLONGAN adalah sama dengan melakukan "penyelamatan".

PENOLONGAN atau penyelamatan itu kita lakukan lebih dahulu, dan PERTOLONGAN atau bantuan baru datang kemudian. Kita suka atau selalu memberikan PERTOLONGAN tetapi anehnya, kita tidak pernah melakukan PENOLONGAN.

Pantas, setiap kali bencana terjadi, yang menjadi korban selalu tetap menderita sebab kita tidak pernah melakukan PENOLONGAN. Bantuannya baru datang atau diberikan kemudian setelah orangnya sebagian sudah "koit" atau "modar". Jumlah pertolongan atau bantuan pun sudah dikorupsi pula.

Umbu Rey

Kamis, 08 Mei 2008

Monorail dan busway

Hampir saban kali mengadakan diskusi bahasa, anggota FBMM bicara tentang bagaimana mengindonesiakan kata "busway". Sudah telanjur orang mengartikan "busway" itu adalah jenis kendaraan umum yang dapat mengangkut banyak orang lewat jalur khusus.

Orang Jakarta tidak peduli "busway" itu dipungut dari bahasa Inggris yang sesungguhnya berarti "jalur bus" atau "jalan bus". Pokoknya, kalau hendak bepergian keliling kota Jakarta, paling enak memang naik "busway", sebab nyaman dan tidak macet di jalan. Mereka menyebut "busway" menurut caranya sendiri, naik "buswae" sajalah.

Yang lewat di jalur khusus itu hanyalah bus yang bernama TransJakarta milik Pemda DKI sedangkan kendaraan yang lain tidak boleh. Karena itu mestinya kita berkata "naik bus TransJakarta". Naik "busway" tidak masuk akal sebab orang memang tidak bisa naik jalur bus.

Susahnya memang, lidah ini tak bertulang, sulit pula dikendalikan, dan penyebutan nama pun tergantung kebiasaan. Dulu ada bus PATAS, singkatan dari "tempat terbatas". Mungkin karena bus itu banyak, maka untuk membedakan yang satu dengan yang lain orang lalu menyebut namanya bus itu saja. Itu sebabnya orang lebih suka naik patas atau naik metromini.

Teknologi nyaris tidak pernah diciptakan oleh bangsa ini. Kita ini cuma pemakai, dan karena itu tidak bisa menamakan benda ciptaan orang asing itu dengan istilah dalam bahasa Indonesia. Susahnya, menciptakan nama benda pun kita tidak becus, maka motor itu pun jadilah bahasa Indonesia. Soalnya, tidak ada padannya dalam bahasa Indonesia.

Setakat ini kita suka naik motor bikinan Jepang kalau pergi ke kantor. Mengapa harus naik motor? Bukankah motor itu alat atau bagian dari mesin yang menjadi tenaga penggerak (lihat KBBI edisi ketiga halaman 756).

Dahulu kita biasa mengendarai "kereta angin" yakni kendaraan roda dua yang dijalankan dengan mengayuh pedalnya. Tetapi sebutan kereta angin itu pun sekarang lenyap, sebab kita lebih senang bilang naik "sepeda" yang konon dipungut dari bahasa Portugis atau Prancis.

Ketika sepeda itu kemudian digerakkan dengan motor, maka jadilah kendaraan itu bernama "sepeda motor". Supaya singkat orang biasanya menyebut naik "motor" saja, meskipun sebenarnya kita tidak mungkin mengendarai mesin atau motor. "Pagi-pagi berangkat kerja ke kantor/Nebeng-nebeng bonceng teman naik motor...," begitu bunyi syair lagu tahun 1960-an.

Sepeda masih tetap digunakan di kota-kota besar sampai sekarang, kebanyakan digunakan untuk alat olah raga. Jenisnya macam-macam, ada sepeda balap, sepeda gunung, dan ada pula sepeda ontel. Tetapi anehnya, orang yang naik sepeda ontel tidak pernah disebut naik "ontel".

Untunglah sekarang ada istilah lain pengganti "motor" yakni "ojek". Kata "ojek" ini agaknya lebih tepat mewakili nama kendaraan beroda dua itu meskipun harus membayar. Akhirnya, orang di kampung saya sekarang hampir tidak lagi mengucapkan motor. Masalahnya, "ojek" itu bukan cuma motor. Sepeda yang disewa pun disebut ojek sepeda, dan payung yang disewa disebut ojek payung.

Ke mana-mana mereka lebih senang naik ojek meskipun yang dimaksudkannya itu adalah motor milik pribadi juga. Dahulu, orang senang naik honda biarpun yang dikendarainya itu sepeda motor juga. Kalau motor honda itu jenis bebek maka orang lalu berkata "naik bebek".

Demikian juga orang di kampung saya (dahulu) tidak lazim menyebut "mobil" yang berasal dari kata "automobile" . Kendaraan sedan, truk, dan bus itu semuanya disebut "oto". Jadi ada oto sedan, oto bus, dan oto truk. Tetapi di Indonesia bagian barat orang biasa menyebut semua kendaraan itu "mobil". Padahal, manalah mungkin orang naik "oto" atau naik "mobil" kalau bepergian. Bukankah oto dari kata "auto" artinya sendiri, sedangkan mobil dari kata "mobile" berarti bergerak?

Menurut rencana, Pemda DKI Jakarta akan mengadakan alat transportasi lewat bawah tanah yang dalam bahasa Inggris disebut "subway" dan bersamaan dengan itu akan ada pula alat transportasi di atas tanah yang disebut "monorail". Ini kendaraan jenis kereta api juga, tetapi menggunakan rel tunggal di ketinggian lebih kurang lima meter di atas tanah. Apakah nama alat transportasi itu dalam bahasa Indonesia? Nanti kita akan pergi keliling Jakarta naik "monorel".

Perkakas perang buatan orang bule adalah "submarine" dan karena berjalan lebih banyak di bawah permukaan air maka kita menyebutnya "kapal selam". Kereta api yang menggunakan tenaga listrik sudah dikenal dengan "kereta rel listrik" disingkat KRL, maka "subway" itu lebih pantas disebut "kereta bawah tanah" atau KBT.

Karena itu, "monorail" (rel tunggal) bolehlah juga kita sebut " kereta layang", disingkat KL. Kalau mau singkatan yang lain, boleh-boleh saja kita namakan dia "kelayang". Pas kan? Mosok naik monorel.

Umbu Rey

Rabu, 07 Mei 2008

Sela dan joki

"Sela" yang saya maksudkan haruslah dibaca seperti Anda menyebut kata "setan, sewa, atau sewot". SELA pastilah tidak diketahui oleh orang ramai di kota-kota besar seperti Jakarta. SELA yang lain pasti Anda tahu, apalagi yang sesuatu yang ada di sela-sela paha tentulah Anda paham betul maksudnya.

Ketika saya bertanya kepada teman di samping saya mengenai kata SELA itu, dia malah sewot karena tidak mengerti. Soalnya, dia kira saya sedang memaki-maki dengan istilah bahasa daerah saya. Padahal, SELA itu bahasa Indonesia juga. Kalau tidak percaya, bukalah KBBI sekarang juga.

Dulu ketika masih di kampung, saya terbiasa menunggang kuda (jantan). Seorang kuda jantan kesayangan setiap hari saya latih berlari kencang di sawah, melompati pematang, parit, dan sungai. Kadang-kadang saya pacu berlari kencang di atas pasir menyusuri bibir pantai ketika air laut sedang surut. Biasanya memang begitulah cara melatih kuda sebelum masuk ke arena pacuan.

Sebagai penunggang kadang-kadang saya jatuh dari punggung kuda tetapi beruntung tidak pernah fatal. Meskipun begitu, saya belum bisa disebut JOKI sebab kuda peliharaan saya tidak pernah masuk arena pacuan. Beberapa minggu sebelum pacuan kuda diadakan, kuda itu sudah hilang karena dicuri orang. Maklumlah, orang kampung di negeri saya memang kurang cerdas akalnya, tetapi sangat cerdik dalam hal mencuri ternak terutama kuda. Mereka pada umumnya berternak kuda "sandel", yakni sejenis kuda dari hasil silang kuda dari luar (konon kuda Arab) dengan kuda asli.

Kata JOKI di kampung saya sudah biasa diucapkan orang dan dimengerti sebagai seorang yang lihai dalam menunggang dan mengendalikan kuda pancuan. Tetapi ketika saya masuk Jakarta, kata itu sudah bermakna lain pula.

Entah apa korelasinya dengan penunggang kuda, kata JOKI kini dimaknai sebagai orang yang mengerjakan ujian untuk orang lain dengan imbalan uang. Di Jalan MH Thamrin, orang yang duduk di dalam mobil yang melewati jalan "Three in One" disebut juga JOKI. Enak benar dia, sudah naik mobil mewah, dibayar pula.

JOKI biasanya duduk di punggung kuda, dan karena itu kita menyebut joki itu "penunggang" kuda. Orang yang duduk di jok mobil itu bukan joki. Tempat duduk di atas punggung kuda itulah yang disebut SELA. Kata yang bersinonim dengan SELA adalah PELANA. Tetapi, kata PELANA itu justru tak banyak dikenal orang di kampung saya.

Dahulu, orang di kampung saya tak biasa menggunakan SELA, kecuali orang-orang bangsawan. Orang-orang dari golongan biasa naik saja ke punggung kuda tanpa alas apa pun. Tetapi orang perempuan tidak pernah "menuggang" atau naik kuda dengan mengangkangkan kakinya di punggung kuda. Mereka biasanya duduk "menyamping" seperti pada umumnya perempuan naik motor di boncengan. Lagi pula, perempuan naik kuda sambil mengangkang, menurut etika orang di kampung saya, tidak sopan.

SELA itu terbuat dari kulit kerbau atau sapi yang dikeringkan, dan dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi tempat duduk yang nyaman dan tidak pula melecetkan punggung kuda. Di Flores Barat sela itu dibuat dari kayu. Bagian sampingnya diberi tali (seperti ikat pinggang atau sabuk) dan dililitkan dengan kuat melingkari dada kuda agar SELA itu tidak goyah. Lalu, sebuah tali dihubungkan atau dikaitkan ke buntut (pangkal ekor) kuda sebagai penahan.

Ketika ayah saya (almarhum) masih berdinas, kuda itu menjadi kendaraan utamanya, sebab zaman dahulu tidak ada jalan mulus ke kampung atau ke desa-desa. Biasanya jika dia menunggang kuda, sepatunya pun harus khusus. Di belakang tumit sepatunya terdapat PACU atau paku bergerigi. Gunanya untuk menggerakkan kuda supaya berjalan. Jika Anda ingin agar kuda itu berlari, PACU di tumit sepatu itu harus dibentur-benturkan ke badan kuda. Kuda yang terkejut itu pun akan berlari kencang menuruti perintah Anda. Itu sebabnya kuda yang berlari karena "dipacu" disebut "Kuda Pacuan".

Kalau kuda balapan saya tidak tahu!

Umbu Rey

Kintal, testa, dan gergantang

KINTAL yang saya maksudkan bukan "katak yang mengembungkan perutnya". Bukan juga "kintil" yang dalam bahasa Jawa berarti "ikut dalam perjalanan". KBBI menyebut lema KINTAL yang lain merujuk ke KUINTAL yaitu "satuan ukuran berat 100 kilogram".

Orang-orang Indonesia bagian timur mulai dari NTT sampai ke Maluku dan Papua serta Sulawesi Utara saya yakin pastilah mengerti apa yang saya maksudkan dengan kata KINTAL. Di wilayah itu, orang harus memiliki KINTAL lebih dahulu sebelum mendirikan rumah.

KINTAL adalah istilah untuk sebidang tanah yang ukurannya sudah tetap. Tanah itu biasanya dipagari sekelilingnya supaya tertentu batas-batasnya dengan milik orang lain di sekitarnya. Jikalau kintal itu sudah dipagari, orang lain yang tidak berhak secara otomatis dilarang masuk dan bahkan kambing atau hewam lain pun tidak boleh berkeliaran di situ. Pemiliknya akan marah-marah bahkan berang sekali kalau sampai ada orang atau ternak yang masuk ke situ.

"Hei, kalau maso orang pung kintal, bilang permisi dolu!" begitu kata orang Kupang.

Setakat ini KINTAL itu sudah disamakan saja dengan atau bersinonim dengan kata "pekarangan, atau halaman rumah". Tetapi, di Indonesia timur, kata KINTAL itu tampaknya lebih banyak digunakan orang daripada "pekarangan" .

KINTAL sesungguhnya bukan berasal dari bahasa daerah tertentu di wilayah Indonesia Timur, mungkin sekali berasal dari bahasa Portugis lantaran wilayah Indonesia bagian timur lebih banyak dikuasai oleh penjajah itu sebelum Belanda menguasai Nusantara.

Ada kata lain dari bahasa Portugis yang di wilayah Indonesia barat sama sekali tidak dikenal tetapi lazim digunakan sehari-hari oleh orang-orang Indonesia di wilayah timur. Orang Timor tidak biasa atau bahkan tidak mengenal DAHI atau KENING untuk menyebut bagian wajah manusia sebelah depan yang terletak di bawah rambut atau di atas mata. Mereka menyebut TESTA sebagai pengganti kata "dahi atau kening". (Suku kata "te" pada TESTA harus diucapkan seperti "tes").

Dalam KBBI, kata TESTA itu adalah istilah biologi yaitu selaput yang melindungi embrio tumbuhan berbiji dan berfungsi sebagai kulit biji.

Di Indonesia Timur, Anda jangan sampai mengatakan "TENGGOROK" atau TENGGOROKAN untuk menyebut mulut bagian dalam tempat saluran makanan masuk ke perut, sebab pada umumnya kata itu tidak terlalu dipahami orang awam. Meskipun di rumah-rumah sakit telah terpampang istilah THT yaitu Telinga, Hidung dan Tenggorokan, mereka tetap saja menyebut GERGANTANG atau GARGANTANG untuk istilah "tenggorok".

Orang Timor suka bilang," Jang pe'e lu pung gargantang!" Maksudnya jangan ribut atau jangan banyak omong. Diam.

Umbu Rey

Daripada mungkin

Dulu, kuping kita seperti terkena virus alergi setiap kali Presiden Republik Indonesia Pak Harto mulai angkat bicara dengan bahasa lisan. Kita anggap Pak Harto tidak pernah becus bicara tanpa teks sehingga kuping terasa gatal. Kita suka bilang dia bicara tidak nalar lantaran kebiasaannya omong DARIPDA. Bayangkan, setiap kali bicara hampir pasti kata DARIPADA terlontar keluar dari mulutnya.

Sebenarnya kebiasaan daripada Pak Harto untuk mengucapkan daripada kata DARIPADA itu (Nah, kan? Jadi latah juga aku) adalah sebagai pengisi jeda antarkata sebelum dia melanjutkan kata berikutnya. Sama seperti orang lain biasa mengucapkan bunyi "ehmm" atau "a..." atau "apa namanya..amm apa namanya..." sebelum dia melanjutkan kata berikutnya.

DARIPADA adalah kata depan yang digunakan untuk menandai perbandingan. Misalnya, buku ini lebih bagus DARIPADA buku itu (KBBI edisi ketiga hal 238). Atau, DARIPADA hidup berputih mata lebih baik mati berkalang tanah.

Kebiasaan Pak Harto atau siapa pun pejabat pada zaman Orba yang menggunakan kata DARIPADA sebenarnya tidaklah terlalu salah sebab kata itu tidak selalu diucapkan sebagai kata penanda jeda antarkata. Sepengetahun saya, DARIPADA itu benar adanya jika kita ucapkan seperti "buku ini milik DARIPADA saya".

Dalam suatu karangan atau roman yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah pada zaman dulu sangat lazim orang berkata "Singkirkan buku-buku itu DARIPADA meja". Jadi, pada hemat saya, kebiasaan Pak Harto mengucapkan kata DARIPADA itu agaknya merupakan "bawaan" atau kebiasaan mengucapkan kata itu dalam tata bahasa Melayu rendah pada zaman dia bersekolah dahulu.

Bahasa lisan yang diucapkan pada zaman saiki meskipun pesat perkembangannya sebenarnya tidak lebih baik daripada bahasa lisan zaman Pak Harto. Coba perhatikan kata MUNGKIN. Pada setiap seminar, diskusi, atau acara dialog di layar televisi, si pewara atau peserta diskusi hampir pasti memulai kalimatnya dengan kata MUNGKIN.

"MUNGKIN pertanyaan saya berikan kepada ...dst." Maka si pembicara yang dituju akan memulai kalimatnya, "Sebelum saya menjawab pertanyaan Ibu, MUNGKIN saya menjelaskan dulu sejarah atau kronologi dari peristiwa itu...dst." Padahal pertanyaan yang dia ajukan itu sudah pasti, dan bukan kemugkinan.

Mengapa si pewara itu tidak langsung saja berkata "Pertanyaan pertama saya ajukan kepada Bapak...dst". Dan, peserta diskusi itu seharusnya menjawab," Saya jelaskan lebih dahulu kronologis peristiwa itu..dst." MUNGKIN artinya "tidak atau belum tentu". Kata itu bersinonim dengan "barangkali, atau boleh jadi". (Lihat KBBI edisi ketiga hal. 764).

Mengapa pewara suka menyebut "mungkin", seakan-akan di dalam dirinya itu tak pernah ada kepastian? Dia bimbang dan ragu dan karena itu dia mengucap kata "muingkin. Pertanyaan yang diajukannya itu seakan-akan juga tidak pasti ditujukan kepada peserta padahal sudah nyata siapa yang dia tuju.

Kenapa harus mungkin? Mungkinkah, mungkin, mungkinkah.. ..Akh, tidak ada kepastian. Jadi lebih baik Pak Harto bekata DARIPADA. Iya, daripada pewara di layar televisi itu menyebut MUNGKIN lebih baik Pak Harto bilang DARIPADA.

Kata orang, daripada daripada lebih baik daripada.

Umbu Rey

Khawatir vs Kawatir

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memang sudah merekam kata KHAWATIR sebagai kata yang dianggap sah menurut konsensus umum, tetapi saya belum mau mengakui bahwa kata itulah yang baku. Orang ramai justru lebih suka menyebut kata yang diserap dari bahasa Arab itu KUATIR dalam percakapan sehari-hari.

Sebuah kata yang tercatat dalam KBBI belum tentu benar menurut tata bahasa baku. KAWATIR mungkin tidak lazim diucapkan, tetapi menurut hemat saya, kata itu agaknya lebih tepat digunakan baik dalam ucapan maupun dalam tulisan karena pertimbangan "mudah dibaca dan hemat aksara". Di samping itu, KAWATIR akan dapat langsung beradaptasi dengan tata bahasa Indonesia sebab huruf pertama "K" akan luluh jika mendapat awalan "me-".

Bibir orang Indonesia tentu lebih enak menyebut MENGAWATIRKAN daripada MENGKHAWATIRKAN sebab huruf "H" dalam kasus ini memang tak diucapkan atau tidak berbunyi. Menurut pengamata saya, orang awam justru lebih suka menyebut MENGUATIRKAN. Lagi pula, sulit rasanya kita mengucapkan KH, dan kalau dipaksa-paksa akan sangat terasa sekali bahwa kita bukan lagi orang Indonesia tetapi sudah kearab-araban.

Dalam bahasa Indonesia konsonan rangkap (terutama pada awal kata) sebenarnya tidak dikenal sebab lazimnya setiap huruf mati selalu diikuti dengan satu huruf hidup (vokal) supaya dapat berbunyi. Contoh: ba bi bu be bo, kecuali "ny" (nyanyi) dan "ng" (nganga).

Sebuah kata dari bahasa Jawa -misalnya- yang huruf awalnya berkonsonan rangkap biasanya diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan menyelipkan huruf hidup (vokal) "e" lemah (pepet) supaya bisa terbaca. Contoh: BLUDAK diserap menjadi BELUDAK, yang sejenis ular, dan juga berarti meluap karena terlalu penuh. Demikian juga TRAMPIL kita serap ke dalam bahasa Indonesia menajdi TERAMPIL.

Tetapi itu teori kuno. Itu dulu begitu, kata guru saya di kampung. Sekarang ini bahasa Indonesia sudah diperkaya dengan berbagai kata asing. Maka itu lidah dan bibir orang Indonesia terpaksa harus dilentur-lenturkan supaya dapat mengucapkan kata itu menuruti kata aslinya. Itu sebabnya kata PRACTICE (bahasa Inggris) kita serap menjadi PRAKTIK dan kita tidak mau lagi bilang PERAKTIK.

Akhirnya kata dari bahasa Sansekerta pun keturutan. Dulu kita menyebut ISTERI tetapi sekarang kita harus bilang ISTRI. Begitu juga PUTERA dan PUTERI sekarang haruslah kita bilang PUTRA dan PUTRI. Begitu seterusnya.

Menurut EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) pemakaian konsonon rangkap seperti DL, DH, TH, TS, SH, GH, dan DZ tidak lagi berlaku. Karena itu kata yang dieserap dari bahasa Arab berikut tidak lagi ditulis sesuai dengan aslinya. Contoh: bathin --> batin, tha'at --> taat, shabar --> sabar, shalat --> salat, hadlir --> hadir, mubaligh --> mubalig, khushus --> khusus, adzan --> azan, dst.

Karena ketentuan EYD itulah maka saya menggugat kata KHAWATIR. Jikalau kita berani mengubah KHABAR menjadi KABAR, KHARISMA menjadi KARISMA, KHAUL menjadi HAUL, SHABAR menjadi SABAR, SHALAT menjadi SALAT, dan TEKHNIK menjadi TEKNIK mengapa kita tidak berani juga bilang KAWATIR. Kalau menyebut KUATIR boleh jugalah. Itu lebih bagus.

Dari kata KAWATIR turun kata "mengawatirkan" dan "kekawatiran" atau kekuatiran. Enak dibaca atau diucapkan dan hemat pula ditulis. Pas sekali, bukan? Kata KHAWATIR jika diberi imbuhan "me(ng)-kan" akan turun kata MENGKHAWATIRKAN. Perhatikan, awalan "me(ng)" tidak kuasa meluluhkan konsonan rangkap "kh". Kata itu susah kita ucapkan dan boros pula.

Umbu Rey

Jumat, 02 Mei 2008

Loe Bisa ke Sorga Only by Hokie

(diambil dari milis Mediacare)

Hampir semua agama sebenarnya secara langsung atau tidak langsung telah mengakui bahwa orang masuk sorga itu bukannya berdasarkan pahala, kelakuan baik atau apa pun namanya melainkan hanya berdasarkan “Hokie” ato dalam bahasa Londonya “Pure Luck”.

Sebelum dilahirkan, setiap manusia sudah ditentukan terlebih dahulu apakah ia akan jadi pemeran Wong Ireng ato Wong Putih, apakah ia akan menjadi Warga Negara (WN) Sorga ataukah WN Neraka! Kalho hokie loe gede, otomatis loe terpilih jadi calon WN Surgawi.

Kita manusia dilahirkan sebenarnya mirip seperti pemain sandiwara. Kita boleh akting di panggung selama beberapa puluh tahun setelah itu kudu masuk kotak lagi (baca: liang lahad), sedangkan “story board” ato jalan ceritanya sudah ditulis sebelumnya oleh Sang Dalang Agung seperti dalam film sinetron begitu.

Di pelem mana pun juga selalu ada pemeran wong jahat dan wong baik. Untuk mengetahui peran apa yang kudu loe mainkan? Ini bisa dilihat sendiri dari jalan hidup loe di masa lampau sampai sekarang. Dalam bahasa kaum agamis “story board” kita ini disebut suratan hidup atau takdir.

Anda langsung lari terbirit-birit apabila mendengar bunyi azan. Tidak pernah lupa berdoa, berkali-kali sehari, bahkan iklhas menderita sebulan penuh pada saat bulan puasa, tetapi tanyalah sama diri sendiri untuk apa semuanya ini??? Toh nasib hidup anda telah ditentukan sebelumnya.

Ayat tersebut di bawah ini membuktikan bahwa jalan hidup anda dari awal sampai dengan akhir telah dipateri di dalam kitab kehidupan (story board) yang telah ditulis oleh Sang Dalang Agung! Kalho nasib loe baik ato banyak hokie, pasti loe masuk sorga, tapi kalho lhoe apes, ya wis n’rimo azah untuk dipanggang jadi sate di api neraka. Dan jangan harap loe bisa merobahnya entah itu melalui doa ato melalui puasa.

Maklumlah, Allah itu tidak mengenal Tip-ex ato karet penghapus. Lagipula Allah itu benar adanya; jadi Dia tidak pernah membuat kesalahan, sehingga apa yang telah ditetapkan oleh-Nya kekal adanya dan berlaku terus, tanpa ada satu manusia pun yang akan bisa mengoreksinya atau pun menambahkan dengan titik atau koma lagi. Amin

"Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya" [Al-Furqaan: 2]. "Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah" [Al-Hajj: 70]. "Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" [As-Safat: 96].

Apakah umat Kristen beda? Tidak, mereka juga percaya akan adanya takdir, yang dalam bahasa Latin disebut “Praedestinatio” dan dalam bahasa Indonesia disebut Predestinasi. (Pre = sebelumnya, dan Destinasi = tujuan). Jadi tujuan hidup loe itu telah ditentukan sebelumnya apakah ke arah Sorga ato ke Neraka!

Ajaran atau kepercayaan ini telah dikenal dan diketahui ratusan tahun sebelumnya oleh Santo Agustinus dari Hipo (354 – 430). Kepercayaan ini bukan hanya sekadar dianut oleh umat Katolik saja melainkan juga oleh mbahnya umat Protestan, Yohannes Calvin. Ajaran Calvin ini lebih dikenal dengan ajaran predestinasi ganda, sebab hanya ada dua pilihan saja Black Or White seperti juga lagunya si Mikel Jekson.

Dan, yang menentukan semuanya ini adalah Sang Dalang Agung jadi bukannya loe. Loe boleh saja dicuci dan dibilas (dipermandikan) ratusan kali, tapi kalho kulitLoe udah dari sononya ireng tetap azah ireng. Begitu juga dengan takdir, kalho udah ditakdirkan Go To Hell jangan harap loe bisa jadi putih lagi. Di dunia kita kenal dengan sistem aturan pemutihan tetapi di sorga itu ora ono, Mas!

Ah, mosok sih manusia sudah ditakdirkan sebelumnya masuk neraka? Kagak percaya lihat tuh si Yudas. Ratusan tahun sebelumnya ia dilahirkan ia telah ditakdirkan (predestinasi), bakalan dipilih jadi lurah di Neraka. Dari awal mula ia telah diberi peran sebagai sang penghianat. Dia memainkan perannya sedemikian hebatnya; sampai Mell Gibson azah mencoba ingin mengulangnya lagi dalam filmnya The Passion.

Itu adalah salah satu contoh pemeran takdir terbaik sepanjang masa yang bisa dijadikan panutan bagi semua umat Kristen. Ialah nerimo azah peran yang telah diberikan oleh Sang Dalang kepada kita.

Kagak percaya? Buka tuh Alkitab: Yoh 17:12. Dia yang telah ditentukan (ditakdirkan) untuk binasa, supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci. Tuhan Yesus sendiri mengetahui peran yang harus dimainkan oleh Yudas, sehingga Ia tidak menghalanginya, bahkan menganjurkannya: “Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera!" (Yoh 13:27).

Maka dari itu kalho loe udah disuruh memainkan peran sebagai koruptor, lakukanlah terus, sebab percuma azah loe tobat juga, udah kepalang basah dan kotor. Maklum udah dari sononya loe ditakdirkan jadi koruptor. Begitu juga dengan mang Ucup yang sudah dari sononya ditakdirkan jadi "jai-hwa-cat" atau si pemetik daun muda, percuma robah juga.

Lebih baik nikmatilah hidup ini sesuai dengan takdir yang telah ditentukan. Lupakan segala macam ajaran agama, rumah ibadah atau segala macam pantangan. Minum dan maboklah setiap hari, makanlah makanan haram seabreg-abgreg, sebab daging babi itu enak lho. Kagak percaya, try it!

Kebalikannya mereka yang termasuk wong hokie sudah tercantum juga dalam Alkitab: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara (Roma 8:29).

Terjemahan dalam bahasa Londonya: “For whom He foreknew, He also predestined [to be] conformed to the image of His Son, that He might be the firstborn among many brethren. (Roma 8:29 NKJV).

Dalam agama Buddha, takdir ini disebut “Kamma” atau Karma. Kalho karma loe udah buruk jangan harap loe bisa ubah lagi di dalam kehidupan sekarang ini. Orang Tionghoa menyebut predestinasi atau takdir ini dengan kata “Yuanfen”.

Jadi tidaklah salah apa yang mang Ucup tulis ini: “Loe bisa masuk sorga bukannya - By Grace but By Hokie !”

Mang Ucup – The Drunken Priest
Email: mang.ucup@gmail.comHomepage: http://www.mangucup.net/