Kamis, 08 Mei 2008

Monorail dan busway

Hampir saban kali mengadakan diskusi bahasa, anggota FBMM bicara tentang bagaimana mengindonesiakan kata "busway". Sudah telanjur orang mengartikan "busway" itu adalah jenis kendaraan umum yang dapat mengangkut banyak orang lewat jalur khusus.

Orang Jakarta tidak peduli "busway" itu dipungut dari bahasa Inggris yang sesungguhnya berarti "jalur bus" atau "jalan bus". Pokoknya, kalau hendak bepergian keliling kota Jakarta, paling enak memang naik "busway", sebab nyaman dan tidak macet di jalan. Mereka menyebut "busway" menurut caranya sendiri, naik "buswae" sajalah.

Yang lewat di jalur khusus itu hanyalah bus yang bernama TransJakarta milik Pemda DKI sedangkan kendaraan yang lain tidak boleh. Karena itu mestinya kita berkata "naik bus TransJakarta". Naik "busway" tidak masuk akal sebab orang memang tidak bisa naik jalur bus.

Susahnya memang, lidah ini tak bertulang, sulit pula dikendalikan, dan penyebutan nama pun tergantung kebiasaan. Dulu ada bus PATAS, singkatan dari "tempat terbatas". Mungkin karena bus itu banyak, maka untuk membedakan yang satu dengan yang lain orang lalu menyebut namanya bus itu saja. Itu sebabnya orang lebih suka naik patas atau naik metromini.

Teknologi nyaris tidak pernah diciptakan oleh bangsa ini. Kita ini cuma pemakai, dan karena itu tidak bisa menamakan benda ciptaan orang asing itu dengan istilah dalam bahasa Indonesia. Susahnya, menciptakan nama benda pun kita tidak becus, maka motor itu pun jadilah bahasa Indonesia. Soalnya, tidak ada padannya dalam bahasa Indonesia.

Setakat ini kita suka naik motor bikinan Jepang kalau pergi ke kantor. Mengapa harus naik motor? Bukankah motor itu alat atau bagian dari mesin yang menjadi tenaga penggerak (lihat KBBI edisi ketiga halaman 756).

Dahulu kita biasa mengendarai "kereta angin" yakni kendaraan roda dua yang dijalankan dengan mengayuh pedalnya. Tetapi sebutan kereta angin itu pun sekarang lenyap, sebab kita lebih senang bilang naik "sepeda" yang konon dipungut dari bahasa Portugis atau Prancis.

Ketika sepeda itu kemudian digerakkan dengan motor, maka jadilah kendaraan itu bernama "sepeda motor". Supaya singkat orang biasanya menyebut naik "motor" saja, meskipun sebenarnya kita tidak mungkin mengendarai mesin atau motor. "Pagi-pagi berangkat kerja ke kantor/Nebeng-nebeng bonceng teman naik motor...," begitu bunyi syair lagu tahun 1960-an.

Sepeda masih tetap digunakan di kota-kota besar sampai sekarang, kebanyakan digunakan untuk alat olah raga. Jenisnya macam-macam, ada sepeda balap, sepeda gunung, dan ada pula sepeda ontel. Tetapi anehnya, orang yang naik sepeda ontel tidak pernah disebut naik "ontel".

Untunglah sekarang ada istilah lain pengganti "motor" yakni "ojek". Kata "ojek" ini agaknya lebih tepat mewakili nama kendaraan beroda dua itu meskipun harus membayar. Akhirnya, orang di kampung saya sekarang hampir tidak lagi mengucapkan motor. Masalahnya, "ojek" itu bukan cuma motor. Sepeda yang disewa pun disebut ojek sepeda, dan payung yang disewa disebut ojek payung.

Ke mana-mana mereka lebih senang naik ojek meskipun yang dimaksudkannya itu adalah motor milik pribadi juga. Dahulu, orang senang naik honda biarpun yang dikendarainya itu sepeda motor juga. Kalau motor honda itu jenis bebek maka orang lalu berkata "naik bebek".

Demikian juga orang di kampung saya (dahulu) tidak lazim menyebut "mobil" yang berasal dari kata "automobile" . Kendaraan sedan, truk, dan bus itu semuanya disebut "oto". Jadi ada oto sedan, oto bus, dan oto truk. Tetapi di Indonesia bagian barat orang biasa menyebut semua kendaraan itu "mobil". Padahal, manalah mungkin orang naik "oto" atau naik "mobil" kalau bepergian. Bukankah oto dari kata "auto" artinya sendiri, sedangkan mobil dari kata "mobile" berarti bergerak?

Menurut rencana, Pemda DKI Jakarta akan mengadakan alat transportasi lewat bawah tanah yang dalam bahasa Inggris disebut "subway" dan bersamaan dengan itu akan ada pula alat transportasi di atas tanah yang disebut "monorail". Ini kendaraan jenis kereta api juga, tetapi menggunakan rel tunggal di ketinggian lebih kurang lima meter di atas tanah. Apakah nama alat transportasi itu dalam bahasa Indonesia? Nanti kita akan pergi keliling Jakarta naik "monorel".

Perkakas perang buatan orang bule adalah "submarine" dan karena berjalan lebih banyak di bawah permukaan air maka kita menyebutnya "kapal selam". Kereta api yang menggunakan tenaga listrik sudah dikenal dengan "kereta rel listrik" disingkat KRL, maka "subway" itu lebih pantas disebut "kereta bawah tanah" atau KBT.

Karena itu, "monorail" (rel tunggal) bolehlah juga kita sebut " kereta layang", disingkat KL. Kalau mau singkatan yang lain, boleh-boleh saja kita namakan dia "kelayang". Pas kan? Mosok naik monorel.

Umbu Rey

Tidak ada komentar: