Siapa berani membendung arus kata asing ke bahasa Indonesia akan digulung oleh gelombang kata itu. Ketika di Nangroe Aceh dibolehkan menggunakan peraturan menurut Syariat Islam setelah dilanda tsunami, masyarakat pun seakan-akan tergulung lagi oleh gelombang bahasa Arab. Semua instansi mesti pakai bahasa Arab.
Sialnya, kata istilah dari bahasa Arab itu enggan rasanya diindonesiakan. Orang tidak mau lagi menerjemahkannya, atau mencari padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Kata dari bahasa Arab pun ditelan mentah-mentah, dan muncullah "qanun".
Itu kata tampaknya haram pula hukumnya jika diserap dengan menggunakan huruf "k". Jangan sampai kita gunakan "kanun", nanti kualat. Padahal, yang dimaksud dengan "qanun" ternyata tidak lain dari "peraturan daerah" yang disingkat dengan "perda".
Orang Indonesia yang sekuler pun tak mau kalah. Diserapnya kata-kata Inggris tanpa permisi pada Pusat Bahasa. Hei, Pusat Bahasa itu apa'an? Begitu kata mereka. Suka-suka gue dong mau bilang apa. Kalau kita hendak memohon agar diputarkan sebuah lagu ke salah satu radio atau televisi, jangan sampai bilang "minta lagu". Itu kuno. Kita harus bilang "rikues" barulah penyiarnya mengerti.
Dengarkan juga kata-kata penyiar radio dangdut pada tengah malam. Ketika pendengar sudah meminta lagu sebuah lagu, penyiarnya akan bertanya, "Ronda-ronda ke mana ni?. Rupanya yang dia maksudkan dengan "ronda-ronda" itu adalah "kirim lagu ke mana dan kepada siapa?
Lantas, "rikues" itu apa? Setelah saya membolak-balik kamus Inggris bikinan Hassan Shadily ternyata "rikues" itu artinya "minta". Kata Inggris ini aslinya adalah "request" tetapi orang sekularis Indonesia menyerap begitu saja menuruti ucapan lidah dan bibirnya sesuka hati. Maka jadilah "rikues".
Di kalangan pendengar dan penyiar radio, "rikues" agaknya tidak bisa disejajarkan atau diganti dengan perkataan "minta". Itu kata bukan cuma dianggap keren, malah lebih agung dan mulia daripada "minta", sebab sesuatu yang kita kehendaki tidak usah pakai uang.
Karena itu, "rikues" tidak pernah digunakan di toko-toko kelontong di Pasar Senen atau di mal-mal mewah. Tidak laku, karena barang-barang yang dipajang di situ tidak boleh kita bilang rikues. Harus bayar pakai uang dulu baru barang dibawa pulang.
"Minta" itu lebih rendah derajatnya di bawah "rekues". Dia hanya digunakan oleh pengemis pinggir jalan atau di dalam kereta rel listrik kelas ekonomi, karena berhubungan dengan uang receh. Yang menggunakan kata "minta" itu cuma pengemis, atau paling umum digunakan di dalam keluarga atau dengan teman sejawat. Di restoran waralaba Anda tidak mungkin berkata, "Pak, rikues jus satu gelas!"
Para wartawan dan pejabat sekarang agaknya enggan menggunakan "minta". Dalam pemberitaan biasanya mereka pakai kata yang derajatnya dianggap agak lebih tinggi, yakni "mohon" atau "imbau".
Coba perhatikan pendeta, pastor atau ustaz yang mengangkat doa di pesta-pesta perkawinan atau pada acara ritual memperingati hari besar keagamaan. Hampir tidak ada yang pakai kata "minta pada Tuhan". Mereka mesti pakai kata "mohon kedua mempelai diberi rezeki dan kebahagiaan dunia dan akhirat". Orang tua mempelai pun kalau mengundang tidak pernah "minta" kehadiran kita. Pastilah mereka pakai kata "mohon doa restu".
Tetapi pada kenyataannya, Tuhan banyak kali tidak mengabulkan permintaan mereka. Artis-artis di kota besar dan orang kampung di pelosok udik perdesaan malah mendapat hadiah perceraian setelah mengucapkan janji setia dan mohon doa. Karena apa? Mungkin sekali salah penggunaan kata.
Karena itu kalau Anda berdoa, gunakanlah kata yang derajatnya lebih tinggi: "Ya Tuhan, kami rikues kepada-Mu, kabulkanlah permohonan kami dan berikanlah kami otak yang cerdas, hati yang bijaksana, supaya kami dapat mengikuti qanun yang telah ditetapkan!"
Begitu. Campur-campur saja bahasa Arab dan Inggris. Mudah-mudahan Tuhan tidak bingung.
Umbu Rey
Selasa, 13 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar