Rabu, 07 Mei 2008

Daripada mungkin

Dulu, kuping kita seperti terkena virus alergi setiap kali Presiden Republik Indonesia Pak Harto mulai angkat bicara dengan bahasa lisan. Kita anggap Pak Harto tidak pernah becus bicara tanpa teks sehingga kuping terasa gatal. Kita suka bilang dia bicara tidak nalar lantaran kebiasaannya omong DARIPDA. Bayangkan, setiap kali bicara hampir pasti kata DARIPADA terlontar keluar dari mulutnya.

Sebenarnya kebiasaan daripada Pak Harto untuk mengucapkan daripada kata DARIPADA itu (Nah, kan? Jadi latah juga aku) adalah sebagai pengisi jeda antarkata sebelum dia melanjutkan kata berikutnya. Sama seperti orang lain biasa mengucapkan bunyi "ehmm" atau "a..." atau "apa namanya..amm apa namanya..." sebelum dia melanjutkan kata berikutnya.

DARIPADA adalah kata depan yang digunakan untuk menandai perbandingan. Misalnya, buku ini lebih bagus DARIPADA buku itu (KBBI edisi ketiga hal 238). Atau, DARIPADA hidup berputih mata lebih baik mati berkalang tanah.

Kebiasaan Pak Harto atau siapa pun pejabat pada zaman Orba yang menggunakan kata DARIPADA sebenarnya tidaklah terlalu salah sebab kata itu tidak selalu diucapkan sebagai kata penanda jeda antarkata. Sepengetahun saya, DARIPADA itu benar adanya jika kita ucapkan seperti "buku ini milik DARIPADA saya".

Dalam suatu karangan atau roman yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah pada zaman dulu sangat lazim orang berkata "Singkirkan buku-buku itu DARIPADA meja". Jadi, pada hemat saya, kebiasaan Pak Harto mengucapkan kata DARIPADA itu agaknya merupakan "bawaan" atau kebiasaan mengucapkan kata itu dalam tata bahasa Melayu rendah pada zaman dia bersekolah dahulu.

Bahasa lisan yang diucapkan pada zaman saiki meskipun pesat perkembangannya sebenarnya tidak lebih baik daripada bahasa lisan zaman Pak Harto. Coba perhatikan kata MUNGKIN. Pada setiap seminar, diskusi, atau acara dialog di layar televisi, si pewara atau peserta diskusi hampir pasti memulai kalimatnya dengan kata MUNGKIN.

"MUNGKIN pertanyaan saya berikan kepada ...dst." Maka si pembicara yang dituju akan memulai kalimatnya, "Sebelum saya menjawab pertanyaan Ibu, MUNGKIN saya menjelaskan dulu sejarah atau kronologi dari peristiwa itu...dst." Padahal pertanyaan yang dia ajukan itu sudah pasti, dan bukan kemugkinan.

Mengapa si pewara itu tidak langsung saja berkata "Pertanyaan pertama saya ajukan kepada Bapak...dst". Dan, peserta diskusi itu seharusnya menjawab," Saya jelaskan lebih dahulu kronologis peristiwa itu..dst." MUNGKIN artinya "tidak atau belum tentu". Kata itu bersinonim dengan "barangkali, atau boleh jadi". (Lihat KBBI edisi ketiga hal. 764).

Mengapa pewara suka menyebut "mungkin", seakan-akan di dalam dirinya itu tak pernah ada kepastian? Dia bimbang dan ragu dan karena itu dia mengucap kata "muingkin. Pertanyaan yang diajukannya itu seakan-akan juga tidak pasti ditujukan kepada peserta padahal sudah nyata siapa yang dia tuju.

Kenapa harus mungkin? Mungkinkah, mungkin, mungkinkah.. ..Akh, tidak ada kepastian. Jadi lebih baik Pak Harto bekata DARIPADA. Iya, daripada pewara di layar televisi itu menyebut MUNGKIN lebih baik Pak Harto bilang DARIPADA.

Kata orang, daripada daripada lebih baik daripada.

Umbu Rey

Tidak ada komentar: