Seorang pendeta bernama Andar Ismail bercerita tentang
Republik Suap di negeri Yahuda berdasarkan kisah Alkitab. Cerita di negeri itu ditulisnya secara singkat dalam buku
kecil seri Selamat Berkarunia. Asyik betul saya menyimak cerita itu lantaran
praktik suap rupanya sudah berlangsung ribuan tahun sebelum Masehi.
Syhadan, dia bilang di dalam itu negeri hakim dapat disuap,
pembesar memberikan putusan sekehendaknya, dan hukum mereka putar balikkan.
Semua urusan harus pakai suap. Ironisnya, yang kasih suap dan yang menerima
suap adalah orang-orang yang beragama semuanya. Ternyata praktik suap menyuap
dan sogok-menyogok memang sudah terbiasa dilakukan oleh orang yang beragama.
Orang-orang beragama itu amatlah saleh bertakwa dan khusuk sekali
berdoa (kelihatannya begitu), tak pernah lupa melakukan ritual sembahyang ke
sinagoga pada saatnya. Jumlahnya begitu banyak sampai luber ke pekarangan rumah
ibadah karena terlalu penuh. Maka itu berkatalah sang pengkhotbah dengan
bangga, “Negara kita ini adalah negara yang paling beragama!”
Cerita suap di negeri Yahuda itu mirip betul dengan praktik korupsi
di negara Republik Indonesia
sekarang ini. Saking maraknya korupsi dipraktikkan kelewat batas, maka penilaian
internasional sampai menempatkan RI pada peringkat nomor wahid di antara
negara-negara paling korup di Asia Tenggara, dan yang keempat di dunia.
Tetapi, pendeta yang cerdas ini mengatakan keliru kalau
negara kita ditempatkan di peringkat paling atas dalam daftar negara-negara
paling korup di dunia. Itu mungkin cuma salah ucap atau salah cetak saja.
Barangkali yang dimaksud adalah bahwa negara RI termasuk peringkat “negara yang
paling beragama”. Ya, paling beragama.
Suap-menyuap sesungguhnya bagian dari praktik korupsi juga,
yakni penyelewengan atau penyalahguaan uang negara (perusahaan, organisasi,
yayasan, dsb) untuk kepentingan sendiri atau orang lain. Begitulah kata Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kalau demikian, apalah bedanya Republik Suap dan Republik Indonesia? Rakyat di kedua negara itu
toh sama-sama beragama dan melakukan praktik suap juga.
Karena beragama, maka semua kegiatan yang berhubungan dengan urusan kenegaraan
harus dijalankan dengan ritual agama atau dengan melibatkan Tuhan. Para menteri dan pejabat tinggi kalau dilantik Presiden haruslah
mereka bersumpah atau mengangkat sumpah lebih dahulu demi Allah. Presiden pun
harus bersumpah demi Allah. Demikian juga halnya dengan anggota DPR dan para
hakim harus “disumpah” dahulu sebelum menjalankan tugas mulia yang dibebankan
kepadanya. Orang yang menjadi saksi di pengadilan negeri pun harus mengangkat
sumpah. Demi tuhannya juga.
Setelah habis bersumpah atau mengangkat sumpah? Terserah dia…,
suka-suka dialah! Setelah itu, kabar yang terdengar adalah Presiden diisukan
terlibat kasus Bank Century, anggota DPR-RI melalui Banggar (Badan Anggaran)
terima uang suap dan menjadi kaya raya, dan sebagian sudah dihukum penjara. Dan,
apalagi hakim dan jaksa yang makan uang sudah dijebloskan juga ke dalam
penjara. Apakah ini hanya akal-akalan supaya dunia luar mendengar, tak tahulah
kita, sebab nyatanya si terpidana hanya sebentar saja di penjara. Mereka bebas
lagi karena bantuan HAM dan remisi. Tetapi, dana hasil korupsi sudah menumpuk abadi
di rekening pribadi.
Di negara paling beragama ini setiap anggota masyarakat tidak
boleh tidak harus mempunyai agama. Paling sedikit di dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) harus tertera
agama apa yang dia anut (meskipun mungkin cuma bohong-bohongan saja). Siapa
tahu kelak jika menjadi pejabat atau kalau diperlukan menjadi saksi di
pengadilan maka yang bersangkutan harus pula bersumpah demi tuhannya.
Jikalau pejabat dilantik tanpa sumpah dan orang bersaksi di
pengadilan tanpa sumpah demi tuhannya maka jabatannya atau kesaksiannya itu
tidaklah sah. Tetapi, pengakuan di bawah sumpah walaupun diucapkan sebagai bohong-bohongan
saja tetaplah resmi dan diakui negara. Siapa yang tahu bahwa orang yang
mengucapkan sumpah jabatan itu serius dan jujur?
Sesungguhnya sumpah itu hanya sebuah pernyataan keteguhan
hati atau kebulatan tekad seorang pejabat untuk mewujudkan sesuatu yang akan
dikerjakannya kelak. Susahnya, kalau sumpah dicampuri dengan ritual agama dan
atau melibatkan tuhan di dalamnya, maka sumpah itu patutlah dicurigai sebagai
sumpah palsu. Demi Allah saya bersumpah, padahal demi kepentingaan
dia sendiri.
Dulu, waktu zaman ORBA, ada tersedia lima agama yang diakui negara dan satu
Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang terakhir ini terkenal mengajari
pemirsa teve RI dengan istilah “eling”. Pokoknya eling sajalah. Ketika
kekuasaan Pak Harto runtuh maka “eling” pun lenyaplah sudah. Koruptor mana ada
yang eling, karena itu korupsi semakin merajalela di segala bidang kehidupan.
Gus Dur waktu naik takhta kepresidenan RI pada akhir abad 20
langsung bikin gebrakan untuk memberantas korupsi. Agama sebagai keyakinan ditambahnya
lagi satu, yakni Konghucu, maka hari Imlek pun tercatat di kalender penanggalan
sebagai hari libur resmi. Bahkan dua departemen, yakni Departemen Penerangan
dan Departemen Sosial dihapusnya dari kabinet karena dinilai paling banyak makan
uang rakyat. Konon, Departemen Agama yang juga menjadi pusat praktik korupsi
gagal dibubarkan.
Total agama yang mesti dianut umatnya di republik ini sekarang
ada enam. Terlalu sedikit agaknya jikalau dibandingkan dengan jumlah manusia
yang sudah mencapai 250 juta jiwa di negeri yang begini luas. Agama yang
sedikit itu pada kenyataannya tidak mampu memperbaiki moral bangsanya. Tiap
sebentar pejabat dilantik, dan saban hari mereka mengucapkan sumpah demi tuhan
berdasarkan agama yang diyakininya tetapi korupsi juga mereka lakukan secara
berjamaah tanpa rasa berdosa. Seakan-akan sumpah itu telah mengesahkan
kejahatan korupsi dan menjadi kegiatan rutin setiap hari. Negara semakin parah
dilanda wabah korupsi, lantaran tabiat rakyat dan moral pejabat sama saja.
Rakyat jelata dan mahasiswa lulusan perguruan tinggi apakah
suci tanpa dosa korupsi? Orang bilang tergantung niat dan kesempatan saja. Niat
pastilah sudah siap, tinggal kesempatan yang belum terbuka. Sedikit saja ada
peluang, niat lalu mendorong mereka untuk masuk menjadi anggota tetap “perkumpulan
para koruptor.” Sangat gampang masuk ke situ, sama gampangnya dengan seekor unta masuk
melalui lubang jarum.
Semuanyakah begitu? Tentu tidak juga, sebab mereka yang
niatnya baik dan jujur hanya menjadi kaum minoritas yang tidak terpilih, bahkan terbuang
sampai tak bisa berbuat apa-apa lagi. Apakah mereka menjadi baik berkat peran
agama? Sulit untuk menjawab ya, sebab di negeri yang dianggap kafir tak
beragama sekalipun, lebih banyak orang yang moralnya sangat baik dan jujur, bukan karena mendapat pendidikan agama. Agama sama sekali tak berperan di dunia orang kafir, tetapi praktik korupsi mungkin hanya sedikit dilakukan. Mereka bahkan telah berperan membantu orang beragama yang
kesulitan dan yang miskin papa. Pesawat terbang buatan tangan mereka telah
banyak menyokong kelancaran ibadah orang beragama negeri ini.
Lantas bagaimana kalau agama ditambah supaya banyak? Akh,
agama dibatasi hanya enam saja dengan harapan tuhannya esa atau tunggal supaya
negara teratur pun sudah amburadul tidak karu-karuan, apalagi banyak. Agama
yang semakin banyak akan “menciptakan” tuhan menjadi banyak pula, maka yang
mengatur umatnya pun tidak lagi Tuhan Yang Maha Esa. Tiap agama memiliki
tuhannya sendiri, dan setiap tuhan akan akan berjuang hanya untuk kepentingan agamanya. Kok, tuhan jadi kayak anggota DPR-RI.
Untuk mengurus negeri yang penuh koruptor ini, tuhannya agama A pastilah
tidak sependapat dengan tuhannya agama B, atau C. Demikian pun tuhan agama D
menolak argumen tuhannya agama E dan F. Maka perdebatan antar-tuhan terjadilah
untuk memberantas korups di negara paling beragama ini, sampai mungkin terjadi seakan-akan tuhan berantam sesama tuhan dan
kekacauan moral di republik ini semakin menjadi lebih buruk. Meskipun disebut
“Yang Maha Esa” tak mungkinlah agama yang satu menaruh kepercayaannya pada
Tuhan agama yang lain. Dalam kelompok agama Abrahamik sekalipun, yang satu
menolak dogma yang lain meskipun tuhannya disebut Allah juga.
AGAMA menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) adalah
segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dst) serta dengan ajaran kebaktian
dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dalam tanda
kurung ada “dst” yang munngkin dapat ditafsirkan bahwa bukan kepada Tuhan atau
Dewa saja orang menganut kepercayaan. Boleh juga orang percaya pada pohon
beringin atau pada kepala banteng atau pada bintang biru bersudut tiga sebagai
agama. Terserah dialah.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) agaknya melokalisir
pengertian agama hanya terbatas pada persoalan ajaran atau sistem yang mengatur
tata iman dan peribadatan. Mungkin karena kata “agama” terambil dari bahasa
Sanskerta yang berarti mengatur supaya tidak kacau. “A” berarti tidak, dan “gama”
berarti kacau, sejalan dengan pola pembentukan kata “aneka” dan “asusila” atau
bahkan “asu”. Maka agama sebenarnya bukanlah kepercayaan, dan bukan pula iman.
Dua kamus ini juga sama-sama memberikan pengertian pada kata
“beragama” dalam arti memuja-muja sesuatu. Dalam bahasa percakapan sehari-hari kata
“beragama” dapat berarti memuja uang dan harta benda sebagai tuhannya. Maka itu
sebabnya, sebagai tersebut di atas, agama telah “menciptakan” tuhan
bermacam-macam jenisnya menurut kepentingan penganutnya.
Anehnya, agama kini cendrung menjadi identik dengan tuhan
dan dibela mati-matian oleh umatnya, kalau perlu, sampai titik darah penghabisan kalau ada orang
lain atau agama lain menyinggung perasaan keberagamaannya. Agama kini tampaknya telah
menggantikan peran tuhan. Karena itu peraturan, kebiasaan, dan upacara
keagamaan adalah mutlak benar tanpa cacat cela atau keliru. Di luar agamanya,
semua dianggap salah. Maka jadilah agama dipuja-puja dan
disembah sebagai dewa kebenaran.
Agama dibela berati tuhannya pun dibela. Kok, tuhan dibela?
Ya, karena tuhan adalah ciptaan orang yang beragama. Itu sebabnya umatnya
tidak segan-segan melakukan korupsi lantaran tuhan yang diciptakannya itu
adalah zat yang mahabaik, maha pemurah, maha pengampun, lagi mahabijaksana.
Hari ini koruptor bilang tobat, besok
korupsi diulangnya lagi. Soalnya lusa dia boleh bertobat dan diampuni lagi oleh
tuhannya yang mahabaik itu. Tuhan tidak pernah marah pada umatnya, maka umatnya
boleh sewenang-wenang, bebas berbuat korupsi untuk kepentingan sendiri, sama seperti pada hari-hari kemarin dan kemarin dulu.
Pada awalnya manusia percaya bahwa Tuhan pencipta segala
sesuatu. Manusia pun adalah ciptaanNya. Keyakinan itu adalah iman. Dan, "iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang
tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek
moyang kita.” Begitu kata Alkitab orang Kristen (Ibr 11:1-2).
Karena itu umatnya sibuk meminta pembelaan dari Tuhannya dalam
doa, tetapi tak ada jawaban. Di manakah Tuhan, atau mungkinkah Tuhan telah lama mati? Di mana-mana di
negeri ini kekacauan dipicu oleh agama atau karena membela agama. Bom
merusakkan rumah ibadah, umatnya dianiaya entah karena salah apa. Tetapi
tak ada solusi. Maka berkumandanglah ke seluruh penjuru angin alunan lagu suara
lembut penyanyi Ebiet G. Ade, “Mungkin tuhan mulai bosan melihat tingkah kita/
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa”. Salahnya Ebiet, mengapa
disuruhnya pula kita bertanya pada rumput yang bergoyang? Jangan-jangan dia
juga mengakui rumput yang bergoyang sebagai tuhan. Atau mungkin
Ebiet pun sedang bingung, tuhannya orang beragama ada di mana?
Agama dapatkah memberantas korupsi? Tampaknya tidak. Para pemuka agama khotbah berapi-api menyampaikan pesan
Ilahi saban hari lewat teve dan pengeras suara, tetapi orang beragama lebih
banyak cuek bebek alias masabodo amat. Ayat-ayat agama malah dijadikan alat
untuk menipu umatnya dengan simbol-simbol suci. Allahuakbar, Insya Allah, Puji
tuhan dan Haleluya tiap sebentar diucapkan hanya sebagai pemanis bahasa agar dia dipercaya.
Hari ini seorang menteri mengucapkan sumpah suci atas nama
Tuhan Yang Maha Esa. Ini hari dia bilang “demi Allah” besok dia juga yang duduk
di kursi pengadilan dan menjadi terdakwa karena terlibat kasus korupsi
berjamaah. Menteri Agama pun terperosok ke dalam kamar bui. Seorang pejabat yang
bersumpah palsu sesunguhnya telah berdosa karena menghina Tuhan, dan karena
menipu rakyat. Rakyat terkecoh dan berdemonstrasi menuntut pemberantasan
korupsi di mana-mana. Hari ini begitu, besok ada lagi kasus
korupsi, tak henti-henti terjadi.
Bung Karno, proklamator dan pendiri negara RI, sangat tidak
setuju agama jadi urusan negara, sebab katanya, di Turki telah terjadi kenyataan
bahwa agama justru telah menghancurkan negara. Di mana-mana di dunia ini, negara
terpecah lantaran agama. Di negeri inlander ini agama adalah sontoloyo, karena umatnya
menggunakan hukum agama untuk berzina dan korupsi. Agama (yang benar itu) telah
dipakai umatnya untuk mengelabui mata Tuhan, kata Bung Karno.
Agama dapatkah memperbaiki moral manusia? Agaknya juga
tidak. Lewat iklan partai berkuasa mereka berteriak-teriak dengan suara keras tegas,
supaya meyakinkan orang banyak, “Katakan TIDAK pada korupsi.” Si cantik jelita
mantan putri Indonesia
mengucapkan “TIDAK, TIDAK, TIDAK PADA KORUPSI”, berulang-ulang sambil
mengacungkan simbol partai yang suci. Rakyat percaya dan terpilihlah sang putri
menjadi anggota DPRRI yang terhormat.
Sang putri malah telah menganut dua agama, yang pertama
Kristen, dan karena terlibat asmara
dia menjadi mualaf dan menganut Islam, maka rakyat semakin percaya korupsi akan
diberantas lewat tangan si putri. Tetapi apalacur, sekarang rakyat pemilihnya malah
gigit jari ketika melihat sang putri pujaannya diseret KPK masuk bui sebab
sudah menjadi tersangka kasus korupsi Wisma Atlet bernilai miliaran rupiah.
Agama ternyata tak sanggup menunjuk jalan kebenaran bagi manusia, juga bagi
sang putri. Atau barangkali agama itu adalah muslihat sang Putri untuk kepentingan sendiri, atau kelompok.
Masih ingat iklan kampanye Partai Demokrat di harian
Republika sehalaman penuh pada Selasa, 23 Juli 2009? “TEGAS MEMBERANTAS
KORUPSI, TIDAK CEPAT MEMPERKAYA DIRI”. Frasa pertama pada kalimat iklan itu
jelas, partai ingin memberantas korupsi. Frasa kedua juga jelas sekali, anggota
partai juga ingin memperkaya diri, walaupun tidak cepat-cepat. Menerima uang suap bukankah
itu usaha memperkaya diri?
Adakah lagi yang perlu diungkap dari negara paling beragama
ini? Kasus korupsi saja tak habis dibicarakan lantaran terjadi di mana-mana dan
di segala jabatan. Tuhan yang dulunya pemberang dan kejam menjatuhkan hukuman
seberat yang tidak dapat dipikul manusia, kini agaknya telah lenyap dari
sejarah, dan perannya digantikan agama. Kisah Sodom dan Gomora dan air bah adalah
bukti kekejaman Tuhan, dan karena itu umat yang beriman berbuat sesuatu hanya karena
panggilan Tuhan, lalu bekerja karena “takut akan Tuhan”.
Tetapi sekarang, tsunami menelan ratusan ribu manusia
hidup-hidup, lalu gempa bumi mengguncang tanah, banjir menghancurkan ladang dan sawah sementara
letusan gunung berapi merusakkan rumah tinggal sampai berantakan. Semua bencana dianggap biasa saja. Korbannya hanya
bilang “apes”, tidak ada hubungannya dengan ajaran agama. Kata ayat agama,
tuhan itu mahabaik, maha pengampun, dan maha pemurah. Besok kan bisa korupsi lagi, tuhan tidak marah.
Agama tetaplah terus menjadi tumpuan dan arah hidup, tetapi korupsi entah sampai
kapan dapat diberantas.
Umbu Rey