Kamis, 17 Mei 2012

NEGARA PALING BERAGAMA



Seorang pendeta bernama Andar Ismail bercerita tentang Republik Suap di negeri Yahuda berdasarkan kisah Alkitab. Cerita di negeri  itu ditulisnya secara singkat dalam buku kecil seri Selamat Berkarunia. Asyik betul saya menyimak cerita itu lantaran praktik suap rupanya sudah berlangsung ribuan tahun sebelum Masehi. 

Syhadan, dia bilang di dalam itu negeri hakim dapat disuap, pembesar memberikan putusan sekehendaknya, dan hukum mereka putar balikkan. Semua urusan harus pakai suap. Ironisnya, yang kasih suap dan yang menerima suap adalah orang-orang yang beragama semuanya. Ternyata praktik suap menyuap dan sogok-menyogok memang sudah terbiasa dilakukan oleh orang yang beragama.

Orang-orang beragama itu amatlah saleh bertakwa dan khusuk sekali berdoa (kelihatannya begitu), tak pernah lupa melakukan ritual sembahyang ke sinagoga pada saatnya. Jumlahnya begitu banyak sampai luber ke pekarangan rumah ibadah karena terlalu penuh. Maka itu berkatalah sang pengkhotbah dengan bangga, “Negara kita ini adalah negara yang paling beragama!”

Cerita suap di negeri Yahuda itu mirip betul dengan praktik korupsi di negara Republik Indonesia sekarang ini. Saking maraknya korupsi dipraktikkan kelewat batas, maka penilaian internasional sampai menempatkan RI pada peringkat nomor wahid di antara negara-negara paling korup di Asia Tenggara, dan yang keempat di dunia.

Tetapi, pendeta yang cerdas ini mengatakan keliru kalau negara kita ditempatkan di peringkat paling atas dalam daftar negara-negara paling korup di dunia. Itu mungkin cuma salah ucap atau salah cetak saja. Barangkali yang dimaksud adalah bahwa negara RI termasuk peringkat “negara yang paling beragama”. Ya, paling beragama.

Suap-menyuap sesungguhnya bagian dari praktik korupsi juga, yakni penyelewengan atau penyalahguaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dsb) untuk kepentingan sendiri atau orang lain. Begitulah kata Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kalau demikian, apalah bedanya Republik Suap dan Republik Indonesia? Rakyat di kedua negara itu toh sama-sama beragama dan melakukan praktik suap juga.

Karena beragama, maka semua kegiatan yang berhubungan dengan urusan kenegaraan harus dijalankan dengan ritual agama atau dengan melibatkan Tuhan. Para menteri dan pejabat tinggi kalau dilantik Presiden haruslah mereka bersumpah atau mengangkat sumpah lebih dahulu demi Allah. Presiden pun harus bersumpah demi Allah. Demikian juga halnya dengan anggota DPR dan para hakim harus “disumpah” dahulu sebelum menjalankan tugas mulia yang dibebankan kepadanya. Orang yang menjadi saksi di pengadilan negeri pun harus mengangkat sumpah. Demi tuhannya juga.

Setelah habis bersumpah atau mengangkat sumpah? Terserah dia…, suka-suka dialah! Setelah itu, kabar yang terdengar adalah Presiden diisukan terlibat kasus Bank Century, anggota DPR-RI melalui Banggar (Badan Anggaran) terima uang suap dan menjadi kaya raya, dan sebagian sudah dihukum penjara. Dan, apalagi hakim dan jaksa yang makan uang sudah dijebloskan juga ke dalam penjara. Apakah ini hanya akal-akalan supaya dunia luar mendengar, tak tahulah kita, sebab nyatanya si terpidana hanya sebentar saja di penjara. Mereka bebas lagi karena bantuan HAM dan remisi. Tetapi, dana hasil korupsi sudah menumpuk abadi di rekening pribadi.

Di negara paling beragama ini setiap anggota masyarakat tidak boleh tidak harus mempunyai agama. Paling sedikit di dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) harus tertera agama apa yang dia anut (meskipun mungkin cuma bohong-bohongan saja). Siapa tahu kelak jika menjadi pejabat atau kalau diperlukan menjadi saksi di pengadilan maka yang bersangkutan harus pula bersumpah demi tuhannya.

Jikalau pejabat dilantik tanpa sumpah dan orang bersaksi di pengadilan tanpa sumpah demi tuhannya maka jabatannya atau kesaksiannya itu tidaklah sah. Tetapi, pengakuan di bawah sumpah walaupun diucapkan sebagai bohong-bohongan saja tetaplah resmi dan diakui negara. Siapa yang tahu bahwa orang yang mengucapkan sumpah jabatan itu serius dan jujur?

Sesungguhnya sumpah itu hanya sebuah pernyataan keteguhan hati atau kebulatan tekad seorang pejabat untuk mewujudkan sesuatu yang akan dikerjakannya kelak. Susahnya, kalau sumpah dicampuri dengan ritual agama dan atau melibatkan tuhan di dalamnya, maka sumpah itu patutlah dicurigai sebagai sumpah palsu. Demi Allah saya bersumpah, padahal demi kepentingaan dia sendiri.

Dulu, waktu zaman ORBA, ada tersedia lima agama yang diakui negara dan satu Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yang terakhir ini terkenal mengajari pemirsa teve RI dengan istilah “eling”. Pokoknya eling sajalah. Ketika kekuasaan Pak Harto runtuh maka “eling” pun lenyaplah sudah. Koruptor mana ada yang eling, karena itu korupsi semakin merajalela di segala bidang kehidupan.

Gus Dur waktu naik takhta kepresidenan RI pada akhir abad 20 langsung bikin gebrakan untuk memberantas korupsi. Agama sebagai keyakinan ditambahnya lagi satu, yakni Konghucu, maka hari Imlek pun tercatat di kalender penanggalan sebagai hari libur resmi. Bahkan dua departemen, yakni Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dihapusnya dari kabinet karena dinilai paling banyak makan uang rakyat. Konon, Departemen Agama yang juga menjadi pusat praktik korupsi gagal dibubarkan.

Total agama yang mesti dianut umatnya di republik ini sekarang ada enam. Terlalu sedikit agaknya jikalau dibandingkan dengan jumlah manusia yang sudah mencapai 250 juta jiwa di negeri yang begini luas. Agama yang sedikit itu pada kenyataannya tidak mampu memperbaiki moral bangsanya. Tiap sebentar pejabat dilantik, dan saban hari mereka mengucapkan sumpah demi tuhan berdasarkan agama yang diyakininya tetapi korupsi juga mereka lakukan secara berjamaah tanpa rasa berdosa. Seakan-akan sumpah itu telah mengesahkan kejahatan korupsi dan menjadi kegiatan rutin setiap hari. Negara semakin parah dilanda wabah korupsi, lantaran tabiat rakyat dan moral pejabat sama saja.

Rakyat jelata dan mahasiswa lulusan perguruan tinggi apakah suci tanpa dosa korupsi? Orang bilang tergantung niat dan kesempatan saja. Niat pastilah sudah siap, tinggal kesempatan yang belum terbuka. Sedikit saja ada peluang, niat lalu mendorong mereka untuk masuk menjadi anggota tetap “perkumpulan para koruptor.” Sangat gampang masuk ke situ, sama gampangnya dengan seekor unta masuk melalui lubang jarum.

Semuanyakah begitu? Tentu tidak juga, sebab mereka yang niatnya baik dan jujur hanya menjadi kaum minoritas yang tidak terpilih, bahkan terbuang sampai tak bisa berbuat apa-apa lagi. Apakah mereka menjadi baik berkat peran agama? Sulit untuk menjawab ya, sebab di negeri yang dianggap kafir tak beragama sekalipun, lebih banyak orang yang moralnya sangat baik dan jujur, bukan karena mendapat pendidikan agama. Agama sama sekali tak berperan di dunia orang kafir, tetapi praktik korupsi mungkin hanya sedikit dilakukan. Mereka bahkan telah berperan membantu orang beragama yang kesulitan dan yang miskin papa. Pesawat terbang buatan tangan mereka telah banyak menyokong kelancaran ibadah orang beragama negeri ini. 

Lantas bagaimana kalau agama ditambah supaya banyak? Akh, agama dibatasi hanya enam saja dengan harapan tuhannya esa atau tunggal supaya negara teratur pun sudah amburadul tidak karu-karuan, apalagi banyak. Agama yang semakin banyak akan “menciptakan” tuhan menjadi banyak pula, maka yang mengatur umatnya pun tidak lagi Tuhan Yang Maha Esa. Tiap agama memiliki tuhannya sendiri, dan setiap tuhan akan akan berjuang hanya untuk kepentingan agamanya. Kok, tuhan jadi kayak anggota DPR-RI.

Untuk mengurus negeri yang penuh koruptor ini, tuhannya agama A pastilah tidak sependapat dengan tuhannya agama B, atau C. Demikian pun tuhan agama D menolak argumen tuhannya agama E dan F. Maka perdebatan antar-tuhan terjadilah untuk memberantas korups di negara paling beragama ini, sampai mungkin terjadi  seakan-akan tuhan berantam sesama tuhan dan kekacauan moral di republik ini semakin menjadi lebih buruk. Meskipun disebut “Yang Maha Esa” tak mungkinlah agama yang satu menaruh kepercayaannya pada Tuhan agama yang lain. Dalam kelompok agama Abrahamik sekalipun, yang satu menolak dogma yang lain meskipun tuhannya disebut Allah juga.

AGAMA menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) adalah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dst) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dalam tanda kurung ada “dst” yang munngkin dapat ditafsirkan bahwa bukan kepada Tuhan atau Dewa saja orang menganut kepercayaan. Boleh juga orang percaya pada pohon beringin atau pada kepala banteng atau pada bintang biru bersudut tiga sebagai agama. Terserah dialah.

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) agaknya melokalisir pengertian agama hanya terbatas pada persoalan ajaran atau sistem yang mengatur tata iman dan peribadatan. Mungkin karena kata “agama” terambil dari bahasa Sanskerta yang berarti mengatur supaya tidak kacau. “A” berarti tidak, dan “gama” berarti kacau, sejalan dengan pola pembentukan kata “aneka” dan “asusila” atau bahkan “asu”. Maka agama sebenarnya bukanlah kepercayaan, dan bukan pula iman.

Dua kamus ini juga sama-sama memberikan pengertian pada kata “beragama” dalam arti memuja-muja sesuatu. Dalam bahasa percakapan sehari-hari kata “beragama” dapat berarti memuja uang dan harta benda sebagai tuhannya. Maka itu sebabnya, sebagai tersebut di atas, agama telah “menciptakan” tuhan bermacam-macam jenisnya menurut kepentingan penganutnya.

Anehnya, agama kini cendrung menjadi identik dengan tuhan dan dibela mati-matian oleh umatnya, kalau perlu, sampai titik darah penghabisan kalau ada orang lain atau agama lain menyinggung perasaan keberagamaannya. Agama kini tampaknya telah menggantikan peran tuhan. Karena itu peraturan, kebiasaan, dan upacara keagamaan adalah mutlak benar tanpa cacat cela atau keliru. Di luar agamanya, semua dianggap salah. Maka jadilah agama dipuja-puja dan disembah sebagai dewa kebenaran. 

Agama dibela berati tuhannya pun dibela. Kok, tuhan dibela? Ya, karena tuhan adalah ciptaan orang yang beragama. Itu sebabnya umatnya tidak segan-segan melakukan korupsi lantaran tuhan yang diciptakannya itu adalah zat yang mahabaik, maha pemurah, maha pengampun, lagi mahabijaksana. Hari ini koruptor bilang  tobat, besok korupsi diulangnya lagi. Soalnya lusa dia boleh bertobat dan diampuni lagi oleh tuhannya yang mahabaik itu. Tuhan tidak pernah marah pada umatnya, maka umatnya boleh sewenang-wenang, bebas berbuat korupsi untuk kepentingan sendiri, sama seperti pada hari-hari kemarin dan kemarin dulu.

Pada awalnya manusia percaya bahwa Tuhan pencipta segala sesuatu. Manusia pun adalah ciptaanNya. Keyakinan itu adalah iman. Dan, "iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita.” Begitu kata Alkitab orang Kristen (Ibr 11:1-2).

Karena itu umatnya sibuk meminta pembelaan dari Tuhannya dalam doa, tetapi tak ada jawaban. Di manakah Tuhan, atau mungkinkah Tuhan telah lama mati? Di mana-mana di negeri ini kekacauan dipicu oleh agama atau karena membela agama. Bom merusakkan rumah ibadah, umatnya dianiaya entah karena salah apa. Tetapi tak ada solusi. Maka berkumandanglah ke seluruh penjuru angin alunan lagu suara lembut penyanyi Ebiet G. Ade, “Mungkin tuhan mulai bosan melihat tingkah kita/ Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa”. Salahnya Ebiet, mengapa disuruhnya pula kita bertanya pada rumput yang bergoyang? Jangan-jangan dia juga mengakui rumput yang bergoyang sebagai tuhan. Atau mungkin Ebiet pun sedang bingung, tuhannya orang beragama ada di mana?

Agama dapatkah memberantas korupsi? Tampaknya tidak. Para pemuka agama khotbah berapi-api menyampaikan pesan Ilahi saban hari lewat teve dan pengeras suara, tetapi orang beragama lebih banyak cuek bebek alias masabodo amat. Ayat-ayat agama malah dijadikan alat untuk menipu umatnya dengan simbol-simbol suci. Allahuakbar, Insya Allah, Puji tuhan dan Haleluya tiap sebentar diucapkan hanya sebagai pemanis bahasa agar dia dipercaya.

Hari ini seorang menteri mengucapkan sumpah suci atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Ini hari dia bilang “demi Allah” besok dia juga yang duduk di kursi pengadilan dan menjadi terdakwa karena terlibat kasus korupsi berjamaah. Menteri Agama pun terperosok ke dalam kamar bui. Seorang pejabat yang bersumpah palsu sesunguhnya telah berdosa karena menghina Tuhan, dan karena menipu rakyat. Rakyat terkecoh dan berdemonstrasi menuntut pemberantasan korupsi di mana-mana. Hari ini begitu, besok ada lagi kasus korupsi, tak henti-henti terjadi.

Bung Karno, proklamator dan pendiri negara RI, sangat tidak setuju agama jadi urusan negara, sebab katanya, di Turki telah terjadi kenyataan bahwa agama justru telah menghancurkan negara. Di mana-mana di dunia ini, negara terpecah lantaran agama. Di negeri inlander ini agama adalah sontoloyo, karena umatnya menggunakan hukum agama untuk berzina dan korupsi. Agama (yang benar itu) telah dipakai umatnya untuk mengelabui mata Tuhan, kata Bung Karno.

Agama dapatkah memperbaiki moral manusia? Agaknya juga tidak. Lewat iklan partai berkuasa mereka berteriak-teriak dengan suara keras tegas, supaya meyakinkan orang banyak, “Katakan TIDAK pada korupsi.” Si cantik jelita mantan putri Indonesia mengucapkan “TIDAK, TIDAK, TIDAK PADA KORUPSI”, berulang-ulang sambil mengacungkan simbol partai yang suci. Rakyat percaya dan terpilihlah sang putri menjadi anggota DPRRI yang terhormat.

Sang putri malah telah menganut dua agama, yang pertama Kristen, dan karena terlibat asmara dia menjadi mualaf dan menganut Islam, maka rakyat semakin percaya korupsi akan diberantas lewat tangan si putri. Tetapi apalacur, sekarang rakyat pemilihnya malah gigit jari ketika melihat sang putri pujaannya diseret KPK masuk bui sebab sudah menjadi tersangka kasus korupsi Wisma Atlet bernilai miliaran rupiah. Agama ternyata tak sanggup menunjuk jalan kebenaran bagi manusia, juga bagi sang putri. Atau barangkali agama itu adalah muslihat sang Putri untuk kepentingan sendiri, atau kelompok.

Masih ingat iklan kampanye Partai Demokrat di harian Republika sehalaman penuh pada Selasa, 23 Juli 2009? “TEGAS MEMBERANTAS KORUPSI, TIDAK CEPAT MEMPERKAYA DIRI”. Frasa pertama pada kalimat iklan itu jelas, partai ingin memberantas korupsi. Frasa kedua juga jelas sekali, anggota partai juga ingin memperkaya diri, walaupun tidak cepat-cepat. Menerima uang suap bukankah itu usaha memperkaya diri?

Adakah lagi yang perlu diungkap dari negara paling beragama ini? Kasus korupsi saja tak habis dibicarakan lantaran terjadi di mana-mana dan di segala jabatan. Tuhan yang dulunya pemberang dan kejam menjatuhkan hukuman seberat yang tidak dapat dipikul manusia, kini agaknya telah lenyap dari sejarah, dan perannya digantikan agama. Kisah Sodom dan Gomora dan air bah adalah bukti kekejaman Tuhan, dan karena itu umat yang beriman berbuat sesuatu hanya karena panggilan Tuhan, lalu bekerja karena “takut akan Tuhan”.

Tetapi sekarang, tsunami menelan ratusan ribu manusia hidup-hidup, lalu gempa bumi mengguncang tanah, banjir menghancurkan ladang dan sawah sementara letusan gunung berapi merusakkan rumah tinggal sampai berantakan. Semua bencana dianggap biasa saja. Korbannya hanya bilang “apes”, tidak ada hubungannya dengan ajaran agama. Kata ayat agama, tuhan itu mahabaik, maha pengampun, dan maha pemurah. Besok kan bisa korupsi lagi, tuhan tidak marah. Agama tetaplah terus menjadi tumpuan dan arah hidup, tetapi korupsi entah sampai kapan dapat diberantas.

Umbu Rey