Kamis, 31 Januari 2008

Usai, sudah, dan telah

Wartawan Indonesia ini kelihatannya suka latah. Kalau seorang menggunakan kata "pasalnya", maka yang lain ikut-ikutan bilang begitu. Kalau ada orang pakai istilah "hanya saja", yang lain juga ikut-ikut sehingga akhirnya menjadi kebiasaan.

Pak Sobary, mantan pemimpin umum LKBN Antara dan penulis tetap di mingguan Kompas, pernah ngomel-ngomel pada saya gara-gara istilah "hanya saja". Pak Sobary agaknya punya rasa bahasa yang lain sehingga istilah itu dia tidak suka.

Contoh:

1. Keributan itu terjadi ketika pertandingan baru berjalan 10 menit.
Pasalnya,...dst
2. Hanya saja, dia tidak menjelaskan secara rinci....dst

Dalam contoh (1) kata "pasalnya" mungkin sama dengan penyebabnya, dan pada contoh (2) "hanya saja" sama dengan tetapi.

Mungkin karena orang gandrung ikut-ikutan gaya orang lain, sekarang ini banyak sekali terjadi penjiplakan, meskipun yang menjiplak itu tidak tahu persis makna kata yang dijiplaknya. Orang menjadi tidak kreatif, dan tidak kelihatan pula jati dirinya dalam tulisan.

Kata "usai" entah siapa yang mulai, sekarang ini sudah bertebaran di koran-koran dan dibacakan di media elektronik hampir setiap saat. Seakan-akan tiada hari tanpa kata "usai". Mungkin karena rasa bahasa dan pengucapannya dirasakan enak, maka kata "usai" itu disamakan saja artinya dengan "telah" dan "sudah". Akhirnya menjadi kelaziman juga.

Guru saya di kampung berkata bahwa "usai" itu berarti bubar, selesai, atau berakhir. Persis sama artinya dengan yang disebutkan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Sebenarnya, kata "usai" itu hanya bisa digunakan dalam konteks "sekolah itu bubar" atau "pasar bubar", atau "perkelahian massal itu bubar" atau yang sejenis dengan itu. Tetapi, "telah" dan "sudah" adalah kata keterangan untuk menyatakan perbuatan yang sudah selesai pada masa yang lampau.

Setakat ini kata "usai" tidak lagi digunakan seperti contoh yang diberikan oleh guru saya di atas. Koran selalu menulis:

1. Juru bicara kepresidenan Dino Pati Djalal mengatakan hal itu usai
mendampingi Presiden.... dst.
2. "......... ." kata Menlu Hassan Wirayuda seusai menandatangani MOU
di Jakarta, Senin.

Dalam contoh di atas, peristiwa atau perbuatan apakah yang usai?

Kata wartawan tempat saya mengabdi, "usai" itu sama dengan "telah" dan "sudah" dan karena itu bisa digunakan secara bergantian, karena maknanya sama. Maka "seusai" sama juga dengan "setelah" atau "sesudah". Mungkin dia benar, dan saya cuma bisa melotot.

Setahu saya, bersinonim artinya memiliki kemiripan arti. Padahal, "usai" dan "telah" itu ibarat petai dan jengkol perbedaannya. Di Warung Tegal dapat dengan mudah kita temukan semur jengkol, tetapi Insya Allah tidak akan Anda temukan semur petai.

Jadi, sebagaimana petai dan jengkol itu berbeda, demikian juga "usai" itu berbeda dari "sudah" dan "telah". Beda dalam rasa, beda dalam konteks kalimatnya, dan beda pula dalam proses penggunaannya. Kadang-kadang "usai" dan "sudah" dapat digunakan sekaligus dalam sebuah kalimat. Contoh: Pertandingan itu usai sudah.

Contoh berikut ini mungkin dapat membedakan arti kata "usai" dari kata "sudah" dan "telah".

1. Pak Mamat telah meninggal dunia
2. Pak Mamat sudah meninggal dunia
3. Pak Mamat usai meninggal dunia

Kalimat pada contoh (1) dan (2) bisa kita mengerti (berterima), tetapi kalimat pada contoh (3) justru bisa bikin kita jadi gila. Orang meninggal dunia itu selama-lamanya. Kapan usainya?

Februari 2007

Umbu Rey

1 + 1 = 3

Seorang satpam suatu ketika lewat di depan saya ketika masuk ke gedung Wisma Antara di Jakarta. Dia memakai kaos oblong. Di punggungnya tertera dengan jelas sekali angka hitungan: 1 + 1 = 3.

Mengapa ditulis begitu tentu saja ada tujuannya. Maksudnya apa, terserah pada orang yang baca. Angka hitungan itu jelas bukan rumus matematika moderen sebab tidak masuk akal. Anak-anak TK yang baru belajar berhitung pun pastilah tahu bahwa 1 + 1 = 2, dan bukan 3.

Mungkin juga tulisan di punggung satpam itu cuma olok-olok supaya menimbulkan kesan lucu, dan dengan begitu, orang yang membaca bisa tersenyum. Orang Jakarta memang suka bikin yang aneh-aneh supaya kelihatan "nyentrik".

Saya mencoba menelusuri pikiran penulis rumus itu dari sisi yang lain. Mungkin sekali hitungan 1 + 1 = 3 itu satu sindiran juga. Soalnya, semua kebutuhan harus dibeli dengan harga mahal, yang hampir setiap saat naik terus.

Harga BBM (bahan bakar minyak) naik, tarif tol naik, tiba-tiba cabai keriting pun ikut-ikut naik, dan naiknya pun di luar perhitungan wajar, sebab tidak masuk akal, sampai tidak bisa lagi dijelaskan dengan kata-kata.

Di perkantoran pun begitu. Ada pegawai "ingusan" yang baru diterima bekerja dan diangkat menjadi pegawai setahun lalu, tiba-tiba naik pangkat istimewa melebihi seniornya yang sudah 15 tahun lebih lama. Tidak masuk akal. Sama tidak masuk akalnya dengan 1 + 1 = 3 itu.

Saya pikir-pikir, negeri ini memang aneh, sebab segala perhitungan yang tidak masuk akal dianggap wajar saja. Akhirnya jadi kebiasaan. Itu sebabnya korupsi tumbuh subur dan berkembang dengan baik sampai negara ini pun mendapat pujian sebagai "negara korupsi nomor satu" di Asia Tenggara.

Para pengamat politik dan ekonomi hampir saban hari mengulas soal korupsi di koran-koran dan di layar televisi. Tetapi mereka menjelaskannya dengan menggunakan kata-kata yang cuma dia saja yang mengerti. Orang lain pada bingung semua.

Mereka bilang "mark-up" itu adalah bagian dari korupsi . Apa itu "mark-up", tak ada yang mengerti. Coba cari padanannya dalam bahasa Indonesia. Susah juga.

Ada yang mengatakan "mark-up" itu adalah "penggelembungan" (seperti balon), bisa juga "pembengkakan" (seperti bisul) atau mungkin juga "pembuncitan" (seperti perut orang kekenyangan). Maksudnya untuk menggambarkan sesuatu yang menjadi lebih besar dari yang sewajarnya. Tetapi tetap saja orang menulis atau menyebut "mark-up" seperti dalam bahasa Inggris.

Kalau tak ada padanan yang pas benar, ahli bahasa menyarankan agar kata itu diserap saja sehingga menjadi "markap" atau "markup". Tetapi istilah yang begini ini memang sulit dimengerti oleh orang awam.

Jadi, kalau mau tahu penjelasan kata "mark-up", ikuti saja jalan pikiran para koruptor negeri ini. Dengan begitu, terwujudlah rumus hitungan aneh 1 + 1 = 3.

Coba hitung, 10 + 10 = berapa? Tetap sama dengan tiga, tetapi di belakang angka 3 tambahkan dua nol juga. Maka hasilnya, sepuluh tambah sepuluh sama dengan 300.

"Dahsyat benar! Itulah "mark-up".

Umbu Rey

"Korban" istilah bahasa Ibrani

(disalin dari milis mediacare@yahoogroups.com)

Berita tentang Idul Adha di Radio Nederland memicu saya untuk menuliskan rangkuman diskusi di milis beberapa waktu lalu tentang topik yang sama.

Banyak orang mengira istilah "korban" dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Arab: "qurban" (English: sacrifice). Masih cukup banyak pula orang mengira upacara Qurban adalah murni ajaran Islam, terkait ritual ibadah haji di Tanah Suci sebagai Rukun Islam dan pemotongan hewan korban pada perayaan Idul Adha.

Untuk istilah "korban", ternyata Arab dulu "mencomotnya" dari bahasa Ibrani yang sudah beribu tahun digunakan masyarakat pengikut ajaran Abraham sebelum munculnya agama Islam pada abad ke-6.

korban (Ibrani) -> qurban (Arab) -> korban; kurban (Indonesia)

Di Indonesia sendiri, penggunaan istilah "korban" kini tak cuma dikaitkan dengan ritual Islam, tetapi maknanya kian meluas untuk menyebut kejadian lain, misalnya korban kecelakaan, korban pemerkosaan, korban penipuan, korban pembunuhan, korban pencopetan dan lainnya. Entah, apakah orang Yahudi juga telah melunturkan (mereduksi) makna 'korban', menyebut 'victim' dengan istilah korban atau tidak.

Sebagaimana kita tahu, bangsa Arab adalah termasuk keturunan kaum Semit yang melahirkan agama-agama langit - samawi - yang kini dianut jutaan manusia penghuni Bumi: Yahudi, Kristen, Islam dan berbagai aliran sempalan lainnya.

Saat kitab suci Taurat dan Injil "turun", belumlah dikenal sebuah bangsa bernama Arab. Belakangan, karena perbedaan ajaran agama dan suntikan serta kemasan politisasi di dalamnya, kini mereka sudah amat susah untuk dipersatukan. Apalagi ajaran-ajaran mereka sudah telanjur merambah dan meluas, tak cuma dipeluk kaumnya di Timur Tengah saja, sehingga membuat persoalan menjadi lebih pelik.

Berbagai gesekan dari perbedaan paham itu di masa depan bisa memunculkan Perang Dunia III. Kita di Indonesia pun bisa ikut terseret dalam konflik global tersebut apabila tidak mewaspadainya sejak dini. Yang sudah terjadi sebelumnya dan patut dijadikan pelajaran, gesekan antaragama menjadi penyebab terpecahnya berbagai bangsa dan negara. Kalau kita tidak belajar dari sekarang, kelak akan menjadi korban dari perseteruan abadi yang sesungguhnya sia-sia belaka.

Siapa dikorbankan?

Inti dari ajaran kaum Semit tersebut adalah pengorbanan Abraham(Islam: Nabi Ibrahim AS) yang rela menyembelih anaknya atas perintah Tuhan. Namun dalam perjalanan waktu, terjadi perbedaan kisah yang awalnya termuat dalam kitab suci Taurat yang juga diamini Kristen dalamPerjanjian Lama.

Dalam ajaran Yahudi, Kristen dan Samaria, sosok anak sulung yang dikurbankan adalah Ishaq - anak Sarah (Sarai). Ismail - walaupun lebih dulu lahir dibandingkan Ishaq - tidak dianggap anak sah dari Abraham karena lahir dari seorang budak belian.

Di lingkungan Yahudi, Samaria dan Kristen, memang masalah siapa yang dikorbankan tidak pernah menjadi perdebatan sama sekali. Bahkan dalam studi kritik ilmiah terhadap teks Taurat, sama sekali tidak ada perbedaan dari teks asli Ibrani mana pun (Masoret, Qumran, Samaria) maupun terjemahan-terjemah antertua (Septuaginta, Peshitta, Vulgatta, dll).

Sumber tertua kisah tersebut dapat kita jumpai dalam kitab suci Taurat, Sefer Beresyit/Kejadian 22:1-14. Perjanjian Baru (Injil) juga menyinggung sekilas dalam rangka teladan iman dan ketaatan. Surat Ibrani 11:17 menyebutkan: "b'ha ymanuta qarev Abvraham liyshaq bbnisyoneha" (karena iman, tatkala dicobai, Abraham mempersembahkan Ishak).

Sedangkan dalam ajaran Islam yang muncul belakangan, anak yang dikorbankan adalah Ismail, walau tidak ada satu ayat pun Al-Quran yang jelas-jelas menyebut nama Ismail. Al-Qur'an menyebutkan kisah ini dalam surah Asy-Syafaat/ 37:101-112, tanpa menerangkan nama anak Ibrahim yang nyaris dikurbankan. Al-Qur'an hanya menyebut: ghulamin halim (anak yang penyantun), sehingga dalam hadits-hadits ada yang meriwayatkan Ishaq, tetapi ada pula yang meriwayatkan Ismail.

Upacara Korban ala kaum Samaria

Dalam perkembangannya, hari raya Korban di agama-agama Samawi berkembang sedemikian rupa.

http://en.wikipedia .org/wiki/ Korban

Korban (jamak: Korbanot) adalah konsep yang mendasar dalam agama-agama Samawi. Dalam agama Samaria, komunitas yang tidak ikut pembuangan ke Babelonia pada 500-an SM serta menjalani pernikahan campuran dengan penduduk setempat, masih memelihara tradisi korban sampai sekarang.

Silakan klik link berikut:

http://www.the- samaritans. com/festival. htm

Simak baik-baik foto-foto yang ditampilkan. Perhatikan bagaimana umat Samaria berdoa, juga sajadah dan pakaian yang dipakai, serta cara berdoa. Ritual Korban yang mereka jalani mirip betul dengan ritual Haji. Ada acara mengelilingi gunung, termasuk ada perhentian altar Adam dan altar Ishaq.

Upacara Korban juga dilakukan setelah mereka turun dari gunung. Yang membedakan dari semua itu adalah ayat-ayat yang digunakan sebagai referensi, yaitu ayat-ayat dari kitab Taurat. Umat Samaria termasuk minoritas kecil. Pusat ibadah mereka di gunung, bukan di Yerusalem. Jadi waktu Yerusalem hancur, tradisi mereka masih bertahan hingga sekarang.

Upacara Korban ala Yahudi

Umat Yahudi merayakan hari raya Korban sekitar April (kalender mereka menganut sistem solar, penetapan hari Paskah ditentukan jatuh pada hari Jumat). Ritual peringatan keluarnya umat Israel dari tanah Mesir.

Sebelum ritual korban, mereka menjalani puasa terlebih dahulu. Mereka juga makan roti tidak beragi sebagai peringatan suatu peristiwa di Mesir. Menjelang keluar dari tanah Mesir, umat Israel mengorbankan domba (bukan kambing) atau lembu sebagai tanda untuk terhindarnya mereka dari tulah - hukuman ke 10 - yang menimpa anak-anak sulung Mesir. Upacara korban terpusat di Baitullah di Yerusalem. Begitu Baitullah Sulaiman dihancurkan pada tahun 70 M oleh tentara Romawi dan umat Israel terserak ke luar tanah Palestina, hari raya Korban tidak lagi dirayakan.

Tepatnya pada 31 Mei 70, panglima perang Kekaisaran Romawi, Titus Flavius Vespasianus, memberangus pemberontakan di Yerusalem. Titus memimpin empat legiun (satu legiun terdiri dari 5.000 - 8.000 anggota pasukan), menghancurkan hampir semua kuil dan membantai warga Yahudi.

Keberhasilan Titus di Yerusalem membuat dirinya pulang ke Roma sebagai pahlawan. Pada 79 ia diangkat sebagai kaisar. Bagi Yerusalem, penghancuran kota itu merupakan kedua kalinya setelah Raja Babilonia Nebuchadnezzar mengerahkan pasukannya untuk merobohkan kuil-kuil dan dinding-dinding kota guna meredam pemberontakan Zedekiah.

Beberapa rabbi (artinya guru agama, bukan imam -jabatan khusus- yang artinya pemimpin persembahan korban) mempertahankan sikap untuk tidak melanjutkan tradisi Korban. Mereka mengambil beberapa ayat yang mendukung pendapat bahwa Tuhan tidak mementingkan korban (lagi):

Rabbi Yohannan ben Zakkai spoke to him these words of comfort: 'Be notgrieved, my son. There is another equally meritorious way of gainingritual atonement, even though the Temple is destroyed. We can stillgain ritual atonement through deeds of loving-kindness. For it iswritten "Loving kindness I desire, not sacrifice." (Hosea 6:6)

Rabbi Elazar said: Doing righteous deeds of charity is greater than offering all of the sacrifices, as it is written: "Doing charity andjustice is more desirable to the Lord than sacrifice" (Proverbs 21:3).


Sementara sikap umat Yahudi lainnya berusaha untuk mengembalikan hari raya Korban yang berpusat di Baitullah Sulaiman. Mereka - umat Yahudi radikal - tengah mempersiapkan rencana pendirian Baitullah ke III.

Yang jadi persoalan pelik, di tempat itu saat ini telah berdiri Masjidil al Aqsa yang dibangun pada masa pendudukan tentara Arab di Yerusalem di atas puing-puing Baitullah Sulaiman. Persoalan ini diramalkan akan menjadi titik sengketa yang paling menegangkan di masa yang akan datang. Ada yang mengaitkan hal tersebut akan memicu perang Harmagedon seperti yang ditulis kitab suci mereka. Tanda-tandanya kini jelas, yaitu negeri Iran yang sibuk menyiapkan senjata nuklir untuk menghajar Israel kelak apabila mereka berani membangun Baitullah Sulaiman.

Upacara Korban ala Kristen

Menurut seorang teman yang pengamat agama-agama Samawi, umat Kristen tidak mementingkan Baitullah Sulaiman untuk peribadatan mereka. Mereka juga meyakini, domba Paskah telah diganti dengan kematian Isa di kayu salib. Sampai sekarang perayaan Paskah ke III Kristen dirayakan pada hari yang berdekatan dengan Paskah II umat Yahudi dan orang Samaria.

Sementara itu, Paskah I masih dirayakan umat Islam sebagai peringatan pengorbanan Ibrahim. Beberapa komunitas Kristen masih merayakan 'korban' 50 hari setelah Paskah, yang bertepatan dengan thanksgiving Yahudi. Di daerah Mojowarno, mereka mempersembahkan hasil bumi seperti padi, pepaya, kerajinan tangan, tas dan sebagainya. Di tempat lain yang pola hidupnya tidak lagi bercocok tanam, mereka mempersembahkan uang, hasil jahitan, kerajinan tangan lain. Namun intinya tetap sama: "Thanksgiving Day". Mirip seperti ritual bersih desa di Jawa.

Penetapan hari raya Korban bagi Yahudi dan Kristen adalah: setelah tanggal 21 Maret, setelah bulan purnama, di minggu pertama (untuk Kristen) dan di hari Jumat (mundur 3 hari) untuk orang Yahudi. Penentuan hari-hari memegang arti penting dalam sistem ibadah umat Yahudi, karenanya peringatan selalu jatuh pada hari yang mereka kuduskan.

Untuk memperingati, mereka menggabungkan kalender solar dan lunar, serta hari-hari (bukan tanggal) yang tertentu. Cara penentuan umat Yahudi agak berbeda sedikit, yaitu mengacu pada sistem kalender mereka. Tetapi hasilnya sama. Jadi tidak mengacu pada hari pertama awal bulan seperti yang dilakukan umat Islam.

Seandainya kalender Islam dulu mempertahankan 'intercalary' , yang memungkinkan sistem lunar bisa sinkron dengan sistem solar, mungkin akan ada kesamaan hari Korban tersebut.

Tentang Abraham

Sosok Abraham sendiri adalah figur yang memiliki narasi berbeda pada masing-masing tradisi. Pada tradisi Yahudi, Abraham berasal dari Babylonia/Mesopotamia (kini Irak) yang hijrah ke Mesir yang kemudian menetap di Palestina, dan kepergian tersebut menjadi sengketa hingga sekarang.

Dalam narasi Islam muncul perbedaan mencolok. Terkisah, Ibrahim pernah tinggal di wilayah yang kini disebut Arab Saudi, demikian juga Adam untuk membangun Ka'bah yang kini menjadi kiblat umat Islam saat beribadah sholat.

Tentang Hagar (Islam: Siti Hajar) juga beda kisah. Menurut ajaran yang dipercaya kaum Yahudi dan Kristen, Hagar adalah budak yang dinikahi Ibrahim yang dibuang ke gurun pasir karena telah berbuat culas. Namun menurut versi Islam yang muncul belakangan, Siti Hajar sebenarnya diajak 'hijrah' oleh Ibrahim ke Mekah.

Tentang lokasi pembuangan Hagar, kaum Yahudi menyebut di padang gurun Bersyeba (40 km tenggara Gaza), sedangkan umat Islam percaya bahwa Siti Hajar diusir ke Mekkah (berjarak 1.500 km). Dari segi jarak, mana yang lebih realistis?

Apa kata Voltaire tentang sosok Abraham? Jawabannya sungguh mengejutkan! Filsuf asal Perancis tersebut pernah menuliskan bahwa sosok Abraham sebetulnya berasal dari India, bukan dari Timur Tengah atau Jazirah Arab. Jauh di masa sebelumnya, Aristoteles, filsuf Yunani berucap: "These Jews are derived from the Indian philosophers; they are named by the Indians Calani," seperti pernah ditulis oleh Flavius Josephus.

Pemikiran ini juga didukung oleh Clearchus dalam bukunya. Paper karya Gene D. berikut ini juga menyinggung soal itu: "..........The word "Abraham" is none other than a malpronunciation of the word Brahma."

Sementara itu, rekan Nugroho Dewanto dari Majalah TEMPO di milis PPI-Indiaberkomentar: "Dahsyat! Ibrahim adalah Brahma/Rama. Ismail adalah Ish-Mahal (theGreat Shiva), dan Ishak adalah Ishaku (friend of Shiva). Bila hasil penelitian gene matlock yang berdasar kajian sejarah linguistik dan etimologi ini kelak bisa diverifikasi dengan ilmu-ilmu lain dan terbukti benar, maka konsekuensinya luar biasa. Ibrahim bukan cuma bapak agama Semit, tetapi bapak semua agama."

Dari hasil curah pendapat tentang Abraham setahun lalu, ada beberapa pihak menilai bahwa kisah Abraham cuma legenda belaka dengan tujuan mulia untuk mempersatukan kaum Semit di masa lalu. Jadi, apakah alur sejarah agama-agama karya kaum Semit perlu dirombak total?

Pesan terakhir dari seorang teman

"If the Christians, Moslems, and Judaism born from the same land, same father, same ethnic, and same teachings, why are we fighting and blaming each other til these days?

Why do we fight our own religions?
If the teachings came from the same root...why Christians born?
Why moslems born? Because of the polaritation between Jews and Arabs...
Are the religions ONE?

Same teachings different people make different religions...

Salam,
RD

Rabu, 30 Januari 2008

Mantan dan Almarhum

Dua kata yang saya sebutkan dalam judul tulisan ini sama saja artinya. Bekas. Yang satu artinya bekas pejabat, dan yang lain berarti bekas orang hidup. Dua kata itu lebih banyak digunakan sebagai penghormatan. Soalnya, bekas pejabat itu kurang enak didengar dan orang mati itu mesti kita sebut almarhum supaya memberi kesan hormat.

Kata "mantan" juga dipakai cuma buat pejabat yang tidak lagi berkuasa meskipun sama saja artinya dengan "bekas" pejabat di sebuah lembaga. Mantan dibedakan dari bekas karena kita tidak lazim mengatakan "nasi itu adalah bekas beras", sebab beras itu juga bukan mantan padi.

"Mantan" hanya dipakai untuk menyebut jabatan yang tidak lagi disandang. Jadi, kita sebut mantan pejabat. Kata "mantan" berikut ini dipakai secara serampangan:

1. Mantan pegawai negeri sipil
2. Mantan jenderal
3. Mantan penguasa Orde Baru
4. Mantan presiden kedua RI
5. Mantan presiden

Dari kelima butir contoh di atas hanya "mantan" pada butir (5) saja yang berterima (benar) sebab presiden itu adalah jabatan. Contoh "mantan" pada (1) sampai dengan (4) tidak berterima (salah kaprah) karena kata yang diterangkan oleh kata "mantan" itu bukan jabatan.

Orang yang tidak lagi menjadi pegawai negeri sipil disebut pensiunan. Jenderal itu adalah pangkat yang disandang sampai mati. Karena itu seorang perwira tinggi yang sudah pensiun tetap disebut jenderal, yakni jenderal purnawirawan, dan jenderal yang sudah mati disebut jenderal anumerta.

Pak Harto itu adalah pemimpin yang sampai kini tetaplah disebut penguasa Orde Baru. Pak Harto juga tetaplah disebut presiden kedua RI walaupun sudah mati, sebab sebutan "presiden kedua RI" itu tidak bisa digantikan orang lain. Artinya, Pak Harto itulah presiden kedua RI, dan orang yang menggantikannya (Presiden Habibie) disebut presiden ketiga RI.

"Bekas" menunjuk pada suatu benda atau barang yang pernah dipakai, atau yang tidak dipakai lagi. Bekas juga berarti tanda yang tertinggal, sesuatu yang tertinggal sebagai sisa.

Mobil yang sudah pernah dipakai boleh atau lazim disebut "mobil bekas". Tetapi, seorang istri yang sudah diceraikan suaminya jangan sampai dibilang "bekas istri" karena tidak sopan lantaran istri tidak bisa disamakan dengan mobil? Padahal, istri yang sudah diceraikan itu sebenarnya sama saja dengan barang bekas. Ya.., bekas dipakai juga. Karena itu, tidak tepat jika kita menyebut "mantan istri".

Kebiasaan membuat istilah penghormatan ini mungkin sekali karena manusia Indonesia sudah terpengaruh oleh kebiasaan berbahasa orang-orang Jawa yang membagi bahasa dalam kasta-kasta. Bahasa Indonesia (jurnalistik) adalah demokratis sifatnya, tidak menempatkan orang pada kelas-kelas bahasa menurut pangkat seseorang, dan tidak lagi membangkit- bangkitkan paham feodalisme.

Kalau di istana, Presiden SBY menjamu tamu negara dengan "santap malam" maka di kolong jembatan pun si Mamat boleh-boleh saja menghidangkan santap malam. Anjing pun boleh menghabiskan santapannya di kolong meja.

Almarhum menurut KBBI adalah yang dirahmati Allah (sebutan kepada orang Islam yang sudah meninggal dunia). Itu dulu. Sekarang ini siapa pun yang mati cenderung disebut almarhum atau almarhumah. Benarkah orang yang beragama lain tidak dirahmati Allah?

Kata lain yang bersinonim dengan "almarhum" itu biasa kita sebut "mendiang" tetapi kata ini entah di mana rimbanya, tidak pernah lagi digunakan orang. Untunglah, KBBI edisi ketiga masih mencatatnya di halaman di halaman 731.

"Mendiang" itu artinya orang yang sudah mati, tetapi tampaknya tidak lagi digunakan (mungkin) karena kelasnya dianggap lebih rendah daripada "almarhum"sehingga terasa kurang hormat dalam penggunaan.

Orang Indonesia ini acapkali tidak teguh pendiriannya dalam menggunakan istilah "almarhum" untuk menghormati orang. Seorang pejabat tinggi negara ini jika kelak meninggal dunia akan disebut "Almarhum Jenderal Anu" atau "Almarhum Dr. Drs. Bejo, SH" dan seterusnya. Padahal, sebutan jenderal dan doktor itu pun sudah merupakan penghormatan.

Di Kantor Berita Antara, rekan-rekan wartawan sangat teguh menggunakan istilah "almarhum atau almarhumah" terutama untuk para pejabat yang meninggal dunia. Kata mereka, sebutan almarhum itu adalah penghormatan. Tetapi anehnya, tokoh nasional yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia itu disebutnya saja Bung Karno dan Bung Hatta. Tidak ada embel-embel "Almarhum Bung Karno dan Almarhum Bung Hatta.

Bukankah kedua tokoh ini pun sudah meninggal dunia? Pahlawan nasional lagi. Begitu juga dengan Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad saw. Meski tokoh-tokoh agama ini sudah meninggal dunia, sampai sekarang orang masih tetap saja berkata "Kata Nabi,...." Tidak pernah terdengar seorang ustaz menyebut "Almarhum Nabi Ibrahim bersabda,..."

Almarhum" dalam konteks ini tentu tidak sama dengan "mantan", karena tidak ada "mantan nabi". Gara-gara istilah penghormatan ini, sering terjadi salah kaprah. Kantor Berita Antara mengatakan "Almarhum Dodoy, mantan kabiro Bandung telah meninggal dunia". Bayangkan, almarhum yang adalah orang mati itu telah meninggal dunia pula.

Belum pernah terdengar kabar di dunia moderen ini bahwa ada orang mati dua kali. Pada zaman Yesus Kristus dua ribu tahun silam, memang ada riwayat orang mati dibangkitkan kembali. Artinya bisa ditebak bahwa sesudah itu dia mati lagi yang kedua kali, sebab mana ada orang biasa yang hidup abadi.

Kita mestinya berkata dengan akal sehat bahwa semua orang yang berkata dan bertindak di masa lampau adalah orang yang hidup walaupun kini dia sudah mati. Menurut hemat saya, salah kaprah jika kita menyebut "almarhum pernah menjabat ketua yayasan, sebab mana ada orang mati menjabat ketua yayasan.

Bung Karno adalah proklamator, dan Pak Harto itu adalah "bapak pembangunan". Kedua tokoh nasional itu sekarang sudah boleh disebut almarhum karena sudah mati. Tetapi, yang membacakan teks proklamasi itu adalah Bung Karno, dan yang membangun negeri ini adalah Pak Harto. Mereka bukan almarhum.

Umbu Rey

Mencuri

Mencuri itu berasal dari kata dasar "curi". Orang yang mencuri itu disebut pencuri atau maling, dan orang yang hilang barang-barangnya karena dicuri adalah korban pencurian lantaran dia kecurian.
Semua kata yang berkembang melalui kata "curi" itu masuk dalam kategori pidana kejahatan.

Menurut buku KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tindak kejahatan ini biasanya dihukum dengan kurungan badan dalam penjara yang berat ringannya bergantung pada pertimbangan Pak Hakim.

Meskipun begitu, ada juga kegiatan mencuri atau pencurian yang tidak diatur dalam KUHP, yakni "mencuri pandang" atau "mencuri hati". Pencurian model begini biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi supaya tidak ketahuan. Karena itu perbuatan ini tidak biasanya dilaporkan ke polisi. Walaupun demikian, "mencuri pandang" sering kali tidak menyenangkan juga bagi si tercuri lantaran dia merasa tidak nyaman.

Ada juga perbuatan lain yang disebut "mencuri kesempatan". Pencurian macam begini sama artinya dengan "mencari kesempatan". Ini jelas bukan kiasan, bukan pula tindak pidana sebab orang (perempuan) yang kecurian paling-paling cuma bisa menunjukkan sikap malu-malu kucing.

Kadang-kadang juga si perempuan malah merasa gede rasa atau GR sebab menjadi incaran pemuda ganteng. Kecuali jika yang tercuri itu merasa dilecehkan karena "anunya" dicuil-cuil maka "mencuri kesempatan" yang begini ini bisa masuk urusan kepolisian.

Dalam olahraga ada juga perbuatan mencuri. Apa pun modus operandinya, perbuatan mencuri itu adalah kejahatan. Atlet yang mencuri start dalam nomor lari 100 meter, misalnya, bisa kena diskualfikasi.

Anehnya, berita olahraga yang disiarkan Kantor Berita Antara dari Aceh menyebutkan bahwa Ketua Ikasi Aceh Anas M. Adm berkata, "Kita tetap optimistis Aceh pada PON Kaltim bisa mencuri satu atau dua medali emas dalam cabang anggar." Wah duh, optimistis kok mesti pakai mencuri medali.

Mencuri medali dalam kasus ini tidak dapat ditafsirkan sebagai metafora seperti pada kata "mencuri hati". Panitia pertandingan akan marah sebab telah kecurian dua medali emas oleh orang Aceh. Orang berlaga di arena pertandingan adalah untuk menguji atau mengadu kekuatan, keterampilan dan berlomba supaya mendapat medali. Karena itu atletnya jangan disuruh mencuri medali.

Anda sekalian tentu tahu, bahwa negeri yang baru saja dilanda konflik dan tsunami ini sedang giat-giatnya menjalankan Syariat Islam (SI). Maka dibuatlah peraturan daerah yang disebut "kanun". Konon, siapa saja yang mencuri akan mendapat ganjaran hukuman potong tangan
atau dicambuk.

Bagaimana nasib atlet anggar Aceh jikalau dalam PON nanti dia benar-benar mencuri medali emas. Gawat bukan? Maka jalan untuk menyelamatkan atlet itu dari hukuman menurut kanun, maka istilah "mencuri medali emas" itu mesti diganti dengan istilah lain yang bebas dari maksud pidana.

Jadi, apa istilahnya. Terserah Anda. Cuma saya khawatir, jangan-jangan istilah "mencuri emas" itu lalu berkembang menjadi "merampok emas". Ini kejahatan sesungguhnya, dan orang yang mencuri, jika tertangkap tangan, pastilah babak belur dihajar massa sebelum masuk bui.

Istilah olahraga memang suka bikin orang "cureng" atau mengerutkan dahi. Cureng itu terjadi karena orang "curiga". Kalau orang kedapatan mencuri, maka "curik" dan "cundrik" pun biasanya bertindak. Anak-anak yang kedapatan mencuri juga dihajar dengan "cunduk". Sebelum polisi tiba di tempat kejadian perkara tersangka pencuri akan "cungap-
cangip" kena bogem mentah.

Mencuri pandang biasanya dilakukan oleh laki-laki karena korbannya biasanya "cumil" dan "culun". Tetapi kalau perempuan suka berkata "cupar" wajahnya tidak akan dilirik orang laki. Kalau dilawan maka akan terjadi peristiwa "cura-mencura" atau "berucura-cura" atau saling cuci maki atau caci maki.

Kata-kata yang begini ini biasanya juga keluar dari mulut orang Ambon dan Timor atau orang Manado. Mereka suka bilang "cukimai". Anda tahu apa itu? Ah, itu bukan cukai, bukan pula "cucur".

Cukai berhubungan dengan "cukong" tetapi "cuki" digunakan orang untuk "cuca" seperti "cucurut". Cucur itu sejenis kue basah atau penganan yang dibuat dari adonan tepung beras dan gulan lalu digoreng.

Cuki itu bagi orang Ambon, Mando, atau di Timor bukan permainan seperti main dam untuk berjudi. Kata itu berasal dari bahasa Portugis "cuki" dan "mai". Ah sudahlah, ini bicara orang-orang yang berpikiran "cupet". Itu kata "cupar" juga.

Kata orang Sunda, kalau orang bercura-cura --kecuali jika cura itu diartikan sebagai olok-olok-- maka hati ini terasa seperti ditusuk "cucuk". Karena itu dalam olahraga atletnya tidak boleh "culas", harus jujur.

Lain halnya dengan kata "cumbu". Ini perbuatan mengasyikkan antara orang berlainan jenis kelamin yang sedang dilanda asmara. Kalau lihat yang begini, saya mah "cuek" saja meskipun kadang-kadang mencuri-curi kesempatan juga untuk melirik.

Ini cerita kok kepanjangan, ya? Jadi lebih baik kita cukupkan atau "cutel" sajalah sampai di sini.

Umbu Rey

Selasa, 29 Januari 2008

LOMBA versus TANDING

Bicara olahraga dalam acara lesehan diskusi bahasa Indonesia di Semarang (16/9/06) mungkin akan lebih marak kalau judul tulisan ini diketengahkan juga. Setakat ini orang (wartawan) peliput olahraga sudah tidak lagi dapat membedakan mana cabang olahraga yang
disebut "lomba" dan mana pula yang termasuk "tanding".

Hantam kromo asal tulis "lomba" dan "tanding" tersebar hampir di semua media massa. Pokoknya olahraga, pastilah disebut pertandingan atau perlombaan, tak peduli itu sepakbola atau renang. Akhirnya, wartawan pun tak lagi dapat membedakan kata "loncat" dan lompat". Lalu, mana yang benar, lompat "jingkat" dan atau lompat "jangkit?"

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga hal 680) mengartikan "lomba" adalah adu kecepatan (berlari, berenang dsb). Tetapi, wartawan menulis kecantikan, memasak, melukis, dan menyanyi itu adalah "lomba" atau perlombaan juga, padahal dalam kegiatan ini tidak ada unsur adu kecepatan lantaran waktunya sudah ditentukan.

Siapa yang berani bilang bahwa putri Indonesia 2006 Agni Pratistha juara lomba atau menang pertandingan kecantikan? Bukankah unsur kecantikan itu tidak ada hubungannya dengan adu kecepatan? Kecantikan itu adalah pemberian Tuhan (menurut orang yang percaya). Lalu, Tuhan berlomba dengan siapa sampai bisa menang ketika menciptakan Agni Pratistha?

Di atas panggung, para juri memasukkan unsur keterampilan, bahasa Inggris dan pengetahuan umum yang dimiliki sang putri untuk bisa menang dalam perlombaan. Apa hubungannya adu kecepatan (lomba) dan pengatahuan, umum dan keterampilan berbahasa
Inggris?

Keponakan saya di kampung kecantikannya bukan alang kepalang. Molek nian tiada tara. Itu menurut ukuran lingkungan di sana. Tetapi kalau dia ikut lomba kecantikan di Jakarta, pastilah dia kalah. Soalnya bapaknya miskin melarat, tidak bisa beli perona bibir (lipstick) untuk tambah kecantikan.

Lagi pula, keponakan saya itu anak dusun yang cuma tamat SMU. Tidak cukup pengetahuan untuk omong Inggris di atas panggung. Persoalannya, mungkinkah seorang dara dapat bertambah cantik dengan memasukkan unsur pengetahuan umum dan bahasa Inggris.

Jadi apa? Kecantikan itu lomba atau tanding? Susah. Sesungguhnya kecatikan adalah soal selera, bergantung sekali pada subjektivitas seseorang. Jadi, terserah orang memilih yang mana, sama seperti pemilu atau pilkada. Terserah yang memilih saja. Karena itu kecantikan, memasak, melukis, dan menyanyi sebenarnya bukanlah perlombaan. Tidak ada unsur kecepatan yang harus dicapai di situ.

Tanding itu apa? KBBI mengatakan (1) yang seimbang; yang sebanding, (2) satu lawan satu. Bertanding adalah berlawanan (dl berlomba, beradu tenaga dsb): Regu voli A bertanding dengan regu B di babak final. Seorang lawan seorang. (lihat KBBI edisi ketiga hal 1136.

Arti kata "tanding" ini tidak secara lebih jelas dan rinci menggambarkan unsur-unsur olahraga. Jadi, "tinju" itu pertandingankah atau perlombaankah, sepakbola itu perlombaan
atau pertandingan, dan atletik serta balap sepeda dan renang itu masuk jenis perlombaan atau pertandingankah?

Waktu saya di kampung dulu, guru olahraga saya berkata bahwa "perlombaan" adalah adu kecepatan, kekuatan, ketangkasan dan keterampilan dari dua orang atau lebih dengan tidak saling berhadap-hadapan. Contohnya, lari, renang (termasuk senam ritme dan loncat
indah), balap sepeda, tembak, dan panah.

"Pertandingan" adalah adu kekuatan atau ketangkasan ketika lawan dan timpalannya saling berhadap-hadapan di sebuah arena. Misalnya tinju, gulat, atau karate. Masuk dalam kata "pertandingan" adalah permainan dengan menggunakan alat. Misalnya sepakbola (bola kaki), bola voli dan sepaktakraw, anggar.

Karena itu, menyanyi, melukis, dan memasak itu tentu bukan pula pertandingan. Para penyanyi, pelukis, dan pemasak itu tidak saling berhadapan, dan tidak pula sedang mengadu kekuatan atau kecepatan. Mereka hanya memeragakan keterampilan.

Demikian pula "kecantikan" adalah kemolekan, atau keelokan wajah atau muka, yang "dari sononya" atau lahirnya memang sudah begitu. Mengapa pula dipertandingkan dan diperlombakan?

Sekarang soal "loncat" , "lompat", "jingkat" dan "jangkit". Menurut KBBI, "lompat" adalah bergerak dengan mengangkat kaki ke depan (ke atas, ke bawah) dan dengan cepat menurunkannya lagi, loncat. (hal 682).

Akh, lucu sekali definisinya. Kok, cuma angkat kaki ke depan ke atas dan ke bawah sudah dapat disebut "lompat". Pada hemat saya, dengan gerakan "lompat" maka tubuh secara keseluruhan haruslah pula melayang (terangkat) ke atas. Kalau hanya mengangkat kaki ke depan
dan menurunkannya lagi ke bawah, itu namanya "jalan di tempat" seperti orang menari poco-poco. Bukan lompat.

Di halaman yang sama, KBBI mendefinisikan "loncat" adalah lompat dengan kedua atau keempat kaki bersama-sama (seperti katak, dan kelinci), lompat. Jadi, menurut pengertian KBBI, "lompat" dan "loncat" itu hampir sama dan sebangun. Contohnya, lompat galah sama
saja dengan loncat galah. Padahal katak dan kelinci kalau meloncat atau melompat tidak pernah pakai galah. Loncat saja dia.

Guru saya di kampung bilang, "lompat" itu adalah gerakan untuk menaikkan seluruh tubuh dari bawah ke atas dengan bertumpu pada satu kaki. Contohnya, lompat tinggi, lompat jauh (pada atletik). Setelah sampai pada ketinggian tertentu tentu saja dia akan jatuh lagi ke bawah.

"Loncat" adalah gerakan menurunkan tubuh dari atas ke bawah dengan bertumpu pada dua kaki sekaligus. Contohnya, loncat indah (pada renang) dan terjun payung.

Sehubungan dengan kata "lompat" dan "loncat", kita kenal dalam atletik ada kata "jangkit". Yang umum kita baca dan kita dengar adalah "lompat jangkit" atau "loncat jangkit". Keduanya kerap dipakai secara bergantian. Yang jadi persoalan, manakah yang benar, "jangkit" atau "jingkat".

Sekali lagi kata guru saya di kampung. Dia bilang "jangkit" itu tidak ada hubungannya dengan perkara olahraga atletik. Awang Papilaya itu atlet lompat "jingkat". Dia bukan virus malaria yang sedang berjangkit. Bukankah "berjangkit" itu sama dengan "menular"?

"Jingkat" itu adalah gerakan melompat-lompat dengan bertumpu pada kaki kiri dan kanan atau kedua-duanya secara bergantian. Sama seperti lompatan anak kecil yang kegirangan menyongsong ibu atau bapaknya yang baru pulang dari kantor.

Karena itu, menurut hemat saya, pada atletik lebih tepat disebut "lompat jingkat".

Umbu Rey

"Allah" Nama yang Dipermasalahkan

SUARA PEMBARUAN DAILY

Bulan Desember 2007 dunia dikejutkan keputusan Pemerintah Malaysia yang tidak memperpanjang izin terbit The Herald, berita mingguan gereja Katolik. Alasannya The Herald menggunakan nama 'Allah' untuk menyebut Tuhan dan nama itu dianggap nama tuhannya agama Islam.

Pada akhir Desember izin itu kemudian diberikan, namun penggunaan nama Allah tetap dilarang. Fanatisme kepemilikan nama 'Allah' juga pernah dilontarkan sekelompok kecil masyarakat di Indonesia namun karena tokoh-tokoh muslim menyadari bahwa klaim itu tidak berdasar maka kemudian dilupakan.

Nama 'Allah' adalah nama untuk menyebut Tuhan semitik dalam bahasa Arab, dan nama ini sudah disebut jauh sebelum agama Islam hadir di abad-VII, sedini kehadiran bahasa Arab. Agama Semitik (Yahudi, Kristen, Islam) berasal dari rumpun keturunan Sem.

Arphaksad adalah putra Sem yang menurunkan bangsa Ibrani (dikaitkan nama Eber cucu Arphaksad), dan Aram putra Sem menurunkan bangsa Aram dan Arab.

Dalam hal bahasa, Aram lebih dahulu mengembangkan bahasanya dan nenek moyang bangsa Ibrani mengembangkan bahasa Ibrani dengan berakulturisasi dengan bahasa Kanani dan Amorit dan menggunakan abjad Kanani kuno (Funisia) yang kemudian berkembang dalam bentuk bulat karena pengaruh bahasa Aram.

Abraham berasal dari Mesopotamia dan berbahasa Aram, setelah hijrah ke Palestina, Ishak anaknya mengawini iparnya Ribka, saudara Laban yang tinggal di Mesopotamia, Laban dicatat Alkitab sebagai orang Aram berbahasa Aram (Kejadian 31:20,47).

Yakub, putra Ishak dan Ribka, mengawini Lea dan Rachel anak-anak Laban yang berbahasa Aram juga. Jadi orang Israel (keturunan Yakub) mengikuti bahasa Aram bahasa nenek dan ibu mereka. Alkitab menyebut orang Israel adalah keturunan Aram (Kejadian 25:5).

Ensiklopedia Islam (Cyrill Glasse, hlm.49-50) menyebut bangsa Arab adalah masyarakat Semit keturunan Quathan (Joktan, anak Eber) dan juga Adnan (hlm.12-13) yang menurunkan keturunan Ismael (putra Abraham), jadi bangsa Arab merupakan keturunan Semitik, Ibranik dan Abrahamik juga, jadi saudara sepupu bangsa Ibrani.

Bahasa Arab berasal bahasa kuno Aram dan aksaranya merupakan perkembangan dari aksara Nabati-Aram. Nama Tuhan 'El' (Il) sudah lama dikenal di Mesopotamia, dan dalam dialek Aram nama itu disebut 'Elah/Elaha, ' di Israel disebut 'El/Elohim/Eloah, ' dan dalam bahasa Arab disebut 'Ilah/Allah. '

Kata sandang difinitif dalam bahasa Aram adalah 'Ha' yang diletakkan di belakang kata, dalam bahasa Ibrani diletakkan di depan (Ha Elohim), sedangkan dalam bahasa Arab kata sandang ditulis 'Al' diletakkan di depan (Al-Ilah). Jadi baik El/Elohim/Eloah, Elah/Elaha, dan Ilah/Allah menunjuk kepada Tuhan Monotheisme Abraham yang sama, baik sebagai nama pribadi maupun sebutan untuk ketuhanan.

Di Israel, nama 'El/Elohim' adalah nama Tuhan sebelum nama 'Yahweh' diperkenalkan kepada Musa (Keluaran 6:1-2), itulah sebabnya sebelum Keluaran tidak ada nama orang yang diberi identitas nama 'Yahweh' (seperti Eli'yah') tetapi nama 'El' (a.l. Metusael, Ismael, Israel), dan sekalipun nama Yahweh sudah diperkenalkan, nama El tetap digunakan sebagai nama diri Tuhan.

'El, elohe Yisrael' (Kejadian 33:20;46:3) disetarakan dengan 'Yahweh, elohe Yisrael' (Keluaran 32:27; Yoshua 8:30). Dalam Perjanjian Lama, nama Elah/Elaha sudah ada dan ditulis pada abad-VI sM dalam kitab Esra yang ditulis dalam bahasa Aram dengan aksara Ibrani 'Elah Yisrael' (Allah Israel, 5:1; 6:14).

Dalam Alkitab Aram Siria (Peshita) digunakan nama Elah/Elaha juga. Setelah berkembangnya bahasa Arab, nama itu menjadi Ilah/Allah, dan orang-orang Yahudi yang berbahasa Arab dan orang Arab yang mengikuti kepercayaan Yahudi juga menggunakan nama Allah itu.

Pada jemaat Kristen pertama sudah ada orang Arab yang percaya dan menyebut nama Tuhan dalam bahasa mereka sendiri yaitu Allah (Kisah 2:8-11). Beberapa inskripsi Kristen pada abad-abad sebelum lahirnya agama Islam sudah menunjukkan penggunaan nama Allah itu, dan 'Injil Muqqadas' dalam bahasa Arab diterjemahkan ditahun 643 memuat nama 'Allah.'

Pada masa jahiliah pra-Islam, sebutan Ilah/Allah merosot dan juga ditujukan kepada Dewa Bulan/Air (di kalangan Ibrani, nama Yahweh juga pernah merosot digunakan untuk menyebut berhala Anak Lembu Emas, Keluaran 32:1-5; 1Raja 12:28), namun Arab Hanif termasuk suku Ibrahimiyah dan Ismaeliyah tetap mempertahankan nama Allah sebagai nama diri Tuhan Abraham.

Bahkan sebelum kelahiran agama Islam, nama Allah digunakan dalam pengertian nama diri Tuhan. Ensiklopedia Islam menyebutkan: Gagasan tentang Tuhan Yang Mahaesa yang disebut dengan nama Allah, sudah dikenal oleh bangsa Arab kuno, Ajaran Kristen dan Yudaisme dipraktikkan di seluruh jazirah. (hlm.50).

Nama "Allah" telah dikenal dan dipakai sebelum Alquran diwahyukan; misalnya nama Abd. Al-Allah (hamba Allah), nama ayah Nabi Muhammad. Kata ini tidak hanya khusus bagi Islam saja, melainkan ia juga merupakan nama yang oleh umat Kristen yang berbahasa Arab dari gereja-gereja Timur, digunakan untuk memanggil Tuhan. (hlm. 23)

Dalam Al-Quran beberapa kali disebutkan bahwa nama 'Allah' digunakan bersama oleh Umat Yahudi, Kristen dan Islam (misalnya QS.2:136). Nabi Muhammad mengakui pada masa hidupnya sudah ada orang Yahudi dan Kristen yang menggunakan nama Allah.

Dalam Al-Quran ditulis: (Yaitu) orang2 yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mereka mengatakan: Tuhan kami Allah, Jikalau tiadalah pertahanan Allah terhadap manusia, sebagian mereka terhadap yang lain, niscaya robohlah gereja2 pendeta dan gereja2 Nasrani dan gereja2 Yahudi dan mesjid2, di dalamnya banyak disebut nama Allah.

Sesungguhnya Allah menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sungguh Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. (Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, QS.22:40).

Agama-agama semitik sebelum Islam di kalangan berbahasa Arab sudah lama menggunakan nama 'Allah'. Jadi, nama 'Allah' bukan nama Islam saja tetapi nama Arab untuk menyebut Tuhan Abraham. Kini di negara-negara Arab, baik orang Yahudi, Kristen maupun Islam yang berbahasa Arab, semuanya menggunakan nama 'Allah' tanpa masalah.

Di Kairo kota lama, dipintu gereja Al Mu'alaqqah ditulis Allah Mahabah (Allah itu kasih) dan di pintu lainnya Ra'isu al-Hikmata Makhaafatu Ilah (Permulaan Hikmat adalah Takut kepada Allah). Sinagoga 'Ben Ezra' menyebut bahwa dahulu di situ Rabbi 'Moshe ben Ma'imun' menulis buku Al Misnah dan Dalilat el-Hairin dalam bahasa Ibrani dan Arab dimana 'El/Elohim' diterjemahkan 'Allah.'

Ada 29 juta orang berbahasa Arab yang beragama Kristen dan semuanya menyebut nama 'Allah,' dan di kalangan ini beredar empat versi Alkitab berbahasa Arab yang menggunakan nama 'Allah.'

Maka dari sini jelas bahwa bagi orang-orang Arab penganut Yahudi, Kristen, dan Islam, nama Allah digunakan bersama tanpa rasa curiga sebab mereka menyadari bahwa semua mempercayai Allah Abraham yang sama, sekalipun tidak disangkal adanya perbedaan akidah yang dipercayai oleh masing-masing mengingat ketiganya memiliki kitab suci yang berbeda.

Olaf Schuman teolog Kristen yang tiga tahun belajar di Universitas Al Ashar, Mesir, mengemukakan bahwa: "Memang tidak dapat disangkal adanya suatu masalah. Namun yang menjadi masalah ialah soal dogmatika atau akidah, sebab tiga agama surgawi itu mempunyai faham dogmatis yang berbeda mengenai Allah yang sama, baik hakekatnya maupun pula mengenai cara pernyataannya dan tindakan-tindakannya. (Keluar Dari Benteng Pertahanan, hlm. 175).

Dalam terjemahan Alkitab ke bahasa Indonesia, sejak awal nama Allah sudah digunakan. Daud Susilo, konsultan United Bible Societes, menulis: Dalam terjemahan bahasa Melayu dan Indonesia, kata 'Allah' sudah digunakan terus menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa Melayu yang pertama (terjemahan Albert Corneliz Ruyl, 1629).

Begitu juga dalam terjemahan Alkitab Melayu yang pertama (terjemahan Melchior Leijdekker, 1733) dan Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan Hillebrandus Corneliz Klinkert, 1879) sampai saat ini. (Forum Biblika, LAI, No.8/1998, hlm. 102) Alkitab berbahasa Melayu di Malaysia terbitan The Bible Society of Malaysia juga menggunakan nama 'Allah.' (Hal yang sama dilakukan dalam penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Inggeris di mana nama Arab 'Allah' diterjemahkan God).

Bila bangsa Arab pemilik bahasa Arab tidak mempermasalahkan penggunaan nama 'Allah' oleh agama-agama semitik, maka seyogianya bangsa-bangsa non-Arab juga tidak mempermasalahkannya.

Kesamaan nama 'Allah' yang disembah ketiga agama Semitik bisa menjadi perekat bahwa ketiganya sebenarnya bersaudara. Yang perlu disadari adalah bagaimana dalam keeksklusifan iman sesuai ajaran kitab suci masing-masing, agama bisa diamalkan dengan damai seperti yang diucapkan oleh Nabi Muhammad dalam Al-Quran (QS.22:40).

Herlianto, penulis buku berjudul "Siapakah Yang Bernama Allah itu?"

PAK HARTO PERGI MENINGGALKAN KATA

Sebagian orang yang fanatis murni mencintai kiprah Pak Harto, mungkin berkata bahwa "gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama" pastilah pas benar untuk menggambarkan sosok presiden kedua RI ini.

Pak Harto, tak dapat dipungkiri, memang telah memperlihatkan hasil kerja gemilang hampir di segala bidang kehidupan terutama pertanian, dan lumayan menyejahterakan rakyat Indonesia pada awal-awal masa jabatannya sebagai presiden.

Tetapi, bagi setengah orang yang tidak menyukai gaya kepemimpinannya karena menjadi korban kebijakan Pak Harto pada zaman Orde Baru, boleh jadi peri bahasa itu akan dipelesetkan menjadi, "rakyat mati meninggalkan tulang-belulang".

Pak Harto adalah sapaan khas buat mantan Presiden RI Soeharto yang meninggal dunia hari Minggu 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) pukul 13.10 Waktu Indonesia Barat (WIB). Dia dilahirkan di desa Kemusuk Jawa Tengah pada 8 Juni 1921 dari silsilah keluarga yang "pernah dipertanyakan".

Dia terlahir bernama Soeharto dan mendapat tambahan nama depan Muhammad dari raja Arab Saudi setelah naik haji tahun 1992. Pak Harto sendiri lebih suka disebut anak petani yang menjadi besar lewat perjuangan fisik pada masa pergolakan untuk mempertahankan kemerdekaan.

Lewat surat sakti Supersemar yang ditandatangani Bung Karno tahun 1965, dia lalu menumpas gerakan kudeta yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965, dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September/PKI.

PKI lalu dinyatakan sebagai partai terlarang, dan dibubarkan. Akibatnya, orang yang dituduh sebagai antek-antek PKI dibantai sampai mati tanpa proses pengadilan di banyak tempat, dan kesempatan kerja harus diisi orang-orang yang "suci" dari pengaruh PKI.

Setelah ditetapkan menjadi presiden menggantikan pendahulunya Bung Karno pada tahun 1966, Pak Harto lalu merancang program pembangunan yang disebutnya dengan istilah Repelita atau Rencana Pembangunan Lima Tahun. Pelita pertama lacar berjalan sampai pada Pelita kelima. Indonesia berhasil swasembada pangan (beras), rakyat pun dianggap makmur sejahtera.

Pada tahun 1977, dia membeli satelit komunikasi angkasa untuk maksud lebih mempererat negara kesatuan RI dan diberinya nama "Satelit Palapa. Nama Palapa diambilnya dari sumpah Gajah Mada di Kerajaan Majapahit yang menyatakan tidak akan makan rebung (palapa) sebelum seluruh Nusantara dipersatukan.

Pada tahun 1984 dia mencengangkan dunia ketika mendapat penghargaan dari Badan Pangan Dunia FAO (Food and Agriculture Organization-PBB) sebagai negara sedang berkembang yang mampu swasembada beras. Pak Harto lalu menyumbangkan 100 ton padi kepada sebuah negara miskin di Afrika.

Setelah lewat masa 25 tahun Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Pak Harto berambisi memasuki era industri. Pesawat terbang pun lalu dibikin, sebab katanya, Indonesia harus bisa sejajar dengan negara-negara yang telah lebih dahulu maju. Dia mengandalkan seorang jenius kelahiran Makasar bernama Habibie, untuk mengubah pesawat rongsokan Cassa 212 buatan Spanyol menjadi pesawat terbang lebih canggih.

Habibie, adalah ahli rancang bangun badan pesawat terbang yang mungkin satu-satunya di Asia yang diakui dunia. Habibie adalah lulusan terbaik dengan predikat suma cumlaude di Jerman dalam tekonlogi penerbangan, dan mendapat julukan "Mr Crack" karena keahliannya dalam menghitung keretakan badan pesawat.

Di tangan Habibie, pesawat baru pun tercipta dan Pak Harto memberinya nama Tetuko, yakni nama kecil tokoh pewayangan Gatot Kaca. Pesawat ini sebenarnya Cassa juga, sebab bentuknya tidak berubah, tetapi dibikin lebih besar sehingga mampu menampung 35 penumpang. Itu sebabnya pesawat itu disebut juga CN-235.

CN adalah singkatan dari Cassa-Nurtanio, dan angka 235 itu maksudnya adalah dua mesin dan 35 penumpang. Pada masa inilah tercipta pula sebuah istilah bikinan Pak Harto, yakni "masa tinggal landas", meskipun para pengamat beranggapan "kebablasan".

Pada bulan Januari 1988, pesawat CN-235 Tetuko terbang ke angkasa. Uji terbang pun dilakukan selama tiga hari dimulai dari pangkalan terbang Halim Perdana Kusumah. Pesawat buatan pabrik IPTN (dahulu Industri Pesawat Terbang Nurtanio) itu berhasil mendarat dan kemudian tinggal landas di lapangan terbang kecil Satar Tacik di Kabupaten Manggarai Flores Barat, lalu mampir di Penfui Kupang dan menginap di Dili Timor Timur.

Pada hari kedua pesawat itu lepas landas tanpa gangguan dari Dili, lalu mendarat di lapangan terbang kecil di Pulau Key Maluku Tenggara. Dari situ CN-235 mampir di Ambon, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Maluku Tengah dan mendarat mulus di Pulau Mangole.

Pesawat itu benar-benar memperlihatkan kecanggihannya sebab mampu tinggal landas di landasan pendek hanya 400 meter, tetapi tidak jadi gagal mendarat di Pulau Ternate karena hujan deras yang mengakibatkan cuaca buruk.

Pilot pesawat itu, Menteri Perhubungan Marsekal Rusmin Nurjadin, lalu membelokkan pesawat itu untuk terbang langsung ke Manado, dan menginap di sana sebab hari sudah hampir malam.

Pada hari ketiga, Tetuko diterbangkan ke bandara kecil di Pangkalan Bun Kalimantan Tengah, dan kemudian terbang lagi ke Surabaya. Ketika hendak mendarat di Surabaya, hujan dan guntur serta kilat sabung-menyabung seakan-akan menjebak Tetuko. Pesawat itu terguncang ke kiri dan ke kanan tetapi Pak Menteri Rusmin Nurjadin mampu mendaratkan pesawat itu dengan mulus. Tetuko berhasil memperlihatkan keunggulannya, kata Pak Menteri.

Pak Harto tetap tersenyum, tetapi kali ini terasa pahit lantaran situasi politik mulai gunjang-ganjing. Sebelum pesawat Tetuko itu terbang, dia telah lebih dulu mencaplok Timor Timur atas persetujuan Amerika Serikat, karena rakyat negeri itu telantar seperti anak ayam kehilangan induk setelah ditinggalkan penjajah Portugis.

Timor Timur bergolak setelah perang dingin usai. Ribuan orang mati terkapar karena perang saudara. Di depan hidungnya sendiri mahasiswa memberontak sebab korupsi ternyata merebak di mana-mana. Sebagian orang di lingkungan Pak Harto menjadi kaya raya, tetapi rakyat melarat di mana-mana.

Utang negara menggelembung, rakyat miskin membengkak jumlahnya mencapai lebih dari 30 juta orang. Angka kemiskinan itu diungkapkan oleh seorang begawan ekonomi yang kemudian menjadi besannya sendiri, Sumitro Djojohadikusumo.

Keadaan ekonomi mulai morat-marit sampai nilai uang terjun bebas ke titik paling rendah setelah dia menyatakan rupiah diambangkan terhadap nilai dolar. Pada tahun 1997 krismon (krisis moneter) benar-benar manjatuhkan nilai rupiah menjadi 16.000 untuk setiap satu dolar AS. Tetapi, Pak Harto menolak usulan pakar ekonomi untuk menetapkan nilai tetap (peg) terhadap dolar AS karena mengatakan tidak punya cadangan devisa untuk mendukung program pemulihan itu.

Sudah berapa lamakah dia berkuasa? Menurut istilahnya sendiri, Pak Harto menyebut sudah "anem" kali. Pak Harto memang punya kebiasaan menyebut angka enam dengan "anem", di samping kata "semangkin" untuk menyebut "makin".

Akankah dia melanjutkan kekuasaannya, Pak Harto ternyata serakah juga. Suatu saat sebelum tahun 1990, Pak Harto berkata, "Undang-undang Dasar 45 menyebutken seorang presiden dapet melanjutken daripada jabatannya itu. Sebab masa jabatan daripada presiden itu adalah lima tahun hehehe.., dan sesudahnya dapat dipilih kembali hehehe!" Begitu kira-kira kata Pak Harto yang disiarkan telelvisi. Terasa seperti berolok-olok, tetapi siapa berani membantah?

"Akan saya gebuk!" kata Pak Harto, meski bibir tetap senyum.

Dari tafsirannya itu seorang presiden tentu saja tidak dibatasi masa jabatannya menurut Undang-undang dasar 1945. Supaya jangan ada bantahan, media massa pun diberangus, dan setiap penerbitan koran harus memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP.

Orang awam dan masyarakat ramai tidak bisa bebas bicara, bungkam, tak bisa bikin komentar, sedangkan koran-koran hanya memuat berita yang baik-baik saja tanpa kritik. Bahkan seorang menteri pun hanya bisa bicara "atas petunjuk Bapak Presiden". Sejak itu Pak Harto mendapat gelar baru "otoriter".

Kapan Pak Harto berhenti? Putri sulungnya Mbak Tutut, suatu ketika pada awal 1990 pernah melontarkan kalimat "Bapak sudah cukup sampai di sini". Tak lama kemudian Pak Harto mengatakan, "Saya miris..." ketika diminta komentarnya tentang kelanjutan jabatannya.

Kata "miris" yang diambilnya dari bahasa Jawa, menjadi istilah yang begitu terkenal, sampai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun mencatatnya sebagai kosa kata baru yang masuk dalam khazanah bahasa Indonesia.

Pada tahun yang sama Pak Harto menciptakan istilah baru tentang masa kepimpinannya. Dia berkata sudah "semangkin" tua dan karena itu tidak akan terus selamanya menjadi presiden. Sebenarnya itu ungkapan jujur untuk tidak lagi menjadi orang nomor satu.

"Saya ini semangkin tua, tetapi biarpun begitu saya ini kan orang TOPP hehehe...tetapi top dengan dua huruf p. Artinya daripada kata itu adalah...Tua Ompong Peot Pikun, hehehe..,!" Senyum khasnya masih terus tersungging di bibirnya, seakan-akan dengan jujur mengatakan tidak akan menjadi presiden lagi.

Tetapi setelah itu senyum manis Pak Harto bisa ditafsirkan lain, sebab di baliknya ternyata terkandung pula sikap "mencla-mencle". Ketika istrinya Nyonya Tien meninggal dunia bulan April 1996, wajah Pak Harto seperti mengkerut, senyumnya hampir tidak lagi tersungging. Kalaupun terpaksa, senyum itu tidak lagi memancarkan rasa sejuk di mata pencintanya.

Pak Harto rupa-rupanya pantang mundur. Dia malah maju menjadi presiden RI untuk ketujuh kalinya, entah karena ambisi pribadinya, mungkin juga karena desakan orang dekat untuk menyelamatkan harta "hasil pembangunan".

Enam bulan sesudah istrinya meninggal dunia, Oktober 1996, Pak Harto pergi ke Kupang NTT untuk melihat hasil karya usaha anaknya Bambang Trihatmojo. Di Kupang NTT telah didatangkan lebih dari seribu ekor burung unta dari Zimbabwe, Afrika Selatan, untuk diternakkan di daerah kering itu.

Masyarakat petani di Pulau Timor menyambut kedatangan burung unta seperti malaikat penyelamat. Ketika burung itu tiba di Kupang, harga jagung naik seratus persen dari Rp250 per kilogram menjadi Rp500 per kilogram. Jagung adalah makanan utama burung-burung raksasa yang tak bisa terbang itu.

Pak Harto datang hanya didampingi putranya Bambang, dan di Kupang dia disambut meriah dengan alunan lagu merdu ciptaan Titiek Puspa. Dalam lagu itu Pak Harto mendapat puji-pujian dengan julukan "Bapak Pembangunan". Tetapi dia hanya membalas sambutan ribuan orang Kupang hanya dengan lambaian tangan.

Guratan ketuaan di wajahnya tak dapat lagi disembunyikan. Pak Harto masih dapat berbicara lantang di depan para petani setempat, tetapi suaranya kadang-kadang diselingi batuk-batuk kecil. Meskipun demikian Pak Harto masih dapat makan dan mengunyah jagung rebus di desa Polen kira-kira 150 kilometer di sebelah timur Kupang.

Pada tahun 1998, dua tahun sepulangnya dari Kupang, demonstrasi mahasiswa agaknya tak dapat lagi dibendung sebab Gedung DPR/MPR di Senayan seperti semut mengerubungi mangsa layaknya, penuh dengan mahasiswa sampai ke atap gedung. Pak Harto pun terpaksa turun.

Anehnya, burung unta yang sempat berkembang sampai lima ribu ekor lenyap karena mati semua. Dan, IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) yang kemudian berganti nama menjadi PT DI (Dirgantara Indonesia) kembang kempis nyaris gulung tikar.

Tuduhan koruptor semakin menyiksa diri, dan Pak Harto masuk dan keluar rumah sakit sampai lebih dari sepuluh kali sejak dia turun dari takhta kepresidenan. Akhirnya dia dijemput maut di Rumah Sakit Pusat Pertamina setelah 24 hari lamanya menderita sengsara di bawah siksaan alat canggih kedokteran.

Pak Harto pergi untuk selamanya dan pada akhirnya hanya meninggalkan kata-kata "anem" kali daripada masa jabatan, dan sesudahnya dapet dipilih kembali. Meskipun merasa "miris" untuk menjabat daripada presiden dan usia sudah semangkin tua tetapi masih mau meneruskan daripada tugas pemerintahan.

Dia meninggalkan warisan kata-kata lain yang mungkin akan tetap dikenang. Dia menyatakan dirinya orang TOPP, Tua Ompong Peot Pikun. Tubuhnya lemah lunglai dan seperti bukan "otoriter" dan Pak Harto "the smiling general" itu tidak bisa lagi "menggebuk" lawan politiknya.

Umbu Rey

Rabu, 23 Januari 2008

JUJUR

Ayah saya tidak meninggalkan harta kekayaan ketika pulang ke rumah Bapa tiga puluh tahun lalu. Dia miskin papa sebab tidak punya apa-apa. Kambing dia tak punya, kuda, kerbau, dan sapi apalagi. Semuanya sudah ludes direnggut kemiskinan.

Seekor kuda jantan yang telah saya latih untuk masuk arena pacuan di Pulau Sumba diambil juga oleh orang tak dikenal sebelum ayah saya mengembuskan napasnya yang terakhir. Padahal itulah kuda kesayangan saya.

Kuda putih kelabu itu telah saya latih berlari kencang melompati pematang sawah, dan menyeberang kali kecil berlumpur. Kadang-kadang saya pacu kuda jantan itu sekuat tenaga di pantai. Harapan saya, kuda itu akan masuk arena pacuan dan menang, mungkin dia dapat membawa sedikit rezeki untuk masa depan saya. Tetapi semuanya sirna.

Sepeninggal ayah, hanya ada beberapa ekor ayam betina yang sedang bertelur atau mengeram di belakang rumah. Dua ayam jago yang biasanya bertengger di pohon mangga pun tidak lagi berkokok menyongsong fajar. Ibu saya sudah menjual semuanya untuk ongkos adik-adik saya ke sekolah.

Meskipun begitu, ayah saya masih sempat menitipkan satu warisan sangat berharga buat saya. Ketika saya masih berada di dampingnya beberapa tahun sebelum menjadi mendiang, ayah saya selalu memberikan nasihat sederhana.

Ayah saya bukan penyair, bukan pula pendeta yang pandai berkata-kata dengan pantun dan syair yang indah-indah. Dia seorang yang bersahaja tamatan Zending Standard School pada zaman Belanda. Dia mengajar anak-anaknya hanya dengan teladan dan kata-kata secukupnya.

Dia tidak menasihati saya dengan kalimat yang panjang-panjang, tidak pula dengan kata-kata mutiara. Hanya ada satu kata yang masih terngiang-ngiang hingga kini, JUJUR.

"Umbu, berkata dan berindaklah dengan jujur sepanjang umurmu. Maka kau akan selamat," begitulah kata-kata yang selalu diucapkannya semasa hidupnya ketika menasihati saya.

Jadi, singkat kata, ayah saya itu sebenarnya hanya mewariskan tiga huruf saja kepada saya, sebab kata JUJUR itu hanya terdiri atas tiga buah fonem yakni J, U, dan R.

Kata JUJUR sebenarnya bukan milik ayah saya. Sudah banyak orang menyebutkan itu, bahkan buku-buku pun telah berkata "berjalan pelihara kaki, berkata pelihara lidah". Dalam buku yang lain ada juga tertulis "hidup matinya manusia itu sesungguhnya terletak di ujung lidah". Semua kalimat itu hanya menerangkan satu kata, yakni JUJUR.

JUJUR itu lebih mahal daripada intan berlian, lebih mahal pula dari emas dan tanah beribu hektare, bahkan tak dapat diukur nilainya dengan harta berlimpah. Tetapi, kata itu justru diabaikan orang, dan tidak ada orang memedulikannya. Jangan-jangan ibu dan bapak guru di sekolah tidak lagi mengajarkan kata-kata itu kepada murid-muridnya.

Zaman dulu ibu-ibu membuai anaknya di pangkuan agar tidur seraya menyanyikan lagu "Nak, jujurlah kau dan berbakti pada orang tua dan bangsa". Tetapi ibu-ibu muda sekarang ini menetekkan bayinya pun malu-malu, takut dilihat orang. Maka supaya anaknya tidur, dia menepuk-nepuk pantat bayinya sambil berujar," Hayo tidur.., ada polisi!" Ibu itu telah menipu anaknya dengan kehadiran polisi. Dia tidak jujur.

Kata JUJUR itu sekarang ini tidak laku lagi. Barang siapa berkata jujur akan terkubur di jurang kemiskinan, sebab dia tidak akan mendapat apa-apa. Uang dan harta tidak lagi didapat dari rumusan kata-kata jujur. Jangan pula mengambil jalan lurus sebab kita akan menjadi orang kurus. Lebih dari itu, orang jujur justru dimusuhi orang banyak.

Coba perhatikan turunan kata JUJUR berikut:

JUJUR ->MENJUJUR(KAN) ->PENJUJUR ->PENJUJURAN ->KEJUJURAN-->
JUJURAN.

Dari turunan kata JUJUR di atas hanya ada dua kata yang berterima. Karena itu, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga hanya mencatat kata JUJUR dan KEJUJURAN.

JUJUR artinya lurus hati, tidak bohong, tidak curang, tulus ikhlas, sedangkan KEJUJURAN adalah sifat (keadaan) jujur; ketulusan hati; dan kelurusan (hati).

Kata MENJUJURKAN sebenarnya berarti "menjadikan supaya jujur" tetapi kata itu tidak dikenal dalam bahasa Indonesia sebab tidak ada orang dapat dibuat supaya menjadi jujur.

Kata PENJUJUR (mungkin) berarti orang yang berkata jujur atau suka kejujuran, tetapi kata itu tidak digunakan juga dalam bahasa Indonesia, mungkin karena tidak berguna. Kata yang beralawanan dengan itu justru sangat populer, yakni PEMBOHONG, PENIPU, dan PENDUSTA.

Itu sebabnya kata TIPU, DUSTA, atau BOHONG ditulis dan diartikan secara lengkap dalam KBBI. Perhatikan turunan kata BOHONG berikut:

BOHONG ->MEMBOHONG ->PEMBOHONG ->PEMBOHONGAN ->
KEBOHONGAN.

Semua kata turunan di atas berterima dalam bahasa Indonesia lantaran selalu diucapkan dan dilakukan oleh hampir setiap orang. Pembohongan itu sama dengan penipuan dan pendustaan. Artinya, proses, atau cara perbuatan menipu, atau membohong, mendusta.

Setakat ini orang agak enggan bilang "tipu" sebab katanya, dia beragama. Supaya jangan ketahuan dia berbuat curang maka kata-kata tipu dan bohong itu dipelesetkan menjadi "tisani". Kepanjangannya sama juga, tipu sana tipu sini.

JUJUR menurut versi ayah saya itu tidak diperolehnya dari kitab suci. Kata JUJUR itu sebenarnya sudah diturunkan dari nenek moyangnya yang tidak mengenal agama. Nenek moyang saya animisme, bahkan mungkin primitif, tetapi tulus ikhlas mengajarkan anak-anak dan cucunya tentang kejujuran. Barang siapa tidak jujur akan dihukum berat, dibuang ke perasingan sampai dia dapat menebus kebohongannya itu.

Di negara ini adakah kejujuran? Rasanya tidak ada. Orang lalu menciptakan agama yang menuntut setiap umat untuk melakukan ritual. Tetapi kenyataannya, agama itu tidak dapat menciptakan kejujuran, bahkan orang-orang beragama itulah yang paling nomor satu berbuat curang, dan berdusta. Agama ternyata tidak dapat menyelamatkan orang dari kebohongan dan kedustaan.

Rasa-rasanya di Asia Tenggara ini cuma negara Indonesia yang memiliki Departemen Agama yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan agama. Kata "agama" itu diserap dari bahasa Sanskerta. "A" atau "an" yang berarti "tidak", dan "gama" berarti kacau. Jadi "agama" sebenarnya berarti "tidak kacau". Tetapi, berita yang tersebar menyebutkan Indonesia adalah negara paling korup di Asia Tenggara.

Lalu, apa yang terjadi? Kekacauan dan haru biru terjadi di mana-mana, dan sejumlah kebobrokan justru lebih banyak dipicu oleh masalah agama. Korupsi terbesar justru terjadi di Departeman Agama, dan melibatkan menterinya juga.

Jadi, kalau dipikir-pikir, Departemen Agama itu adalah lembaga negara yang mengatur hal-hal yang tidak kacau menjadi kacau-balau. Maka, agama sebenarnya bukan cara untuk menjadikan orang supaya JUJUR. Agama ternyata tidak dapat menyelamatkan manusia dari kemunafikan dan dan mengangkat orang dari jurang nista kebohongan. Jangan-jangan agama itu cuma topeng orang beriman belaka.

Bukankah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) itu dilakukan oleh orang-orang yang beragama? Bahkan, korupsi itu pun dilakukan secara berjemaah. Terjadilah penipuan di mana-mana. Semakin banyak penipu yang telah menjadi jaya dan kaya raya, tetapi yang kerja jujur cuma bisa gigit jari.

Kalau begitu, mengapa di negara ini tidak dibuat Departemen Kejujuran saja? Apanya yang mau diatur. Kalau semua orang sudah jujur tentu tidak perlu ada departemennya. Begitu juga kalau semua sudah sejahtera, buat apa ada Departemen Sosial. Tetapi Departemen Sosial juga tidak membuat orang jadi sejahtera, sebab di situ terlalu banyak orang tidak jujur. Itu sebabnya Presiden Gus Dur membubarkan departemen itu ketika dia berkuasa.

JUJUR itu berlaku universal. Dia ada di mana-mana, bahkan dipakai juga oleh kelompok penjahat dan perampok berjemaah. Kalau seorang anggota kelompok penjahat itu tidak jujur maka mereka mungkin akan saling membunuh.

Tetapi sebaliknya tipu-menipu itu hanya ada pada orang jahat dan di dalam pribadi tiap-tiap orang yang berbuat curang. Di mana-mana ada orang penipu, orang yang tidak jujur.

Orang-orang yang tidak jujur itu juga ada juga di dalam Lembaga Kantor Berita Antara ini. Buktinya apa? Lembaga ini kita ketahui hampir tenggelam karena krisis keuangan. Kenapa begitu, karena pendahulunya sudah mewariskan kepada kita orang-orang yang tidak jujur.

Tahukah Anda, berapa besar uang dihambur-hamburkan untuk membayar tunjangan fungsional? Sudah miliaran rupiah uang yang dibayarkan hanya untuk memproduksi berita sampah. Tunjangan fungsional itu tiada lain dari bentuk ketidakjujuran (baca: korupsi) yang ditakar dari jumlah nilai kredit berita.

Sistem nilai kredit yang menempatkan orang (wartawan) pada jabatan fungsional itu sebenarnya sudah lapuk ketika Muhamad Sobary masih menjabat pemimpin umum. Sistem itu tidak menghasilkan apa-apa bagi lembaga. Uang terlalu banyak dihambur-hamburkan tetapi hanya menghasilkan sampah yang membuat pelanggan "mengomel-ngomel".

Sistem nilai kredit itu juga tidak mendidik wartawan untuk menjadi profesional sebab yang dicari bukan peningkatan keterampilan, bukan pula kualitas berita, tetapi semata-mata uang tunjangan fungsional untuk memperbesar pendapatan. Sekarang ini, ditambah lagi dengan pembagian uang PSO (Public Service Obligation), yang dibayarkan berdasarkan ketentuan jumlah berita. Yang paling rajin melepaskan berita, meskipun asal-asalan, akan menerima uang jutaan rupiah tambahan di luar gaji bersih.

Berita sampah berserakan di mana-mana dan wartawannya mirip pekerja kuli bangunan. Mengapa menjadi sampah, karena sebagian besar --menurut pengamatan saya-- wartawan kita justru bekerja tidak jujur.

Perhatikan berita-berita yang dihasilkan atau ditulis wartawan lembaga kantor berita Antara ini. Adakah tulisan itu dibuat dengan benar untuk kepentingan pelanggan? Sebagian mungkin, tetapi lebih besar jumlahnya hanya dibuat asal jadi, sekadar untuk menaikkan tunjangan fungsional, dan jumlah uang PSO tiap bulan.

Redakturnya juga tidak jujur, karena melepaskan berita tanpa suntingan. Semuanya dengan alasan kejar kredit dan tunjangan PSO. Seorang redaktur melepaskan berita lebih dari 60 bahkan sampai 100 berita sehari itu sebenarnya tidak masuk akal. Sebab dia tidak sekadar membaca tetapi harus memperbaiki setiap berita dan tulisan, karena memakan waktu cukup lama.

Lihatlah nilai berita yang diberikan. Teman-teman saya di media massa pelanggan kita suatu hari bertanya, apa arti huruf A dan B atau C di belakangan kode itu. Saya menjawab apa adanya bahwa itu adalah nilai berita. A (sangat bagus), B (bagus) dan C (cukup).

Teman-teman saya sampai terkekeh-kekeh sebab perutnya berasa geli. "Mosok berita kayak sampah gitu, salahnya banyak amat, kok nilainya A?" Lalu saya mau bilang apa? Sebuah berita bernilai A kadang-kadang hanya karena menyiarkan berita mengenai Presiden SBY. Walaupun nama SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) itu sendiri ditulis secara salah, wartawannya tidak mendapat teguran atau hukuman padahal itu salah fatal.

Ketika berita tentang SBY itu diralat, maka ralatnya pun diberi nilai A (hehehe.., berita salah kok dikasih nilai A). Kadang-kadang sebuah berita yang diralat, ralatnya pun diralat karena salah. Anehnya, berita ralatnya pun mendapat nilai B juga. Hahaha...!

Dalam milis ini saya pernah menyinggung bahwa kita sudah beberapa kali melaporkan berita bohong. Mungkin tidak akurat, dan ketika berita itu ditulis apa adanya, atau asal jadi maka penulis berita itu sesungguhnya sudah melakukan perbuatan tidak jujur atau bohong.

Lalu, mengapa ketika Pak Asro Kamal Rokan menjabat pemimpin umum, sistem itu diberlakukan kembali? Karena telah menguntungkan sekelompok orang (pejabat) yang melihat kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi.

Mereka sebenarnya sadar sistem ini tidak tepat, tidak mencapai sasaran. Tetapi, mereka tidak jujur, dan memberlakukan juga sistem yang sama dengan menciptakan redaksi begitu banyak. Tiap-tiap kepala redaksi diberi tunjangan masing-masing Rp60 juta di luar transport, uang makan dan tunjangan jabatan.

Kerja kepala redaksi itu apa? Tidak jelas juga. Sebab uang yang Rp60 juta itu ternyata bukan insentif untuk mendorong mereka supaya menghasilkan berita bermutu atau memperbaiki kerja redaksi. Mereka ternyata hanya duduk (pura-pura) memelototi komputer dan kemudian pulang. Sebagian dari antara mereka memanfaatkan waktu luang untuk mencari gelar S-2.

Mengapa sekarang lembaga ini krisis uang? Karena pendahulu kita juga tidak jujur. Semua orang di lembaga ini pastilah sudah tahu bahwa gedung yang kita banggakan ini sebenarnya bukan lagi milik Antara.

Pak Asro Kamal Rokan tampaknya gagal mengembalikan harta kekayaan lembaga Antara. Dia berkata bahwa pembentukan perum menggantikan lembaga kantor berita sebenarnya satu tarikan napas untuk upaya kita mengambil kembali gedung ini. Tetapi banyak orang berkata mustahil dapat dikembalikan menjadi milik Antara.

Konon, menurut cerita Pak Sobary kepada saya, pembangunan gedung empat lantai di Pasar Baru itu sudah digelembungkan sampai lebih dari dua miliar rupiah. Begitu juga pembangunan rumah karyawan di Tambun Bekasi itu digelembungkan sampai lima miliar rupiah. Maka habislah uang Antara dikuras oleh orang yang tidak jujur.

Ketika minggu lalu saya jalan-jalan ke Pasar Baru, saya mendapat keterangan dari Kepala Biro Foto, Oscar Motulloh, bahwa museum foto di situ terpaksa direnovasi karena pembangunannya ternyata asal jadi. Itu sebabnya begitu ada gempa dengan sekali guncangan saja, tangga di ruang depan itu langsung retak. Karena tangga itu dibuat secara tidak jujur.

Jadi, apa lagi yang dapat saya perkatakan tentang hal tidak jujur itu? Terlalu banyak dan akan penuh halaman ini hanya untuk menuliskan kata tidak jujur itu. Tetapi, saya sulit sekali untuk menulis di milis ini tentang orang yang telah memberikan teladan bagaimana hidup JUJUR. Di sini, di lembaga ini, tidak ada kejujuran, lantaran tidak ada orang jujur.

Memang betul, tidak ada orang yang jujur seratus persen, tetapi mengapa orang tidak pernah pula berusaha untuk menjadi orang jujur? Jangankan berusaha, berniat untuk jujur pun tak. Kompas dan Tempo itu adalah media cetak yang dipercaya orang, karena berita yang dihasilkannya dapat dipercaya. Mereka jujur menceritakan fakta. Reuters dan AFP juga menjadi tepercaya karena mereka menulis berita secara jujur.

Dalam teori jurnalistik wartawan seharusnya memberitakan fakta sebagaimana adanya. Tidak boleh dilebih-lebihkan dan tidak boleh juga dikurang-kurangkan. Fakta apa adanya itu adalah kejujuran menuliskan fakta.

Kita mencari hidup berdasarkan kepercayaan. Sebab itu, sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya. JUJUR itulah yang akan menyelamatkan kita.

Moto kantor berita Antara seharusnya berbunyi: CEPAT, JUJUR, DAN LENGKAP. Tetapi sekarang sudah diganti oleh anak-anak muda pembaruan di Perum LKBN Antara menjadi Cepat, Akurat, Penting. Sudah melenceng dari kejujuran.

Umbu Rey

Selasa, 22 Januari 2008

Musim "penghujan"

Waktu saya masih bersekolah di kampung dahulu, guru saya berkata, "Indonesia hanya memiliki dua musim saja, yakni musim kemarau dan musim hujan."

Di Jakarta, orang menyebut musim di Indonesia jauh lebih banyak jumlahnya daripada di Eropa (yang hanya punya empat musim) sebab di samping dua musim yang disebut oleh guru saya, semua hal bisa menjadi musim.

Ada musim duren, ada musim rambutan, ada musim kawin (tetapi tidak ada musim hamil), dan belakangan ada pula musim haji. Kalau penyakit demam berdarah melanda Jakarta, itu artinya musim demam berdarah, dan kalau semua orang batuk dikatakan musim batuk. Begitu juga kalau semua terkena virus gatal maka orang pada garuk-menggaruk, dan itu artinya musim gatal-gatal.

Maka itu kalau anak tetangga sudah mencret dan yang lain juga ikut mencret, maka orang cenderung berkata itu sudah musimnya. Saya pikir, aneh juga bangsa ini. Orang mencret kok dibilang musim.

Ketika air mulai jatuh dari langit antara bulan September hingga April tahun berikutnya para wartawan (terutama Kantor Berita Antara) menyebutnya dengan istilah musim "penghujan". Musim ini disebut juga terjadi di "penghujung" tahun, tetapi tidak pernah mereka sebut di "pengawal" tahun.

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengatakan hujan adalah titik-titik air yang berjatuhan dari udara. Dari kata "hujan" itu turun kata berhujan, menghujan, menghujani, menghujan-hujankan, dan kehujanan.

Tetapi tidak terdapat kata "penghujan". Entah bagaimana riwayatnya sampai ada musim "penghujan", terus terang saya tidak tahu sama sekali. Teman-teman saya berkata bahwa kata "penghujan" itu tidak perlulah dipercakapkan sebab demikianlah perkembangan bahasa yang mesti kita terima.

Saya mencoba mengikuti perkembangan bahasa menurut versi mereka, tetapi ketika saya menulis istilah kalimat "musim pembanjir telah berlalu", mereka malah protes. "Itu salah!," katanya.

Kalau musim "penghujan" itu kita akui sebagai perkembangan bahasa, mengapa tidak ada musim penduren, musim perambutan, musim pengering, musim pengawin, dan musim penghaji?

Ah, ini pikiran tampaknya kurang beres.

13 Februari 2007

Umbu Rey/Antara

Pinang

Yang saya tahu, PINANG adalah buah yang isinya digunakan untuk teman makan sirih. Bentuknya mirip dengan kelapa sawit, besarnya juga hampir sama. Buah itu berserabut seperti kelapa, dan di dalam batoknya ada daging.

Di kampung saya, daging pinang ini ditumbuk atau dimakan (dikunyah atau dimamah) sekaligus dengan buah sirih dan kapur. Buah sirih itu bentuknya bulat panjang seperti telunjuk orang dewasa. Campuran ketiga unsur ini lalu menghasilkan liur atau ludah berwarna merah. Ada yang dibuang atau disemprotkan tetapi kadang-kadang- kadang ditelan juga.

Di Pulau Timor atau Flores, orang kampung juga biasa makan sirih, tetapi yang mereka makan bukan buah sirih tetapi daunnya bersama-sama dengan daging buah pinang dan kapur secukupnya.

Makan sirih tampaknya kebiasaan orang Melayu se-Nusantara. Di Pulau Sumatera, kadang-kadang orang menggunakan kerakap sebagai ganti daun sirih. Kerakap adalah sirih juga tetapi daunnya agak lebih lebar dari sirih. Tumbuhnya di atas batu sehingga ada peribahasa "seperti kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak hendak".

Entah macam apa enaknya orang mengunyah atau memamah sirih, saya tidak bisa menggambarkannya. Ketika suatu ketika saya mencoba mengunyah sirih, pinang dan kapur, di Pulau Timor, beberapa saat kemudian kepala saya terasa oleng alias pusing, sedangkan lidah dan gusi terasa perih.

Di kampung saya "makan sirih" itu bukan cuma kebiasaan, tetapi tampaknya sudah merupakan keharusan seperti layaknya orang merokok. Itu sebabnya jika seseorang berkunjung ke rumah tetangganya, maka yang lebih dulu disuguhi oleh tuan rumah untuk menyambut tamunya adalah hidangan sirih, pinang dan kapur. Setelah itu, Anda dapat melihat pemandangan orang mengobrol sambil mengunyah, persis kambing memamah biak.

Suguhan berikutnya barulah kopi atau minuman lain. Itu pun kalau ada dan tersedia di rumah. Karena itu suguhan minuman itu tidaklah terlalu penting. Kalau yang mengunyah sirih itu kaum perempuan, maka dapatlah dipastikan "ngobrolnya" semakin asyik, lama dan panjang-panjang ceritanya. Kadang-kadang tidak tentu juntrungannya. Topik pembicaraan juga tidak jelas, tetapi bibir tetap mengunyah tidak ada hentinya.

Di kampung saya ada kebiasaan setelah habis makan sirih dan pinang. Sesudah sirih dan pinang ditelan dan ludah merah sudah mengering, maka perempuan-perempuan itu lalu menyumpal bibir mereka dengan segumpal tembakau.

Entah apa maksud dan tujuan menyumpal bibir dengan tembakau, saya tidak tahu persis. Tetapi setelah habis ngobrol, maka bibir perempuan pemakan sirih itu akan kelihatan memble semua. Anda tahu kan apa itu memble?

Kata "memble" itu adalah bahasa percakapan atau bahasa gaul pada era tahun 1980-an. Memble artinya bibir yang terkelepai ke bawah. Kata itu bersinonim dengan "dower". Bisa juga berarti dungu, bodoh atau jelek. Lawan katanya adalah "kece" (cantik).

Akibat dari makan sirih itu lain lagi. Jangan heran, halaman rumah orang di kampung saya biasanya berwarna merah kehitam-hitaman di mana-mana. Itu bukan hiasan tetapi bekas semprotan ludah sirih.

Penyakit? Jorok? Akh itu kan kata orang di kota besar saja. Soalnya orang kota tidak biasa makan sirih. Sirih pinang dan kapur yang telah dikunyah justru memiliki khasiat sangat besar untuk mencegah penyakit.

Gara-gara makan sirih pinang, gigi orang di kampung saya memang berwarna merah semua, tetapi jarang tanggal walaupun usianya sudah di atas 80 tahun. Mereka juga hampir tidak pernah mengeluh sakit gigi.

Orang-orang kampung yang makan sirih pun nayris tak pernah mengenal sakit kanker dan paru-paru atau penyakit dalam yang lain meskipun banyak yang jarang mandi.

Kebanyakan orang dusun di kampung saya memang tidaklah maju seperti daerah lain. Masih ada di antara mereka yang lebih percaya sirih pinang daripada ilmu kedokteran untuk menyembuhkan penyakit. Kalau sakit "tertikam" (dada terasa tertusuk karena masuk angin) maka sirih pinang lalu dikunyah dan ampasnya disembur di tempat sakit. Sebentar juga sembuh.

Banyak di antara mereka terheran-heran jika seorang dokter menyuruh mereka menelan obat kalau menderita sakit kepala. "Sakit saya kan ada di kepala, mengapa obat dimasukkan ke dalam perut?" kata mereka.

Memang kelihatannya aneh dan bodoh, tetapi ini terasa lebih jujur daripada pertanyaan "mengapa uang negara kok bisa jadi uang pribadi?" Ini sebuah keahlian dalam bidang tipu-menipu atau korupsi yang telah banyak menelan korban orang kampung.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga pada halaman 874 menerangkan arti kata "pinang" adalah tumbuhan berumpun. Dari kata "pinang" itu turun kata meminang -->peminang peminangan-- > pinangan.

Meminang bukan lagi berarti makan sirih tetapi meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri. Peminang ada dua artinya, bisa berarti tempat sirih, tetapi dapat juga berarti orang yang meminang, atau orang yang melamar perempuan untuk dijadikan istri.

Peminangan adalah proses meminang dan pinangan adalah permintaan hendak memperistri seorang perempuan. Meminang tidak lagi dikenal orang di kota besar semisal Jakarta, mungkin sebab mereka tidak biasa makan sirih.

Orang kota kalau "ngebet pingin kawin" biasanya menggunakan istilah "melamar" gadis, sedangkan orang kampung biasanya "meminang" perempuan pujaan. Si kembar cantik jelita biasanya dilukiskan seperti pinang dibelah dua. Sama persis rupanya.

Upacara perkawinan di kampung saya biasanya terasa lebih sakral daripada hingar-bingar dan hiruk-pikuk perkawinan mewah artis dan selebritis di kota besar. Orang kampung setelah kawin pun jarang cerai kecuali mati, sebab sirih dan pinang begitu erat mengikat kedua mempelai sampai akhir hayat.

Adakah emas dan berlian itu lebih hebat dari sirih dan pinang? Mungkin, tetapi lamaran orang kaya tidak jarang ditolak karena emas dan berlian tidak mencukupi permintaan. Anehnya, setelah kawin dan bahkan setelah punya anak sekalipun, emas berlian itu pun tak sanggup mempertahankan kerukunan rumah tangga mereka.

Di kota-kota besar di Indonesia, orang hidup dalam kepalsuan emas dan berlian. Bicaranya hebat dan suka menukas atau menuduh orang dengan alasan yang tidak cukup. Barang yang bukan dia punya diakunya sebagai miliknya, padahal dia sendiri mencuri barang orang lain.

Anggota milis ini lebih baik disuruh makan sirih pinang saja supaya mereka hidup rukun seperti pohon pinang yang tumbuh dalam rumpun yang damai seperti orang-orang di kampung dan di desa-desa.

Sirih pinang itu punya siapa? Barang siapa terbiasa makan sirih pinang maka dialah yang empunya. Dia berhak memberikan itu kepada orang lain dan orang lain pun berhak makan sirih tanpa minta permisi.

Kalau Malaysia negara tentangga kita itu lantas mengklaim sirih dan pinang itu milik dan kebiasaan rakyatnya, biarkan saja. Sebab nanti giginya pada merah semua, dan gedung pencakar langit Petronas itu mungkin akan disembur dengan ludah sirih.

Coba kalau Siti Nurhalizah dikasih makan sirih, dan sesudah itu bibirnya disumpal dengan segumpal tembakau. Itu penyanyi cantik jelita dari negara jiran akan memble juga. Pasti. Jadi, mari kita makan sirih pinang daripada caci-memaki.

Jakarta, 13 Desember 2007
Umbu

Perihal "Ichthus"

"Ichthus" pastilah bukan kata dalam bahasa Indonesia. Jelas, bukan juga bahasa Inggris. Soalnya, dalam kamus Inggris Indonesia karangan John Echols dan Hassan Shadily kata itu tidak tercantum. Dalam kamus The American Heritage Dictionary (yang saya miliki) juga tidak ada, pun dalam kamus Oxford Advanced Leaner's kata "ichthus" itu tak tampak.

Kamus sangat tebal di depan saya, yakni Webster's Third New International Dictionary cetakan tahun 2002 saya bolak-balik, dan barulah saya temukan kata "ichthus" pada halaman 1121.

Sebuah radio swasta di Semarang juga menggunakan nama "ichthus". Jika ditilik dari isi siarannya, radio itu dapatlah dinyatakan berkumandang lebih banyak untuk misi agama Kristen, tetapi pendengar radio itu tampak-tampaknya tak mengerti mengapa radio itu bernama "Ichthus".

Ketika saya bertugas di Semarang tujuh tahun silam, radio swasta itu menyelenggarakan kuis berhadiah lewat udara untuk menebak arti kata "ichthus" itu. Jumlah hadiah (uang) ditambah terus setiap kali pendengarnya tak dapat menjawab arti kata itu.

Sesudah berhari-hari bahkan sampai berbilang minggu, tak seorang pun pendengarnya dapat menjawab pertanyaan itu walaupun hadiahnya ditingkatkan terus jumlahnya. Saya tak tahu persis apakah pertanyaan itu sudah tertebak oleh salah seorang pendengarnya, sebab beberapa minggu kemudian sebelum kuis itu dihentikan, saya sudah dipindahkan dan bertugas lagi di Jakarta.

Tentu saja kata "ichthus " itu tidak tertebak, pikir saya, sebab kata itu memang asing di telinga pendengarnya dan susah pula diucapkan oleh orang Jawa pada khususnya. Lagi, pula orang muda zaman saiki pun tidak terlalu peduli dengan arti sebuah nama.

Padahal, orang Jawa pada umumnya biasa memberi nama anaknya dengan makna tertentu. Misalnya, Bejo artinya untung, Sugeng berarti selamat, dan Suharto dari kata Su (artinya bagus) dan Harto artinya banyak harta. Ada olok-olok yang mengatakan kalau ingin menjadi kaya raya dan berkuasa, berilah nama Suharto kepada anak Anda.

Pada zaman dahulu, setiap nama selalu mempunyai makna. Dalam kitab Taurat misalnya, Israel itu berarti kemenangan. Nama Israel itu muncul ketika Yakub menang sesudah bergumul sepanjang malam sampai fajar dengan seorang malaikat Tuhan dalam peristiwa Pniel, di seberang Sungai Yordan.

Israel itu muncul dari keturunan Yakub, dan Yakub itu sendiri artinya penipu, sebab dia telah menipu ayahnya agar mendapat berkat lebih banyak dari kakak kembarnya Esau. Ayah Yakub bernama Ishak yang diberi arti "tertawa" karena ibunya tidak percaya ketika diberi tahu akan melahirkan seorang anak laki-laki. Ibunya adalah perempuan cantik bernama Sarah yang berarti permaisuri. Ketika melahirkan Ishak Sarah sudah berusia lebih dari 70 tahun.

Keturunan Yakub itulah yang kemudian melahirkan seorang pesuruh Tuhan bernama Musa. Ketika masih bayi, kedua orang tuanya, Amram dan Yokhebet, menghanyutkannya dalam peti kecil ke dalam sungai agar terhindar dari kekejaman Raja Firaun. Bayi itu ditemukan oleh putri Firaun dan diberinya nama Musa, yang artinya diselamatkan dari dalam air.

Adakah Tuhan itu memiliki nama? Ketika Musa bertanya "Tuhan, siapakah yang menyuruh aku menghadap Firaun?" Terdengar suara dari dalam belukar yang menyala-nyala, "Katakan saja Yahwe, yang artinya Aku Ada yang Aku Ada."

Dalam buku Nyanyian Rohani kuno yang saya miliki, kata "ichthus" itu disebutkan berasal dari bahasa Gerika yang umumnya digunakan orang di Kerajaan Roem atau Romawi pada abad pertama Masehi.

A. Merriam Webster yang menerbitkan kamus Webster yang saya sebut di atas memungut dan mencatat kata "ichthus" dan menerjemahkannya dalam bahasa Inggris dengan arti "fish" yang dalam bahasa Indonesia berarti "ikan".

Perkataan ikan itu sangat penting dalam agama Kristen pada abad pertama dan karena itu kata "ichthus" diambil atau dilukiskan sebagai simbol bersama dengan sebakul roti yang berisi lima ketul. Ikan dan roti itulah yang populer sebagai simbol Kristen di samping kayu salib.
Mungkin juga karena roti dan ikan itu merupakan makanan pokok untuk menyejahterakan rakyat Yahudi ketika itu. Murid-murid Yesus pun semula adalah nelayan yang sangat dekat dengan kehidupan laut dan ikan.

Pada masa itu, menurut cerita Alkitab, Yesus membuat mukjizat luar biasa sesudah dia berkhotbah di hadapan lebih dari empat ribu orang. Yesus melihat orang banyak itu lapar sebab hari sudah hampir petang, tetapi menemukan hanya ada lima ketul roti dan dua ikan. Yesus memberkati lima roti dan juga dua ikan itu, lalu menyuruh murid-muridnya membagi-bagikannya kepada orang-orang banyak itu.

Setelah orang-orang itu selesai makan, Yesus menyuruh murid-muridnya untuk mengumpulkan roti yang tersisa, dan ternyata masih ada 12 bakul penuh. Angka 12 itu kebetulan juga berarti 12 suku Israel dari turunan anak-anak Yakub.

Yesus juga memiliki murid yang jumlahnya 12 orang. Ketika seorang muridnya yang ke-12 berkhianat dan menjualnya kepada orang Yahudi untuk dibunuh dan disalibkan, maka jadilah angka 12 itu dianggap orang sebagai angka celaka atau angka sial.

Celaka 12, kata arang-orang zaman dahulu, sampai-sampai tendangan hukuman di depan mulut gawang dalam sepakbola pun harus dihitung 12 langkah pas. Dahulu orang mengatakan tendangan 12 pas, tetapi sekarang sudah diganti dengan tendangan penalti. Sampai kini, orang-orang Kristen juga memperingati hari Natal sebagai hari kelahiran Yesus --di sebuah kandang di Betlehem, tanah Yudea-- pada bulan yang ke-12 saban tahun.

Mungkin karena 12 itu dianggap angka keramat yang suci, maka sekarang ini orang lalu menggeser angka celaka itu menjadi angka 13. Karena itu, nomor rumah kalau pakai angka 13 dianggap sial, maka tuan rumah lalu menggantinya denagna No. 12 B. Begitu juga gedung bertingkat di Jakarta pada umumnya tidak mengenal lantai nomor 13.

Akan tetapi "ichthus" itu pada hari-hari belakangan sesudah Kristus terangkat ke surga telah pula digunakan sebagai singkatan atau akronim dalam bahasa Gerika untuk menandakan Kristus sebagai penebus dunia.

Dalam bahasa Gerika kata "ichthus" itu adalah singkatan dari kalimat "Iesous Christos Theou Uios Soter". Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti Yesus Kristus, Anak Allah, Penebus.

Bertepatan dengan peringatan kelahiran Yesus Kristus sebagai mana terkandung dalam makna kata "ichthus" itu, maka perkenankan saya mengucapkan (bagi mereka yang beriman kepada Yesus Kristus):

Selamat Natal 2007, SEMOGA KASIH KRISTUS MENYERTAI KITA SEKALIAN DALAM DAMAI YANG ABADI.

Jakarta, 24 Desember 2007

Umbu Rey /Antara

Malaf versus Mualaf

Hari ini saya bertanya kepada rekan-rekan sekantor yang duduk di sekitar meja kerja saya. Apa arti kata "malaf". Tak seorang pun tahu, semuanya menggeleng tak mengerti. Yang mereka tahu adalah kata "mualaf" lantaran sering nyangkut di kuping.

"Malaf" itu sesungguhnya bukanlah "mualaf", karena kedua kata itu berbeda artinya meski (mungkin) datang atau terserap dari bahasa yang sama (Arab, atau mungkin Aram). Tetapi ketika menjadi bahasa Indonesia nasib kedua kata itu ibarat langit dan bumi meskipun sama-sama kata benda. "Mualaf" kini makin populer sebab ramai diucapkan orang hampir saban hari, tetapi "malaf" mungkin sudah mati.

Para artis dan seniman semisal Tamara Bleszynki atau penyair terkenal WS Rendra menjadi lebih tenar atau mungkin mentenarkan dirinya dengan kata "mualaf" ketika mereka beralih kepercayaan dan memeluk agama Islam. Maka seiring dengan itu, kata "mualaf" pun ikut menjadi semakin tenar juga.

Sebaliknya, orang tenar tersohor beragama lain kalau masuk agama Kristen tidak akan disebut "malaf" karena kata ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan iman atau ritual Kristen. Dia hanyalah benda mati yang tidak ada harganya lantaran biasanya berada di lokasi kumuh tempat binatang terutama kambing dan domba berteduh.

"Malaf" bernasib malang, dan karena itu tak pernah lagi diucapkan orang sejak entah kapan persisnya. Lenyaplah kata itu, tak ada yang mengetahui di mana rimbanya, dan sampai saat ini bahkan tak tercatat lagi dalam kamus modern. Mungkin sekali karena "malaf" bukan istilah yang manandai tingkah laku atau perbuatan orang seperti halnya "mualaf".

Kata "malaf" itu sudah saya dengar sejak masuk Sekolah Rakyat pada awal tahun 1960-an meski digunakan hanya di lingkungan terbatas (Gereja). Karena rindu pada "malaf' saya membolak-balik hampir semua kamus bahasa Indonesia zaman modern, tetapi tak tak satu pun mencatat kata itu.

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) hanya menyebut "mualaf" dan diberi arti (n) "orang yang baru masuk Islam". Tetapi, tidak ada kata "malaf" di situ. Untunglah, sebuah kamus Inggris-Indonesia masih rela mencatat kata "malaf".

Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia terbitan PT Gramedia Jakarta, karangan John M. Echols dan Hassan Shadily, kata "malaf" terselip di halaman 372 pada baris lema "manger". Sayangnya, dalam kamus yang sejenis pada edisi Indonesia-Inggris kata "malaf' justru tercetak dalam arti yang keliru. Di situ tertera kata "malaf" yang diberi arti dalam bahasa Inggris "manager". Maka semakin kacaulah nasibnya arti kata "malaf" itu.

"Malaf" sebenarnya telah masuk dalam khazanah bahasa Indonesia lebih dahulu dari kata "mualaf", jauh sebelum Republik Indonesia ini terbentuk. Dia terserap ke dalam bahasa Indonesia ketika seniman Gereja Kristen Protestan menyadur sebuah lagu Natal yang aslinya berbahasa Jerman berjudul "Stille Nacht, Heilige Nacht." Lagu yang diciptakan oleh Joseph Mohr pada tahun 1818 itu dalam bahasa Melayu diberi judul "Malam Kudus, Sunyi Senyap". Lagu itu sejatinya dimulai dengan kata "malam" dan diakhiri dengan kata "malaf", seperti berikut:

Malam kudus, sunyi senyap
Siapa yang blum lelap
Ayah bunda yang tinggallah trus
Jaga anak yang mahakudus
Anak dalam malaf
Anak di dalam malaf

Mungkin karena orang tidak lagi mengerti artinya, kata "malaf" itu sering terpeleset menjadi "malam". Padahal, kata "malam" yang dimaksudkan dalam awal lagu itu berbeda artinya dari "malaf" pada akhir lagu. Maka, bait terakhir "anak dalam malaf" berubah menjadi "anak di dalam malam". Yesus memang benar dilahirkan pada malam hari, tetap Dia tidak pernah disebut anak dalam malam. Orang Kristen menyebut-Nya Anak Terang.

Pada setiap bulan Desember setiap tahun, di toko-toko kaset dan di rumah-rumah orang Kristen lagu Malam Kudus itu mulai terdengar atau diperdengarkan untuk menyambut Natal, hari kelahiran Yesus Kristus. Tetapi lagu itu sekarang sudah dinyanyikan dalam lirik yang berbeda-beda, tidak lagi seperti terjemahannya yang asli. Karena itu, anak-anak muda sekarang dan mungkin sampai seterusnya tidak lagi mengetahui arti kata "malaf".

"Malaf" itu sekarang telah lenyap ditelan zaman, dan bahasa Indonesia telah kehilangan sebuah kata. Dalam bahasa Indonesia masa kini, kata "malaf" telah diganti dengan kata yang berpadanan atau yang sama artinya dengan itu, yakni PALUNGAN. Menurut KBBI, palungan adalah bak yang terbuat dari kayu, tempat makanan dan minuman ternak domba, kerbau sapi, kuda dsb.

Alkitab berkata, "Seorang anak laki-laki telah lahir di sebuah kandang di kota Betlehem, Tanah Yudea. Ibunya membungkus bayi itu dengan kain lampin dan membaringkanNya di dalam palungan." Ayat ini tidak lagi menggunakan kalimat "...dan membaringkanNya di dalam "malaf".

November 2006

Umbu Rey

Senin, 21 Januari 2008

Pada mulanya adalah KATA

"Pada mulanya adalah Kata". Ini frasa sederhana yang --kata mantan PU Antara M. Sobary-- selalu digunakan oleh Presiden Penyair Indonesia Sutardji Khalzoum Bachry sebagai pembuka kredo puisinya. Frasa ini mungkin tidak ada maknanya sama sekali bagi Anda karena hanya terdiri atas empat kata.

Sutardji menggunakan kata itu tentu saja karena dia punya pertimbangan sendiri. Para pembaca puisinya itu mungkin sekali akan berpikir keras untuk mengerti maksud di balik kata-kata itu. Tetapi, bagi Sutardji, itu kalimat tidak sekadar indah untuk membingkai untaian puisi tetapi tentu mempunyai makna juga.

Suatu ketika saya dipanggil Pak Sobary ke ruang kerjanya untuk memberikan penjelasan mengenai pengetahuan bahasa kepada beberapa wartawan daerah yang diundang untuk magang di Jakarta. Mereka adalah wartawan-wartawan yang dianggap memiliki peranan besar bagi kemajuan Antara di daerah.

Saya lalu bertanya kepada mereka, "Tahukah Anda makna di balik frasa 'pada mulanya adalah Kata' itu?" Tak seorang pun menjawab. Pertanyaan lebih sederhana kemudian saya kemukakan lagi. Siapakah yang mula-mula mengucapkan frasa itu? Mereka diam saja, dan menunggu penjelasan selanjutnya dari saya. Pak Sobary pun cuma manggut-manggut.

Paling gampang kita mengatakan bahwa frasa itu pastilah milik Sutardji sebab di negeri ini dialah yang kita anggap telah menggunakan kata-kata itu lebih dahulu. Karena itu, pastilah pula bahwa "pada mulanya adalah Kata" bolehlah dianggap sebagai gubahan atau ciptaan, atau karangan Sutardji juga.

Sesungguhnya "pada mulanya adalah Kata" sudah terucap lebih kurang dua ribu tahun yang lampau. Kalimat pendek itu ditulis pertama kali di dalam kitab suci orang-orang pengikut Yesus Kristus, yang kita kenal sekarang bernama Alkitab.

Di dalam Injil Perjanjian Baru versi bahasa Inggris disebutkan "In the beginning was the Word". Kata-kata itu sebenarnya adalah terjemahan dari bahasa Gerika, sebab bahasa itulah yang paling banyak digunakan orang tatkala Yesus Kristus mewartakan ajaran-ajarannya. Yesus sendiri, konon, juga bersabda dengan menggunakan bahasa Aramik.

Salah seorang pengikut Kristus bernama Yohanes lalu membuka kredo Injilnya dengan sepenggal kata itu sebelum abad pertama berakhir, lebih kurang empat puluh tahun setelah Yesus Kristus terangkat ke surga.

Dalam kitab Injil Yohanes 1:1 (bahasa Inggris King James Version) tertulis: "In the beginning was the Word, and the Word was with God, and the Word was God". Konon, kalimat ini sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari dua ribu bahasa, dan dalam bahasa Indonesia yang telah berkembang sekarang ini kata-kata itu diucapkan: "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah."

Perhatikan kata "Word" (dalam huruf kapital diterjemahkan dengan Firman). Dahulu, Alkitab ditulis dalam bahasa Melayu, dan Word itu diterjemahkan dengan Kata. Tentu saja saya tidak akan gegabah mengatakan bahwa kalimat puisi Sutardji itu terambil dari Alkitab. Sebab, sesuatu yang sekarang ada sebenarnya sudah ada lebih dahulu.

Hei Sobat, saya tidak sedang berkhotbah menyampaikan siraman rohani, atau menyebarkan dogma agama Kristen. Saya ini bukanlah penginjil, dan lebih dari itu, saya ini sesungguhnya tidak mempunyai agama juga. Karena itu pula, jikalau Anda tidak berkenan dengan tulisan ini, arahkan kursor ke tombol "delete" di layar komputer di depan Anda, lalu tekan jari telunjuk pada tetikus (mause) di meja anda. Tulisan ini akan hilang dengan sendirinya.

Sesungguhnya saya hanya ingin mengorek sebuah makna dari persoalan "Kata"atau "Word" yang sengaja ditulis dengan huruf kapital, dan kebetulan saya ambil referensinya dari kalimat Injil itu. Sebab, menurut hemat saya, hampir tak seorang pun di dalam lembaga ini sadar atau menyadari bahwa hidup dan kehidupan ini sebenarnya berawal dari Kata atau Word itu. Tak ada sesuatu yang telah jadi, dan yang akan jadi tanpa bantuan kata. Sebab, sebelum dunia ini jadi, Kata itu sudah lebih dulu ada.

Manusia ini jadi karena ada Kata, dan karena itu manusia itu pun pada hakikatnya adalah kata juga. Kata-kata itu jikalau disusun menurut subjek, predikat lalu ditambahkan objek supaya lengkap dan mengandung pengertian maka akan terbentuklah sebuah kalimat. Selanjutnya, kalimat itu akan diucapkan orang dan menjadi bahasa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi ketiga, bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer (mana suka) yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk berinteraksi. Tetapi dalam tulisan ini, bahasa yang saya maksudkan dalah "pernalaran akal dan budi" manusia. Itulah yang menghidupkan kita.

Bahasa itulah yang memberikan kita tuntunan, bahasa itulah yang mengebulkan asap dari tungku atau kompor di dapur rumah kita, dan lantaran bahasa itu pula kita menjadi wartawan di kantor berita ini. Barangsiapa mengabaikan bahasa dan kata-kata akan mati kelaparan. Akalnya akan tumpul dirundung kebodohan, dan dia akan terlempar ke jurang penderitaan paling dalam dan di sana hanya ada tangis dan kertak gigi.

Semua orang besar dan kaya raya sudah menjadi besar dan dibesarkan karena bahasa dan kata-kata juga. Bukankah Aristoteles dan Pithagoras, Thomas Alva Edison, Enstein atau Darwin itu menjadi besar karena kata-kata? Yesus Kristus dan Nabi Muhammad itu pun besar dan dimuliakan umatnya lantaran sabda kata-katanya.

Coba sebutkan orang besar dalam negeri ini. Sukarno, Hatta, dan Syahrir sampai Tan Malaka, bukankah mereka itu menjadi besar sampai bisa menyatukan Indonesia ini dengan kata-kata? Demikian juga penyair dan alim ulama itu besar dan kemudian mencerahkan orang dengan kata-kata. Pramoedya Ananta Toer itu akan dikenang orang lantaran susunan kata-katanya yang tersebar dalam buku-bukunya.

O'o..! Anda jangan bercanda. Soeharto dan kroninya, Edy Tanzil dan antek-anteknya, serta mungkin mantan Presiden Marcos dari Filipina dan istrinya itu telah dituduh menjadi kaya raya dan besar lantaran korupsi.

Soeharto dibesarkan --konon-- melalui surat sakti Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Tetapi dengan surat sakti (yang sekarang menjadi perdebatan kontroversial) itu Soeharto tidak sekadar seorang presiden Republik Indonesia dengan kekuasaan tanpa batas. Dia juga adalah penguasa Orde Baru yang telah mengumpulkan uang banyak bagi keluarga dan kroni-kroninya.
Soeharto menyangkal tuduhan itu dan berkata "Saya tidak mempunyai uang satu sen pun!"

Lantaran uangnya berlimpah ruah yang didapatnya dari kekuasaan selama 32 tahun, maka dia dituduh oleh rakyat sebagai koruptor besar, dan Republik Indonesia di bawah pimpinannya pun mendapat julukan negeri paling korup di Asia Tenggara. Karena itu, Supersemar yang diperdebatkan itu lalu dipelesetkan menjadi, "Suharto Persis Seperti Marcos".

Sadarkah Anda bahwa "korupsi" itu juga adalah sebuah kata, dan kata itulah yang menjadikan Marcos dan Suharto sangat terkenal meskipun mungkin tabiat dan perilakunya mungkin bertentangan dengan hukum. Hukum itu adalah kata-kata juga. Jadi sekarang terserah Anda sekalian untuk menentukan pilihan dengan "pernalaran akal dan budi" sendiri.

Rumah mewah dan gedung bertingkat itu telah jadi juga karena kata dan bahasa, yakni wujud dari pernalaran akal dan budi manusia, dan mobil itu serta komputer canggih di depan Anda adalah wujud dari susunan kata-kata dalam bentuk yang rumit. Itu semuanya adalah kata-kata juga.

Lalu, bagaimana mungkin Anda menceritakan wajah saya kepada orang lain tanpa mengucapkan kata-kata. Anda tidak mungkin diam saja ketika berhadapan dengan seorang teman, sebab temanmu itu tidak akan mendapat gambaran wajah saya yang jelek amburadul atau ganteng tanpa kata-kata. Orang mengagumi kecantikan seorang wanita mungkin berujar," Oh, dia begitu cantik, sampai tak dapat dilukiskan dengan kata-kata sederhana." Dan, orang-orang jurnalis berkata bahwa foto dapat menggantikan seribu kata lantaran foto itu adalah kata-kata juga.

Sesungguhnya hanya orang-orang pandir bodoh dan tolol saja yang terjerat dalam siksa kemiskinan dan kemelaratan, lantaran mereka itu tidak dapat menggunakan kata-kata sebagai alat penghidupan. Sayangnya, mereka itu jarang sekali mendapat pencerahan, tetapi malah dibodoh-bodohkan dengan logika kata-kata yang dijungkirbalikkan. Mereka sekarang sekarat, tidak bisa buat apa-apa.

Jadi, apa kunci keberhasilan manusia? Tiada lain dari kata-kata dan bahasa itu juga. Pendidikan maju karena bahasa dan Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Kantor Berita Antara ini pun kalau mau maju mestilah orang-orang di dalamnya memahami juga akan pengertian bahasa itu.
Untuk memperjelas tulisan ini ada baiknya saya ikutkan beberapa penggal kata-kata yang pernah ditulis oleh budayawan dan rohaniman Romo YB Mangunwijaya tentang "Pendidikan Manusia Merdeka" yang dimuat di dalam harian Kompas pada 11 Agustus 1992.

Berkatalah beliau, mengapa Soekarno-Hatta dan generasi mereka waktu masih mahasiswa kok sudah begitu cemerlang pandai, penuh keyakinan diri, dan mampu meyakinkan para kuasa dalam pentas perjuangan membela rakyat tertindas, bila dibandingkan dengan mahasiswa sekarang dengan usia dan kedudukan yang sama? Jauh dari kemanjaan borjuis dan mental priyayi mapan yang sudah puas dengan kenikmatan diri? Padahal generasi dulu jelas hasil iklim masyarakat terjajah dengan program-program sekolah dan budaya pendidikan yang kolonial?

Mestinya para putra-putri Indonesia yang sudah merdeka setengah abad, pada usia yang sama, ya mestinya jauh lebih cemerlang daripada pendahulu mereka. Adam Malik hanya berijazah SD. Begitu juga Kartini. Ki Hajar Dewantoro dan Jenderal Sudirman belum pernah jadi mahasiswa. Sutan Syahrir, perdana menteri, hanya "drop-out" universitas tingkat satu (karena ditugasi Mohammad Hatta yang masih mahasiswa juga, untuk pulang ke Tanah Air memimpin perjuangan).

Manusia itu punya bahasa. Pada hakikatnya manusia itu adalah bahasa juga. Isi dan kualitas bahkan modal kemajuannya terletak pada bahasanya. Bahasa dalam arti total, komunikasi, ekspresi dan daya tangkap dalam macam-macam wujud. Manusia tidak hanya berkomunikasi atau mengkomunikasi, tetapi dia dalam dirinya sendiri sudah berkomunikasi. Ini sangat tampak dalam diri bayi "yang belum bisa apa-apa", tetapi mampu membahagiakan ibu dan ayahnya, "pure by being there" melulu berkat kehadiran murninya.

Maka dari awal mula bukan daya rasional, apalagi matematika atau fisika (baca: rasio analitis abstrak) yang primer berinteraksi antara bayi dan ibunya dan ayahnya (baca: manusia-manusia), melainkan bahasa.

Maka tidak sulit dipahami, bahwa dalam setiap proses interaksi antar-manusia seyogianya penguasaan bahasalah diutamakan. Dengan kata lain, seni berkomunikasilah yang primer. Di segala jurusan, matematika, fisika, kimia, sebenarnya sebentuk bahasa juga. Lapangan eksakta dengan segala keterampilannya hanya mungkin bermekar pada tanah tumbuh budaya bahasa yang tinggi.

Maka, sekarang terserah Anda sekalian. Mau bikin maju ini Perum LKBN Antara? Pergunakan bahasa, dan gunakan logika. Sebab, pada mulanya adalah Kata.

Umbu Rey/Ombudsman