Rabu, 30 Januari 2008

Mantan dan Almarhum

Dua kata yang saya sebutkan dalam judul tulisan ini sama saja artinya. Bekas. Yang satu artinya bekas pejabat, dan yang lain berarti bekas orang hidup. Dua kata itu lebih banyak digunakan sebagai penghormatan. Soalnya, bekas pejabat itu kurang enak didengar dan orang mati itu mesti kita sebut almarhum supaya memberi kesan hormat.

Kata "mantan" juga dipakai cuma buat pejabat yang tidak lagi berkuasa meskipun sama saja artinya dengan "bekas" pejabat di sebuah lembaga. Mantan dibedakan dari bekas karena kita tidak lazim mengatakan "nasi itu adalah bekas beras", sebab beras itu juga bukan mantan padi.

"Mantan" hanya dipakai untuk menyebut jabatan yang tidak lagi disandang. Jadi, kita sebut mantan pejabat. Kata "mantan" berikut ini dipakai secara serampangan:

1. Mantan pegawai negeri sipil
2. Mantan jenderal
3. Mantan penguasa Orde Baru
4. Mantan presiden kedua RI
5. Mantan presiden

Dari kelima butir contoh di atas hanya "mantan" pada butir (5) saja yang berterima (benar) sebab presiden itu adalah jabatan. Contoh "mantan" pada (1) sampai dengan (4) tidak berterima (salah kaprah) karena kata yang diterangkan oleh kata "mantan" itu bukan jabatan.

Orang yang tidak lagi menjadi pegawai negeri sipil disebut pensiunan. Jenderal itu adalah pangkat yang disandang sampai mati. Karena itu seorang perwira tinggi yang sudah pensiun tetap disebut jenderal, yakni jenderal purnawirawan, dan jenderal yang sudah mati disebut jenderal anumerta.

Pak Harto itu adalah pemimpin yang sampai kini tetaplah disebut penguasa Orde Baru. Pak Harto juga tetaplah disebut presiden kedua RI walaupun sudah mati, sebab sebutan "presiden kedua RI" itu tidak bisa digantikan orang lain. Artinya, Pak Harto itulah presiden kedua RI, dan orang yang menggantikannya (Presiden Habibie) disebut presiden ketiga RI.

"Bekas" menunjuk pada suatu benda atau barang yang pernah dipakai, atau yang tidak dipakai lagi. Bekas juga berarti tanda yang tertinggal, sesuatu yang tertinggal sebagai sisa.

Mobil yang sudah pernah dipakai boleh atau lazim disebut "mobil bekas". Tetapi, seorang istri yang sudah diceraikan suaminya jangan sampai dibilang "bekas istri" karena tidak sopan lantaran istri tidak bisa disamakan dengan mobil? Padahal, istri yang sudah diceraikan itu sebenarnya sama saja dengan barang bekas. Ya.., bekas dipakai juga. Karena itu, tidak tepat jika kita menyebut "mantan istri".

Kebiasaan membuat istilah penghormatan ini mungkin sekali karena manusia Indonesia sudah terpengaruh oleh kebiasaan berbahasa orang-orang Jawa yang membagi bahasa dalam kasta-kasta. Bahasa Indonesia (jurnalistik) adalah demokratis sifatnya, tidak menempatkan orang pada kelas-kelas bahasa menurut pangkat seseorang, dan tidak lagi membangkit- bangkitkan paham feodalisme.

Kalau di istana, Presiden SBY menjamu tamu negara dengan "santap malam" maka di kolong jembatan pun si Mamat boleh-boleh saja menghidangkan santap malam. Anjing pun boleh menghabiskan santapannya di kolong meja.

Almarhum menurut KBBI adalah yang dirahmati Allah (sebutan kepada orang Islam yang sudah meninggal dunia). Itu dulu. Sekarang ini siapa pun yang mati cenderung disebut almarhum atau almarhumah. Benarkah orang yang beragama lain tidak dirahmati Allah?

Kata lain yang bersinonim dengan "almarhum" itu biasa kita sebut "mendiang" tetapi kata ini entah di mana rimbanya, tidak pernah lagi digunakan orang. Untunglah, KBBI edisi ketiga masih mencatatnya di halaman di halaman 731.

"Mendiang" itu artinya orang yang sudah mati, tetapi tampaknya tidak lagi digunakan (mungkin) karena kelasnya dianggap lebih rendah daripada "almarhum"sehingga terasa kurang hormat dalam penggunaan.

Orang Indonesia ini acapkali tidak teguh pendiriannya dalam menggunakan istilah "almarhum" untuk menghormati orang. Seorang pejabat tinggi negara ini jika kelak meninggal dunia akan disebut "Almarhum Jenderal Anu" atau "Almarhum Dr. Drs. Bejo, SH" dan seterusnya. Padahal, sebutan jenderal dan doktor itu pun sudah merupakan penghormatan.

Di Kantor Berita Antara, rekan-rekan wartawan sangat teguh menggunakan istilah "almarhum atau almarhumah" terutama untuk para pejabat yang meninggal dunia. Kata mereka, sebutan almarhum itu adalah penghormatan. Tetapi anehnya, tokoh nasional yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia itu disebutnya saja Bung Karno dan Bung Hatta. Tidak ada embel-embel "Almarhum Bung Karno dan Almarhum Bung Hatta.

Bukankah kedua tokoh ini pun sudah meninggal dunia? Pahlawan nasional lagi. Begitu juga dengan Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad saw. Meski tokoh-tokoh agama ini sudah meninggal dunia, sampai sekarang orang masih tetap saja berkata "Kata Nabi,...." Tidak pernah terdengar seorang ustaz menyebut "Almarhum Nabi Ibrahim bersabda,..."

Almarhum" dalam konteks ini tentu tidak sama dengan "mantan", karena tidak ada "mantan nabi". Gara-gara istilah penghormatan ini, sering terjadi salah kaprah. Kantor Berita Antara mengatakan "Almarhum Dodoy, mantan kabiro Bandung telah meninggal dunia". Bayangkan, almarhum yang adalah orang mati itu telah meninggal dunia pula.

Belum pernah terdengar kabar di dunia moderen ini bahwa ada orang mati dua kali. Pada zaman Yesus Kristus dua ribu tahun silam, memang ada riwayat orang mati dibangkitkan kembali. Artinya bisa ditebak bahwa sesudah itu dia mati lagi yang kedua kali, sebab mana ada orang biasa yang hidup abadi.

Kita mestinya berkata dengan akal sehat bahwa semua orang yang berkata dan bertindak di masa lampau adalah orang yang hidup walaupun kini dia sudah mati. Menurut hemat saya, salah kaprah jika kita menyebut "almarhum pernah menjabat ketua yayasan, sebab mana ada orang mati menjabat ketua yayasan.

Bung Karno adalah proklamator, dan Pak Harto itu adalah "bapak pembangunan". Kedua tokoh nasional itu sekarang sudah boleh disebut almarhum karena sudah mati. Tetapi, yang membacakan teks proklamasi itu adalah Bung Karno, dan yang membangun negeri ini adalah Pak Harto. Mereka bukan almarhum.

Umbu Rey

Tidak ada komentar: