Selasa, 22 Januari 2008

Pinang

Yang saya tahu, PINANG adalah buah yang isinya digunakan untuk teman makan sirih. Bentuknya mirip dengan kelapa sawit, besarnya juga hampir sama. Buah itu berserabut seperti kelapa, dan di dalam batoknya ada daging.

Di kampung saya, daging pinang ini ditumbuk atau dimakan (dikunyah atau dimamah) sekaligus dengan buah sirih dan kapur. Buah sirih itu bentuknya bulat panjang seperti telunjuk orang dewasa. Campuran ketiga unsur ini lalu menghasilkan liur atau ludah berwarna merah. Ada yang dibuang atau disemprotkan tetapi kadang-kadang- kadang ditelan juga.

Di Pulau Timor atau Flores, orang kampung juga biasa makan sirih, tetapi yang mereka makan bukan buah sirih tetapi daunnya bersama-sama dengan daging buah pinang dan kapur secukupnya.

Makan sirih tampaknya kebiasaan orang Melayu se-Nusantara. Di Pulau Sumatera, kadang-kadang orang menggunakan kerakap sebagai ganti daun sirih. Kerakap adalah sirih juga tetapi daunnya agak lebih lebar dari sirih. Tumbuhnya di atas batu sehingga ada peribahasa "seperti kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak hendak".

Entah macam apa enaknya orang mengunyah atau memamah sirih, saya tidak bisa menggambarkannya. Ketika suatu ketika saya mencoba mengunyah sirih, pinang dan kapur, di Pulau Timor, beberapa saat kemudian kepala saya terasa oleng alias pusing, sedangkan lidah dan gusi terasa perih.

Di kampung saya "makan sirih" itu bukan cuma kebiasaan, tetapi tampaknya sudah merupakan keharusan seperti layaknya orang merokok. Itu sebabnya jika seseorang berkunjung ke rumah tetangganya, maka yang lebih dulu disuguhi oleh tuan rumah untuk menyambut tamunya adalah hidangan sirih, pinang dan kapur. Setelah itu, Anda dapat melihat pemandangan orang mengobrol sambil mengunyah, persis kambing memamah biak.

Suguhan berikutnya barulah kopi atau minuman lain. Itu pun kalau ada dan tersedia di rumah. Karena itu suguhan minuman itu tidaklah terlalu penting. Kalau yang mengunyah sirih itu kaum perempuan, maka dapatlah dipastikan "ngobrolnya" semakin asyik, lama dan panjang-panjang ceritanya. Kadang-kadang tidak tentu juntrungannya. Topik pembicaraan juga tidak jelas, tetapi bibir tetap mengunyah tidak ada hentinya.

Di kampung saya ada kebiasaan setelah habis makan sirih dan pinang. Sesudah sirih dan pinang ditelan dan ludah merah sudah mengering, maka perempuan-perempuan itu lalu menyumpal bibir mereka dengan segumpal tembakau.

Entah apa maksud dan tujuan menyumpal bibir dengan tembakau, saya tidak tahu persis. Tetapi setelah habis ngobrol, maka bibir perempuan pemakan sirih itu akan kelihatan memble semua. Anda tahu kan apa itu memble?

Kata "memble" itu adalah bahasa percakapan atau bahasa gaul pada era tahun 1980-an. Memble artinya bibir yang terkelepai ke bawah. Kata itu bersinonim dengan "dower". Bisa juga berarti dungu, bodoh atau jelek. Lawan katanya adalah "kece" (cantik).

Akibat dari makan sirih itu lain lagi. Jangan heran, halaman rumah orang di kampung saya biasanya berwarna merah kehitam-hitaman di mana-mana. Itu bukan hiasan tetapi bekas semprotan ludah sirih.

Penyakit? Jorok? Akh itu kan kata orang di kota besar saja. Soalnya orang kota tidak biasa makan sirih. Sirih pinang dan kapur yang telah dikunyah justru memiliki khasiat sangat besar untuk mencegah penyakit.

Gara-gara makan sirih pinang, gigi orang di kampung saya memang berwarna merah semua, tetapi jarang tanggal walaupun usianya sudah di atas 80 tahun. Mereka juga hampir tidak pernah mengeluh sakit gigi.

Orang-orang kampung yang makan sirih pun nayris tak pernah mengenal sakit kanker dan paru-paru atau penyakit dalam yang lain meskipun banyak yang jarang mandi.

Kebanyakan orang dusun di kampung saya memang tidaklah maju seperti daerah lain. Masih ada di antara mereka yang lebih percaya sirih pinang daripada ilmu kedokteran untuk menyembuhkan penyakit. Kalau sakit "tertikam" (dada terasa tertusuk karena masuk angin) maka sirih pinang lalu dikunyah dan ampasnya disembur di tempat sakit. Sebentar juga sembuh.

Banyak di antara mereka terheran-heran jika seorang dokter menyuruh mereka menelan obat kalau menderita sakit kepala. "Sakit saya kan ada di kepala, mengapa obat dimasukkan ke dalam perut?" kata mereka.

Memang kelihatannya aneh dan bodoh, tetapi ini terasa lebih jujur daripada pertanyaan "mengapa uang negara kok bisa jadi uang pribadi?" Ini sebuah keahlian dalam bidang tipu-menipu atau korupsi yang telah banyak menelan korban orang kampung.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga pada halaman 874 menerangkan arti kata "pinang" adalah tumbuhan berumpun. Dari kata "pinang" itu turun kata meminang -->peminang peminangan-- > pinangan.

Meminang bukan lagi berarti makan sirih tetapi meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri. Peminang ada dua artinya, bisa berarti tempat sirih, tetapi dapat juga berarti orang yang meminang, atau orang yang melamar perempuan untuk dijadikan istri.

Peminangan adalah proses meminang dan pinangan adalah permintaan hendak memperistri seorang perempuan. Meminang tidak lagi dikenal orang di kota besar semisal Jakarta, mungkin sebab mereka tidak biasa makan sirih.

Orang kota kalau "ngebet pingin kawin" biasanya menggunakan istilah "melamar" gadis, sedangkan orang kampung biasanya "meminang" perempuan pujaan. Si kembar cantik jelita biasanya dilukiskan seperti pinang dibelah dua. Sama persis rupanya.

Upacara perkawinan di kampung saya biasanya terasa lebih sakral daripada hingar-bingar dan hiruk-pikuk perkawinan mewah artis dan selebritis di kota besar. Orang kampung setelah kawin pun jarang cerai kecuali mati, sebab sirih dan pinang begitu erat mengikat kedua mempelai sampai akhir hayat.

Adakah emas dan berlian itu lebih hebat dari sirih dan pinang? Mungkin, tetapi lamaran orang kaya tidak jarang ditolak karena emas dan berlian tidak mencukupi permintaan. Anehnya, setelah kawin dan bahkan setelah punya anak sekalipun, emas berlian itu pun tak sanggup mempertahankan kerukunan rumah tangga mereka.

Di kota-kota besar di Indonesia, orang hidup dalam kepalsuan emas dan berlian. Bicaranya hebat dan suka menukas atau menuduh orang dengan alasan yang tidak cukup. Barang yang bukan dia punya diakunya sebagai miliknya, padahal dia sendiri mencuri barang orang lain.

Anggota milis ini lebih baik disuruh makan sirih pinang saja supaya mereka hidup rukun seperti pohon pinang yang tumbuh dalam rumpun yang damai seperti orang-orang di kampung dan di desa-desa.

Sirih pinang itu punya siapa? Barang siapa terbiasa makan sirih pinang maka dialah yang empunya. Dia berhak memberikan itu kepada orang lain dan orang lain pun berhak makan sirih tanpa minta permisi.

Kalau Malaysia negara tentangga kita itu lantas mengklaim sirih dan pinang itu milik dan kebiasaan rakyatnya, biarkan saja. Sebab nanti giginya pada merah semua, dan gedung pencakar langit Petronas itu mungkin akan disembur dengan ludah sirih.

Coba kalau Siti Nurhalizah dikasih makan sirih, dan sesudah itu bibirnya disumpal dengan segumpal tembakau. Itu penyanyi cantik jelita dari negara jiran akan memble juga. Pasti. Jadi, mari kita makan sirih pinang daripada caci-memaki.

Jakarta, 13 Desember 2007
Umbu

Tidak ada komentar: