Kamis, 26 Juni 2008

Sabuk Keselamatan?

Saya biasa menyetir mobil sendiri ke kantor. Di jalan tol Cikampek tertera imbauan dengan tulisan besar-besar "GUNAKAN SELALU SABUK KESELAMATAN". Otak dan perasaan saya langsung tergelitik dan menimbulkan pertanyaan, dapatkah sabuk itu menyelamatkan saya?

Kata "sabuk keselamatan" tampaknya diterjemahkan lurus-lurus dari bahasa Inggris "safety-belt". Ketika naik pesawat terbang ke kampung, saya melihat kata yang sama tertera pula di depan tempat duduk saya tetapi diindonesiakan dengan "kenakan sabuk pengaman".

Tampaknya sudah lazim dalam bahasa Indonesia, kata "selamat" dipertukarkan saja dengan kata "aman" seakan-akan kalau sudah aman maka selamatlah kita. Kedua kata itu menurut hemat saya tidaklah sama meskipun dalam kamus KBBI edisi ketiga kedua kata itu mempunyai arti yang sama yakni "terbebas dari bahaya, bencana dan malapetaka".

Buktinya tidak sama, apa? Kita biasa menyapa orang dengan ucapan " Selamat malam, Om!" tetapi ganjil sekali rasanya kalau ada orang menyapa dengan ucapan "Aman malam, Om!" Jadi, kepada si miskin papa yang sedang sekarat menghadapi maut sekalipun kita harus tetap menyapa dia "Selamat malam, Om!"

Orang yang sedang sekarat tetaplah dia selamat meskipun dia hidup dalam penderitaan yang menyebabkannya tidak aman dari bencana sakit penyakit yang dideritanya.

Karena itu, tak mungkinlah kau mengatakan kepadanya, "Aman malam, Om!" Orang sudah sekarat gitu kok kau bilang aman. Demikian juga orang pengungsi itu lari dan berlindung ke tempat yang aman dan tidak pernah lari ke tempat yang selamat.

Urusan aman-mengamankan adalah pekerjaan manusia, tetapi perkara selamat-menyelamatkan sesungguhnya bukan pekerjaan manusia. Kata itu adalah istilah agama yang berkaitan dengan pekerjaan Tuhan (itu kata orang yang beragama). Selamat hanya berhubungan dengan mati dan hidup.

Polisi hanya dapat mengamankan pencuri dari gebukan atau keroyokan massa yang marah tetapi tidak dapat menyelamatkan pencuri itu dari kematian jika kena ribuan bogem mentah.

Menurut hemat saya, arti yang sesungguhnya dari kata "selamat" adalah doa atau ucapan pernyataan kebahagiaan kepada orang lain. Kata itu masuk kelas kata benda atau nomina, bukan kata sifat. Sayangnya, KBBI edisi ketiga mencantumkan arti itu pada arti yang keempat. Padahal, doa itulah arti yang sesungguhnya dan karena itu tidak bisa disamakan dengan arti "aman".

Kita lazim berkata "selamat ulang tahun". Itu adalah doa agar orang yang berulang tahun itu panjang umurnya. Mana ada orang mengucapkan "aman ulang tahun" sebab orang yang berulang tahun itu tidak sedang berada dalam situasi marabahaya.

Kalau Anda memakai "sabuk keselamatan" ketika menyetir mobil, jangan harap ada mendapat keselamatan atau hidup kalau ajal sudah di depan mata. Jikalau sudah tiba waktunya untuk modar maka matilah kau di situ. "Sabuk pengaman" sebenarnya kita gunakan hanya untuk melindungi tubuh kita jika terjadi benturan, tidak bisa menyelamatkan kita dari kematian.

Apakah yang dikerjakan oleh seorang dokter terhadap pasien yang gawat? Saya pikir sang dokter hanya melakukan penolongan atau memberikan pertolongan, bukan penyelamatan.

Itu sebabnya dokter suka berkata, "Kita sudah berusaha tetapi Tuhan menentukan lain." Itu kalau pasien yang ditolongnya ternyata ko'it. Kalau pasiennya itu selamat (hidup) maka sang dokter tidak berhak mengatakan "Sayalah yang menyelamatkan dia."

Dapatkah orang "menyelamatkan diri?" Saya pikir tidak bisa, paling-paling kita hanya dapat berusaha untuk melindungi diri agar terelak dari maut. Coba dengarkan khotbah di rumah ibadat atau tanya kepada pendeta atau pastor, atau kiai.

Itu artinya apa? Orang lain sesama manusia bahkan agama pun tidak akan dapat menyelamatkan kita. Yang dapat menyelamatkan kita cuma Tuhan, dan orang Kristen bilang cuma Yesus saja juru selamat manusia.

Kalau begitu, apa maksudnya "sabuk keselamatan"? Jikalau manusia saja tidak dapat memberikan keselamatan, apalagi sabuk. Mungkinkah sabuk memberikan kita keselamatan? Karena itu, saya lebih suka menyebut "sabuk pelindung". Teman di damping saya lalu menyeletuk, "Hei Umbu, apakah kau sedang berkhotbah?"

"Oh, tidak. Saya sedang merasa geli, karena perut saya diikat dengan sabuk keselamatan!"

Umbu Rey

Rabu, 25 Juni 2008

Mekar

Mekar adalah istilah yang hanya digunakan berkaitan dengan bunga. Pada awalnya memang begitu saja. Karena itu sesuatu yang mekar pastilah bunga, dan yang lain tidak pernah akan mekar. Sepatu saya mekar, mana ada?

Karena itu pula, "mekar" hanya berarti (mulai) berkembang; menjadi terbuka; mengurai. Mawar itu mekar disinari matahari pagi; mayang mekar. Inilah artinya sesungguhnya dari kata "mekar" itu.

Oleh sebab keindahaannya, bunga itu lama kelamaan menjadi metafora untuk melukiskan kecantikan seorang perempuan atau gadis belia. Istilah itu lalu masuk ke masalah cinta kasih ketika gadis muda anak Pak RT, misalnya, memasuki masa akil balik. Orang mengatakan si Minah sedang tumbuh mekar.

Kata orang, gadis itu ibarat sekuntum bunga yang sedang mekar, banyak orang ingin memetik lantaran harum baunya. Begitulah si Minah lalu dilamar seorang perjaka tampan rupawan anak bangsawan di RT sebelah. Maka jadilah mereka bersanding di pelaminan.

Pada tahun 1960-an penyanyi jelita dari kolompok musik The Favorite Groups bernama Tetty Kadi --sekarang menjadi anggota DPRD Jawa Barat-- menyanyikan dendang merdu ini:

Sekuntum bunga indah
yang sedang mekar
Selalu merindukan sinar surya
Selalu merindukan
jatuhnya embun
Sepertiku yang selalu menunggumu

Reff: Tanpamu apa artinya...dst

Demikianlah "mekar" itu tidak lagi mengacu hanya kepada bunga, karena maksudnya sudah mekar melebar pula ke bidang lain sampai ke masalah politik dan wilayah pemerintahan otonomi di Indonesia.

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) lalu merekam sumua arti kata yang terucap dan merangkumnya menjadi seperti di bawah ini:

Me·kar v 1 (mulai) berkembang; menjadi terbuka; mengurai: mawar itu --
disinari matahari pagi; mayang --; 2 menjadi besar dan gembung; menjadi
banyak: adonan roti ini telah --; 3 menjadi bertambah luas (besar, ramai,
bagus, dsb): jalan sudah makin besar, kota juga tambah --; 4 ki (mulai)
timbul dan berkembang: di hatinya mulai -- perasaan cinta;

Me·me·kar·kan v menjadikan mekar (berkembang, bertambah besar, luas, dsb):
rencana untuk - wilayah kota ke selatan dan ke barat;

Pe·me·kar·an n proses, cara, perbuatan menjadikan bertambah besar (luas,
banyak, lebar, dsb): - lahan persawahan dilakukan dng membuat sawah-sawah
baru di bekas tanah tegalan.

Kata dasar, entri atau lema "mekar" itu sesungguhnya hanya memiliki arti seperti yang tercatat pada nomor (1) di atas, yakni menjadikan mekar (berkembang, bertambah besar, luas, banyak dan lebar). Arti lain yang tertera pada nomor 2, 3, dan 4 adalah arti kata yang berkembang kemudian.

Dari kata "mekar" turun pula kata berimbuhan "memekarkan" dan "pemekaran". Inilah kata yang banyak sekali digunakan akhir-akhir ini oleh pejabat pemerintahan dan para wartawan dalam pemberitaan mengenai pembentukan wilayah otonomi baru di Indonesia.

Saya agak risau melihat perkembangan arti kata itu ketika Kantor Berita Antara menyiarkan berita yang menyatakan PROVINSI JAWA BARAT DIMEKARKAN MENJADI PROVINSI BANTEN. Bahkan, hampir semua media massa di Indonesia menggunakan istilah PEMEKARAN WILAYAH PROVINSI.

Provinsi Jawa Barat itu dapatkah mekar menjadi Provinsi Banten? Dapatkah wilayah provinsi di Indonesia ini mekar? Rasanya penggunaan kata "mekar" sudah melewati batas nalar, sudah di luar logika.

"Mekar" artinya menjadi lebih besar atau menjadi lebih luas, dan "pemekaran" adalah proses menjadi lebih luas atau lebar. Jikalau Provinsi Jawa Barat itu dimekarkan atau menjadi mekar maka seharusnya wilayah provinsi itu menjadi lebih luas dan lebih besar.

Perkataan atau istilah "pemekaran wilayah" sesungguhnya tidak menghasilkan wilayah baru, sama seperti bunga yang mekar itu tidak akan menghasilkan bunga yang lain. Bunga itu mekar artinya bunga itu berkembang menjadi lebar dan luas lantaran tadinya dia hanya merupakan kuncup saja. Setelah mekar bunga itu tetaplah satu, tidak pernah menjadi banyak.

Lalu, dapatkah Provinsi Jawa Barat itu mekar menjadi Banten? Rasanya tidak masuk akal. Logika saya menyatakan bahwa Provinsi Jawa Barat itu tidak pernah mekar, sebab kalau mekar seharusnya wilayah Jawa Barat itu tentu menjadi lebih luas atau lebih lebar.

Provinsi Banten yang telah membentuk pemerintahan otonomi baru itu tidak akan dapat menjadikan wilayah Provinsi Jawa Barat lebih luas, tetapi sebaliknya malah menciutkan wilayah Jawa Barat menjadi lebih kecil karena wilayanya sebagiannya sudah menjadi Provinsi Banten.

Provinsi Banten yang baru terbentuk itu bukanlah hasil "pemekaran" dari Jawa Barat tetapi hasil "pemecahan" dari wilayah Jawa Barat. Dengan perkataan lain, Jawa Barat itu pecah sehingga terbentuklah Banten. Kata "pemekaran" tidak sama dengan "pemecahan". Pecah artinya terbelah menjadi beberapa bagian (KBBI).

Harus diingat pula, pemekaran wilayah Indonesia hanya terjadi dua kali sejak 17 Agustus 1945. Yang pertama terjadi pada tahun 1963 ketika Irian Barat masuk menjadi bagian wilayah Indonesia, dan yang kedua tahun 1976 ketika Timor Timur bergabung menjadi provinsi ke-27 RI. Wilayah Indonesia menjadi lebih luas karena pemekaran wilayah.

Tetapi, pada tahun 1999 wilayah Repbulik Indonesia ibarat daun "putri malu" yang menguncup kena sentuhan tangan. Wilayah Indonesia lalu menciut dan berkurang luasnya lantaran Timor Timur memisahkan diri dari NKRI. Itulah yang disebut pemecahan wilayah.

Umbu Rey

Sabtu, 21 Juni 2008

Jameela

Ini nama seorang artis penyanyi. Mulan Jameela. Saya pikir, ini nama dibuat-buat supaya kelihatan keren-mentereng karena sifat orang Indonesia yang seperti kacang lupa akan kulitnya. Nama aslinya bukan begitu, tetapi kalau sudah naik panggung, berubahlah namanya.

Kadang-kadang mereka memang suka bikin nama yang keinggris-inggrisan atau kearab-araban, padahal muka Melayu juga. Mungkin supaya kelihatan beda dari orang kebanyakan.

Nama adalah identitas yang membedakan kita dengan orang lain. Ada orang yang bilang "apalah artinya nama". Tetapi banyak yang lain percaya bahwa nama membawa hoki ataau keberuntungan.

Di Jawa ada kebiasaan orang mengganti namanya ketika dewasa supaya tidak kena tulah. Ada juga yang mengganti namanya karena nama aslinya dikira mendatangkan bencana (sakit penyakit).

Pada umumnya orang Indonesia memang suka memberikan nama kepada anaknya dengan panggilan yang diharapkan dapat memberikan kesejahteran di masa depan. Di kalangan masyarakat suku Jawa ada nama Sugeng artinya selamat, ada pula Bejo artinya untung. Karena itu kalau mau anaknya menjadi kaya raya berilah dia nama Suharto. "Su" artinya bagus dan "harto" artinya harta.

Sebetulnya pemberian nama seperti itu bukan cuma tradisi Jawa. Dalam cerita kitab suci baik Alquran maupun Alkitab (Injil) hampir semua nama memiliki arti. Musa dalam bahasa
Ibrani artinya "diselamatkan dari dalam air", Ibrahim adalah bapak semua orang percaya, Sara atau Sarai artinya permaisuri, Ishak artinya tertawa, Yakub artinya penipu serta Petrus artinya batu karang, dan seterusnya.

Allah yang diagung-agungkan oleh umat beragama Semit (yang dibawa orang Yahudi) itu sebenarnya bukan nama, cuma sebutan untuk Tuhan. Dalam bahasa Gerika, atau juga bahasa Aramik, Allah itu berasal dari kata Elloah atau Eloihim yang dalam bahasa Indonesia artinya pencipta. Tuhan itu tidak mempunyai nama.

Yesus Kristus mengajar di sinagoga atau di pandang belantara sering juga menggunakan bahasa Aramik, dan ketika digantung di kayu salib sebelum mengembuskan napasnya yang
terakhir dia mengatakan "Eloy, lama sabakhtani". Artinya Bapa mengapa engkau meninggalkan Aku."

Perhatikan, dalam bahasa Indonesia kata "Bapa" itu adalah terjemahan dari
Eli atau Eloy, dan dibedakan dari ata "bapak" dalam pengertian biologis. (Lihat juga KBBI edisi ketiga).

Dulu, ada menteri luar negeri Malaysia bernama "Rajaleigh". Sebenarnya nama itu cuma pengalihan sebutan Melayu ke gaya Inggris saja untuk membedakannya dengan "Rojali" (nama asli Melayu Betawi) supaya tidak kelihatan kampungan. Nama dalam bahasa Inggris biasanya disepakati sebagai sesuatu yang dianggap bagus dan indah.

Lalu, bagaimana dengan Jameela. Sama juga. Orang-orang artis ini suka gonta-ganti nama untuk memperlihatkan identitasnya menurut perubahaan penampilan di atas panggung. Makna atau arti nama itu kadang-kadang tidak terlalu perlu. Yang penting kedengarannya seperti nama orang Inggris.

Artis Mulan Jameela, kalau saya tidak salah, dulunya seorang janda kembang yang kemudian direkrut oleh Maia Ahmad (istri dari pentolan band Dewa 19, Ahmad Dani). Maka setelah dia bergabung dalam kelompok penyanyi Ratu, di
belakang nama Mulan itu ditambah Kwok. Saya tidak tahu apa itu artinya "Kwok".

Ketika Ratu pecah karena kemelut dalam rumah tangga Ahmad Dani, si Mulan berpisah dan berkarir sendirian, lalu mengubah namanya menjadi Mulan Jameela. Nama Mulan itu mungkin asli tetapi Jameela?

Kata Jameela atau Jameelah itu jika kita mengacu pada aturan bahasa Indonesia mestinya
disebut "Jamila". Kata itu diserap dari bahasa Arab, yakni kata sifat "jamil" yang berati bagus atau indah.

Kalau nama itu melekat pada nama perempuan maka Jamilah berarti cantik, dan jika dipakai oleh soerang perjaka maka Jamil berarti gagah atau ganteng.

Sebenarnya kata "jamil" itu sudah memberikan pengertian indah, tetapi dasar artis Melayu, supaya lebih menarik perhatian orang banyak dan terutama para penggemarnya maka penulisan nama itu pun dipelesetkan sedikit supaya kedengaran seperti bahasa Inggris. Dan, jadilah "Jameela".

Jadi, suka-suka dialah. Kita mau bilang apa?

Umbu Rey

Berpikir logis

LOGIKA diserap ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Inggris "logic". Itu kata sesungguhnya berasal dari bahasa Gerika atau Greek. Negeri orang yang berbahasa Gerika itu dalam bahasa Indonesia lazimnya kita sebut Yunani.

Sebenarnya Yunani adalah nama sebuah negara yang terletak di bagian tenggara Eropa, dalam bahasa Inggris disebut Greece. Pada Kejuaraan Sepak Bola Eropa atau Euro 2008 negara ini pun ikut serta.

Yunani adalah juara bertahan karena pada Euro 2004 keluar sebagai juara Eropa. Sayangnya, tim ini tersingkir pada babak kualifikasi grup C, setelah dikalahkan oleh Rusia 0-1 dalam pertandingan "hidup-mati" untuk lolos ke
babak kedua dalam Euro 2008.

LOGIC (bahasa Inggris) dalam bahasa Gerika disebut "logike" dan dalam bahasa Indonesia kita sebut saja logika. Kata ini masuk dalam kelas kata benda (nomina) dan dicatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi
ketiga dengan arti "pengetahuan tentang kaidah berpikir; atau jalan pikiran yang masuk akal".

Pengertian logika dalam bahasa Indonesia sebenarnya juga sudah ada, yakni "nalar". Nalar artinya aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis. Bernalar adalah mempunyai nalar, menggunakan nalar atau berpikir logis.

Berita itu apa? Sebenarnya adalah logika juga. Sebagian orang di milis ini mengatakan logika itu tidak penting, dan yang penting adalah fakta.

"Faktanya begini, dan itu fakta. Saya tidak cuma pakai logika, tetapi berdasarkan fakta" biasanya demikian orang mempertahankan argumentasinya. Maka campur-aduklah pengertian logika dan fakta itu dibuatnya.

Saya mengamati wartawan Antara sering menggunakan kata semaunya saja tanpa memikirkan makna kata yang sebenarnya. Dalam milis ini kemarin telah saya kemukakan contoh kata "tukas" yang salah dan yang membuat
kalimat bahasanya menjadi tidak logis.

Fakta adalah hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi.

Fakta itu sebenarnya dapat dipatahkan oleh logika, sebab semua orang bisa berbicara fakta meskipun tanpa bukti. Dengan perkataan lain jika fakta itu tidak logis maka fakta itu adalah kebohongan. Karena itu kebohongan itu adalah fakta juga. Kebohongan itulah yang disebut tipu daya atau muslihat.

Kejahatan atau tindak pidana seperti pencurian dan pemerkosaan itu adalah fakta juga tetapi haruslah dibuktikan kebenarannya dengan logika. Itu sebabnya untuk menentukan benar tidaknya suatu fakta maka semua kejahatan harus dibawa ke depan meja hijau di Pengadilan Negeri, supaya dapat dibuktikan bahwa fakta kejahatan itu bukan karang-karangan saja.

Di sidang pengadilan bukti-bukti akan diperlihatkan, saksi-saksi juga berbicara, dan
Majelis Hakim lalu menelusuri semuanya itu lewat logika, dengan pernalaran akal budi. Dari situlah hakim menarik kesimpulan bahwa A benar dan B salah.

Di dalam pemberitaan juga sama. Berita itu adalah fakta --baik fakta peristiwa maupun fakta pendapat. Fakta-fakta itu dikumpulkan oleh wartawan di lapangan dari hasil pengamatannya sendiri dan dari hasil wawancara
wartawan dengan saksi mata.

Fakta-fakta itu disusun menjadi naskah berita dengan menggunakan kata dan kalimat. Di situlah logika memainkan peranannya. Jika logika tak jalan fakta yang terkumpul akan menjadi sampah semua sebab tidak akan ada bukti kebenarannya.

Dalam penyuntingan, alat untuk menentukan kebenaran sebuah logika antara lain adalah makna kata, dan kaidah bahasa. Coba
perhatikan kalimat di bawah ini:

PENCURI ITU BERHASIL DITIPU POLISI

Apakah kalimat di atas fakta? Ya, menurut reporter, itu fakta yang ditulisnya dari hasil liputan di lapangan. Coba kita telusuri kalimat itu dengan menggunakan kaidah bahasa dan makna kata.

1. Menurut hukum DM, kata yang "Menerangkan" selalu terletak di belakang kata yang "Diterangkan" atau sebaliknya kata yang "Diterangkan" selalu terletak di depan kata yang "Menerangkan". Kaidah ini berlaku baik pada frasa maupun dalam kalimat.

2. Apa makna kata "berhasil"? Dalam KBBI berhasil adalah mendatangkan hasil; ada hasilnya, beroleh (mendapat) hasil; berbuah; tercapai maksudnya.

Menurut hukum DM, dalam frasa "pencuri itu berhasil" maka kata berhasil haruslah menerangkan kata pencuri. Jika hanya itu yang dibicarakan maka kalimat itu logis atau menurut logika benar adanya.

Tetapi, cobalah Anda telusuri kalimat itu secara lengkap "pencuri itu berhasil ditipu". Gunakan sekarang logika Anda, dan bertanyalah, siapakah yang berhasil ditipu? Dapatkah pencuri itu berhasil jika dia ditipu kena tipu?

Karena itu, kalimat PENCURI ITU BERHASIL DITIPU POLISI bukan lagi fakta karena ditulis dengan pernalaran yang keliru. Fakta kalimat itu sudah dipatahkan oleh logika atau nalar. Itu kalimat "ngawur" karena tidak logis, tidak menurut logika. Kalimat judul itu adalah fakta yang keliru.

Banyak kali seorang wartawan mempertahankan logikanya dengan alasan kelaziman. Dibuatnyalah teori sendiri dengan kaidah bahasa yang keliru. Karena lazimnya begitu maka itulah yang benar. Dia menulis karena ikut-ikut arus, orang lain begitu dia pun begitu. Mungkin Anda betul, tetapi kelaziman
biasanya menyimpangkan nalar.

Jadi, berpikirlah dengan logika.

Umbu Rey

Jumat, 13 Juni 2008

PRAMUDI

Pramudi itu sesungguhnya adalah sopir bus kota. Ini istilah mungkin sekali diciptakan karena kreativitas pejabat karena persoalan gengsi. Para pengemudi bus kota di Jakara lazim disebut sopir, sebab kerjanya di belakang kemudi. Dulu, yang menyetir bus kota identik dengan kedekilan, lusuh karena mereka memakai pakaian seadanya. Bau keringat pula.

Pada tahun 1970-an awak bus kota pernah ditertibkan oleh Pemda DKI supaya kelihatan rapi. Sopir bus dan kernetnya harus pakai seragam dan sepatu. Kebiasaan buruk rupanya tidak dapat diubah dengan peraturan. Ibarat anjing, biar dirantai dengan rantai emas sekalipun, jika lepas ke tempat sampah juga dia kembali.

Sopir bus kota di Jakarta rupanya begitu juga. Peraturan tata tertib kemudian ditinggalkan, sebab yang penting setoran cukup dan penumpang sampai tujuan. Sudah. Kebiasaan lama kembali lagi, dan sepatu ditanggalkan, kaus oblong dipakai. Sekarang ini terminal di mana pun pasti bau pesing karena sopir dan kernet sepakat pipis sembarangan di kolong bus.

Dulu, perempuan juga banyak yang jadi kernet bus kota, tugasnya cuma menagih ongkos, sebagian di antaranya kedapatan sedang hamil. Maka itu dia disebut kondektur. Tidak ada perempuan yang bertugas menjadi sopir.

Pemda DKI kini mengubah wajah Jakarta, dan meninggikan citra penumpang dan awak bus. Pengangkutan penumpang kota menggunakan bus khusus yang disebut TransJakarta. Jalurnya pun khusus. Ketika perusahaan pengakutan ini menggunakan tenaga perempuan untuk pelayanan di jalur itu, maka sang pengemudi perempuan itu diberi gelar PRAMUDI, lebih populer dari pengemudi lelaki yang disebut PRAMUDA. Sesungguhnya mereka itu sopir juga, sebab kerjanya duduk di belakang kemudi (menyetir bus).

Bus yang dikemudikannya sebenarnya sama juga dengan yang lain, tetapi ada kesan mewah karena pakai pengatur suhu udara atau pendingin ruang yang lazim disebut AC. Kalau penumpang hendak turun, kondektur tidak perlu lagi berteriak-teriak, soalnya sudah otomatis pakai pengeras suara. Ongkos bus tidak ditagih di dalam bus seperti umumnya berlaku di bus kota yang lain. Karena berada di jalur khusus, maka para penumpang juga tidak dapat naik dan turun sembarangan. Untuk sementara, penumpang nyaman dan aman dari aksi pencopetan.

Pramudi dan pramuda tidak lagi sekadar sopir kejar setoran. Mereka digaji layaknya pegawai negeri, atau pegawai kantoran di perusahaan swasta. Seragamnya pun jas lengkap seperti layaknya pejabat tinggi negara.

Ini mungkin sebabnya dia disebut PRAMUDI dan PRAMUDA. Ini istilah mulai populer di jalan raya Jakarta walaupun asal-usul kata itu bikin orang pada bingung. Kalau tugasnya menyetir bus atau memegang setir bus mengapa tak disebut sopir saja? Hehehe, mosok sudah keren begini disebut sopir juga. Gengsi, dong?!

Ketika saya menyunting berita kota, reporter pembuat naskah berita itu terpaksa saya panggil untuk menerangkan arti kata Pramudi. Dia bilang "Itu istilah khusus busway untuk sopir perempuan!" Sopir yang laki-laki jarang terdengar disebut pramuda. Tetapi, reporter itu pun tidak tahu asal usul kata itu. Pokoknya, begitulah namanya.

Saya mencoba mereka-reka asal kata PRAMUDI itu dengan mengambil bandingan dengan kata lain yang juga menggunakan kata awal PRAMU. Mungkin sekali kata itu terdiri atas Pramu dan kemuDi yang dianalogikan dengan "pramugari" di pesawat terbang.

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ed 3 hal 892, menyebut "pramu" adalah bentuk terikat yang diberi pengertian "orang yang bekerja di bidang jasa". Contohnya, pramuwisma, pramuniaga, dan pramuria.

Selanjutnya,

Pramubarang adalah porter
Pramubakti adalah orang yang membantu dl pelaksanaan tugas sosial
Pramubayi adalah orang yang pekerjaannya merawat bayi
Pramujasa adalah orang yang bekerja di bidang pelayanan jasa
Pramugara adalah karyawan perusahaan pengangkutan umum
Pramugari adalah karyawati perusahaan pengangkutan umum

Karena itu,

PRAMUDI adalah sopir (perempuan) yang bekerja di bidang jasa mengemudDI bus kota TransJakarta. Barangkali begitu, tetapi mungkin juga saya salah. Lha, PRAMUDA? Ya, diada-adakan saja begitu biar keren. Soalnya ada pemuda, maka ada pula pemudi.

Umbu Rey

Polisikan AKKBB

Imbuhan "me - kan" yang mengapit kata dasar (D) bilangan, kata sifat, dan kata benda pada umumnya berarti "menjadikan objek (D)". Itu kaidah bahasa Indonesia yang saya pelajari ketika masih di kampung dulu.

Contoh:
1. Menyatukan bangsa artinya menjadikan bangsa satu
2. Menyakitkan hati artinya menjadikan hati sakit
3. Menginggriskan diri artinya menjadikan diri Inggris.

Rupanya tidak selalu begitu, sebab "polisi memenjarakan penjahat" tidaklah berarti menjadikan penjahat sebagai penjara, tetapi memasukkan penjahat ke dalam penjara.

Judul berita yang saya ambil dari situs Detikcom di bawah ini tertulis "FPI Polisikan AKKBB". FPI mempolisikan atau memolisikan AKKBB mungkin adalah perkembangan bahasa Indonesia. Maksudnya, FPI melaporkan atau mengadukan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) ke polisi.

Perkembangan bahasa Indonesia tampaknya telah menjungkirbalikkan tata bahasa, tetapi pengertian itu rasanya juga tidak selalu benar karena tata bahasa itu disusun menurut perkembangan bahasa (lisan). Karena itu, perkembangan bahasa seakan-akan telah menyimpang dari aturan tata bahasa.

Saya sangat taat pada tata bahasa tetapi memerlukan pertimbangan lain juga, semisal rasa bahasa, untuk mengerti sebuah konteks kalimat atau menyusun sebuah kalimat. Di setiap bahasa mesti ada pengecualian lantaran susunan kalimat itu menyimpang dari tata bahasa yang sudah baku.

Rekan-rekan seguyub yang terlalu terpaku taat kaku karena sangat teguh berpegang pada kaidah bahasa Indonesia mungkin akan bingung kalau saya mengatakan: Karena tidak mengerti, saya akan mem-pusatbahasa-kan kalimat Anda.

Mem-pusatbahasa-kan kalimat Anda mungkin sekali janggal jika ditilik dari kaidah yang saya sebutkan di atas, tetapi sama seperti kalimata "memenjarakan" yang berarti memasukkan dalam penjara, maka "memusatbahasakan" bolehlah diberi makna bertanya kepada Pusat Bahasa.

Tidak salah kan? Lha, kan sama dengan "mempolisikan".

Umbu/Antara

DISEBUT LASKAR SETAN, FPI POLISIKAN AKKBB

Hestiana Dharmastuti - detikcom

Jakarta - Front Pembela Islam (FPI) akan melaporkan dugaan penodaan agama yang
dilakukan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) ke
Polda Metro Jaya.

"Kita akan melaporkan gerakan AKK-BB yang memfitnah Laskar Islam pukul 10.00 WIB ke
Polda Metro Jaya, termasuk 2 korban dari insiden itu yang kita bisa sebut sebagai dalang rusuh," kata kuasa hukum FPI, Achmad Michdan, kepada detikcom, Selasa (3/6/2008).

Menurut dia, FPI akan membawa sejumlah bukti seperti rekaman, dan saksi-saksi.

Michdan memaparkan insiden Monas dipicu oleh provokasi dari AKK-BB. Kegiatan AKK-
BB pun dinilai tidak memiliki izin.

"Mereka bukan bicara kesatuan dan antikekerasan. Tetapi memfitnah dan mengangkat
persoalan Ahmadiyah. Mereka bilang, jangan terpengaruh dengan laskar kafir dan laskar
setan," ujar Michdan.

"Siapa yang tidak marah disebut laskar kafir dan laskar setan. Ketika kita meminta aksi AKKBB dihentikan, mereka mengeluarkan senjata api dan meletuskannya. Kita jadi marah. Ini yang tidak terekspose media," lanjut dia.

Untuk itu, Michdan berharap kepolisian mengusut kasus ini secara transparan. Ada 4 anggota FPI, termasuk Munarman yang diduga oleh kepolisian terlibat kerusuhan itu.

"Mereka tidak menyebutkan nama hanya menunjukkan wajah-wajah dalam foto dan rekaman. Tetapi tidak betul mereka anggota FPI. Jika mereka melakukan kekerasan, itu bukan
perintah atasan dan sangat mungkin dilakukan oleh oknum," paparnya. (aan/asy)

Gus Dur Mau Dibunuh

GUS DUR MAU DIBUNUH

Itu kalimat judul berita di halaman muka surat kabar harian Nonstop yang saya baca di stasiun kereta api Bekasi hari Jumat (6/6/08). Beritanya berkaitan dengan kerusuhan di silang Monas 1 Juni yang lalu antara kelompok FPI dan AKKBB.

Di halaman muka surat kabar yang sama hari Kamis (12/6/08) tertera pula kalimat judul dengan bentuk yang sama. MAS DI MONAS MAU DIBOM. Isi berita masih yang itu juga, mengenai bentrokan massa dua kelompok di Monas. Tetapi itu tidak penting dalam tulisan ini.

Yang mengherankan dan sekaligus mengagumkan saya adalah soal Gus Dur dalam judul berita itu. Saya pikir hebat benar Gus Dur, kok mau-maunya dibunuh. Untuk apa? Saya pikir ini bukan saja logika wartawan penulis berita itu yang tidak jalan, tetapi Gus Dur tampaknya sudah kehilangan nalar juga.

Zaman sekarang ini orang di mana pun dan siapa pun dia, pastilah mau hidup seribu tahun lagi, dan kalau perlu tidak usah mati sekalian, langsung masuk surga. Kalau begitu, mengapa Gus Dur mau dibunuh?

Gus Dur yang juga Presiden Republik Indonesia keempat itu semua orang pastilah tahu bahwa dia orang baik. Gus Dur juga seorang kiai haji, jadi manalah mungkin dan tentu saja tidak masuk akal jika dia mau membunuh orang lain, apa lagi mau dibunuh.

Ini kalimat menjadi rancu karena kebiasaan orang bertutur dalam kalimat lisan. Ada dua masalah yang membingungkan saya dalam kasus ini, yakni penggunaan kata "mau" dan kata berimbuhan dalam bentuk pasif "dibunuh".

Ada kebiasaan orang di Pulau Jawa pada umumnya yang tidak suka menonjolkan dirinya ketika berbicara dan karena itu mereka suka melesapkan subjek dalam bentuk kalimat pasif berawalan "di". Alih-alih menggunakan kata "goyang" atau "menggoyang" seorang pewara atau penyanyi dangdut di layar teve akan lebih cenderung berkata "digoyang".

Maka berserulah pewara dengan kalimat ini: "Mau digoyang....???!!" Tidak jelas apanya yang digoyang. Setelah penyanyinya meliuk-liuk barulah kita mengerti bahwa yang mau digoyang itu adalah pinggul atau bokongnya.

Persoalan "pinggul mau digoyang" itu pun bikin bingung, sama seperti "Mas Di Monas Mau Dibom". Adakah pinggul yang memiliki kemauan untuk digoyang atau adakah mas yang punya kemauan untuk dibom? Kata "mau" itu sama saja atau mirip artinya dengan "suka". Di dalam KBBI, "mau" itu artinya sunguh-sungguh suka hendak; suka akan; atau sudi.

Yang mempunyai kemauan atau kesukaan itu cuma manusia dan makluk hidup lain yang bergerak dan bernapas. Mau atau suka itu pun haruslah bertujuan untuk menyenangkan dan membahagiakan dirinya. Misalnya, saya mau makan. Kambing itu mau kawin.

Karena itu, Gus Dur Mau Dibunuh atau Gus Dur Mau Membunuh pastilah tidak masuk akal karena pekerjaan itu tidak menyenangkan dirinya. Orang yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran sekalipun pastilah tidak akan merasa nyaman hidupnya karena telah membunuh.

Lain soal kalau kalimat itu berkata "Luna Maya mau dicium" maka sayalah yang akan "nyosor" duluan. Kalau sudah begini, kalian semua anggota milis ini saya mohon agar menjauh. Jangan sekali-kali kalian ikut-ikutan juga mau mencium Luna Maya.

Apakah kalian mau dibunuh juga (oleh saya?)

Umbu Rey