Selasa, 28 Oktober 2008

Bahasa penyelamat bangsa

Ada semacam pengakuan baru yang terucapkan dalam Kongres IX Bahasa Indonesia Internasional 28 Oktober 2008, di Jakarta ketika Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengungkap sebuah kenyataan bahwa bahasa Indonesia ternyata telah menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman perpecahan.

Ketika dia membuka kongres itu hari Selasa --yang dihadiri lebih kurang seribu perserta dari seluruh Indonesia-- itu, Bambang Sudibyo menuturkan peristiwa ketika dia menjabat menteri keuangan pada tahun 2000. Indonesia kala itu hiruk-pikuk setelah pemberlakuan sistem desentralisasi pemerintahan.

Otonomi daerah lalu diberlakukan menyusul runtuhnya Orde Baru dan dimulainya abad Reformasi untuk mencari solusi meningkatkan kesejahteraan rakyat sampai ke pelosok. Maka, daerah provinsi kaya raya menuntut Pemerintah Pusat untuk memberikan kewenangan mengurus keuangannya sendiri, sebab daerah kaya itu ternyata telah jatuh miskin lantaran hasil bumi terbesar daerah itu sudah dikuras dan disumbangkan kepada Pemerintah Pusat.

Yang paling menonjol dalam ingar-bingar tuntutan otonomi daerah itu adalah Provinsi Riau dan Kalimantan Timur, dua daerah di Indonesia yang dikenal kaya akan minyak dan gas bumi. Rakyat Provinsi Riau bahkan mengancam akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia jika tuntutan mereka tidak dikabulkan.

Tetapi yang terjadi kemudian, kata Bambang Sudibyo, rakyat Riau tiba-tiba sadar dan kemudian membatalkan niatnya untuk merdeka. "Rakyat Riau sadar dan tidak mau lagi merdeka karena sumbangan terbesar mereka untuk pembangunan bangsa ini ternyata bukan minyak dan gas bumi. Sumbangan terbesar Riau untuk bangsa ini adalah bahasa Indonesia," kata Menteri.

Riau yang kecil mungil karena hanya merupakan bagian minoritas dari keberagaman suku dan budaya di Indonesia telah memberikan andil paling besar untuk menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan. Sejarah telah menggoreskan bukti bahwa bahasa Indonesia yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan tiada lain adalah bahasa Melayu Riau, kata Bambang Sudibyo.

Meski suku terbesar dan bahasanya diucapkan oleh lebih dari setengah penduduk Indonesia kala itu, suku Jawa ternyata dengan sukarela menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia. Sejak itu dalam pendidikan, politik dan budaya, dan apalagi perdagangan semuanya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.

Delapan puluh tahun yang lalu, 28 Oktober 1928, para pemuda dan pemudi dari berbagai suku dan golongan di Nusantara mengucapkan sumpahnya yang dikenal dengan Soempah Pemoeda. Mereka mengaku bertumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Sumpah pemuda itulah yang menginspirasi slogan terkenal Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi satu), bahkan dari situ pula cikal bakal kelahiran falsafah bangsa yakni Pancasila. Maka terbentuklah pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa yang merdeka bernama Indonesia, lepas dari cengkeraman penjajahan Belanda di tanah Nusantara selama tiga setengah abad lamanya. Negara Indonesia diikat dengan bahasa Indonesia dari Sabang di Pulau Weh sampai Merauke di ujung barat Pulau Irian (bagian barat), dan dari Miangas di utara sampai Pulau Rote di selatan NTT.

Sudah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, dan pergolakan bangsa terjadi silih berganti. Pertikaian politik bahkan hampir saja menghancurkan negara, dan karut-marut perekonomian yang menjerumuskan rakyat ke jurang kemiskinan justru berulang pada akhir Orde Baru, tetapi bahasa tetap menjadi pengikat persatuan untuk tidak memecahkan NKRI.

Untuk lebih menggalakkan penggunaan bahasa Indonesia yang benar, dalam acara pembukaan kongres kesembilan bahasa Indonesia itu, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan memberikan penghargaan kepada tokoh berbahasa lisan terbaik di bidang seni, dan politik.

Ada lima tokoh terkenal yang mendapat penghargaan itu, yakni Maudi Kusnaedy (artis sinetron dan pemain film), Prof. Dr. Din Samsyudin (MUI), Anas Urbaningrum (politisi muda). Dua tokoh perempuan yang juga dinilai sebagai tokoh berbahasa lisan terbaik adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan Prof Dr. Meutia Hatta, dan Menteri Perdagangan Dr Mari Elka Pangestu.

Bambang Sudibyo, ketika membuka kongres itu kelihatan sangat serius membacakan pidato tertulisnya, tetapi sempat juga membuat peserta yang mendengarkannya terbahak-bahak ketika dia memulai berbicara di atas panggung di ruang besar Gedung Bidakara.

"Saya harus membacakan pidato anak buah saya. Pidato tertulis ini dibuat oleh Kepal Pusat Bahasa (Dr. Dendy Sugono, red). Seorang menteri tak akan punya banyak waktu kalau setiap ada acara harus disuruh membuat pidato," katanya.

Sebelum para peserta kongres itu berhenti tertawa, Menteri Pendidikan Sudibyo melanjutkan, "Kalau nanti mata saya melihat ke bawah, itu artinya saya sedang membacakan pidato Kepala Pusat Bahasa. Tetapi kalau saya berbicara tanpa melihat teks ini maka itu berarti saya sedang menyampaikan pidato dari dari hati nurani saya yang tulus," kata Bambang Sudibyo disambut gelak tawa.

Maka sebelum melirik teks tertulis di depannya, Bambang memulai pidato pembukaan kongres itu dengan pengakuan bahwa kebahasaan adalah masalah paling fundametal dan sangat sentral dalam kehidupan manusia. Bahkan dalam kitab suci Alquran pun soal bahasa itu dikaitkan dengan penciptaan manusia, katanya.

Tuhan lalu mengajari manusia Adam ciptaannya untuk memberikan nama pada segala sesuatu yang dilihatnya satu demi satu. Itu sebabnya kedudukan bahasa sangat fundamental dalam kehidupan manusia. "Bayangkan kalau manusia itu tidak dapat berbahasa," katanya.

Ketika Tuhan memerintahkan Nabi dengan perkataan "bacalah" maka itu berarti manusia diperintahkan untuk membaca dan menulis. Itu artinya manusia harus dapat berbahasa. Tidak ada pengalaman dan pengetahuan akan dipelajari tanpa bahasa. Ilmu apa pun hanya dapat dipelajari dengan kompetensi bahasa, katanya.

Pernyataan Menteri Bambang Sudibyo dalam pembukaan kongres itu tampaknya selaras dengan perkataan yang ditulis oleh budayawan dan rohaniman Romo YB Mangunwijaya (almarhum) tentang Pendidikan Manusia Merdeka yang dimuat di dalam harian Kompas pada 11 Agustus 1992.

Berkata beliau, mengapa Soekarno-Hatta dan generasi mereka waktu masih mahasiswa kok sudah begitu cemerlang pandai, penuh keyakinan diri, dan mampu meyakinkan para kuasa dalam pentas perjuangan membela rakyat tertindas, bila dibandingkan dengan mahasiswa sekarang dengan usia dan kedudukan yang sama? Jauh dari kemanjaan borjuis dan mental priyayi mapan yang sudah puas dengan kenikmatan diri? Padahal generasi dulu jelas hasil iklim masyarakat terjajah dengan program-program sekolah dan budaya pendidikan yang kolonial?

Mestinya para putra-putri Indonesia yang sudah merdeka setengah abad, pada usia yang sama, ya mestinya jauh lebih cemerlang daripada pendahulu mereka. Adam Malik hanya berijazah SD. Begitu juga Kartini. Ki Hajar Dewantoro dan Jenderal Sudirman belum pernah jadi mahasiswa. Sutan Syahrir, perdana menteri, hanya "drop-out" universitas tingkat satu (karena ditugasi Mohammad Hatta yang masih mahasiswa juga, untuk pulang ke Tanah Air memimpin perjuangan).

Manusia itu punya bahasa. Pada hakikatnya manusia itu adalah bahasa juga. Isi dan kualitas bahkan modal kemajuannya terletak pada bahasanya. Bahasa dalam arti total, komuknikasi, ekspresi dan daya tangkap dalam macam-macam wujud. Manusia tidak hanya berkomunikasi atau mengkomunikasi, tetapi dia dalam dirinya sendiri sudah berkomunikasi. Ini sangat tampak dalam diri bayi "yang belum bisa apa-apa", tetapi mampu membahagiakan ibu dan ayahnya, "pure by being there" melulu berkat kehadiran murninya.

Maka dari awal mula bukan daya rasional, apalagi matematika atau fisika (baca:rasio analitis abstrak) yang primer berinteraksi antara bayi dan ibunya dan ayahnya (baca: manusia-manusia), melainkan bahasa. Maka tidak sulit dipahami, bahwa dalam setiap proses interaksi antar-manusia seyogianya penguasaan bahasalah diutamakan.

Dengan kata lain, seni berkomunikasilah yang primer. Di segala jurusan, matematika, fisika, kimia, sebenarnya sebentuk bahasa juga. Lapangan eksakta dengan segala keterampilannya hanya mungkin bermekar pada tanah tumbuh budaya bahasa yang tinggi.

Menurut Menteri Bambang Sudibyo, bahasa akan memberikan manusia kecerdasan total, sedangkan matematika hanya dapat mencerdaskan otak manusia sebelah kiri, tetapi matematika itu sendiri tak akan mungkin dibaca atau diuraikan tanpa bahasa. Itu sebabnya Indonesia ini dinilai Bambang sebagai bangsa yang hebat.

Apa yang hebat? Di antara negara berkembang dan berpenduduk paling besar di dunia, Indonesia telah membuktikan dirinya sukses dalam membangun demokratisasi sejak tahun 1998, dan itu dianggapnya sebagai satu lompatan ke depan. "Meskipun itu masih ada saja kekurangan," katanya.

Ekonomi kini kembali terancam gejolak seperti yang terjadi pada tahun 1997, tampaknya "karena kita kurang berjuang dalam membenahi ekonomi, dan karena kita kurang serius dalam berbahasa," katanya.

Sekarang telah terbukti bahwa "penyelamat bangsa Indonesia" tiada lain adalah bahasa Indonesia.

Umbu Rey

Sabtu, 25 Oktober 2008

Amendemen-->Pengubahan UUD 45

Ubah bukan rubah

Lema yang satu ini unik dan agak aneh menurut amatan saya. Ini kata Melayu asli atau Indonesia tulen tetapi penuturnya sampai kini masih banyak yang tak becus mengucapkannya. Wartawan dari hampir semua media cetak dan elektronik pun ikut-ikutan salah ucap.

Mulai dari orang awam sampai pejabat tinggi, dan kaum cerdik pandai, kaum ulama sampai para ahli dan orang intelektual pada umumnya menyebut "rubah dan merubah". Mereka tidak lagi sadar bahwa "rubah" adalah sejenis anjing liar semacam serigala padahal yang dibicarakannya itu bukan persoalan rubah atau anjing liar.

Kata "ubah" lazim mendapat imbuhan ber- dan mungkin karena itu, kata "berubah" dikira berasal dari kata dasar "rubah". Maka dengan seenaknya orang lalu mengatakan "merubah" atau merubah-rubah.

Ubah masuk dalam kelas kata verba. Dalam KBBI menurut amatan saya, hanya terdapat empat verba yang berawal dengan vokal "u" yang berhak mendapat awalan ber- yakni: ubah--> berubah, ukir-->berukir, ulang-->berulang-ulang, dan unyai-->berunyai (berlambat-lambat) . Kata "unjuk" baru berhak mendapat awalan ber- jikalau digabungkan dengan "rasa" sehingga menjadi berunjuk-rasa.

Banyak orang menganggap 'mengubah' dan 'berubah' sama saja artinya dan karena itu hampir tidak dirasakan lagi perbedaan kata itu dalam tuturan sehari-hari. Pada umumnya orang menggunakan kata itu secara mana suka saja. Tetapi, jikalau kita lebih cermat maka sesungguhnya ada perbedaan makna yang cukup besar di antara keduanya.

Saya mencoba membedakan dua kata itu menurut turunan verba berimbuhan sbb:

1. Ubah --> pengubah-->mengubah -->pengubahan- ->ubahan

2. Ubah -->peubah--> berubah-- >memperubahkan -->perubahan

Kata "peubah" dan "memperubahkan" pada butir (2) tidak berterima. Itu berarti bahwa "pengubahan" yakni hal mengubah sesuatu jelaslah ada pengubahnya, sedangkan "perubahaan" yang berarti hal berubah tentu saja tidak ada (orang) yang mengubahnya.

Jika kita mengatakan "berubah" maka yang dimaksud adalah menjadi lain (berbeda) dari semula. Contoh: wajahnya agak 'berubah' ketika dirasanya sambutanku tidak begitu hangat. Dan, jika kita mengatakan "mengubah" maka yang dimaksud adalah menjadikan lain dari semula. Contoh: timbul niatnya untuk 'mengubah' kebiasaan yang buruk itu.

Makna frasa "menjadi lain dari semula" (berubah) sesungguhnya berbeda dari "menjadikan lain dari semula" (mengubah). Contoh KBBI yang saya sebutkan di atas jelas membedakan arti "wajahnya agak berubah" dan "timbul niatnya untuk mengubah kebiasaan".

Menurut "penerawangan" saya kata "berubah" menunjukkan gambaran tentang sesuatu yang menjadi lain dari semula tanpa akal dan pertolongan atau upaya manusia. Kalau wajah saya berubah menjadi merah padam, maka merahnya wajah saya itu bukan karena upaya saya, sebab setiap wajah memang selalu berubah sendiri menjadi merah padam kalau orang sedang marah.

Orang yang "berakting" atau berlakon menjadi orang marah dalam sebuah permainan sandirwara tak akan mampu membuat wajahnya berubah menjadi merah padam, paling-paling matanya saja yang kelihatan melotot dan suara nyaring seperti orang berteriak sehingga seakan-akan dia sedang marah.

Berubah adalah kejadian alamiah atau terjadi dengan sendirinya. Itu sebabnya bahasa Inggris "climate change" selalu kita terjemahkan menjadi "perubahan iklim" sebab iklim itu memang berubah sendiri tanpa pertolongan upaya manusia. Saya belum pernah mendengar orang mengubah iklim dan karena itu tidak ada frasa "pengubahan iklim".

Ketika berbicara mengenai pengindonesian kata "amendment" dalam milis ini beberapa hari yang lalu saya menyarankan agar teman-teman media massa menggunakan saja kata berimbuhan "PENGUBAHAN" UUD 45 alih-alih menggunakan istilah serapan "amendemen" dari Inggris.

Cara penulisan kata serapan itu pun salah dan tersebar di mana-mana, sebab hampir semua media massa menulis "amandemen" padahal KBBI jelas mencatat "amendemen". Ketika kata itu kita telusuri dalam perdebatan di milis ini tampaknya semua pada bingung sendiri, apakah dari bahasa Belanda, Inggris atau Prancis.

Saya memilih menggunakan kata PENGUBAHAN UUD 45 lantaran UUD itu sudah diubah beberapa kali. Pengubahan UUD 45 adalah hal mengubah atau proses mengubah UUD 45, dan pengubahan itu dilakukan dengan pertolongan upaya manusia (anggota DPRRI). Hasilnya adalah UBAHAN UUD 45 yang diberlakukan.

UUD 45 itu tidak mungkin bisa berubah sendiri dan karena itu saya tidak menggunakan istilah PERUBAHAN UUD 45. Lalu, mengapa mesti bergenit-genit menggunakan kata serapan dari bahasa Inggris dan Belanda? Bodoh itu.

Ada yang protes tulisan saya ini? Silakan!

Umbu Rey

Jumat, 24 Oktober 2008

Telepon versus Telefon

Telepon versus Telefon

Ini persoalan lama yang menurut saya belum tuntas karena digunakan mana suka. Maklumlah, ini kata bukan milik bangsa. Ini kata lahir dari akibat kemajuan teknologi asing. Itu sebabnya sampai sekarang rekan-rekan saya di media massa masih juga mempertanyakan manakah yang benar di antara kedua kata itu, telepon ataukah telefon?

Ada media massa yang menggunakan kata "telepon" karena begitulah cara orang ramai mengucapkannya. Lagi pula kata itu pun sudah tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan dinyatakan sebagai kata yang baku.

Kata yang baku adalah kata yang menjadi tolok ukur dan yang berlaku untuk kualitas dan kuantitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan (lihat KBBI). Kata yang bersinonim dengan baku adalah standar.

Tetapi, sebagian media massa bersiteguh untuk tetap menggunakan kata "telefon" karena kata itulah yang menurut mereka "benar" dan sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Dengan demikian, kata yang "baku" akan menimbulkan pengertian berbeda dari kata yang "benar".

Kata yang "baku" adalah kata yang lazim diucapkan orang banyak saban hari dan tanpa sadar telah menjadi kelaziman dan kesepakatan umum, meskipun kata itu mungkin sekali keliru atau salah jika ditinjau dari tata bahasa atau kaidah bahasa.

KBBI yang diterbitkan Pusat Bahasa --menurut amatan saya-- tampaknya masih tetap merupakan buku rekaman kata-kata yang diucapkan orang dalam kurun waktu tertentu. Kata itu akhirnya dianggap "baku" karena sudah menjadi kesepakatan umum.

Dalam KBBI, kata yang tidak baku biasanya ditandai dengan lambang "cak" yang menandakan kata itu hanya dipakai dalam bahasa percakapan yang tidak resmi. Kata "boro-boro" misalnya, dalam KBBI diberi penanda "cak" karena tidak lazim digunakan dalam percakapan resmi. Seharusnya kita mengatakan "jangankan". Demikian pun kata "buat" diberi penanda "cak" jika kita menggunakannya dalam kalimat seperti ini: "kue ini buat saya".

Karena itu, kata-kata yang dianggap "baku" masih harus diuji kebenarannya melalui kaidah tata bahasa, pedoman Ejaan bahasa Yang Disempurnakan (EYD), dan pedoman pembentukan istilah.
Kalau kita bertanya manakah di antara dua kata itu (telepon dan telefon) yang "baku", maka pilihan akan jatuh pada kata "telepon" karena kata itulah yang tercantum dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Tetapi, jika kita bertanya manakah yang "benar" di antara kedua kata itu, tentu saja kita harus menelusurinya lewat kaidah tata bahasa.

Kata telepon itu diserap dari bahasa Inggris telephone (Webster's Third New International Dictionary). Dalam kamus Inggris-Indonesia M. Echol dan Hasan Sadhily yang biasa kita pakai sehari-hari, kata itu tidak tercantum. Konsonan rangkap "ph" dalam bahasa Inggris pada umumnya terserap ke dalam bahasa Indonesia melalui pendengaran (bunyi hurufnya jika diucapkan). Dalam bahasa Inggris kata telephone itu biasanya diucapkan atau berbunyi "telefon", dan karena itu konsonan rangkap "ph" itu pun terwujud dalam bentuk huruf "f" dalam bahasa Indonesia.

Bandingkan dengan kata ini: telegraph, microphone, gramophone, phonology, dan phoneme, dan lain-lain seterusnya. Kata-kata itu semuanya diserap ke dalam bahasa Indonesia dan diucapkan menurut bunyi kata aslinya. Jadi, kita menyebut "telegraf", "mikrofon", "gramofon", "fonologi", dan "fonem".

KBBI pada awalnya menyerap kata telegraph sebagai telegrap tetapi pada edisi ketiga kata "telegrap" itu dirujuk kembali pada kata "telegraf" (telegrap-->telegraf). Entah apa alasannya saya tidak tahu. Mungkin sekali disesuaikan dengan kata-kata berbunyi "ph" yang lain.

Pusat Bahasa sampai kini masih menggunakan pedoman penyerapan kata asing itu melalui bentuk hurufnya (visi), tetapi tidak selamanya demikian karena bahasa Arab dan Cina, Jepang dan Korea tidak menggunakan huruf Latin.

Mengapa KBBI itu mencatat kata "telepon"? Mungkin sekali karena pengaruh lidahnya orang Jawa dan Sunda dan suku bangsa Indonesia di bagian barat yang pada umumnya tidak dapat mengucapkan fonem "f". (Harap juga diingat, bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia pun tidak mengenal fonem "f"). Karena itu, "telepon" merakyat dan menjadi kelaziman, maka KBBI pun mencatat kata "telepon" sebagai kata yang baku.

Maka kini terjadi persaingan kata "telepon" dan "telefon". Kalau kita merujuk pada KBBI maka kata "telepon" itulah yang baku atau standar. Tetapi, jika kita hendak menentukan kebenaran penulisan kata itu melalui penelusuran kaidah tata bahasa maka saya cenderung mengatakan "telefon" itulah yang benar.

Umbu Rey

Selasa, 21 Oktober 2008

Mengapa "petualangan"

Tulisan yang dimuat di rubrik bahasa halaman 15 harian KOMPAS bulan Juli 2008 berjudul "Mengapa Berpetualangan". Penulisnya adalah anggota milis guyubbahasa juga. Namanya Pamusuk Eneste. Bagus memang, tetapi saya ingin kasih sedikit komentar dari bagian terakhirnya saja seperti yang saya kutip berikut:

"Pada hemat saya kita harus menghentikan petualangan kata berpetualang."

Kata petualangan dalam kalimat di atas sungguh sangat merisaukan saya, dan karena itu tulisan ini saya beri judul "Mengapa Petualangan?"

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga, petualangan terbentuk dari kata dasar "tualang" yang berarti (1) beterbangan tidak keruan (ttg lebah) dan (2) orang yang tidak tentu tempat tinggalnya (berkeliaran), gelandangaan, atau pengembara.

Sampai kini kata "tualang" hanya berhak atau lazimnya hanya mendapat awalan "ber-" sehingga kita seharusnya hanya dapat berkata bertualang. Saya belum pernah mendengar orang berkata "menualang" dan KBBI edisi ketiga pun tidak mencatat kata itu.

Lalu, mengapa ada kata "petualangan", yang dalam KBBI diberi arti "perihal bertualang"? Jikalau kita perhatikan kelaziman orang berbahasa (kalau mungkin dapat disebut kaidah) maka pada umumnya kata dasar yang diberi awalan "ber-" akan menurunkan kata berimbuhan sbb:

1. Tualang --> bertualang --> mempertualangkan (tidak berterima) --> pertualangan --> petulang.

Bandingkan:

2. Juang --> berjuang --> memperjuangkan --> perjuangan --> pejuang

3. Dagang --> berdagang --> memperdagangkan --> perdagangan --> pedagang

4. Main --> bermain --> mempermainkan --> permainan --> pemain.

Kata dasar atau lema "tualang, juang, dagang," pada butir (1), (2), dan (3) di atas tidak pernah mendapat awalan "me-, dan karena itu tidak ada kata "menualang, menjuang, dan mendagang". Itu sebabnya tidak muncul kata "penualangan", "penjuangan", dan "pendagangan".

"Petualangan" itu dari mana asal-muasalnya, tak jelas benar. Jikalau KBBI mencatat kata "petualangan" pada halaman 1213 maka kata itu mungkin sekali adalah rekaman dari kebiasaan orang yang mengucapkannya secara salah kaprah.

KBBI sampai kini hanya merupakan buku yang merekam kata-kata tersebar yang lazim diucapkan orang saban hari dalam kurun waktu tertentu. Karena itu untuk mengetahui kebenaran arti kata-kata dalam kamus itu kita harus pula mengujinya melalui pernalaran tata bahasa (kaidah).

Menurut rumus pada butir (1) di atas, kata "pertualangan" diturunkan dari kata "bertualang". Jadi yang dimaksudkan dengan "perihal bertualang, perbuatan menekad (menyeleweng)" dalam KBBI edisi ketiga halaman 1213) seharusnya adalah pertulangan dan bukan petualangan".

Umbu Rey

Di bawah ini salinan tulisan "Mengapa Berpetualang?"

Ada satu kata yang kian populer di media cetak beberapa tahun terakhirini. Sayangnya, kata itu sebetulnya bentuk yang salah kaprah. Yang sayamaksud adalah kata berpetualang! Kata berpetualang telah menggeserkedudukan kata yang kaprah, yakni bertualang. Tidak percaya?

Menurutpenelitian 'Profesor' Google (15 Juli 2008), berpetualang terdapat dalam248.000 dokumen, sedangkan kata bertualang hanya dalam 60.600 dokumen.

Anehnya, berpetualang tidak hanya digunakan orang tak berpendidikan. Orang berpendidikan tinggi pun ikut larut dengan berpetualang. Simak saja kutipan berikut. "Berpetualang untuk Berpromosi" judul berita Kompas, 2Desember 2005."

Di sana, anak-anak bisa diajak berpetualang di alam terbuka sambil belajar bercocok tanam dan kegiatan lain yang sulit dilakukan di daerah perkotaan" pada Kompas, 12 Juli 2008. "Suatu kali, saya bisa ikut bersama Harry Potter berpetualang dengan bubuk floo, melawan sihir Voldemort" pada Matabaca, Desember 2005.

Janganlah kaget, kutipan terakhir berasal dari penulis berpendidikan S-3. Namun, kalau kita tanya apa arti berpetualang, pemakai kata itu mungkin akan bingung sendiri. Kenapa? Kata berpetualang tak kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa) atau Kamus Umum BahasaIndonesia (Badudu - Zain) atau Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko).

Kata yang tercatat dalam kamus adalah bertualang, yang berasal dari akar kata tualang. Kata bertualang menurut KBBI Edisi Ketiga bermakna'mengembara ke mana-mana', 'selalu pergi ke mana-mana'. Tualang sendiri berarti 'beterbangan tidak keruan' dan 'tidak tentu tempat tinggalnya (berkeliaran) '.

Orang yang bertualang disebut petualang. Proses pembentukan kata bertualang sama dengan berdagang dan berjuang. Kedua kata terakhir berasal dari akar kata dagang dan juang ditambah dengan awalan ber-.

Selanjutnya, orang yang berdagang disebut pedagang, orang yang berjuang disebut pejuang. Kita hampir tak pernah mendengar atau membaca kata berpedagang atau berpejuang. Yang sering muncul hanya berpetualang dan frekuensinya sangat tinggi. Ini sudah terbukti dengan hasil penelitian'Profesor' Google.

Kenapa muncul bentuk berpetualang? Saya menduga karena dua hal pertama, karena ketidaktahuan saja. Orang tak tahu bahwa berpetualang salah kaprah sehingga dipakai terus-menerus. Kedua, mungkin orang menganggap proses pembentukan kata itu sama dengan kata berpedoman dan berpengaruh.

Kedua kata terakhir ini memang berasal dari kata pedoman dan pengaruh. Namun, haraplah diingat, kedua kata ini merupakan kata dasar yang mendapat awalan ber-. Tidak demikian halnya dengan berpetualang.

Memang berpetualang berasal dari petualang dan awalan ber-. Hanya saja kata petualang bukan kata dasar, seperti pedoman dan pengaruh. Kata petualang merupakan turunan dari tualang dan awalan pe-.

Pada hemat saya kita harus menghentikan petualangan kata berpetualang. Kalau Anda ingin bertualang, silakan saja, tetapi jangan bilang berpetualang.

PAMUSUK ENESTE
Editor pada Sebuah Penerbit Buku

Jumat, 10 Oktober 2008

Gesang genap 91 tahun

Rekan saya mengabarkan dari Surabaya bahwa pada bulan Oktober ini Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo, itu akan genap 91 tahun usianya. Saya agak risau dengan perkataan "genap" dalam kasus usia ini.

Kata "genap" yang mengacu pada angka biasanya berlawanan dengan kata "ganjil". Dalam hitungan angka yang disebut genap adalah dua, empat, enam, delapan, sepuluh, sedangkan bilangan satu, tiga, lima, tujuh, dan sembilan adalah ganjil. Ciri lain dari angka genap adalah semua bilangan yang habis dibagi dua. Lain dari itu disebut ganjil.

Genap dan ganjil tidak selalu berhubungan dengan angka. Kita sering mendengar perkataan binatang "berkuku genap", atau lazim pula disebut berkuku belah. Yang masuk dalam jenis ini adalah kerbau, sapi, dan kambing.

Binatang atau hewan berkuku genap biasanya adalah pemamah biak. Disebut pemamah biak lantaran rumput atau makanan ditelannya bulat-bulat langsung masuk ke lambung, dan pada saatnya kemudian dimuntahkan untuk dimamah atau dikunyah lagi sebelum ditelan kembali.

Kebalikan dari itu adalah binatang berkuku ganjil atau lazim disebut gasal. Binatang berkuku gasal ini adalah kuda atau zebra atau yang sejenis dengan itu. Binatang ini tentu saja tidak memamah biak. Setiap kali makan langsung dikunyah dan langsung pula keluar menjadi tinja.

Genap juga berarti lengkap, atau pembulatan bilangan supaya menjadi genap. Orang yang jujur tulus biasanya "menggenapi" janjinya. Kata genap dalam hal ini bermakna menepati janji. Dalam ajaran Kristen, sesuatu yang terjadi menurut ramalan para nabi biasanya disebut bahwa janji Tuhan sudah digenapkan. "Aku datang bukan untuk mengubah Taurat, tetapi untuk menggenapkan. "

Dalam peribahasa, kata "genap" dapat pula berarti sudah sampai waktunya, atau sudah tiba ajalnya. Jika sudah genap bilangannya maka ajal pun akan merenggut nyawa. Demikian juga kata "ganjil" memiliki arti yang lain. Yang sekarang ini hampir tidak lagi atau jarang sekali digunakan orang adalah kata "ganjil" yang bermakna "aneh".

Orang yang bersikap lain dari biasanya disebut ganjil benar tabiatnya itu. Demikian juga jika saya berkata lain dari persoalan usia ini maka Anda tentu dapat berkata bahwa ganjil benar perkataan saya.

Penjelasan saya tentang genap dan gasal atau ganjil di atas tentu saja berbeda dari genap pada usia Gesang. Penghitungan usia disebut genap akan selalu berhubungan dengan angka, sama halnya dengan penghitungan semester genap dan ganjil pada masa kuliah.

Jadi, benarkah Gesang "genap" 91 tahun usianya pada bulan Oktober ini? Rasanya tidaklah mungkin pula kita berkata bahwa Gesang akan "ganjil" 91 tahun usianya karena angka 91 itu pastilah disebut ganjil.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "genap" itu akan kita temukan maknanya bermacam-macam. Kalau begitu, mengapa usia Gesang yang ke-91 tahun pada bulan Okoter nanti disebut genap?

Tahun yang lampau (bulan Oktober 2007) ketika Gesang merayakan ulang tahunnya, orang ramai mengatakan penggubah lagu keroncong Jembatan Merah itu telah genap berusia 90 tahun. Mengapa pada tahun ini ketika usianya 91 tahun disebut genap juga?

KBBI memberikan contoh kalimat pada lema "genap" (halaman 352) yakni "perkawinan kita telah genap 32 tahun". Saya pikiir, angka 32 pada contoh kalimat itu adalah bilangan utuh (tidak kurang), penuh, dan lengkap tetapi tetaplah genap.

Demikian pula angka 91 pada usia Gesang adalah bilangan penuh, utuh (tidak kurang) dan lengkap, tetapi itu adalah angka ganjil. Karena itu, Gesang telah "mencapai" usia 91 tahun pada Oktober tahun 2008 ini lebih tepat daripada "genap berusia 91 tahun".

Umbu Rey

Tampak Tidak Terlihat (wawancara)

Saya tidak tahu persis apakah ini gejala penyimpangan atau mungkin perkembangan bahasa Indonesia. Hampir setiap saat saya amati koran-koran menulis kata "tampak" secara tidak tepat makna. Ini pendapat saya dan boleh dibantah.

Beberapa tahun yang lalu ketika mantan Presiden RI Pak Harto masih hidup, kegiatannya selalu saja disorot wartawan. Pada suatu saat setelah bulan Ramadan usai, diadakanlah sembahyang atau salat Id di Masjid At-Tien di Taman Mini Indonesia Indah untuk menyambut Idulfitri. Masjid itu, konon, didirikan oleh Ibu Tien Soeharto. Ribuan orang memadati masjid itu.

Kantor Berita Antara juga meliput kegitan itu, dan wartawannya tentu saja melaporkan peristiwa itu dari sudut pandangnya sendiri. Apa yang dilihatnya di situ dilaporkannya semua secara terperinci, dan berhamburanlah kata "tampak" dalam laporannya itu.

Salah satu kalimatnya berbunyi "Ribuan umat muslim memadati Masjid At-Tien di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) untuk melakukan salat Id, tetapi mantan Presiden Sooharto tampak tidak terlihat".

Terus-terang saya bingung setengah mati membaca berita itu. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak dapat dilihat atau yang tidak ada di tempat itu tampak atau dapat dilihat oleh wartawan Kantor Berita Antara? Kata "tampak" agaknya digunakan sebagai kebiasaan, dan mungkin merupakan pemanis kata atau pelengkap tanpa makna. Karena itu setiap kali melaporkan berita pandangan mata, wartawan mesti menggunakan kata "tampak" itu.

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga, kata "tampak" hanya memiliki makna yang berhubungan dengan apa yang dilihat mata. Tampak artinya (1) dapat dilihat, kelihatan, dan (2) memperlihatkan diri atau muncul. Dari kata "tampak" turun kata tampaknya, tampak-tampak, menampak, menampakkan, tertampak, dan penampakan, yang kesemuanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat dilihat mata.

Kalau kata "tampak" dipakai bersamaan dengan kata "terlihat" mungkin masih dapat diterima akal sebab kata "tampak" dalam kasus ini hanya menegaskan apa yang dilihat wartawan. Bandingkan dengan "tampak ada" atau "telah tampak orang ramai di situ".

Jika kita menggunakan "tampaknya ada", maka frasa itu merupakan pernyataan atau penafsiran sesuatu yang tidak pasti atau belum tentu terjadi. Jikalau kita mengatakan "Pak Harto tampaknya tidak akan hadir di masjid itu" maka kalimat itu menyiratkan makna bahwa Pak Harto mungkin sekali akan hadir juga di situ, tetapi belum terlihat.

Tetapi kalau kita mengatakan Pak Harto "tampak tidak hadir" dalam acara itu, maka kata tampak itu menjadi mubazir atau bahkan tidak masuk akal lantaran tak akan mungkinlah mata melihat sesuatu yang tidak hadir.

Anehnya, Harian KOMPAS edisi Jumat 29/8/2008 menurunkan berita pada halaman 9 mengenai kemenangan Anwar Ibrahim yang kembali ke parlemen setelah menang dalam pemilu sela di Malaysia. Pada halaman itu tertulis: Pada saat pengambilan sumpah Anwar, Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi, Wakil PM Nadjib Razak, serta sebagian anggota kabinet tampak tidak hadir di gedung parlemen.

Dapatkah orang yang tak hadir di situ tampak atau dapat dilihat oleh wartawan?

Umbu Rey

Berikut ini tanggapan Bari Muchtar (Radio Nederland):

Bung Umbu,

Saya tidak akan membantah, tapi ingin mengajukan yang mungkin bisa memperparah diskusi. Banyak orang menggunakan "nampak", bukan "tampak". Ada yang mengatakan dua kata ini sebenarnya artinya sama. Nampak itu pengaruh bahasa Jawa, sementara tampak murni bahasa Melayu. Bagaimana pendapat anda, Bung Umbu?

Terus apakah bisa misalnya kata "tampak" di tulisan Kompas tadi diganti dengan "tampaknya"? Jadi kalimatnya menjadi begini: "pada saat pengambilan sumpah Anwar, Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi, Wakil PM Nadjib Razak, serta sebagian anggota kabinet tampaknya tidak hadir di gedung parlemen".

Dengan kata lain bisakah kita menggunakan "tampaknya" di sini untuk menunjukkan sesuatu yang tidak pasti? Karena anda menulis: Jika kita menggunakan "tampaknya ada", maka frasa itu merupakan pernyataan atau penafsiran sesuatu yang tidak pasti. Contohnya, Pak Harto tampaknya tidak akan hadir di Masjid itu.

Terima kasih sebelumnya dan salam dari negeri kincir angin

Bari Muchtar/Radio Nederland http://www.ranesi.nl/

Jawaban saya:

Bung Bari di Nederland,

Kata "nampak" itu masuk kategori bahasa percakapan. Itu kebiasaan orang Jakarta atau Jawa pada umunya yang suka memotong-motong kata supaya lebih singkat saja. Alih-alih mengatakan "kita pergi menonton" mereka lebih suka mengatakan "kita nonton". Kata lain yang serupa dengan itu dapat kita lihat pada kata kacau-->ngaco", karang --> ngarang, pantul --> mantul dst.

Kata "tampak" dalam tulisan di KOMPAS itu tidak bisa diganti dengan "tampaknya" sebab orang (pejabat tinggi) yang disebutkan dalam koran itu memang sudah pasti tidak hadir dalam acara sumpah jabatan itu sampai acara itu usai.

Kata "tampaknya" yang saya maksudkan itu lebih menunjuk pada arti ramalan atau perkiraan tentang sesuatu yang bakal atau akan terjadi atau mungkin juga tidak akan terjadi. Jadi, "tampaknya" bersinonim dengan "mungkin".

Harian KOMPAS beda dari Bantor Berita Antara. Koran mempunyai tenggat waktu lebih lama daripada kantor berita. Artinya, wartawan koran baru akan menulis beritanya pada umumnya ketika acara itu sudah usai tuntas.

Kantor Berita Antara bekerja dengan tenggat setiap saat, hampir mirip dengan radio yang melaporkan pandangan mata langsung dari tempat kejadian. Ketika acara itu belum usai beberapa peristiwa atau kejadian dalam acara itu sudah harus disiarkan pada saat itu juga.

Ketika acara sembahyang atau salat Id itu belum usai (masih berlangsung), masih ada kemungkinan Pak Harto akan hadir dalam acara itu. Mungkin pada pertengahan acara atau mungkin pada akhir acara itu.

Pada saat yang demikian itu, wartawan Antara seharusnya menggunakan kata "tampaknya" karena ada kemungkinan seperti yang saya sebutkan di atas. Jika saja wartawan Antara cenderung memperkirakan Pak Harto tidak akan hadir, maka dia seharusnya melaporkan "Pak Harto tampaknya tidak akan hadir dalam acara itu".

Tetapi, kalau Pak Harto diketahuinya tidak hadir, maka pastilah Pak Harto tidak akan kelihatan atau tidak akan tampak di tempat itu. Lantas, mengapa wartawan menggunakan kata "tampak tidak kelihatan". Bukankah orang yang tidak hadir di situ memang tidak tampak atau tidak mungkin bisa kelihatan atau terlihat?

Semoga jelas.

Umbu Rey

Tanggapan Bari Muchtar (Radio Nederland):

Bung Umbu,

Terima kasih atas penjelasan Anda. Bisakah saya mewawancarai anda tentang kebijakan bahasa di Antara? Wawancara itu akan saya siarkan di acara radio saya dan juga akan dimuat di situs kami: www.ranesi.nl. Kalau anda bersedia, tolong kasih tahu nomor telpon anda dan emailkan langsung ke alamat email saya:bari.muchtar@ rnw.nl

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Bari Muchtar/Radio Nederland

Jawaban saya:

??????????

Umbu Rey