Ada semacam pengakuan baru yang terucapkan dalam Kongres IX Bahasa Indonesia Internasional 28 Oktober 2008, di Jakarta ketika Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengungkap sebuah kenyataan bahwa bahasa Indonesia ternyata telah menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman perpecahan.
Ketika dia membuka kongres itu hari Selasa --yang dihadiri lebih kurang seribu perserta dari seluruh Indonesia-- itu, Bambang Sudibyo menuturkan peristiwa ketika dia menjabat menteri keuangan pada tahun 2000. Indonesia kala itu hiruk-pikuk setelah pemberlakuan sistem desentralisasi pemerintahan.
Otonomi daerah lalu diberlakukan menyusul runtuhnya Orde Baru dan dimulainya abad Reformasi untuk mencari solusi meningkatkan kesejahteraan rakyat sampai ke pelosok. Maka, daerah provinsi kaya raya menuntut Pemerintah Pusat untuk memberikan kewenangan mengurus keuangannya sendiri, sebab daerah kaya itu ternyata telah jatuh miskin lantaran hasil bumi terbesar daerah itu sudah dikuras dan disumbangkan kepada Pemerintah Pusat.
Yang paling menonjol dalam ingar-bingar tuntutan otonomi daerah itu adalah Provinsi Riau dan Kalimantan Timur, dua daerah di Indonesia yang dikenal kaya akan minyak dan gas bumi. Rakyat Provinsi Riau bahkan mengancam akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia jika tuntutan mereka tidak dikabulkan.
Tetapi yang terjadi kemudian, kata Bambang Sudibyo, rakyat Riau tiba-tiba sadar dan kemudian membatalkan niatnya untuk merdeka. "Rakyat Riau sadar dan tidak mau lagi merdeka karena sumbangan terbesar mereka untuk pembangunan bangsa ini ternyata bukan minyak dan gas bumi. Sumbangan terbesar Riau untuk bangsa ini adalah bahasa Indonesia," kata Menteri.
Riau yang kecil mungil karena hanya merupakan bagian minoritas dari keberagaman suku dan budaya di Indonesia telah memberikan andil paling besar untuk menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan. Sejarah telah menggoreskan bukti bahwa bahasa Indonesia yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan tiada lain adalah bahasa Melayu Riau, kata Bambang Sudibyo.
Meski suku terbesar dan bahasanya diucapkan oleh lebih dari setengah penduduk Indonesia kala itu, suku Jawa ternyata dengan sukarela menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia. Sejak itu dalam pendidikan, politik dan budaya, dan apalagi perdagangan semuanya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
Delapan puluh tahun yang lalu, 28 Oktober 1928, para pemuda dan pemudi dari berbagai suku dan golongan di Nusantara mengucapkan sumpahnya yang dikenal dengan Soempah Pemoeda. Mereka mengaku bertumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Sumpah pemuda itulah yang menginspirasi slogan terkenal Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi satu), bahkan dari situ pula cikal bakal kelahiran falsafah bangsa yakni Pancasila. Maka terbentuklah pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa yang merdeka bernama Indonesia, lepas dari cengkeraman penjajahan Belanda di tanah Nusantara selama tiga setengah abad lamanya. Negara Indonesia diikat dengan bahasa Indonesia dari Sabang di Pulau Weh sampai Merauke di ujung barat Pulau Irian (bagian barat), dan dari Miangas di utara sampai Pulau Rote di selatan NTT.
Sudah lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, dan pergolakan bangsa terjadi silih berganti. Pertikaian politik bahkan hampir saja menghancurkan negara, dan karut-marut perekonomian yang menjerumuskan rakyat ke jurang kemiskinan justru berulang pada akhir Orde Baru, tetapi bahasa tetap menjadi pengikat persatuan untuk tidak memecahkan NKRI.
Untuk lebih menggalakkan penggunaan bahasa Indonesia yang benar, dalam acara pembukaan kongres kesembilan bahasa Indonesia itu, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan memberikan penghargaan kepada tokoh berbahasa lisan terbaik di bidang seni, dan politik.
Ada lima tokoh terkenal yang mendapat penghargaan itu, yakni Maudi Kusnaedy (artis sinetron dan pemain film), Prof. Dr. Din Samsyudin (MUI), Anas Urbaningrum (politisi muda). Dua tokoh perempuan yang juga dinilai sebagai tokoh berbahasa lisan terbaik adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan Prof Dr. Meutia Hatta, dan Menteri Perdagangan Dr Mari Elka Pangestu.
Bambang Sudibyo, ketika membuka kongres itu kelihatan sangat serius membacakan pidato tertulisnya, tetapi sempat juga membuat peserta yang mendengarkannya terbahak-bahak ketika dia memulai berbicara di atas panggung di ruang besar Gedung Bidakara.
"Saya harus membacakan pidato anak buah saya. Pidato tertulis ini dibuat oleh Kepal Pusat Bahasa (Dr. Dendy Sugono, red). Seorang menteri tak akan punya banyak waktu kalau setiap ada acara harus disuruh membuat pidato," katanya.
Sebelum para peserta kongres itu berhenti tertawa, Menteri Pendidikan Sudibyo melanjutkan, "Kalau nanti mata saya melihat ke bawah, itu artinya saya sedang membacakan pidato Kepala Pusat Bahasa. Tetapi kalau saya berbicara tanpa melihat teks ini maka itu berarti saya sedang menyampaikan pidato dari dari hati nurani saya yang tulus," kata Bambang Sudibyo disambut gelak tawa.
Maka sebelum melirik teks tertulis di depannya, Bambang memulai pidato pembukaan kongres itu dengan pengakuan bahwa kebahasaan adalah masalah paling fundametal dan sangat sentral dalam kehidupan manusia. Bahkan dalam kitab suci Alquran pun soal bahasa itu dikaitkan dengan penciptaan manusia, katanya.
Tuhan lalu mengajari manusia Adam ciptaannya untuk memberikan nama pada segala sesuatu yang dilihatnya satu demi satu. Itu sebabnya kedudukan bahasa sangat fundamental dalam kehidupan manusia. "Bayangkan kalau manusia itu tidak dapat berbahasa," katanya.
Ketika Tuhan memerintahkan Nabi dengan perkataan "bacalah" maka itu berarti manusia diperintahkan untuk membaca dan menulis. Itu artinya manusia harus dapat berbahasa. Tidak ada pengalaman dan pengetahuan akan dipelajari tanpa bahasa. Ilmu apa pun hanya dapat dipelajari dengan kompetensi bahasa, katanya.
Pernyataan Menteri Bambang Sudibyo dalam pembukaan kongres itu tampaknya selaras dengan perkataan yang ditulis oleh budayawan dan rohaniman Romo YB Mangunwijaya (almarhum) tentang Pendidikan Manusia Merdeka yang dimuat di dalam harian Kompas pada 11 Agustus 1992.
Berkata beliau, mengapa Soekarno-Hatta dan generasi mereka waktu masih mahasiswa kok sudah begitu cemerlang pandai, penuh keyakinan diri, dan mampu meyakinkan para kuasa dalam pentas perjuangan membela rakyat tertindas, bila dibandingkan dengan mahasiswa sekarang dengan usia dan kedudukan yang sama? Jauh dari kemanjaan borjuis dan mental priyayi mapan yang sudah puas dengan kenikmatan diri? Padahal generasi dulu jelas hasil iklim masyarakat terjajah dengan program-program sekolah dan budaya pendidikan yang kolonial?
Mestinya para putra-putri Indonesia yang sudah merdeka setengah abad, pada usia yang sama, ya mestinya jauh lebih cemerlang daripada pendahulu mereka. Adam Malik hanya berijazah SD. Begitu juga Kartini. Ki Hajar Dewantoro dan Jenderal Sudirman belum pernah jadi mahasiswa. Sutan Syahrir, perdana menteri, hanya "drop-out" universitas tingkat satu (karena ditugasi Mohammad Hatta yang masih mahasiswa juga, untuk pulang ke Tanah Air memimpin perjuangan).
Manusia itu punya bahasa. Pada hakikatnya manusia itu adalah bahasa juga. Isi dan kualitas bahkan modal kemajuannya terletak pada bahasanya. Bahasa dalam arti total, komuknikasi, ekspresi dan daya tangkap dalam macam-macam wujud. Manusia tidak hanya berkomunikasi atau mengkomunikasi, tetapi dia dalam dirinya sendiri sudah berkomunikasi. Ini sangat tampak dalam diri bayi "yang belum bisa apa-apa", tetapi mampu membahagiakan ibu dan ayahnya, "pure by being there" melulu berkat kehadiran murninya.
Maka dari awal mula bukan daya rasional, apalagi matematika atau fisika (baca:rasio analitis abstrak) yang primer berinteraksi antara bayi dan ibunya dan ayahnya (baca: manusia-manusia), melainkan bahasa. Maka tidak sulit dipahami, bahwa dalam setiap proses interaksi antar-manusia seyogianya penguasaan bahasalah diutamakan.
Dengan kata lain, seni berkomunikasilah yang primer. Di segala jurusan, matematika, fisika, kimia, sebenarnya sebentuk bahasa juga. Lapangan eksakta dengan segala keterampilannya hanya mungkin bermekar pada tanah tumbuh budaya bahasa yang tinggi.
Menurut Menteri Bambang Sudibyo, bahasa akan memberikan manusia kecerdasan total, sedangkan matematika hanya dapat mencerdaskan otak manusia sebelah kiri, tetapi matematika itu sendiri tak akan mungkin dibaca atau diuraikan tanpa bahasa. Itu sebabnya Indonesia ini dinilai Bambang sebagai bangsa yang hebat.
Apa yang hebat? Di antara negara berkembang dan berpenduduk paling besar di dunia, Indonesia telah membuktikan dirinya sukses dalam membangun demokratisasi sejak tahun 1998, dan itu dianggapnya sebagai satu lompatan ke depan. "Meskipun itu masih ada saja kekurangan," katanya.
Ekonomi kini kembali terancam gejolak seperti yang terjadi pada tahun 1997, tampaknya "karena kita kurang berjuang dalam membenahi ekonomi, dan karena kita kurang serius dalam berbahasa," katanya.
Sekarang telah terbukti bahwa "penyelamat bangsa Indonesia" tiada lain adalah bahasa Indonesia.
Umbu Rey
Selasa, 28 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar