Ayah saya tidak meninggalkan harta kekayaan ketika pulang ke rumah Bapa tiga puluh tahun lalu. Dia miskin papa sebab tidak punya apa-apa. Kambing dia tak punya, kuda, kerbau, dan sapi apalagi. Semuanya sudah ludes direnggut kemiskinan.
Seekor kuda jantan yang telah saya latih untuk masuk arena pacuan di Pulau Sumba diambil juga oleh orang tak dikenal sebelum ayah saya mengembuskan napasnya yang terakhir. Padahal itulah kuda kesayangan saya.
Kuda putih kelabu itu telah saya latih berlari kencang melompati pematang sawah, dan menyeberang kali kecil berlumpur. Kadang-kadang saya pacu kuda jantan itu sekuat tenaga di pantai. Harapan saya, kuda itu akan masuk arena pacuan dan menang, mungkin dia dapat membawa sedikit rezeki untuk masa depan saya. Tetapi semuanya sirna.
Sepeninggal ayah, hanya ada beberapa ekor ayam betina yang sedang bertelur atau mengeram di belakang rumah. Dua ayam jago yang biasanya bertengger di pohon mangga pun tidak lagi berkokok menyongsong fajar. Ibu saya sudah menjual semuanya untuk ongkos adik-adik saya ke sekolah.
Meskipun begitu, ayah saya masih sempat menitipkan satu warisan sangat berharga buat saya. Ketika saya masih berada di dampingnya beberapa tahun sebelum menjadi mendiang, ayah saya selalu memberikan nasihat sederhana.
Ayah saya bukan penyair, bukan pula pendeta yang pandai berkata-kata dengan pantun dan syair yang indah-indah. Dia seorang yang bersahaja tamatan Zending Standard School pada zaman Belanda. Dia mengajar anak-anaknya hanya dengan teladan dan kata-kata secukupnya.
Dia tidak menasihati saya dengan kalimat yang panjang-panjang, tidak pula dengan kata-kata mutiara. Hanya ada satu kata yang masih terngiang-ngiang hingga kini, JUJUR.
"Umbu, berkata dan berindaklah dengan jujur sepanjang umurmu. Maka kau akan selamat," begitulah kata-kata yang selalu diucapkannya semasa hidupnya ketika menasihati saya.
Jadi, singkat kata, ayah saya itu sebenarnya hanya mewariskan tiga huruf saja kepada saya, sebab kata JUJUR itu hanya terdiri atas tiga buah fonem yakni J, U, dan R.
Kata JUJUR sebenarnya bukan milik ayah saya. Sudah banyak orang menyebutkan itu, bahkan buku-buku pun telah berkata "berjalan pelihara kaki, berkata pelihara lidah". Dalam buku yang lain ada juga tertulis "hidup matinya manusia itu sesungguhnya terletak di ujung lidah". Semua kalimat itu hanya menerangkan satu kata, yakni JUJUR.
JUJUR itu lebih mahal daripada intan berlian, lebih mahal pula dari emas dan tanah beribu hektare, bahkan tak dapat diukur nilainya dengan harta berlimpah. Tetapi, kata itu justru diabaikan orang, dan tidak ada orang memedulikannya. Jangan-jangan ibu dan bapak guru di sekolah tidak lagi mengajarkan kata-kata itu kepada murid-muridnya.
Zaman dulu ibu-ibu membuai anaknya di pangkuan agar tidur seraya menyanyikan lagu "Nak, jujurlah kau dan berbakti pada orang tua dan bangsa". Tetapi ibu-ibu muda sekarang ini menetekkan bayinya pun malu-malu, takut dilihat orang. Maka supaya anaknya tidur, dia menepuk-nepuk pantat bayinya sambil berujar," Hayo tidur.., ada polisi!" Ibu itu telah menipu anaknya dengan kehadiran polisi. Dia tidak jujur.
Kata JUJUR itu sekarang ini tidak laku lagi. Barang siapa berkata jujur akan terkubur di jurang kemiskinan, sebab dia tidak akan mendapat apa-apa. Uang dan harta tidak lagi didapat dari rumusan kata-kata jujur. Jangan pula mengambil jalan lurus sebab kita akan menjadi orang kurus. Lebih dari itu, orang jujur justru dimusuhi orang banyak.
Coba perhatikan turunan kata JUJUR berikut:
JUJUR ->MENJUJUR(KAN) ->PENJUJUR ->PENJUJURAN ->KEJUJURAN-->
JUJURAN.
Dari turunan kata JUJUR di atas hanya ada dua kata yang berterima. Karena itu, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ketiga hanya mencatat kata JUJUR dan KEJUJURAN.
JUJUR artinya lurus hati, tidak bohong, tidak curang, tulus ikhlas, sedangkan KEJUJURAN adalah sifat (keadaan) jujur; ketulusan hati; dan kelurusan (hati).
Kata MENJUJURKAN sebenarnya berarti "menjadikan supaya jujur" tetapi kata itu tidak dikenal dalam bahasa Indonesia sebab tidak ada orang dapat dibuat supaya menjadi jujur.
Kata PENJUJUR (mungkin) berarti orang yang berkata jujur atau suka kejujuran, tetapi kata itu tidak digunakan juga dalam bahasa Indonesia, mungkin karena tidak berguna. Kata yang beralawanan dengan itu justru sangat populer, yakni PEMBOHONG, PENIPU, dan PENDUSTA.
Itu sebabnya kata TIPU, DUSTA, atau BOHONG ditulis dan diartikan secara lengkap dalam KBBI. Perhatikan turunan kata BOHONG berikut:
BOHONG ->MEMBOHONG ->PEMBOHONG ->PEMBOHONGAN ->
KEBOHONGAN.
Semua kata turunan di atas berterima dalam bahasa Indonesia lantaran selalu diucapkan dan dilakukan oleh hampir setiap orang. Pembohongan itu sama dengan penipuan dan pendustaan. Artinya, proses, atau cara perbuatan menipu, atau membohong, mendusta.
Setakat ini orang agak enggan bilang "tipu" sebab katanya, dia beragama. Supaya jangan ketahuan dia berbuat curang maka kata-kata tipu dan bohong itu dipelesetkan menjadi "tisani". Kepanjangannya sama juga, tipu sana tipu sini.
JUJUR menurut versi ayah saya itu tidak diperolehnya dari kitab suci. Kata JUJUR itu sebenarnya sudah diturunkan dari nenek moyangnya yang tidak mengenal agama. Nenek moyang saya animisme, bahkan mungkin primitif, tetapi tulus ikhlas mengajarkan anak-anak dan cucunya tentang kejujuran. Barang siapa tidak jujur akan dihukum berat, dibuang ke perasingan sampai dia dapat menebus kebohongannya itu.
Di negara ini adakah kejujuran? Rasanya tidak ada. Orang lalu menciptakan agama yang menuntut setiap umat untuk melakukan ritual. Tetapi kenyataannya, agama itu tidak dapat menciptakan kejujuran, bahkan orang-orang beragama itulah yang paling nomor satu berbuat curang, dan berdusta. Agama ternyata tidak dapat menyelamatkan orang dari kebohongan dan kedustaan.
Rasa-rasanya di Asia Tenggara ini cuma negara Indonesia yang memiliki Departemen Agama yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan agama. Kata "agama" itu diserap dari bahasa Sanskerta. "A" atau "an" yang berarti "tidak", dan "gama" berarti kacau. Jadi "agama" sebenarnya berarti "tidak kacau". Tetapi, berita yang tersebar menyebutkan Indonesia adalah negara paling korup di Asia Tenggara.
Lalu, apa yang terjadi? Kekacauan dan haru biru terjadi di mana-mana, dan sejumlah kebobrokan justru lebih banyak dipicu oleh masalah agama. Korupsi terbesar justru terjadi di Departeman Agama, dan melibatkan menterinya juga.
Jadi, kalau dipikir-pikir, Departemen Agama itu adalah lembaga negara yang mengatur hal-hal yang tidak kacau menjadi kacau-balau. Maka, agama sebenarnya bukan cara untuk menjadikan orang supaya JUJUR. Agama ternyata tidak dapat menyelamatkan manusia dari kemunafikan dan dan mengangkat orang dari jurang nista kebohongan. Jangan-jangan agama itu cuma topeng orang beriman belaka.
Bukankah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) itu dilakukan oleh orang-orang yang beragama? Bahkan, korupsi itu pun dilakukan secara berjemaah. Terjadilah penipuan di mana-mana. Semakin banyak penipu yang telah menjadi jaya dan kaya raya, tetapi yang kerja jujur cuma bisa gigit jari.
Kalau begitu, mengapa di negara ini tidak dibuat Departemen Kejujuran saja? Apanya yang mau diatur. Kalau semua orang sudah jujur tentu tidak perlu ada departemennya. Begitu juga kalau semua sudah sejahtera, buat apa ada Departemen Sosial. Tetapi Departemen Sosial juga tidak membuat orang jadi sejahtera, sebab di situ terlalu banyak orang tidak jujur. Itu sebabnya Presiden Gus Dur membubarkan departemen itu ketika dia berkuasa.
JUJUR itu berlaku universal. Dia ada di mana-mana, bahkan dipakai juga oleh kelompok penjahat dan perampok berjemaah. Kalau seorang anggota kelompok penjahat itu tidak jujur maka mereka mungkin akan saling membunuh.
Tetapi sebaliknya tipu-menipu itu hanya ada pada orang jahat dan di dalam pribadi tiap-tiap orang yang berbuat curang. Di mana-mana ada orang penipu, orang yang tidak jujur.
Orang-orang yang tidak jujur itu juga ada juga di dalam Lembaga Kantor Berita Antara ini. Buktinya apa? Lembaga ini kita ketahui hampir tenggelam karena krisis keuangan. Kenapa begitu, karena pendahulunya sudah mewariskan kepada kita orang-orang yang tidak jujur.
Tahukah Anda, berapa besar uang dihambur-hamburkan untuk membayar tunjangan fungsional? Sudah miliaran rupiah uang yang dibayarkan hanya untuk memproduksi berita sampah. Tunjangan fungsional itu tiada lain dari bentuk ketidakjujuran (baca: korupsi) yang ditakar dari jumlah nilai kredit berita.
Sistem nilai kredit yang menempatkan orang (wartawan) pada jabatan fungsional itu sebenarnya sudah lapuk ketika Muhamad Sobary masih menjabat pemimpin umum. Sistem itu tidak menghasilkan apa-apa bagi lembaga. Uang terlalu banyak dihambur-hamburkan tetapi hanya menghasilkan sampah yang membuat pelanggan "mengomel-ngomel".
Sistem nilai kredit itu juga tidak mendidik wartawan untuk menjadi profesional sebab yang dicari bukan peningkatan keterampilan, bukan pula kualitas berita, tetapi semata-mata uang tunjangan fungsional untuk memperbesar pendapatan. Sekarang ini, ditambah lagi dengan pembagian uang PSO (Public Service Obligation), yang dibayarkan berdasarkan ketentuan jumlah berita. Yang paling rajin melepaskan berita, meskipun asal-asalan, akan menerima uang jutaan rupiah tambahan di luar gaji bersih.
Berita sampah berserakan di mana-mana dan wartawannya mirip pekerja kuli bangunan. Mengapa menjadi sampah, karena sebagian besar --menurut pengamatan saya-- wartawan kita justru bekerja tidak jujur.
Perhatikan berita-berita yang dihasilkan atau ditulis wartawan lembaga kantor berita Antara ini. Adakah tulisan itu dibuat dengan benar untuk kepentingan pelanggan? Sebagian mungkin, tetapi lebih besar jumlahnya hanya dibuat asal jadi, sekadar untuk menaikkan tunjangan fungsional, dan jumlah uang PSO tiap bulan.
Redakturnya juga tidak jujur, karena melepaskan berita tanpa suntingan. Semuanya dengan alasan kejar kredit dan tunjangan PSO. Seorang redaktur melepaskan berita lebih dari 60 bahkan sampai 100 berita sehari itu sebenarnya tidak masuk akal. Sebab dia tidak sekadar membaca tetapi harus memperbaiki setiap berita dan tulisan, karena memakan waktu cukup lama.
Lihatlah nilai berita yang diberikan. Teman-teman saya di media massa pelanggan kita suatu hari bertanya, apa arti huruf A dan B atau C di belakangan kode itu. Saya menjawab apa adanya bahwa itu adalah nilai berita. A (sangat bagus), B (bagus) dan C (cukup).
Teman-teman saya sampai terkekeh-kekeh sebab perutnya berasa geli. "Mosok berita kayak sampah gitu, salahnya banyak amat, kok nilainya A?" Lalu saya mau bilang apa? Sebuah berita bernilai A kadang-kadang hanya karena menyiarkan berita mengenai Presiden SBY. Walaupun nama SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) itu sendiri ditulis secara salah, wartawannya tidak mendapat teguran atau hukuman padahal itu salah fatal.
Ketika berita tentang SBY itu diralat, maka ralatnya pun diberi nilai A (hehehe.., berita salah kok dikasih nilai A). Kadang-kadang sebuah berita yang diralat, ralatnya pun diralat karena salah. Anehnya, berita ralatnya pun mendapat nilai B juga. Hahaha...!
Dalam milis ini saya pernah menyinggung bahwa kita sudah beberapa kali melaporkan berita bohong. Mungkin tidak akurat, dan ketika berita itu ditulis apa adanya, atau asal jadi maka penulis berita itu sesungguhnya sudah melakukan perbuatan tidak jujur atau bohong.
Lalu, mengapa ketika Pak Asro Kamal Rokan menjabat pemimpin umum, sistem itu diberlakukan kembali? Karena telah menguntungkan sekelompok orang (pejabat) yang melihat kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi.
Mereka sebenarnya sadar sistem ini tidak tepat, tidak mencapai sasaran. Tetapi, mereka tidak jujur, dan memberlakukan juga sistem yang sama dengan menciptakan redaksi begitu banyak. Tiap-tiap kepala redaksi diberi tunjangan masing-masing Rp60 juta di luar transport, uang makan dan tunjangan jabatan.
Kerja kepala redaksi itu apa? Tidak jelas juga. Sebab uang yang Rp60 juta itu ternyata bukan insentif untuk mendorong mereka supaya menghasilkan berita bermutu atau memperbaiki kerja redaksi. Mereka ternyata hanya duduk (pura-pura) memelototi komputer dan kemudian pulang. Sebagian dari antara mereka memanfaatkan waktu luang untuk mencari gelar S-2.
Mengapa sekarang lembaga ini krisis uang? Karena pendahulu kita juga tidak jujur. Semua orang di lembaga ini pastilah sudah tahu bahwa gedung yang kita banggakan ini sebenarnya bukan lagi milik Antara.
Pak Asro Kamal Rokan tampaknya gagal mengembalikan harta kekayaan lembaga Antara. Dia berkata bahwa pembentukan perum menggantikan lembaga kantor berita sebenarnya satu tarikan napas untuk upaya kita mengambil kembali gedung ini. Tetapi banyak orang berkata mustahil dapat dikembalikan menjadi milik Antara.
Konon, menurut cerita Pak Sobary kepada saya, pembangunan gedung empat lantai di Pasar Baru itu sudah digelembungkan sampai lebih dari dua miliar rupiah. Begitu juga pembangunan rumah karyawan di Tambun Bekasi itu digelembungkan sampai lima miliar rupiah. Maka habislah uang Antara dikuras oleh orang yang tidak jujur.
Ketika minggu lalu saya jalan-jalan ke Pasar Baru, saya mendapat keterangan dari Kepala Biro Foto, Oscar Motulloh, bahwa museum foto di situ terpaksa direnovasi karena pembangunannya ternyata asal jadi. Itu sebabnya begitu ada gempa dengan sekali guncangan saja, tangga di ruang depan itu langsung retak. Karena tangga itu dibuat secara tidak jujur.
Jadi, apa lagi yang dapat saya perkatakan tentang hal tidak jujur itu? Terlalu banyak dan akan penuh halaman ini hanya untuk menuliskan kata tidak jujur itu. Tetapi, saya sulit sekali untuk menulis di milis ini tentang orang yang telah memberikan teladan bagaimana hidup JUJUR. Di sini, di lembaga ini, tidak ada kejujuran, lantaran tidak ada orang jujur.
Memang betul, tidak ada orang yang jujur seratus persen, tetapi mengapa orang tidak pernah pula berusaha untuk menjadi orang jujur? Jangankan berusaha, berniat untuk jujur pun tak. Kompas dan Tempo itu adalah media cetak yang dipercaya orang, karena berita yang dihasilkannya dapat dipercaya. Mereka jujur menceritakan fakta. Reuters dan AFP juga menjadi tepercaya karena mereka menulis berita secara jujur.
Dalam teori jurnalistik wartawan seharusnya memberitakan fakta sebagaimana adanya. Tidak boleh dilebih-lebihkan dan tidak boleh juga dikurang-kurangkan. Fakta apa adanya itu adalah kejujuran menuliskan fakta.
Kita mencari hidup berdasarkan kepercayaan. Sebab itu, sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya. JUJUR itulah yang akan menyelamatkan kita.
Moto kantor berita Antara seharusnya berbunyi: CEPAT, JUJUR, DAN LENGKAP. Tetapi sekarang sudah diganti oleh anak-anak muda pembaruan di Perum LKBN Antara menjadi Cepat, Akurat, Penting. Sudah melenceng dari kejujuran.
Umbu Rey
Rabu, 23 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar