"Sela" yang saya maksudkan haruslah dibaca seperti Anda menyebut kata "setan, sewa, atau sewot". SELA pastilah tidak diketahui oleh orang ramai di kota-kota besar seperti Jakarta. SELA yang lain pasti Anda tahu, apalagi yang sesuatu yang ada di sela-sela paha tentulah Anda paham betul maksudnya.
Ketika saya bertanya kepada teman di samping saya mengenai kata SELA itu, dia malah sewot karena tidak mengerti. Soalnya, dia kira saya sedang memaki-maki dengan istilah bahasa daerah saya. Padahal, SELA itu bahasa Indonesia juga. Kalau tidak percaya, bukalah KBBI sekarang juga.
Dulu ketika masih di kampung, saya terbiasa menunggang kuda (jantan). Seorang kuda jantan kesayangan setiap hari saya latih berlari kencang di sawah, melompati pematang, parit, dan sungai. Kadang-kadang saya pacu berlari kencang di atas pasir menyusuri bibir pantai ketika air laut sedang surut. Biasanya memang begitulah cara melatih kuda sebelum masuk ke arena pacuan.
Sebagai penunggang kadang-kadang saya jatuh dari punggung kuda tetapi beruntung tidak pernah fatal. Meskipun begitu, saya belum bisa disebut JOKI sebab kuda peliharaan saya tidak pernah masuk arena pacuan. Beberapa minggu sebelum pacuan kuda diadakan, kuda itu sudah hilang karena dicuri orang. Maklumlah, orang kampung di negeri saya memang kurang cerdas akalnya, tetapi sangat cerdik dalam hal mencuri ternak terutama kuda. Mereka pada umumnya berternak kuda "sandel", yakni sejenis kuda dari hasil silang kuda dari luar (konon kuda Arab) dengan kuda asli.
Kata JOKI di kampung saya sudah biasa diucapkan orang dan dimengerti sebagai seorang yang lihai dalam menunggang dan mengendalikan kuda pancuan. Tetapi ketika saya masuk Jakarta, kata itu sudah bermakna lain pula.
Entah apa korelasinya dengan penunggang kuda, kata JOKI kini dimaknai sebagai orang yang mengerjakan ujian untuk orang lain dengan imbalan uang. Di Jalan MH Thamrin, orang yang duduk di dalam mobil yang melewati jalan "Three in One" disebut juga JOKI. Enak benar dia, sudah naik mobil mewah, dibayar pula.
JOKI biasanya duduk di punggung kuda, dan karena itu kita menyebut joki itu "penunggang" kuda. Orang yang duduk di jok mobil itu bukan joki. Tempat duduk di atas punggung kuda itulah yang disebut SELA. Kata yang bersinonim dengan SELA adalah PELANA. Tetapi, kata PELANA itu justru tak banyak dikenal orang di kampung saya.
Dahulu, orang di kampung saya tak biasa menggunakan SELA, kecuali orang-orang bangsawan. Orang-orang dari golongan biasa naik saja ke punggung kuda tanpa alas apa pun. Tetapi orang perempuan tidak pernah "menuggang" atau naik kuda dengan mengangkangkan kakinya di punggung kuda. Mereka biasanya duduk "menyamping" seperti pada umumnya perempuan naik motor di boncengan. Lagi pula, perempuan naik kuda sambil mengangkang, menurut etika orang di kampung saya, tidak sopan.
SELA itu terbuat dari kulit kerbau atau sapi yang dikeringkan, dan dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi tempat duduk yang nyaman dan tidak pula melecetkan punggung kuda. Di Flores Barat sela itu dibuat dari kayu. Bagian sampingnya diberi tali (seperti ikat pinggang atau sabuk) dan dililitkan dengan kuat melingkari dada kuda agar SELA itu tidak goyah. Lalu, sebuah tali dihubungkan atau dikaitkan ke buntut (pangkal ekor) kuda sebagai penahan.
Ketika ayah saya (almarhum) masih berdinas, kuda itu menjadi kendaraan utamanya, sebab zaman dahulu tidak ada jalan mulus ke kampung atau ke desa-desa. Biasanya jika dia menunggang kuda, sepatunya pun harus khusus. Di belakang tumit sepatunya terdapat PACU atau paku bergerigi. Gunanya untuk menggerakkan kuda supaya berjalan. Jika Anda ingin agar kuda itu berlari, PACU di tumit sepatu itu harus dibentur-benturkan ke badan kuda. Kuda yang terkejut itu pun akan berlari kencang menuruti perintah Anda. Itu sebabnya kuda yang berlari karena "dipacu" disebut "Kuda Pacuan".
Kalau kuda balapan saya tidak tahu!
Umbu Rey
Rabu, 07 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar