Rabu, 07 Mei 2008

Khawatir vs Kawatir

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memang sudah merekam kata KHAWATIR sebagai kata yang dianggap sah menurut konsensus umum, tetapi saya belum mau mengakui bahwa kata itulah yang baku. Orang ramai justru lebih suka menyebut kata yang diserap dari bahasa Arab itu KUATIR dalam percakapan sehari-hari.

Sebuah kata yang tercatat dalam KBBI belum tentu benar menurut tata bahasa baku. KAWATIR mungkin tidak lazim diucapkan, tetapi menurut hemat saya, kata itu agaknya lebih tepat digunakan baik dalam ucapan maupun dalam tulisan karena pertimbangan "mudah dibaca dan hemat aksara". Di samping itu, KAWATIR akan dapat langsung beradaptasi dengan tata bahasa Indonesia sebab huruf pertama "K" akan luluh jika mendapat awalan "me-".

Bibir orang Indonesia tentu lebih enak menyebut MENGAWATIRKAN daripada MENGKHAWATIRKAN sebab huruf "H" dalam kasus ini memang tak diucapkan atau tidak berbunyi. Menurut pengamata saya, orang awam justru lebih suka menyebut MENGUATIRKAN. Lagi pula, sulit rasanya kita mengucapkan KH, dan kalau dipaksa-paksa akan sangat terasa sekali bahwa kita bukan lagi orang Indonesia tetapi sudah kearab-araban.

Dalam bahasa Indonesia konsonan rangkap (terutama pada awal kata) sebenarnya tidak dikenal sebab lazimnya setiap huruf mati selalu diikuti dengan satu huruf hidup (vokal) supaya dapat berbunyi. Contoh: ba bi bu be bo, kecuali "ny" (nyanyi) dan "ng" (nganga).

Sebuah kata dari bahasa Jawa -misalnya- yang huruf awalnya berkonsonan rangkap biasanya diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan menyelipkan huruf hidup (vokal) "e" lemah (pepet) supaya bisa terbaca. Contoh: BLUDAK diserap menjadi BELUDAK, yang sejenis ular, dan juga berarti meluap karena terlalu penuh. Demikian juga TRAMPIL kita serap ke dalam bahasa Indonesia menajdi TERAMPIL.

Tetapi itu teori kuno. Itu dulu begitu, kata guru saya di kampung. Sekarang ini bahasa Indonesia sudah diperkaya dengan berbagai kata asing. Maka itu lidah dan bibir orang Indonesia terpaksa harus dilentur-lenturkan supaya dapat mengucapkan kata itu menuruti kata aslinya. Itu sebabnya kata PRACTICE (bahasa Inggris) kita serap menjadi PRAKTIK dan kita tidak mau lagi bilang PERAKTIK.

Akhirnya kata dari bahasa Sansekerta pun keturutan. Dulu kita menyebut ISTERI tetapi sekarang kita harus bilang ISTRI. Begitu juga PUTERA dan PUTERI sekarang haruslah kita bilang PUTRA dan PUTRI. Begitu seterusnya.

Menurut EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) pemakaian konsonon rangkap seperti DL, DH, TH, TS, SH, GH, dan DZ tidak lagi berlaku. Karena itu kata yang dieserap dari bahasa Arab berikut tidak lagi ditulis sesuai dengan aslinya. Contoh: bathin --> batin, tha'at --> taat, shabar --> sabar, shalat --> salat, hadlir --> hadir, mubaligh --> mubalig, khushus --> khusus, adzan --> azan, dst.

Karena ketentuan EYD itulah maka saya menggugat kata KHAWATIR. Jikalau kita berani mengubah KHABAR menjadi KABAR, KHARISMA menjadi KARISMA, KHAUL menjadi HAUL, SHABAR menjadi SABAR, SHALAT menjadi SALAT, dan TEKHNIK menjadi TEKNIK mengapa kita tidak berani juga bilang KAWATIR. Kalau menyebut KUATIR boleh jugalah. Itu lebih bagus.

Dari kata KAWATIR turun kata "mengawatirkan" dan "kekawatiran" atau kekuatiran. Enak dibaca atau diucapkan dan hemat pula ditulis. Pas sekali, bukan? Kata KHAWATIR jika diberi imbuhan "me(ng)-kan" akan turun kata MENGKHAWATIRKAN. Perhatikan, awalan "me(ng)" tidak kuasa meluluhkan konsonan rangkap "kh". Kata itu susah kita ucapkan dan boros pula.

Umbu Rey

Tidak ada komentar: