Kamis, 05 Januari 2012

KARENA dan DEMI

Dalam percakapan sehari-hari dua kata ini --KARENA dan DEMI-- sangat kerap digunakan orang. Sebenarnya dua kata ini tak dapat saling menggantikan sebab tidak sama persis artinya. Paling-paling kita mengatakan bersinonim atau mirip-mirip doang atau beda-beda tipis.

Ketika seorang pejabat mengangkat sumpah pada acara pelantikannya ia menyebut “DEMI Allah saya bersumpah”. Tidak pernah terdengar seorang pejabat atau saksi dalam kasus perkara di Pengadilan Negeri mengucapkan “KARENA Allah saya bersumpah”.

Dalam konteks sumpah-bersumpah ini kata “DEMI Allah dan KARENA” Allah mengandung pengertian bahwa sumpahnya itu diucapkan semata-mata untuk kepentingan Allah atau menurut kehendak Allah, padahal Tuhan tidak mempunyai kepentingan apa-apa dalam sumpah jabatannya itu. Anda diridai Tuhan bukan karena sumpahmu itu, dan karena itu jangan berharap pula akan masuk Surga lantaran sumpah dan janji atas nama Allah.

“DEMI Allah“ dimaksudkan tak lain untuk meyakinkan hakim atau pejabat yang mengambil sumpahnya dan kepada orang banyak bahwa yang diucapkan atau yang akan dikerjakannya nanti adalah atas dasar ikhlas dan jujur seakan-akan disaksikan Tuhan Yang Maha Esa. Benarkah demikian? Saya dapat mengatakan bahwa kesaksian atas nama Tuhan adalah ucapan sumpah yang sesungguhnya hanya basa-basi dan kebohongan Orang BERAGAMA.

Sumpah yang begini ini adalah hiasan acara ritual agama yang tujuannya tak lain untuk menipu orang banyak dan mengelabui mata Tuhan. Padahal, Tuhan tidak pernah mengukur kebenaran manusia ciptaan-Nya dengan sumpah ritual agama.

Sumpah sebenarnya tidak perlu dengan menyebut nama Tuhan atau Allah. Pada zaman Kerajaan Majapahit berdiri, Maha Patih Gajah Mada juga bersumpah bahwa dia tidak akan makan palapa atau rebung (makanan paling enak pada zamannya) sebelum seluruh Nusantara ditaklukkan atau dikuasai Majapahit. Tetapi, sumpahnya itu tidak diucapkan demi nama Dewa atau berhala, apalagi demi Tuhan Allah. Sumpahnya itu terwujud karena keikhlasan dan kesungguhan perbuatannya.

Pada 28 Oktober 1928 para pemuda dan pemudi di Nusantara ini juga bersumpah, bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, tetapi sama sekali tidak diucapkan demi nama Tuhan Allah. Toh, sumpah itu terwujud juga dan kita sekarang ini mengakuinya.

Pernahkah Anda mendengar ada Orang BERAGAMA yang jujur perilaku dan ucapannya berdasarkan sumpahnya itu? Umar Bakre dalam syair lagu Iwan Fals hanyalah cerita fiksi tentang seorang guru yang jujur berbakti walaupun tidak pernah bersumpah (apalagi demi Allah) sebelum mengajar di depan kelas.

Cerita Umar Bakre adalah gambaran kejujuran seorang guru pada zaman Jepang yang bertekad membangun rakyat yang cerdas berbakti kepada tanah air dan bangsanya. Boleh jadi cerita itu benar (untuk menjadi contoh), sebab demikianlah tekad para penjuang bangsa ini pada zaman itu.

Sekarang ini, tidak ada lagi cerita jujur berbakti semisal guru Umar Bakre. Kepala sekolah makan uang dana BOS sudah dianggap lumrah asalkan ada peluang dan niat. Guru agama “makan” murid perempuannya sendiri adalah cerita lama yang sudah terjadi sejak sebelum republik ini berdiri. Apalagi pejabat tinggi atau perwira tinggi, kau tahu sendirilah, perut mereka pada gendut semua KARENA makan uang rakyat setelah mengucapkan sumpah DEMI Allah.

Da’i terkenal dan pendeta serta pastor pun sekarang ini boleh-boleh saja terlibat main seks dengan anak perempuan berumur belasan tahun, meskipun saban malam dia berkoar-koar melantunkan ayat-ayat suci agamanya di layar teve, KARENA dan DEMI nama Allah. Akh, paling juga terhapus itu dosa setelah mulutnya mengucapkan “tobat”. Kan mereka manusia juga. Masa depan korban yang keperawananya sudah terkoyak masa bodoh amat, dia bilang! Suatu bukti bahwa dorongan syahwat di selangkangan ternyata lebih kuat daripada ajaran agama.

Itu sebabnya pengucapan sumpah atau janji atas nama Tuhan --apalagi atas nama batu karang atau pohon beringin-- oleh seorang saksi atau pejabat negara tidak dibolehkan dalam kepercayaan Kristen baik Protestan maupun Katolik. Sumpah dan janji atas nama Tuhan dan batu karang adalah palsu atau omong kosong belaka. Dan, itu sebabnya pula penganut Kristen di seluruh dunia hanya diperkenankan mengakhiri kalimat sumpahnya dengan mengatakan “so help me God” atau “kiranya Tuhan menolong saya”.

KARENA dan DEMI adalah partikel yang masuk dalam golongan kata tugas. Keduanya tidak mempunyai arti leksikal dan tidak pernah terkena imbuhan (awalan dan akhiran), juga tak bisa dipengaruhi bahasa asing sebagaimana kata-kata lain seperti lantainisasi, atau sengonisasi dan kentonganisasi (pinjam istilah Menteri Penerangan zaman Orba, Pak Harmoko).

Tak pernah kita mengatakan “men-DEMI-kan atau di-DEMI-kan, atau DEMI-nisasi” dalam sebuah konteks kalimat, juga kita tidak lazim kita mengucapkan “meng-KARENA-kan”, dan oleh sebab itu kata kerja pasif “di-KARENA-kan” pun tidak berterima menurut tata bahasa. KBBI hanya merekam kata “dikarenakan” sebab telah terucapkan sangat kerap oleh mulut manusia secara salah kaprah.

Dalam pengertian sehari-hari, kata KARENA adalah partikel yang merupakan penanda sebab akibat atau alasan. Sesuatu dialakukan atau diadakan atau telah terjadi adalah akibat atau pengaruh dari sebab yang lain. Maka beginilah pantun nasihat berbunyi:

KARENA apa binasa pandan, kalau tidak KARENA paku, KARENA apa binasa badan, kalau tidak KARENA laku.

“DEMI” adalah partikel juga, dan dipakai dalam pengertian “atas nama” atau “untuk (kepentingan). DEMI juga mempunyai pengertian lain seperti pada “satu DEMI satu (lihat KBBI), tetapi arti yang lain dari itu jarang sekali digunakan orang dalam percakapan sehari-hari.

Perbedaan KARENA dan DEMI dapat kita telusuri melalui contoh-contoh kalimat di bawah ini:

1 a. DEMI kesembuhan anaknya yang semata wayang dia merelakan ginjalnya. (Dalam konteks ini kata DEMI mengandung pengertian “untuk kepentingan” kesembuhan anaknya dia memberikan ginjalnya. Demikianlah Pance Pondaag melantunkan lagu “DEMI kau dan si buah hati, terpaksa aku harus begini”).

b. KARENA kesembuhan anaknya yang semata wayang dia merelakan ginjalnya (penggunaan KARENA dalam kalimat butir 1.a. tidak tepat atau tidak masuk akal. Kata KARENA dalam konteks ini sama artinya dengan akibat).

2. a. DEMI Tuhan saya bersumpah. (Artinya atas nama Tuhan saya ingin meyakinkan orang banyak bahwa saya benar atau saya telah melakukan sesuatu sesuai dengan yang sebenarnya, meskipun saya berbohong).

b. KARENA Tuhan saya bersumpah .(Frasa ini pun tidak masuk akal sebab tidak ada sumpah “menurut kehendak” Tuhan. Pada hemat saya, Tuhan tidak memerlukan sumpahmu dan tidak pernah menyuruh kau bersumpah sebab semua yang kauucapkan atas nama Tuhan adalah palsu, dan biasanya keluar dari hati orang BERAGAMA yang dusta munafik). Lihat saja kenyataannya di Indonesia. Bukankah yang melakukan korupsi dan segala macam maksiat adalah Orang BERAGAMA yang telah bersumpah “DEMI Allah” atau semata-mata berbuat dengan dalih “KARENA Allah” sambil memegang kitab suci?

3. a. DEMI ayahnya yang pembesar itu, SH menjadi direktur redaksi di sebuah perum pemerintah. (Mungkin saja kata DEMI dalam kalimat ini benar jikalau ayahnya yang pembesar itu adalah pemilik perum. Misalkan SH menjadi direktur atas nama atau DEMI ayahnya maka jabatannya itu sah saja karena perum ini milik ayahnya. Ya, suka-suka dialah, suka-suka bapaknya. Kita mau bilang apa?).

b. KARENA ayahnya yang pembesar itu, SH menjadi direktur redaksi. (Nah, kalimat yang menggunakan KARENA seperti ini adalah benar. Tetapi, perum ini kita ketahui milik pemerintah dan bukan milik bapaknya SH. Hanya karena pengaruh bapaknya yang pembesar itu, SH bisa menjadi direktur redaksi. Dulu SH ditunjuk menjadi dirut oleh Presiden Gus Dur semata-mata KARENA bapaknya SH itu pernah jadi ketua PBNU, bukan?). Perhatikan perbedaan kalimat berikut ini:

4 a. DEMI kecerdasannya, SH menjadi direktur redaksi.

b. KARENA kecerdasannya, SH menjadi direktur redaksi.

Kalimat pada butir 4.a. di atas tidak masuk akal, sebab tidak ada kelaziman bahwa orang diangkat menjadi direktur atas nama atau DEMI kecerdasan. Kalimat pada butir 4.b. memang jelas bernalar dalam hal bentuknya, sebab KARENA kecerdasannyalah SH ditunjuk menjadi direktur.

Menurut amatan saya, hampir semua wartawan di lantai 20 Gedung Wisma Antara bekerja bukan DEMI cita-citanya, tetapi lebih banyak KARENA tidak ada kerja yang lain dan terpaksa jadi wartawan sajalah. Mereka bekerja seperti syair lagu Pance yakni DEMI anak dan istri, atau dengan perkataan lain, “numpang hidup sajalah di perum ini”.

Anehnya, mereka tak lupa sembahyang saban hari KARENA Allah atau DEMI Allah supaya mendapat pahala tetapi kerja maksiat jalan terus. Maka itu muncullah sindiran dalam singkatan STMJ (Sembahyang Tekun, Maksiat Jalan). Ini pun mungkin dilakukan DEMI Allah atau Karena Allah?

Umbu Rey

Tidak ada komentar: