Kamis, 05 Januari 2012

Ketua itu bukan Pimpinan, Pak Pansus!

Saya bingung, mengapa para anggota dewan memanggil pemimpinnya atau ketuanya dengan sebutan “Pak Pimpinan”. Mengapa mereka tidak menyebut pemimpinnya itu Pak Ketua?

Yang saya paham sejak zaman saya masih sekolah rakyat, “ketua” itu orang yang tertua atau dituakan (karena usia atau karena kaya pengetahuan dan pengalaman) dan biasanya ditunjuk untuk memimpin rapat atau lembaga. Karena sudah kebiasaan lidah mengucapkan, tak ada lagi orang yang sadar bahwa “ketua” itu tidak sama derajatnya dengan “pimpinan”.

Awalnya hanya ada ketua adat, karena itu ada tetua adat yakni orang-orang tua tokoh adat yang biasanya memegang teguh peraturan adat istiadat dan perintahnya ditaati atau dipatuhi di kampung tertentu, supaya tidak kena tulah.

Zaman dulu para murid yang paling tua atau yang dianggap paling pandai atau paling menonjol (sikap, atau kelakuannya) biasanya ditunjuk sebagai ketua kelas. Di dalam keluarga, bapak atau ayah adalah kepala atau ketua keluarga, dan anak yang paling kakak selalu diberi hak menjadi ketua untuk memimpin adik-adiknya.

Karena itu, ketua itu sesungguhnya sama atau sederajat dengan pemimpin. Ada ketua sidang, ada ketua dewan, ketua panitia, ketua Rukun Tetangga (ketua RT) atau ketua lembaga dsb. Demikian juga ada pemimpin sidang, ada pemimpin rapat, dan ada pula pemimpin pasukan.

Sebaliknya “pimpinan” tak lain dari kelompok orang, lembaga, organisasi atau sesuatu yang dipimpin (oleh). Kalau kita mengatakan Partai Demokrat pimpinan Anas Urbaningrum, itu artinya Partai Demokrat dipimpin (oleh) Anas Urbaningrum, atau Partai Demokrat yang dipimpin yang dipimpin (oleh) Anas.

Dengan perkataan lain, Anas Urbaningrum memimpin Partai Demokrat. Jadi, posisi Anas adalah pemimpin partai atau ketua partai itu. Pemimpin selalu berada di muka sebagai penuntun dan pimpinan biasanya ada di belakang karena dia dituntun.

Begitu juga gerombolan teroris “pimpinan” Nurdin Top adalah gerombolan “yang dipimpin” oleh Nurdin Top. Artinya, Nurdin itu pemimpin atau ketua gerombolan, sedangkan gerombolan teroris adalah pimpinan atau yang dipimpin Nurdin Top.

PSSI adalah persatuan sepakbola pimpinan Nurdin Halid. Artinya, PSSI itu dipimpin oleh Nurdin Halid. Dengan demikan Nurdin Halid adalah ketua atau pemimpin PSSI, dan bukan pimpinan.

Dalam sidang paripurna Pansus Angket Century belum lama ini para anggota DPR-RI berebut-rebutan melakukan interupsi –entah mungkin karena sadar mereka disorot kamera televisi, atau sekadar untuk melontarkan pertanyaan tak bermakna apa-apa.

“Pimpinan, Pimpinan...., interupsi Pak Pimpinan..!!!!” begitu mereka berteriak bersahut-sahutan. Padahal, di depan meja Pak Marzuki Alie sebagai orang yang memimpin sidang itu tertera sangat jelas kata KETUA di atas meja, dan bukan PIMPINAN. Kalau begitu, anggota dewan yang berteriak-teriak itu sebenarnya memanggil siapa?

Turunan kata dasar “pimpin” itu terjadi seperti berikut:

(1) Pimpin – pemimpin -- memimpin – pemimpinan – pimpinan.

Pemimpin adalah orang yang memimpin, pemimpinan adalah proses atau cara memimpin, dan pimpinan adalah hasil pemimpinan atau yang dipimpin. Jadi, yang dipimpin atau pimpinan itu tak mungkinlah disebut KETUA.

Sama saja dengan kata didik yang berikut:

(2) Didik – pendidik – mendidik -- pendidikan -- didikan

Sejalan dengan butir (1) di atas, maka “pendidik” adalah orang yang mendidik (pemimpin atau guru) dan “didikan” itu adalah hasil proses pendidikan atau orang yang dididik (murid atau pelajar).

Di dalam ruang kelas tak mungkinlah, dan tak pernah terjadi, para murid menginterupsi gurunya dengan mengatakan ,“Didikan, Didikan...., maaf Pak Didikan, saya mau bertanya!” Dalam lingkup ruang kelas itu yang disebut didikan sebenarnya adalah murid-murid itulah. Guru yang mengajar itu disebut pendidik.

Belakangan muncul anggapan atau pengertian bahwa “pimpinan” dimaksudkan sebagai "kumpulan pemimpin-pemimpin". Pengertian ini dipakai sebagai bandingan dengan istilah “lautan” yang berarti kumpulan laut-laut.

Pengertian ini saya temukan penjelasannya dalam lembaran komunikasi Pusat Bahasa, tetapi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat tidak dijelaskan sama sekali. Kamus tebal itu hanya menjelaskan bahwa “pimpinan” adalah hasil memimpin; bimbingan; tuntunan. Demikian juga “didikan” adalah hasil mendidik.

Jikalau “lautan” itu adalah kumpulan laut-laut, lantas Lautan Pasifik itu kumpulan laut-laut apa, dan Lautan Hindia itu kumpulan laut-laut apa? Tak mungkinlah Laut Banda, Laut Arafuru, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Sawu, dan Laut Sulawesi yang ada di Indonesia itu pergi berkumpul atau terkumpul atau mengumpulkan dirinya di Lautan Hindia. Buat apa mereka ke situ? Lagi pula, dongeng ceritanya belum pernah saya dengar.

Jikalau di dunia ini ada Lautan Indonesia, atau Samudera Indonesia mungkin masuk akal jika "lautan" itu adalah kumpulan laut-laut yang ada di Indonesia seperti saya sebutkan di atas. Tetapi Lautan Indonesia itu sampai hari tidak ada dan tidak tertera dalam atlas atau peta dunia. Itu sebabnya Indonesia juga bukan negara “lautan”.

Istilah “lautan” sebagai kumpulan laut-laut pun menyimpang dari pernalaran (saya). Indonesia ini bukan saja terdiri atas laut-laut, tetapi juga pulau-pulau. Karena terdiri atas pulau-pulau maka Indonesia disebut negara “kepulauan”, atau kumpulan pulau-pulau. Mestinya Indonesia boleh juga disebut negara “kelautan” karena terdiri atas laut-laut atau banyak laut. Karena itu, “kelautan” adalah kumpulan laut-laut.

Di dalam laut-laut itu terdapat berjenis-jenis ikan tak terbilang banyaknya. Lantaran itu, maka Indonesia boleh jugalah disebut negara “keikanan”. (Istilah ini karangan saya semata-mata, sebab tidak lazim dan karena itu tidak tercatat dalam KBBI).

Karena ikan-ikan itu adalah potensi kekayaan untuk kesejahteraan rakyat, maka dibentuklah kementerian yang mengurus soal laut-laut dan ikan-ikan itu. Seharusnya pun kementerian dalam kabinet Presiden SBY itu kita sebut “Kementerian Kelautan dan Keikanan”.

Imbuhan “ke – an” yang mengapit kata benda (nomina) pada umumnya berarti hal tentang banyak (benda) yang tersebut dalam kata dasar. Kelurahan, kecamatan, dan kementerian, bahkan kepresidenan itu adalah hal mengenai banyak lurah, camat, menteri, dan presiden.

Sejalan dan seirama dengan itu ada pula imbuhan “per-an” yang biasanya mengapit kata ulang dan menyatakan jamak. Contoh: coba-coba --> percobaan; hati-hati --> perhatian; undang-undang --> perundang-undangan; kota-kota --> perkotaan; kampung-kampung --> perkampungan; tanah-tanah --> pertanahan, sehingga terbentuk pula ikan-ikan --> perikanan.

Itu sebabnya ada “Dinas Perikanan” yang mengurusi ikan-ikan sebagai potensi kesejahteraan rakyat. Bumi dan matahari itu cuma ada satu saja karena itu tidak akan mungkin terbentuk imbuhan “perbumian” dan “permataharian”.

Kata berimbuhan “lautan” dapat juga berarti sesuatu yang dilautkan. Kata itu diturunkan dari:

(3) Laut – pelaut – melaut(kan) – pelautan --lautan

Lautan dalam butir (3) di atas mungkin juga berarti kapal atau sampan atau apa saja yang dilautkan atau yang dimasukkan atau diluncurkan ke laut, dari hasil proses pelautan. Tetapi sejak dahulu, kata lautan sudah diartikan sama dengan laut yang luas sekali atau samudera. Entahlah bagaimana kisah ceritanya, saya tidak tahu.

Kembali ke istilah “pimpinan” dalam sidang Pansus Century di atas. Jika kepulauan dan kelautan itu masing-masing disebut kumpulan pulau-pulau dan kumpulan laut-laut maka seharusnya para pemimpin sidang itu disebut “kepemimpinan” atau kumpulan pemimpin-pemimpin. Mereka itu bukan pimpinan fraksi tetapi para pemimpin fraksi sebab mereka memimpin fraksi, dan fraksi itulah pimpinan atau yang dipimpinnya.

Mungkin dapat disebut juga kumpulan ketua-ketua fraksi, dan karena itu bolehlah disebut juga “keketuaan”. Kalau disebut “ketuaan” artinya terlalu tua, para ketua fraksi pastilah berteriak-teriak lagi melancarkan interupsi. Mereka protes karena belum merasa tua atau tidak mau dibilang tua. Itu sebabnya rambutnya disemir hitam semua supaya kelihatan muda.

I. Umbu Rey (28-3-2011)


Tidak ada komentar: