Sabtu, 17 April 2010

Semen Cibinong


Tuan dan puan yang terhormat, maafkan saya. Coret-coretan saya ini bukan untuk memperkenalkan iklan pabrik semen atau untuk menyoroti masalah yang tabu dibicarakan. “Semen cibinong” yang saya bicarakan ini hanyalah sebuah akronim yang muncul dari kreativitas orang awam yang mungkin sekali kekurangan perbendaharaan kata-kata dalam bahasa Indonesia.

Akronim lazimnya dibuat untuk menghemat ruang dan waktu terutama dalam bahasa tulisan. Yang paling banyak menggunakan akronim menurut amatan saya adalah lembaga pemerintah seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian.
Pada awalnya akronim dibuat untuk kalangan sendiri dan biasanya untuk menyingkat nama instansi atau istilah kepangkatan yang dianggap terlalu panjang untuk ditulis atau diucapkan. Di TNI belakangan muncul “alutsista” yakni singkatan dari “alat utama sistem persenjataan”.
Di lembaga Kepolisian akronim itu tak terhitung banyaknya, dan ketika seorang jenderal polisi berbintang tiga, Komjen Susno Duadji, membongkar kasus mafia hukum dan korupsi uang pajak di tubuh Polri, orang awam pun terbengong-bengong membaca “Bareskrim”. Kedengarannya aneh, dan kalau akronim itu dieja "bar-es-krim" seakan-akan menyebut polisi jualan es krim.
Sebenarnya akronim sudah dikenal sebelum itu, dan yang paling getol bikin akronim adalah Presiden Pertama RI Bung Karno. Contohnya, Manipol USDEK (Manifesto politik USDEK), dan Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), Ganefo (Games of the New Emerging Forces), dan Jas Merah (Jangan sekali-kali melupakan sejaah). Masih banyak yang lain.

Frasa "pemilihan umum" yang kita kenal sekarang ini sebenarnya sudah cukup singkat dan jelas, tetapi masih perlu disingkat lagi dengan akronim "pemilu". Ini akromin sembrono karena dibuaat secara tidak adil, sebab dari kata "pemilihan" diambil lima huruf "p-e-m-i-l" sedangkan kata "umum" hanya diambil "u"-nya doang. Yang lebih bikin bingung, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia hanya disingkat dengan huruf "A" untuk memperpendek ABRI Masuk Desa  menjadi AMD.    
Akronim semakin ganas melanda Indonesia tetapi juga menjadi trendi, dan bahkan setiap orang menjadi keranjingan bikin akronim. Anehnya, hampir setiap kata dalam bahasa Indonesia adalah akronim. Sekadar untuk lucu-lucu, kata “sedap” dipakai sebagai akronim dari “sejengkal di atas pusat”. Sebenarnya yang dimaksud adalah payudara perempuan. Lebih vulgar lagi jika “sedap” diberi kepanjangan “sejengkal di atas paha”. Anda tahulah maksudnya apa itu.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Misalnya letkol (letnan kolonel), rudal (peluru kendali), dan Kowani (Kongres Wanita Indonesia).
Susahnya, tak ada aturan yang baku secara terinci tentang cara membuat akronim. Karena itu akronim adalah kependekan dari nama atau istilah yang dibikin oleh seseorang seenak perutnya saja. “Makelar kasus” yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik, disingkat tanpa aturan dan menjadi “markus”.
Di kalangan orang kebanyakan, akronim juga dibuat untuk tujuan menyindir atau mengolok-olok suatu hal yang berhubungan dengan keadaan sosial yang menyimpang. Kota Jakarta yang penuh dengan tipu daya dan kriminalitas dianggap sebagai akronim dari "Jambret Ada Koruptor Ada Rampok Tentu Ada".
Ada kalanya nama seseorang disingkat dengan akronim agar lebih terkenal. Seorang artis perempuan yang konon dicalonkan menjadi bupati Kabupaten Pacitan Jawa Timur bernama asli Julia Rahmawati. Itu nama yang tertera dalam kartu tanda penduduk (KTP). Karena raut wajah yang aduhai dan tubuhnya yang molek dia pun dikenal dengan nama Julia Perez. Tetapi, dia lebih terkenal lagi dengan nama akronim Jupe. Itu nama yang tertera di dada kirinya ketika tampil di layar TvOne sewaktu diwawancarai oleh Bang One, belum lama ini.
Kantor Berita Antara pernah menyingkat nama jabatan menteri dalam Kabinet Presiden SBY. Konon, jabatan menteri perekonomian memang dari sananya dibakukan dengan akronim Menteri Perek. Akronim itu tentu saja memberikan kesan tidak etis lantaran masyarakat sudah telanjur mengenal “perek” sebagai akronim dari “perempuan eksperimen” atau pelacur penjaja seks. Kebetulan Menteri Perekonomian dalam Kabinet SBY adalah seorang perempuan bernama Sri Mulyani Indrawati.
Pada awal tahun 1980-an Indonesia kejangkitan virus bernama Aids. Kepanjangannya dalam bahasa Inggris adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, tetapi orang Indonesia mengalihkannya dalam bahasa Indonesia dengan olok-olok “Aku Ingin Dekat Susi”. Setelah diketahui umum bahwa salah satu penyebab penyakit itu karena hubungan seks yang berganti-ganti pasangan, akronim itu dalam bahasa Indonesia semakin vulgar pula, “Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan”.
“Semen cibinong” yang saya tulis pada judul karangan ini adalah akronim yang dibuat untuk maksud menertawakan karut-marut suasana dalam rumah tangga, dan seingat saya beredar hampir bersamaan dengan Aids pada awal dekade tahun 1980-an meskipun masih dalam kalangan terbatas.
Akronim “semen cibinong” tak diketahui siapa yang menciptakannya, dan agaknya diucapkan begitu saja karena orang awam ketika itu belum mengetahui istilah “selingkuh”. Dari mana asal kata ”selingkuh”saya tidak tahu, mungkin sekali dari bahasa Jawa. Selingkuh itu artinya tidak jujur, atau tidak berterus-terang. Bisa juga berarti korupsi.
Zaman dulu ketika terjadi penyelewengan dalam rumah tangga karena sang suami bermain cinta dengan istri tetangga maka istilah yang digunakan adalah “ada main serong”. Pada dekade tahun 1960-an, istilah main serong dalam rumah tangga disebut “escort”.
Sebenarnya “escort” itu merek rokok yang sezaman dengan “kansas”. Kansas diberi kepanjangan “kami anak negeri suka akan Sukarno”, tetapi “escort” diberi kepanjangan “enak sekali corupsi rumah tangga” dan dipakai untuk mencela permainan serong dalam rumah tangga.
Permainan cinta seorang suami dengan istri tetangga biasanya berjalan lancar kalau tidak ketahuan, tetapi kalau terendus oleh bininya sendiri maka timbullah kasus percintaan ilegal yang kemudian disebut “semen cibinong”. Kalau terjadi ribut-ribut di rumah tetangga karena sang istri mengamuk-ngamuk sampai piring dan mangkuk beterbangan, maka orang akan mengatakan, “Oh, itu gara-gara semen cibinong”.
Pada awalnya orang menyangka si suami terlibat kasus korupsi di pabrik Semen Cibinong, padahal sang istri memergoki suaminya sedang bermain cinta dan dan kedapatan sedang mencium istri tetangga. Itu sebabnya orang menyebut “semen cibinong” sebagai akronim dari frasa “Sementara Ciuman, Bini Nongol”.
Akronim ini juga diucapkan orang untuk menyindir ketika permainan cinta sudah menjurus ke masalah seks. Dulu, istilah “pelecehan seks” belum dikenal atau belum populer. Istilah yang juga dari bahasa Jawa ini pernah didiskusikan karena dianggap tidak cocok atau salah kaprah. Pelecehan seks sebenarnya tidak tepat untuk maksud memandang rendah atau menghina seseorang sebab soal seks adalah masalah kebahagiaan.
Seorang pemuda sebenarnya tidak sedang melecehkan seorang perempuan ketika dia meraba-raba pantat seorang wanita cantik di depan umum. Pemuda itu sesungguhnya sedang menikmti kebahagiaan dari sentuhan pantat perempuan atau gadis cantik itu. Sebaliknya, gadis itu sedang “dirundung” penderitaan atau mengalami “perundungan” karena terhina atau dianggap remeh oleh lawan jenisnya.

Prof. Dr. Anton M. Moeliono dalam diskusi bahasa di Kantor Berita Antara pada tahun 1980-an pernah memperkenalkan istilah “perundungan seksual” untuk mengganti istilah “pelecehan seksual”. Istilah itu tampaknya tidak berterima dan kata “perundungan” pun tidak masuk dalam KBBI Pusba edisi keempat.
Karena pada saat itu tidak ada istilah yang baku, orang awam tetaplah menggunakan akronim “semen cibinong”. Tetapi, berbeda dari persoalan main serong, kalau permainan cinta dengan istri tetangga sudah sampai ke soal seks maka akronim “semen cibinong” adalah singkatan dari “Sementara Ciuman, Biji Nongol” (bini diganti dengan biji).
Akronim memang lebih sering bikin orang pusing kepala karena sulit dimengerti, dan karena itu sebagian orang di kalangan wartawan menghendaki agar diberantas sampai tuntas. Pokoknya, akronim tidak boleh lagi digunakan karena membodohi pembaca, dan diciptakan karena kemalasan berpikir.
Apa pun alasannya, akronim telah hidup dan telah pula memberikan sumbangan untuk pembentukan sebuah kata. Pusat Bahasa juga menggunakan akronim untuk membuat kata baru, mungkin karena kesulitan mencari padanan kata Inggris dalam bahasa Indonesia. Jadilah kata “daring” (dalam jaringan) untuk padanan kata “on-line” dan “luring” (luar jaringan) untuk kata “off-line”.
Polisi lalu-lintas menciptakan “tilang” yang sudah diterima menjadi sebuah kata baru dalam bahasa Indonesia yang bersinonim dengan hukuman denda dalam tindak pidana ringan atau “tipiring di jalan raya. Orang tidak lagi mempermasalahkan bahwa “tilang” sesungguhnya akronim dari “bukti pelanggaran” (di jalan tertentu). Tilang pun telah masuk dalam KBBI sebagai sebuah lema.
Bagaimanapun, akronim ada manfaatnya asalkan digunakan secukupnya menurut keperluan. Pada pemakaian yang berlebihan dan tanpa aturan, akronim pun akan sama halnya dengan penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya atau narkoba. Bisa rusak bahasa Indonesia. 
Maka ada  baiknya setiap singkatan atau akronim yang dibuat haruslah mempertimbangkan "situasi, kondisi, toleransi, pandangan dan jankauan". Bolehlah frasa itu kita singkat dengan akronim "sikontol panjang".
Umbu Rey

1 komentar:

Bambang Darwono mengatakan...

Bagus banget postingannya ,aku sangat tertarik.Lucu tapi memang kenyatannya seperti itu .Aku setuju pendapat Anda akronim bisa dipakai tetapi dalam batas-batas dapat diterima dan dimengerti.Pedoman penyusunan akronim tetap harus dipatuhi,kalau tidak bahsa kita akan amburadul.Salam ngeblog dan sukses!