Jumat, 06 Januari 2012

Kubang

Di Pulau Sumba ada dua hewan ternak sangat spesial, yakni kerbau dan babi. Binatang ini lebih tinggi harganya daripada kambing dan anjing meskipun sama-sama berkaki empat dan dimakan orang pula. Tinggi harganya karena dua binatang itu harus digunakan dalam adat kawin dan perkabungan atau kematian.

Dalam perkawinan pihak lelaki harus membayar kerbau atau babi sebagai mas kawin di samping benda lain semisal tombak, gading, dan emas (mamuli) yang besarnya bergantung pada penawaran. Dalam bahasa Sumba mas kawin atau mahar itu disebut “belis” (lihat KBBI). Tetapi suku kata “be” harus diucapkan seperti kita menyebut “bela” atau “belok”. (KBBI itu salah sebut).

Demikian juga jika ada kematian atau perkabungan, kedua jenis ternak ini akan menjadi korban sembelihan untuk menjamu pelayat yang akan membuka batu kubur. Daging kerbau dipotong-potong dan dibagikan kepada tetamu, dan boleh dibawa pulang, sama seperti pembagian daging korban pada perayaan Iduladha atau Idul Kurban dalam agama Islam.

Kerbau biasanya disembelih untuk lauk makanan ribuan orang penarik batu kubur sedangkan babi lebih banyak disembelih untuk menjamu para pelayat yang datang berdoa atau mendoakan si mayat, semacam tahlilan, waktu “mete” bagi penganut Kristen. Mete itu sebenarnya juga berarti melek sepanjang malam menunggui mayat, biasanya selama tiga malam berturut-turut sebelum penguburan.

Kerbau dan babi ada yang hitam ada pula yang belang warnanya. Keduanya adalah binatang berkuku belah, tetapi hanya kerbau yang memamah biak. Kerbau makan rerumputan dan ditelan begitu saja, nanti baru dimuntahkan kembali lalu dimamah atau dikunyah. Babi lebih banyak makan ubi-ubian, sejam kemudian langsung jadi tahi.

Persamaan khas kedua binatang ini adalah suka “berkubang” dan ini yang mau saya bicarakan. “Berkubang” sebenarnya berarti berguling-guling dalam lumpur, termasuk Anda juga boleh berkubang dalam lumpur. Kalau tidak dalam lumpur bukan berkubang namanya. Kerbau dan babi berkubang karena maunya sendiri sebab kebiasaannya memang begitu. Lumpur itu menutupi kulitnya supaya tidak panas. Itu sebabnya tidak pernah ada orang yang “mengubangkan” kerbau dan babi.

KBBI Pusba memunculkan kata berimbuhan “mengubangkan” di bawah lema “kubang” dan diberi penjelasan “memandikan.....dst”. Kalau memandikan, maka airnya harus jernih dan bersih, dan harus ada usaha manusia yang membuat kerbau itu mandi, lantaran kerbau dan babi tidak biasa mandi. Kalau sudah begitu prosesnya maka seharusnya kita sebut “memandikan kerbau” bukan “mengubangkan”.

“Memandikan” beda dari “bermandi”. Ibu biasanya memandikan anaknya. Meskipun anaknya dicemplungkan dalam bak mandi lalu berguling-guling di dalamnya, anak itu tidak bisa disebut “berkubang”, tetap saja mandi. “Bermandi” itu kebiasaan atas kemauan sendiri. Karena itu Mus Mulyadi melantunkan lagu keroncong Dewi Murni. Salah satu kalimatnya berbunyi “....Untuk menyambut sang Dewi Murni, turun bermandi di telaga Dewa....dst”. Dewi Murni bermandi atas maunya sendiri. Mana ada Dewi yang mau dimandikan. Wah, enak betul yang kasih mandi. Saya sih mau juga.

Bermandi di telaga harus berair jernih bukan di dalam lumpur. Dalam ritual orang Kristen ada “permandian” yakni hal bermandi atau bersiram. Dalam permandian, seseorang disiram dan dipercik dengan air dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Permandian disebut juga pembaptisan. Sebagian aliran Kristen melakukan pembaptisan dengan mencelupkan seluruh badan dalam kolam, meskipun demikian hal itu tidak bisa disebut “mengubangkan”.

Seingat saya, sejak zaman dahulu dalam bahasa Indonesia hanya ada kata “berkubang” dari lema “kubang”. Buktinya, KUBI tidak menurunkan kata “mengubangkan”. Kata “kubangan” muncul dalam kamus mungkin karena rekaman ucapan yang salah kaprah. Ada peri bahasa lama “setinggi-tinggi terbangnya bangau surutnya ke kubangan juga”.

Dalam peri bahasa itu muncul kata “kubangan” yang entah dari mana asal-muasalnya, saya tidak tahu persis. Itu mungkin sebabnya KBBI menurunkan kata berimbuhan “mengubangkan” karena dari situlah terbentuk kata “kubangan”.

1. ** Kubang – pengubang -- mengubangkan – pengubangan – kubangan.

KUBI dan KBBI mengartikan “kubangan” idem dito, yakni kubang juga. Mestinya “kubangan” diberi penjelasan “hewan yang dikubangkan”. Pada butir (1) , pengubang adalah orang yang mengubangkan, pengubangan adalah cara atau proses mengubangkan, dan kubangan adalah hasil dari proses mengubangkan, atau sesuatu (hewan) yang dikubangkan.

2.** Kubang – berkubang -- memperkubangkan – perkubangan – pekubang

Pada butir (2), “memperkubangkan” adalah membuat supaya (kerbau, babi) berkubang, dan “perkubangan” adalah hal berkubang atau tempat berkubang, dan pekubang adalah kerbau atau babi yang berkubang.

Kalau kita menghendaki kerbau atau babi itu “berkubang” maka seharusnya kita mengatakan “memperkubangkan” dan bukan “mengubangkan”. Demikian juga bangau dalam peri bahasa itu terbang setinggi-tingginya, seharusnya surutnya ke perkubangan juga, dan bukan ke kubangan.

Dugaan saya, kata “kubangan” itu ada dalam kamus KUBI dan KBBI adalah rekaman percakapan orang –orang yang terbiasa mengatakan “kubang” sama dengan “kubangan”. Demikian juga orang terbiasa mengatakan “kubur” sama dengan “kuburan”. Maka KBBI pun mengartikan “kubur” sama saja dengan “kuburan” yakni tanah tempat menguburkan mayat (kuburan) atau lubang di tanah tempat menyimpan mayat (kubur).

KBBI menyebutkan bahwa dari kata “kubur” turun kata “berkubur” artinya mayat yang dimakamkan. Dari kata berkubur itu turun pula kata “pekuburan” yang artinya tempat yang luas yang khusus digunakan untuk menguburkan jenazah. Ini pun kebiasaan umum yang dianggap benar dan terekam dalam kamus besar itu.

Sama halnya dengan kata “kubang” di atas, maka:

3.** Kubur --> berkubur --> memperkuburkan ---> perkuburan --> pekubur.

“Kubur” artinya tanah tempat menyimpan mayat, “berkubur” artinya dikuburkan, “memperkuburkan” artinya melakukan sst supaya dikuburkan atau berkubur dan “perkuburan” (bukan pekuburan) adalah tanah luas yang khusus tempat mayat-mayat berkubur atau dikuburkan, dan “pekubur” adalah orang atau mayat yang dikuburkan.

Sama juga halnya dengan kata "kabung" yang seharusnya menurunkan kata berimbuhan berikut:

4.** Kabung --> berkabung --> memperkabungkan --> perkabungan --> pekabung.

(Arti kata berimbuhan yang terbentuk dari lema "kabung" semuanya merujuk ke kata "berkabung").

Kalau penjelasan atau buah pikiran saya ini keliru, maka saya dinyatakan “resmi salah” lantaran arti dan pengucapan sebuah kata tidak selalu begitu, banyak kali bergantung pula pada konsesus umum. Artinya begitu orang ramai mengucapkannya maka begitulah kata itu terekam dalam kamus.

Namanya juga buah pikiran. Soalnya, membaca kamus juga kadang-kadang saya bingung.

I. Umbu Rey

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah, senangnya lihat blog ini masih eksis. salam kenal pak, saya pengagum tulisan-tulisan yang ada di sini. semoga bisa tetep eksis menulis.. :D