"Mubazir" adalah kata yang masuk dalam khazanah bahasa Indonesia dari bahasa Arab. Mubazir itu artinya tidak berguna, sia-sia, terbuang-buang karena tidak berguna. Kata itu juga dapat berarti royal, pemborosan yang dapat menghabiskan uang dalam jumlah yang berlebihan.
Karena itu semua tindakan dan perkataan yang termasuk dalam kategori mubazir itu harus
dihindarkan. Kata-kata yang kita gunakan dalam pemberitaan juga mubazir jika tidak tidak ada manfaatnya, tidak berguna sebab pastilah akan menghamburkan uang juga.
Zaman dulu ketika pengiriman berita dilakukan dengan surat kawat atau telegram, semua berita harus dihitung jumlahnya sebab setiap kata yang terkirim akan dihitung ongkosnya. Semakin banyak kata yang kita gunakan secara tidak perlu semakin besar pula ongkos yang kita keluarkan. Artinya semakin besar pula biaya sebuah berita setiap kali penerbitan.
Ketika mesin cetak masih menggunakan sistem tekan atau press dengan huruf timah, semua kata yang tersunting pun harus dihitung jumlahnya supaya pas benar dengan kolom berita sebab ruang yang lain dalam surat kabar itu harus diisi dengan advertensi yang kelak akan melancarkan kehidupan koran itu.
Adakah korelasinya perhitungan itu setelah zaman canggih ultra modern seperti sekarang ini? Tentu ada. Malah semakin banyak kata mubazir kita gunakan maka akan semakin besar pulsa telepon dan faksimile yang akan kita gunakan dan akhirnya semakin besar pula ongkos berita yang kita hambur-hamburkan karena kata mubazir itu.
Dari sebab itu bahasa Indonesia jurnalistik ditulis berdasarkan prinsip ekonomi kata. Kita harus ekonomis artinya harus berhati-hati setiap kali kita menggunakan bahasa supaya jangan sampai terlalu banyak pengeluaran uang karena kata-kata yang tidak perlu. Inilah prinsip dasar ekonomi dalam perusahaan pers, yang sekarang ini justru diabaikan saja oleh para wartawan. Sesungguhnya, dari sinilah suatu tindakan harus diperhitungkan dengan matang.
Prinsip ekonomi kata itu berhubugan juga dengan ruang dan waktu, dan semuanya mengarah pada penghematan (uang atau biaya). Karena itu semua tindakan diarahkan untuk maksud menghindarkan sesuatu yang mubazir itu.
Bahasa Indonesia jurnalistik disebut berciri khas lantaran berhubungan juga dengan masalah penghematan kata dan biaya ini. Khas artinya tidak bertele-tele, tidak menggunakan kata yang sama berulang-ulang dengan tidak tepat sasaran, tidak tepat makna, dan tidak menggunakan kata yang bersifat taksa (bermakna ganda).
Lantaraan itu pula, setiap wartawan haruslah sudah mengerti benar dan mahir pula menggunakan kata yang tepat guna (diksi), tepat makna, supaya kita dapat menghindarkan pengertian mubazir itu.
Ciri khas yang lain dari bahasa Indonesia jurnalistik itu adalah demokratis. Artinya setiap kata yang kita gunakan tidak lagi membangkit-bangkitkan paham feodalisme. Itu sebabnya seorang presiden RI dapat kita singkat namanya (atas persetujuan atau karena konsensus umum)
dengan SBY atau Gus Dur saja. Bahkan presiden Amerika Serikat pun dapat disingkat namanya JFK (John Fitzgerald Kennedy).
Ciri yang lain dari bahasa Indonesia jurnalistik adalah "sastra" dan "ilmu". Kita sebut "sastra" karena menyangkut keindahan berbahasa, menyusun kata dan kalimat agar berita enak dibaca. Pembaca akan betah duduk berlama-lama di kursi malas menikmati sajian berita kita. Meskipun begitu, kata-kata yang digunakannya haruslah pula memperhatikan penghematan kata, agar tidak mubazir. Itu sebabnya para wartawan sering pula mendapat julukan "sastrawan yang tergesa-gesa". Dia menuliskan karya tulisnya karena dikejar-kejar tenggat penyiaran.
Bahasa Indonesia jurnalistik juga berciri "ilmu" karena dia harus dipelajari. Dia termasuk dalam ilmu terapan yang mengandung unsur sebab dan akibat, dan harus dikuasai oleh setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam dunia kewartawanan. Karena itu, menjadi wartawan atau penulis tidak cukup hanya mengandalkan bakat, harus pula mendalami ilmu komunikasi di perguruan tinggi.
Contoh yang paling sederhana dari kata yang mubazir itu adalah "jatuh ke bawah". Dalam frasa ini kata keterangan "ke bawah" adalah mubazir sebab kata "jatuh" itu sudah memberikan pengertian ke bawah. Tetapi, untuk menyatakan bahwa kata "ke bawah" itu mubazir atau tak berguna, tidak diperlukan pemikiran seorang bergelar S-2. Seorang anak TK pun pastilah tahu bahwa yang jatuh itu tentu arahnya ke bawah.
Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa untuk menjadi wartawan cukuplah kita pekerjakan seorang anak TK yang mengerti soal jatuh ke bawah, dan tidak perlu seorang bergelar S-2. Tetapi pada kenyataannya, kata mubazir ini di lembaga ini justru dilakukan oleh mereka yang bergelar. Tentu saja hal ini dapat kita mengerti karena latar belakang ilmu yang dimiliki seorang wartawan di lembaga ini juga memengaruhi cara penulisannya. Yang saya maksudkan adalah setiap wartawan lembaga ini haruslah sudah benar-benar memahami prinsip dasar penulisan kata, yakni menghindarkan kata mubazir itu, apa pun latar belakang pendidikannya.
Menurut pengamatan saya, kata-kata mubazir inilah yang banyak sekali memboroskan uang lembaga dan secara jurnalistik telah merusak tata bahasa (ilmu) dan keindahan penulisan (sastra), dan akibatnya banyak pelanggan mencela berita kita sebagai sampah.
Pada umumnya kita mengabaikan masalah kecil ini secara sadar hanya gara-gara ingin agar tercapai jumlah nilai kredit dan tunjangan fungsional. Tetapi secara tidak sadar kita sebeanrnya telah membunuh diri kita sendiri dengan kata-kata mubazir itu, sebab kita telah menghambur-hamburkan uang terlalu banyak.
Coba perhatikan berita-berita politik khususnya mengenai pilkada dari seluruh daerah di Indonesia. Ada berapa banyak kata pilkada digunakan secara berulang-ulang, lalu dikombinasikan dengan pilgub, pilcagub, pilwakot, pilcawakot. Di Sumatera Utara ditambah lagi akronim khas Medan pilgubsu dan pilcawagubsu. Alangkah kacaunya, dan bayangkan betapa pembaca kita paksa untuk mengerutkan dahinya ketika membaca.
Kata-kata singkatan dan akronim itu mungkin dimaksudkan untuk menyingkat kata, tetapi ketika digunakan secara berulang-ulang justru kita telah menghamburkan uang dengan penggunaan kata yang mubazir. Menurut pengamatan saya, hampir 50 persen kata-kata ini mendominasi sebuah berita politik.
Kata-kata singkatan itu pun telah menjungkirbalikkan tata bahasa dan merusak keindahan berbahasa, dan lebih lagi, membuyarkan konsentrasi pembaca karena terlalu banyak kata pilkada yang tidak perlu. Kalau pembaca bosan, maka berita ini akan dia tinggalkan, dan akibatnya, konyol. Kita rugi.
Tahukah Anda sekalian, bahwa kata-kata singkatan itu sebenarnya dapat kita ganti dengan hanya satu kata saja dengan jelas dan padat, yakni "pemilihan". Bukankah pemilu, dan pil pil yang lain sampai pilkades itu adalah "pemilihan" juga?
Karena itu:
1. Pastikan bahwa sebuah berita yang kita tulis adalah mengenai satu masalah saja (straight news). Dengan begitu, Anda tidak perlu menggunakan macam-macam singkatan dan akronim dalam satu berita, yang berhubungan dengan masalah yang akan Anda beritakan.
2. Jika dalam sebuah berita, kita bercerita tentang "pemilihan kepala daerah" pastikan bahwa pemilihan kepala daerah itu adalah gubernur, atau bupati, atau walikota. Maka pemilihan kepala daerah itu dapat dipadatkan menjadi "pemilihan gubernur" saja. Dengan demikian frasa ""kepala daerah" sudah kita buang karena mubazir.
3. Kita --setiap wartawan-- sebenarnya harus cermat, dan mengetahui benar bahwa sistem pemilihan di Indonesia sekarang ini sudah mengarah pada sistem demokrasi murni. Maka kata "pemilihan gubernur" sudah pastilah mengikutsertakan sekaligus wakilnya. Jadi buat apa lagi Anda menulis pemilihan calon wakil gubernur. Karena terlalu panjang, Anda lalu menyingkatkan lagi kata itu menjadi pilcawagubsu dan pilcawakot. Bingung orang membacanya. Mubazir lagi.
4. Pemilihan calon walikota itu cukuplah ditulis pada alinea pertama atau pada teras dan judul berita saja. Selanjutnya cukuplah menuliskan kata pemilihan, sebab yang dimaksudkan dalam berita adalah pemilihan gubernur seperti yang tertera pada judul dan teras berita. Bukankah
tubuh berita itu menerangkan mengapa dan bagaimana atau penjabaran lead atau teras berita?
5. Sistem penulisan berita seperti ini berlaku pula pada topik pemberitaan yang lain, dengan maksud menghindarkan kata mubazir. Yang diperlukan dalam hal membuang kata mubazir ini sebenarnyalah kecermatan, dan keterampilan berbahasa. Tidak perlu pemikiran S-2. Buat apa orang banyak dengan gelar banyak S-2 kalau kata yang digunakannya juga mubazir semua.
Berita yang terlalu banyak menggunakan kata mubazir itulah antara lain yang disebut dengan berita sampah.
(Tulisan ini telah dimuat di milis Antara untuk maksud klinik editorial)
Umbu Rey
Rabu, 02 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar