Senin, 07 April 2008

Desis

Guru saya di kampung pada suatu ketika bertanya, apakah bedanya ular dan manusia. Saya bingung, sebab guru saya ini kadang-kadang suka bikin pertanyaan yang konyol-konyol. Jangankan nenek-nenek, orok yang baru bisa omong pun tahu bedanya.

Guru saya itu rupa-rupanya memandang kedua makluk ciptaan Tuhan itu sama saja bentuk, sifat, dan tabiatnya. Manusia ganti baju, ular pun ganti kulit. Lidah manusia itu tak bertulang, lidah ular itu bercabang dua. Keduanya MUNAFIK, atau hipokrit, persis seperti kata budayawan dan wartawan senior Indonesia, Mochtar Lubis (almarhum). Bedanya, ular tak bisa berbisik tetapi manusia sekarang bisa mendesis. Dengan perkataan lain, ular tak bisa menjadi manusia, tetapi manusia bisa menjadi ular. Nggak percaya?

Saya membaca sebuah kisah cinta dalam sebuah novel. Seorang pemuda yang jatuh cinta berkata kepada kekasihnya pada suatu saat ketika mereka bercengkrama dan bercumbu di bawah naungan pohon yang rindang."Aku cinta padamu, Sayang!" desisnya.

Dulunya saya pikir, yang berkokok itu cuma ayam (jantan), yang berkicau itu cuma burung (kalau burung unta, tak tahu saya), sapi itu melenguh, kerbau menguak, harimau mengaum, tikus mencicit, kuda meringkik, anjing menyalak, kucing mengeong, angin mendesir, peluru berdesing, besi pun berdencing. Buaya itu cuma bisa "mangap" di pinggir kali tanpa mengeluarkan suara. Dia cuma bisa menguap tetapi tak bisa cuap-cuap seperti manusia.

Buaya tak pernah biungung karena tidak bisa berpikir, tetapi saya bingung kenapa laki-laki disamakan tabiatnya dengan buaya. Manusia bisa meniru semua bunyi hewan meskipun tak bisa menjadi binatang (dalam arti sesungguhnya) . Tetapi kenapa mau omong cinta saja, orang berpacaran mesti berubah dulu menjadi ular supaya bisa mendesis?

Zaman kini makin maju pesat, bahasa manusia pun makin berkembang, begitu kata rekan saya sekantor. Di milis ini pun pernah seseorang berkata bahwa kita bebas menggunakan satu kata "suka-suka" kita. Tak peduli orang lain protes. Dia bilang asyyiiiikkk meskipun orang pda bingung.

Sebenarnya sudah ada kata "bisik" untuk mengucapkan kata dengan suara halus supaya tak terdengar orang lain? Mengapa kalimat cinta dalam novel itu tidak dinyatakan dengan kalimat ini:"Aku cinta padamu, Sayang!" bisiknya.

Mendesis itu suara halus yang hanya keluar dari mulut ular dan terdengar seperti bunyi napas tetapi tidak berupa kata-kata seperti ketika orang berbisik. Dan, berbisik-bisik adalah budaya manusia yang gemar menyebarkan gosip dan kasak-kusuk dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Dengan alasan metafora, ibarat atau umpama, zaman sekarang orang makin senang mengharubirukan logika. Sampai tega-teganya menganggap Ronaldinho itu seekor kuda yang "merumput" (makan rumput) di Barselona. Saya pikir, semua yang kita ucapkan sebenarnya adalah logika. Metafora atau ibarat itu pun adalah logika berpikir dan karena itu seharusnya dibuat menurut kenyataan, tidak bisa dibuat asal-asalan.

Mungkin cuma ada satu hal yang terkecuali. "Asmara, tak kenal dengan logika", kata penyanyi si burung camar Vina Panduwinata. Barangkali itu sebabnya orang mengucapkan cinta dengan mendesis, sebab cinta itu dianggap tidak kenal logika. Akibatnya, para artis sinetron di televisi itu saban hari dikabarkan bercerai, pindah dari satu pelukan ke dekapan lelaki yang lain.

Gadis-gadis dan janda di desa pun konon ikut-ikutan pindah dari perut ke selangkangan lelaki yang lain. Baca saja "Nah Ini Dia" di harian Pos Kota. Kenapa pasangan suami istri sering bercerai, mungkin karena mereka mengucapkan cinta dengan MENDESIS, meniru-niru suara ular yang lidahnya bercabang dua.

Betul, bukan? Kalau tidak setuju, terseraaaaahhhh. Saya tidak sedang mendesis.

Umbu Rey

Tidak ada komentar: