Ini cerita lama, mungkin sudah banyak yang tahu. Saya ceritakan saja hal ini sebagai ulangan dengan tafsiran baru. Iseng-iseng saja, supaya ada coretan saya di milis ini hari ini.
Suatu saat saya bertanya kepada rekan-rekan di meja sunting, apa kata dasar dari "pengemis"? Tak seorang pun dapat menjawab, sebab kata pengemis ya pengemis saja, tak punya kata dasar, kata mereka.
"Lagian repot amat lu nanya-nanya soal kata dasar pengemis. Pengemis itu ya tukang minta-minta. Itu saja, sudah!" begitu kata teman di sebelah kanan meja saya. Sewot betul dia kalau ditanya soal bahasa.
Lalu, siapa sebenarnya yang bisa disebut tukang minta-minta? Menurut saya, tukang minta-minta itu bukan ciri khas orang miskin, dan karena itu "pengemis" sebenarnya bukan "orang kere" atau orang melarat tak punya apa-apa.
Saya pikir orang-orang yang beragama semuanya termasuk "pengemis" juga walaupun pada umumnya mereka punya duit segudang. Hampir setiap saat mereka berdoa, dan berdoa itu pengertiannya sama saja dengan minta-minta pada tuhannya. Nggak bayar lagi kalau dikabulkan.
Yang dapat menjawab apa kata dasar "pengemis" itu pastilah KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Di situ tertera lema "emis". Jadi, "pengemis" adalah orang yang minta-minta, dan katanya, pengemis itu biasanya tidur di kolong jembatan.
Saya sangsikan kebenaran lema atau kata dasar "emis" itu. Teringat saya akan ucapan Pak Guru di kampung dulu sekali. Entahlah guru saya itu benar atau tidak, dia bilang, "Kata dasar pengemis itu adalah "Kemis". Huruf "k" pada kata Kemis itu harus luluh menjadi "ng" kalau mendapat awalan "pe" sehingga menjadi "pengemis". Ini memang masuk akal karena emis itu entah dari mana asal usulnya.
Kemis itu adalah nama hari menurut kebiasaan ucapan lidah orang Jawa. Bahasa Indonesia yang benar adalah Kamis. Konon, dari situlah kata pengemis itu jadi dan hidup sampai sekarang.
Menurut berita yang tersebar, pada zaman dulu ada kebiasaan raja Jawa (Yogyakarta) melakukan "turba" (turun ke bawah menurut istilah zaman saiki) untuk sekadar bertemu dan bercengkerama dengan rakyatnya. Kebiasaan itu dilakukan oleh Raja pada setiap hari Kamis atau Kemis menurut ucapan orang Jawa.
Rakyat yang mencintainya berduyun-duyun datang menyambutnya di pinggir jalan untuk bertemu dan bertatap muka. Kebetulan juga, sang raja punya kebiasaan menaruh satu atau dua keping uang logam ke tangan rakyat yang berada di dekatnya.
Uang dari tangan raja itu, konon, lebih bermakna berkah daripada nilainya untuk menyambung hidup. Sampai sekarang, menurut amatan saya, kebiasaan orang Jawa di luar keraton, untuk mendapat berkah dari sesuatu yang berhubungan dengan raja masih tetap dilaksanakan.
Pada tanggal 1 Syoro untuk menyambut tahun baru Islam rakyat yang berkerumun di alun-alun berebut-rebutan kue apem untuk mendapat berkah. Jika keris dan kereta kencana atau barang pusaka keraton lain yang dianggap bertuah milik kerajaan dicuci, maka air cucian itu diperebutkan karena dianggap bisa memberikan berkah atau nasib baik di kemudian hari.
Kemis yang kemudian menjadi pengemis itu -menurut amatan saya-- sebenarnya mengandung pengertian meminta berkah pada hari Kemis, tetapi lama-kelamaan kata itu terpeleset juga ke pengertian yang negatif, yaitu minta-minta sedekah untuk menyambung hidup.
Maka berbondong-bondonglah orang Jawa pergi ke alun-alun untuk mengemis siapa tahu sedang mujur, dan raja berbelas kasihan memberikan sekeping dua uang logam untuk beli makanan guna menyambung hidup.
Begitulah kisah yang saya dengar dari mulut ke mulut, dan hingga kini pengemis itu menjadi ciri khas "orang kere" di kolong jembatan. Dia hidup hanya dengan meminta-minta atau mengemis.
Maka terciptalah puisi PENGEMIS seperti di bawah ini:
Beri hamba sedekah oh, Tuan
Belum makan dari pagi
Tolong patik wahai Tuan
Seteguk air sesuap nasi
Lihatlah Tuan nasib kami
Tiada sanak tiada saudara
Pakaian di badan tidak terbeli
Sepanjang jalan meminta-minta
Lihatlah Tuan untung kami
Pondok tiada huma tiada
Bermandi hujan berpanas hari
Di tengah jalan terlunta-lunta
Bukan salah bunda mengandung
Buruk suratan nasib sendiri
Sudah nasib sudah untung
Hidup malang hari ke hari
O, Tuan, jangan kami dicibirkan
Jika sedekah tidak diberi
Cukup sudah sengsara badan
Jangan lagi ditusuk hati
(Dari Puisi Baru--STA)
I. Umbu Rey
Senin, 11 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar