Selasa, 08 Juli 2008

Mata ke ranjang...SONTOLOYO

Kalau ini sih masalah lama, zadul (zaman dulu) juga. Dalam satu minggu terakhir ini kata SONTOLOYO berkibar dan bertebaran di mana-mana dan tertulis pula di halaman surat kabar dan di dunia maya.

Minggu yang lalu harian Media Indonesia mengangkat judul Menteri Sontoloyo dalam karangan induknya (tajuk rencana). Surat kabar itu menyoroti sifat plin-plan dan mencla-mencle pejabat menteri sampai kepada korupter yang melibatkan anggota parlemen.

Hari Senin lalu (7/7/08), harian Kompas memuat artikel dalam kolom pada halam 6 dengan judul REPUBLIK SONTOLOYO. Penulisnya kelihatan geram sekali melihat kesemrawutan negara yang telah memerosotkan ekonomi setelah harga BBM dinaikkan oleh Presiden SBY. Kira-kira begitulah intinya.

Istilah "mata ke ranjang" memang dimaksudkan untuk menyindir orang laki yang suka main perempuan sebab nggak boleh lihat perempuan cantik lewat, maunya ke ranjang saja dia menyelesaikan hasyarat seksualnya. Dalam diskusi bahasa Indonesia secara terbatas di lantai 19 pada tahun 2002 saya sudah menerangkan arti frasa "mata ke ranjang" itu. Orang mengira bahwa sindirin itu adalah "mata keranjang", seakan-akan mata lelaki menyerupai atau sebesar keranjang lantaran suka menggoda perempuan cantik.

Dulu orang laki yang suka perempuan disebut lelaki hidung belang. Disebut begitu lantaran dia kena hukuman hidungnya dicoret-coret dengan arang dan dipamerkan di halaman rumah supaya terasa malunya dilihat orang ramai. Kalau mata ke uang saya tidak tahu. Yang kita semua tahu, orang yang suka duit itu namanya mata duitan atau matanya ijo.

Kita semua tentu sudah tahu, Bung Karno itu doyan benar sama perempuan. Orang bilang presiden pertama Indonesia ini seks libidonya kelewat tinggi. Zaman dia masih remaja, berani benar pacaran sama perempuan bule, dan ketika masuk internat di Bandung malah indehoi dan kemudian kawin dengan orang perempuan yang usianya dua kali lebih tua dari dia. Namanya Ibu Inggit.

Gara-gara itu perempuan cantik si Inggit, kalau saya tidak salah begitu ceritanya, istrinya yang pertama, anak dari HOS Cokroaminoto di Surabaya dia pulangkan kepada orang tuanya. Ibu Inggit inilah yang mendampingi Bung Karno ke pembuangan di Ende, Pulau Flores NTT pada tahun 1930-1934.

Dari Ende, sinyo peranakan Jawa-Bali ini dibuang pula ke Bengkulu dan tinggal di salah satu ruang di benteng peningalan Inggris. Setelah keluar dari situ, dia mengajar dan muridnya yang perempuan bernama Fatmawati dia kawini pula. Itulah 'first lady" atau ibu negara Indonesia zaman baru merdeka.

Setelah jadi presiden dikawininya pula dua perempuan cantik, satu di antaranya seorang penari. Rupanya belum cukup segitu, waktu dia berkunjung ke Jepang, seorang perempuan cantik muda rupawan menarik perhatiannya. Setelah rombongan kenegaraan tiba kembali di tanah air, eh..., dia kembali sendirian menjemput gadis itu ke Jepang. Kawinlah mereka di masjid di
samping Istana Presiden, dan gadis Jepang itu berubah namanya menjadi Rata
Sari Dewi.

Setelah mendapat gelar kehormatan Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno dinobatkan sebagai kepala negara seumur hidup. Kerjanya pidato melulu, dan konon, setiap kali pidato di atas podium, doyan benar tunjuk sana tunjuk sini. Ajudannya pun mengerti betul arti arah jari telunjuk itu. Kalau dia tunjuk ke kiri maka di situ pastilah ada perempuan cantik, begitu juga kalau dia tunjuk ke kanan.

Alhasil, Anda tahu sendirilah. Istrinya yang sah itu memang cuma empat, tetapi yang lain tidak pernah disebutkan dalam sejarah yang resmi, sebab konon kata orang, ke mana di pergi berkunjung, ke situ pula dia kawin dengan perempuan kesukaannya.

Nah, istilah "mata ke ranjang" itu saya pikir mungkin juga sindiran buat Bung Karno, karena kata orang, Bung Karno itu memang ganteng, dan hiper-seksual pula. Doyan benar sama yang namanya perempuan cantik.

Nah, istilah "SONTOLOYO" itu, mungkin sekali ada hubungannya juga dengan doyan perempuan itu. Jika ditinjau dari akar katanya, "sontoloyo" terdiri atas kata "sontol" dan "loyo". Agaknya memang, huruf "s" padaa kata "sontol" itu adalah pelesetan huruf "k" untuk tidak terus terang menyebut kemaluan lelaki yang loyo. Dua kata itu pun penulisannya diserangkaikan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga telah mencatat kata "sontoloyo" dan diberi arti konyol, tidak beres, bodoh (dipakai sbg kata makian). Istilah ini pun tidak resmi, hanya bahasa percakapan dan diberi simbol "cak".

Orang mengira kata "sontoloyo" itu diucapkan Bung Karno baru pada tahun 1960-an, tetapi sebenarnya sudah populer sejak tahun 1930 atau mungkin sebelumnya ketika Bung Karno masih remaja. Kuat dugaan saya, sontoloyo itu adalah kata ejek-ejekan atau olok-olokan di kalangan anak remaja ketika itu, dan mungkin sekali keluar lebih dulu dari mulut Bung Karno muda.

SONTOLOYO makin populer ketika Bung Karno menulis dalam surat chabar Pandji Islam dalam tahun 1940. Di dalam buku "Dibawah Bendera Revolusi" halaman 493 Bung Karno menulis artikel di bawah judul ISLAM SONTOLOJO dan kata itu pun harus dibaca: Soontooloojoo.

Artikel itu adalah penjelasan Bung Karno yang menanggapi berita di dalam surat chabar Pemandangan 8 April 1940 yang memberitakan "seorang guru agama didjebloskan ke dalam bui tahanan karena ia telah memperkosa kehormatannya salah seorang muridnja jang masih ketjil".

Umbu Rey

Tidak ada komentar: