Selasa, 08 Juli 2008

Mati berkalang tanah

Acapkali kita memang perlu menggunakan kiasan atau ibarat ketika menulis berita untuk menggambarkan sesuatu yang kita ceritakan. Kita mengambil perbandingan atau kiasan supaya orang mengerti maksud yang kita sampaikan. Bentuk kiasan atau analogi ini kita pelajari ketika masih duduk di bangku SMP atau mungkin di kelas enam Sekolah Dasar. Itu bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia yang biasa disebut Peribahasa.

Judul di atas adalah potongan dari sebuah peri bahasa yang lengkapnya berbunyi: "Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai". Peri bahasa ini dikiaskan kepada orang yang tak kuat menanggung malu. Zaman dahulu, ketika ajaran moral masih dijunjung tinggi, orang-orang pantang berbuat zalim, menipu, memerkosa atau berperilaku di luar ajaran leluhur mereka yang agung.

Seorang wanita atau gadis belia akan sangat teguh menjaga kehormatan dirinya demi keagungan nama keluarganya (apalagi jika dia keturunan orang terpandang atau bangsawan). Ketika perempuan muda itu jatuh ke bawah kekuasaan lelaki hidung belang lalu hamil di luar nikah, hancurlah nama keluarganya. Perempuan itu akan dicemooh, dicerca orang sekampung dan karena tidak tahan menanggung malu, dia lalu membunuh dirinya. Dari sebab itu muncullah peri bahasa itu.

Kiasan itu tentu tidak berlaku bagi kaum hina dina. Orang-orang dursila tak akan pernah disindir dengan peribahasa itu sebab mereka memang tak kenal moral. Penipuan dan kezaliman adalah bagian dari hidup mereka, dan pemerkosaan adalah makanan sehari-hari.

Lelaki itu ibarat kucing, asal melihat tikus matanya langsung melotot. Setiap kali melihat wanita cantik yang lewat, matanya langsung menuju ke ranjang. Artinya, dia ingin cepat-cepat ke tempat tidur (ranjang) untuk menuntaskan masalah syahwat. Karena itu dia disebut "laki-laki mata ke ranjang" (ranjang: tempat tidur biasanya terbuat dari besi). Jadi, bukan mata “kranjang” atau “keranjang” tempat sampah. Orang mengira mata keranjang itu adalah mata lelaki yang sebesar keranjang.

Wartawan itu saya bandingkan sama dengan orang berbudi luhur, tahu adat, pantang berdusta, orang intelektual. Dia rendah hati, berkata di bawah-bawah mandi di hilir-hilir. Kode etik dipegangnya dengan teguh. Intelektualistasnya diukur dengan kalimat-kalimat bahasa yang ditulisnya saban hari, karena itu wartawan seharusnya tidak membuat kekeliruan fatal. Semakin bagus dia bernalar, semakin baik pula budi bahasanya. Meskipun pada kenyataannya tidak selalu seperti itu.

Wartawan yang tidak dapat membuat kalimat (dengan baik dan benar) sama halnya dengan orang dursila yang tak punya adat istiadat. Bergabung dengan Lembaga Kantor Berita ANTARA dengan bekal ijazah S-1, punya gelar muka-belakang dari universitas terkemuka, namanya Drs. Ucup bin Sanusi, SH, MA. Hebat benar kedengarannya.

Sudah lebih dari sepuluh tahun dia bekerja sebagai wartawan ANTARA tetapi menulis kalimat pendek dengan rumusan SPOK saja tidak mampu. Inilah wartawan yang pas dengan kiasan di atas, "lebih baik mati berkalang tanah".

Seorang wartawan yang tak bisa membuat kalimat mestinya malu --meskipun telah berulang-ulang tulisannya dikoreksi-- karena dia hidup ibarat orang bercermin bangkai. Disindir-sindir pun dia kebal, maka itu dia disebut orang muka badak.

Saya tidak bermaksud menunjuk orang tertentu di dalam ulasan ini, tetapi contoh-contoh yang telah tersebar luas lewat VSAT dan saya kemukakan di sini mungkin dapat menggugah semua orang untuk menjadi lebih baik. Perhatikan contohkalimat di bawah ini:

“Besarnya penerimaan penghasilan anggota DPRD, ibarat menabur garam di laut, yang meskipun berapapun besarnya tetapi tidak terasa, karena dinikmati oleh lautan masyarakat yang butuh dan haus,” demikian dilaporkan ANTARA, Jumat. (Bra Mataram VSAT 16/12/05 alinea kedua di bawah judul ANGGOTA LEGISLATIF HARUS….)

Kalimat di atas bukan perkataan seorang narasumber meski menggunakan tanda petik atau dalam kutipan langsung. Itu kalimat dibuat sendiri oleh penulisnya. Kalimat yang amburadul itu susah dirunut dengan akal sehat. Sudah begitu, digunakannya pula kata-kata kiasan yang mungkin dia sendiri tidak tahu maksudnya.

1. Besarnya penghasilan anggota DPRD dia ibaratkan dengan menabur garam di laut
2. Penghasilan anggota DPRD berapa pun besarnya, katanya, tidak terasa, karena dinikmati oleh lautan masyarakat yang butuh dan haus.

Bagaimanakah alur pikirannya sampai gaji anggota DPRD itu dia ibaratkan seperti manabur garam ke laut, dan bagaimana mungkin gaji anggota DPRD itu harus dinikmati oleh lautan masyarakat yang butuh dan haus? Keterangan lain yang mendukung pengertian itu tidak juga jelas dijabarkan sebab terlalu banyak kalimat yang tidak nalar dibuatnya.

Ibarat membuang/manabur garam ke laut adalah peribahasa yang menggambarkan orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan sia-sia. Mengapa lautan itu ditaburi pula dengan garam, padahal sudah asin? Itulah inti kiasannya. Sama sekali tidak masuk akal jikalau kiasan itu diibaratkan kepada anggota DPRD yang penghasilannya tidak besar. Menyimpang dari maksud sebenarnya.

Peri bahasa yang sama maknanya dengan itu adalah “seperti menjaring angin” atau “seperti mengalirkan air ke bukit”. Orang tak akan mungkin menjaring angin, dan mengalirkan air dari lembah ke bukit juga adalah pekerjaan sia-sia (dulu). Arti kiasan itu lebih tepat ditujukan kepada wartawan/penulisnya sendiri, karena dia telah melakukan pekerjaan dengan sia-sia, yakni menulis berita dengan sia-sia. Tak seorang pun mengerti apa yang hendak ditulisnya. Orang lain mungkin hanya meraba-raba, mencoba menelusuri alur pikiran penulisnya, tetapi saya rasa juga sia-sia. Karena itu, jangan lakukan pekerjaan dengan sia-sia, supaya harapan hidupmu tidak akan sia-sia.

Pada hari sama (VSAT Mataram 16./12/05) wartawan yang sama menurunkan berita olah raga di bawah judul TIM KESEBELASAN GUBERNUR BERMAIN IMBANG 0-0. Mengertikah anda arti kalimat judul itu? Kesebelasan Gubernur itu bermain apa? Bermain sepak bolakah atau bermain imbang? Jenis pemainan apakah imbang itu? Untunglah, teras kalimat berita itu masih dapat menjelaskan lawan kesebelasan Gubernur NTB. Kalau tidak, bingunglah kita.

Banyak metafora digunakan dalam berita itu, sebagian masuk akal, sebagian lagi membingungkan. Istilah “dimotori” artinya digerakkan oleh, atau dipandu oleh seorang kapten tim. Pemain sayap (kiri atau kanan) biasanya digunakan untuk istilah orang yang bermain di sektor kanan atau kiri lapangan.

Pemain belakang disebut bek, karena dia berada di posisi belakang, biasanya ada dua orang pemain di situ (tergantung sistem yang diterapkan pelatih). Tugasnya membantu penjaga gawang untuk mengahalau bola lawan yang berhasil menerobos wilayah mereka. Pemain belakang tentu saja tidak lazim kita sebut pemain “ekor” atau pemain “buntut” sebab tidak ada pemain kepala. Ada juga ujung tombak, maksudnya pemain penyerang yang paling diandalkan untuk menciptakan gol.

Yang membingungkan justru ketika dia menulis “…..hingga peluit panjang yang ditiup juri sebagai tanda berakhirnya pertandingan kedudukan tidak berubah tetap 0-0.”

Baru kali ini dan baru di kota Mataram inilah ada "juri" di lapangan sepak bola. Juri itu membawa peluit panjang yang dia tiup untuk mengakhiri pertandingan. Sama sekali tak masuk akal, dan berita ini hanya dibuat untuk celaan orang banyak. Jika wartawan ANTARA punya nalar tinggi pastilah dia akan merasa malu membuat kesalahan seperti itu. Dalam berita olah raga, kita sangat sering menggunakan metafora untuk menggambarkan sesuatu dengan perbandingan (KBBI). Jadi, mirip-miriplah dengan kata kiasan.

Kita sering melukiskan hasil pertandingan dengan kalimat “Kesebelasan Persija Mencukur Gundul Persib Bandung 5-0 di Stadion Lebak Bulus Jakarta”. Tahukah anda mengapa disebut mencukur gundul? Jangan membayangkan pemain Persija membawa silet lalu mencukur pemain lawan di tengah lapangan sampai gundul. Bukan begitu.

Metafora "mencukur gundul" itu digunakan karena Persija menang dengan angka telak 5-0. Angka nol itulah yang digambarkan oleh wartawan sebagai kepala yang telah dicukur sampai gundul sehingga tampak menyerupai angka nol.

Jadi, jika pertandingan itu berakhir dengan angka 5-1, anda tidak bisa menggunakan istilah mencukur gundul. Dengan angka 5-1 itu, di manakah gundulnya, kesebelasan manakah yang digunduli? Lebih tepat kita gunakan istilah “Persib tak berdaya menghadapi Persija di Lebak Bulus” atau kalau mau agak ekstrem “Persib keok dengan angka 5-1 di hadapan pendukung Persija di Lebak Bulus”. Keok adalah metafora yang menggambarkan satu kesebelasan yang tak berdaya menghadapi lawannya.

Acapkali kita juga menggunakan metafora “masuk kotak” bagi kesebelasan yang kalah pada babak penyisihan dan tidak dapat lagi bermain pada babak selanjutnya. Frasa "masuk kotak" itu diambil dari istilah pewayangan. Wayang yang tidak lagi dimainkan dalam cerita selanjutnya, akan dimasukkan ke dalam kotak oleh dalangnya. Dari situlah istilah masuk kotak itu diambil.

Yang harus diingat, bahwa sebuah peribahasa dibuat berdasarkan logika atau nalar. Tidak ada peribahasa yang tidak berdasarkan logika. Karena itu jangan pernah mengharapkan kemajuan jika bahasa kita sendiri tak berkembang. Wartawannya pun tidak pernah berubah menjadi lebih pandai.

Wartawan masa kini seperti hidup bercermin bangkai jika kalimatnya amburadul setiap kali dia menulis berita. Kalau begitu, mati sajalah kau supaya jangan kantor berita ini dicemooh orang banyak.

Jakarta, 17/12/2005

Umbu Rey

Tidak ada komentar: