Ini orang, manusiakah atau mesinkah? Badannya yang tinggi menurut ukuran wartawan di Kantor Berita Antara memperlihatkan kesan kurus kerempeng. Kerja tidak pernah berhenti, meskipun hanya dengan satu tangan. Namanya Zainal Samsuddin, tetapi orang memanggilnya Encing.
Kalau bicara suaranya pelan dan halus seperti orang berbisik meskipun mungkin dia sedang marah. Kadang-kadang kita tidak bisa mengerti kata-katanya dengan sekali mendengar. Itu sebabnya orang di sekitarnya bilang, si Encing ini tidak ada bedanya dengan Sri Paus Yohanes Paulus II. Encing bicara pelan dengan suara serak sangat lemah seperti orang kena parkinson atau penyakit tua.
Dari dulu dia memang selalu begitu. Kalau sebatang rokok terjepit di bibirnya, makin susah kita menangkap kata-katanya. Tetapi yang keluar dari dalam lubuh hatinya tiada lain dari ketulusan untuk memajukan sesama wartawan. Dia tidak pernah bicara yang kotor-kotor, juga tidak pernah mencela, tetapi kritikannya sangat tajam menukik.
Dalam setiap kali diskusi atau mengobrol soal apa saja, pembicaraan akan selalu membelok ke soal berita, kalimat berita, pemilihan kata, soal logika, dan masalah mengapa lembaga ini tidak pernah maju. Tiap hari ketika masuk kantor, manusia yang satu ini akan selalu tampak. Hampir tidak pernah dia libur. Pukul satu pagi wartawan sift malam pulang ke rumah, Encing masih tetap memelototi layar komputer.
"Saya tidak tega melihat ada berita bagus muncul di layar komputer. Sayang dilewatkan dan terbuang menjadi sampah, Mbu. Itu berita harus segera dibuat dan disiarkan. Jadi, mesti saya kerjakan. Begitu, Mbu!"demikian kata-kata Encing yang masih saya ingat.
Coba tanya, mengapa dia harus kerja sampai larut dan mengapa tidak dibiarkannya saja berita itu terbung. Dia kejar jumlah honor? Ternyata tidak. Kredit poin apalagi. Padahal honornya tidak lebih besar dari gaji pokok saya. Zaman dulu tidak ada sistem kredit, dia memang selalu begitu. Kalau ditanya mengapa kerja ngotot, jawabannya selalu begini, "Saya kerja karena hobi, Mbu!"
Kerja itu adalah hobi, kesenangan, dan jika itu kita lakukan gaji tidak pernah jadi masalah. Hobi itu adalah kenikmatan kerja, dan di situlah kebahagiaan yang kita dapatkan, begitu kata Encing. Model kerja seperti Encing mengingatkan saya akan hobi yang pernah saya lakukan ketika masih di kampung dulu. Saya pergi ke laut lepas dengan sampan kecil, kadang-kadang seorang diri untuk memancing. Tidak ada target berapa uang yang akan saya kumpulkan dari hasil memancing. Seekor ikan ekor kuning pun kalau sudah menyangkut di ujung kail, senangnya bukan main.
Saya belum pernah satu kali pun mendengar kata "gaji" atau "honor" keluar dari mulutnya. Orang ini tidak pernah mengeluh berapa gaji yang dia terima sebagai honorer tiap bulan. Pokoknya kerja. Kalau orang ramai-ramai omong masa depan soal gaji, dia malah diam atau menghindar, seakan-akan itu tidak penting bagi dia.
Sudah lebih dari 20 tahun saya mengenal Encing, dan baru benar-benar akrab ketika saya masuk dalam jajaran Redaksi Olah Raga tahun 1992. Pada tahun1993, ketika Marskel Pertama Handjojo Nitimihardjo (almarhum) menjabat pemimpin umum, kami berangkat ke Singapura untuk meliput peristiwa multi-lomba dan tanding dalam pesta Olah Raga Asia Tenggara SEA Games. Bersama kami ikut pula mantan kepala biro Surabaya, Indro, lalu ada Audy Mirza (pewarta foto), dan Teguh Handoko.
Sebagai orang paling senior dalam peliputan itu, dia tidak pernah bekerja dengan mengucapkan kata-kata. Pagi-pagi dia sudah lebih dulu mandi dan siap berangkat ke stadion. "Mbu, siap, kita ke Stadion. Makan dulu di warung Padang."
Di Stadion, tiba-tiba dia menghilang, dan sebentar kemudian di muncul dengan setumpuk data dan hasil wawancara. Tiba-tiba sudah lima berita terkirim lewat laptop. "Mbu, tadi saya bikin sepuluh berita dan satu pumpunan!" Itu kalimat pukulan buat saya, sebab saya merasa ketinggalan. Esok saya balas dengan jumlah yang sama, satu pumpunan. Dia tersenyum.
Pukul 24.00 waktu Singapura biasanya kami baru pulang ke tempat penginpan. Masuk hotel sebentar dan keluar lagi cari makanan. Pada malam menjelang pagi di Singapura, tidak ada lagi warung terbuka, maka tidak ada pilihan untuk mengisi perut menjelang tidur. Seratus meter dari hotel kami menginap hanya ada satu restoran milik orang India. Nasi tentu saja tidak tersedia, maka yang kami makan tiada lain "rotiprata".
Orang India itu bilang roti prata sebenarnya kue basah mirip dengan martabak tetapi tidak diberi gula. Makan pun terasa hambar, dan supaya bisa masuk kerongkongan dengan lancar, harus didorong dengan sekaleng minuman. Tetapi si Encing saya lihat lahap benar. Roti selebar piring nasi itu cuma tiga kali saja masuk mulut, lalu tertelan setelah didorong dengan segelas air putih.
Di hotel si Encing cuma omong sedikit, lalu ada saja yang dia ketik.Tiba-tiba dia sudah tertidur. Dia tengkurap, kepalanya hilang di bawah bantal, celana panjang masih dikenakannya. Setelah sampai ke Tanah Air, roti prata itulah yang selalu jadi kenangan.
Kesuksesan kerja meliput SEA Games di Singapura seakan-akan dibayar dengan kenikamatan roti prata. "Mbu, cari roti prata, mana ada di Jalan Sabang," begitu selalu Encing berseloroh. Setiap kali menyebut roti itu, wajahnya riang sekali, bibirnya merekah melebar seperti roti prata. Saya selalu mengolok-olok dia dengan menyebut dia Encing Prata.
Ini orang asal dari mana, saya tidak tahu. Sekolahnya pun di mana sayatidak tahu persis. Tetapi, semua sudut stadion Gelanggang Olah Raga (Gelora) Bung Karno dari timur ke barat dan sejarahnya semua terekam di kepalanya. Semua sudut gelanggang (tempat main bola kaki), sudah dihapalnya di luar kepala. Ukuran dan jumlah kursi dan semua detil stadion itu diketahuinya.
Konon, ketika stadion itu dibangun pada awal tahun 1960-an Encing sudah bekerja di sana. Ketika saya meliput sepak bola pada tahun 1992 sampai tahun 1995, banyak masukan saya peroleh dari si Encing ini. Kalau saya bilang mau wawancara tokoh olah raga terkenal pada zaman 1960-an, si Encing selalu membantu.
Tiba-tiba seorang pelari marathon keturunan India bernama Gurnam Singh sudah berada di kantor. Dia panggil dengan biaya sendiri. Maka lancarlah saya mewancarai pelari yang pernah mengharumkan namaIndonesia pada tahun 1962 dalam Asian Games itu. Besoknya, hampir semua koran pelanggan Antara menulis di rubrik olah raga dengan judul besar-besar: GURNAM SINGH INGIN BANGKIT LAGI.
Diskusi bahasa yang saya adakan setiap minggu selalu dihadiri Encing. Diskusi bahasa dan jurnalistik paling enak memang dengan Encing. Selalu sejalan dan mengena pada sasaran. Setiap kali menyunting atau menerjemahkan berita olah raga, dia sempat juga mengoreksi berita-berita watawan yunior dari semua meja sunting. Setumpuk berita dalam kertas yang jika disusun mencapai setengah meter penuh dengan koreksiannya, coretan-coretannya. Ini salah, dan seharusnya begini. Sayangnya, tak seorang pun pejabat memperhatikan usahanya untuk memperbaiki bahasa berita Antara.
Suatu saat kami (ada beberapa orang) berdiskusi serius di ruang tamu. Kami membicarakan masalah karut-marut bahasa Indonesia dan jurnalistik di lembaga ini. Setiap orang mengemukakan masalah, argumen dan pemecahan. Tak ada kata sepakat. Dalam suasana perdebatan tanpa moderator itu, si Encing angkat bicara.
Inilah kalimatnya yang selalu saya kenang," Eh, tahu nggak kenapa Antara ini tidak pernah bisa maju? Kita ini enggan mencontoh kerja orang Kristen atau orang Barat. Di Kantor berita ini tidak ada Ora et Labora. Kita kebanyakan sembayang, tetapi hampir tidak pernah melaksanakan sesuatu."
Pada suatu saat di malam hari, saya kebetulan bertugas sebagai redaktur bertanggung jawab atau RBT. Diskusi bahasa berlanjut ke soal maju mundurnya Antara. Saya melihat Encing sangat kecewa ketika kemajuan tidak pernah terwujud. Dia kelihatan lelah sekali. Kasur lipat yang dibelinya di arena parkir Monas seharga Rp50 ribu adalah temannya sepanjang malam.
Dia menggelar kasur itu di kolong meja dan sekejap sesudah itu, seperti malam-malam sebelumnya, dia tidur tengkurap. Kebiasaannya memang begitu. Beberapa bulan sesudah diskusi itu saya mendengar kabar Encing terjatuh (entah di mana), dan dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto. Saya tidak sempat menjenguk dia di sana. Sebulan kemudian dia tertatih-tatih, tangan kanannya telah mati, tidak bergerak. Tiga tahun lamanya sejak terjatuh pada tahun 2005, Encing bekerja melanjutkan hobinya membuat berita, meski hanya dengan tangan kirinya. Berapa jumlah berita yang dia hasilkan? Luar biasa, sama seperti ketika tangannya masih normal.
Kursi di pojok kiri Rekdaksi Olah Raga setelah dia terkena serangan stroke seakan-akan tempat sangat terpencil baginya. Meski banyak orang lewat di situ, tidak seorang pun menegur dia, dan nyaris tak seorang pun menghampirinya di situ. Encing terus saja menunduk-nunduk dan mendongak-dongak di situ sedangkan telunjuknya menekan tombol di papan komputer.
Biarpun tak seorang menyapa dia, hampir saban hari dia memanggil saya, sekadar untuk memperlihatkan kesalahan berita yang ditulis reporter. "Umbu, nama Presiden SBY diganti lagi. Coba lihat di VSAT," saya terpaku, tidak bisa bilang apa-apa. Para pejabat kita pun tidak menghiraukan pekerjaannya.
Hari Jumat tanggal 23 Mei saya tidur di kursi kantor karena penyakit maag yang menggerogoti perut saya sejak lama. Sayup-sayup saya mendengar orang-orang di kantor bicara seperti berbisik-bisik. Encing meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto pukul 17.45 WIB. Saya tertegun, diam, tak bisa mengucapkan kata-kata. Semua masalah karut-marut bahasa dan jurnalistik sudah kami bicarakan, tetapi satu hal yang ini tidak pernah saya ucapkan, "Encing, jangan merokok!" Itu mungkin penyebab ajalnya.
Kursi tempat dia duduk setiap hari, sekarang sudah telantar. Sampai alrut malam ketika masih ada di kantor, saya tak melihat arwahnya "nangkring" di situ. Kursi itu masih tetap kosong melompong. Encing sudah pergi mendahului kita, dan menunggu kita di tempat penantian.
Dominus vobiscum.
(Ditulis tanggal 26 Mei untuk mengenang Encing)
Umbu Rey
Selasa, 09 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Jadi ikut sedih, seperti saya mengenal sosok Encing juga....
Posting Komentar