Selasa, 30 Maret 2010

MemBER-(D)-kan yang keliru

Pada umumnya kita menggunakan dua awalan yakni “me-“ dan “di-“ dalam percakapan setiap hari di samping awalan “ber-“, dan agak jarang kita gunakan awalan “ter-“. Awalan yang terakhir ini lebih sering diganti begitu saja dengan awalah “ke-“ sehingga terbentukl;ah ketimpa (tertimpa), ketangkap (tertangkap), kelewat (terlewat atau terlampau), ketua (tertua), kekasih (terkasih), kepukul (terpukul), ketemu (tertemukan), kegencet (tergencet), dan kejedot (terjedot atau terantuk), dan keceplos, dst.

KBBI Pusba edisi keempat akhirnya menciptakan pula awalan “ke-“ yang merangkai kata “tahu” sehingga menjadi “ketahu” meskipun dalam percakapan sehari-hari kata tersebut --menurut amatan saya-- tidak pernah ada. Yang ada, “ketahuan” dengan makna yang sama dengan kelihatan dan kedengaran. Dalam KBBI edisi sebelumnya, “ketahu” itu tidak saya temukan.

Dalam penutur bahasa kelompok menengah ke atas, sering pula terdengar awalan “memper-“ yang lazimnya mengawali kata dasar (D) sifat dengan makna “menjadikan lebih (D)". Jadi, memperbesar artinya menjadikan sesuatu lebih besar, dan memperpanjang artinya menjadikan sesuatu lebih panjang.

Menurut tata bahasa, kita kenal juga imbuhan “memPER-kan” yang pada umumnya mengapit kata dasar (D) dari turunan kata kerja berawalan “ber-“. Ini contohnya.

1) Dagang --BERdagang -- memPERdagangkan – perdagangan -- pedagang
2) Juang – BERjuang – memPERjuangkan – perjuangan --pejuang
3) Taruh – BERtaruh – memPERtaruhkan –pertaruhan – petaruh
4) Temu – BERtemu – memPERtemukan –pertemuan -- petemu

Dalam contoh pada butir (1) memperdagangkan ialah melakukan pekerjaan BERdagang, perdagangan adalah perihal Berdagang, dan pedagang adalah orang yang BERdagang. Maka makna kata pada butir (2), (3), dan (4) begitu pula hendaknya, selalu mengacu pada kata kerja berawalan BER.

Tetapi, dalam percakapan sehari-hari muncul pula imbuhan “memBER-kan” (yang entah dari mana asal-muasalnya) diucapkan orang begitu saja sebagai kelaziman. Terbentuklah kata berimbuhan “memberdayakan, memberhentikan, memberlakukan, dan memberolahragakan”. Karena sangat kerap diucapkan orang banyak saban hari, tercatatlah kata itu dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang dikeluarkan oleh Pusat Basa Departemen Pendidikan Nasional, dan dianggap benar saja.

Jikalau contoh kalimat pada butir (1) sampai dengan (4) tersebut di atas kita sepakati sebagai bentuk kaidah yang baku maka “memberdayakan, memberhentikan, memberlakukan, dan memberolahragakan” itu adalah bentuk penyimpangan dan secara tata bahasa hendaknya dianggap keliru, dan bukan pengecualian”.

Orang telanjur memahami pengertian “memBERdayakan” dalam arti membuat berdaya (seakan-akan kata berdaya itu adalah kata dasar). Anehnya, sublema “memperdayakan” diartikan orang dengan makna tipu muslihat atau tipu daya (seperti tersebut pula dalam KBBI).

Kata “berdaya” sesungguhnya bukan kata dasar atau lema (lihat KBBI). Dia adalah sublema atau turunan dari kata dasar DAYA yang diberi berawalan BER. Jika demikian maka:

(5) Daya – BERdaya – memPERdayakan – perdayaan – pedaya.

Menurut kaidah ini, memPERdayakan artinya membuat orang supaya BERdaya dan bukan melakukan tipu daya seperti yang dipahami oleh banyak orang.

Dalam milis ini beberapa tahun yang lalu saya sudah menguraikan kata “memPERdayai” sebagai padanan kata “mengerjai” (yang berkembang dalam masyarakat) untuk maksud tipu daya itu. Dalam diskusi akhir tahun bulan Desember tahun lalu, telah pula saya ulangi keterangan ini di hadapan Prof. Dr. Anton Moeliono. Tak ada tanggapan, baik oleh para panelis maupun peserta diskusi (boleh jadi artinya disetujui).

Karena itu, selanjutnya ada baiknya kita kembalikan kata berimbuhan “memBER-kan” yang salah kaprah itu seperti berikut.

(6) Henti – BERhenti – memPERhentikan – perhentian – pehenti
(7) Laku – BERlaku – memPERlakukan – perlakuan – pelaku
(8) Olahraga – BERolahraga – memPERolahragakan – perolahragaan – peolahraga.

Uraian tersebut di atas mungkin sekali tidaklah mutlak benar, sebab makna kata tuturan berlaku menurut kebiasaan atau kelaziman. Itu sebabnya orang selalu berkilah, “Kan, biasanya begitu. Terus, kita mau bilang apa lagi!?”

Saya kemukakan masalah ini untuk mencari kesepakatan makna menurut ”tata bahasa” sebab arti kamus atau makna leksikal sering sekali diselewengkan menurut pengertian si penutur. Ahli perkamusan di Pusat Bahasa mencatatnya juga dalam KBBI sebab mereka hanya “merekam” arti yang tersebar dalam masyarakat.

Kalau Anda sepakat dengan saya, selanjutnya bolehlah kita “mendarat” di suatu tempat untuk membicarakan makna kata yang tidak lagi sesuai dengan makna leksikal dan makna kata menurut tata bahasa yang baku.

Dalam sidang paripurna Pansus Angket Century belum lama ini para anggota DPR-RI berebut-rebutan melakukan interupsi –entah mungkin karena sadar mereka disorot kamera televisi sekadar untuk melontarkan pertanyaan tak bermakna apa-apa.

“Pimpinan, pimpinan----interupsi, pimpinan..!!!!” Siapakah yang mereka maksudkan dengan panggilan “pimpinan” itu. Padahal di depan meja Pak Marzuki Alie sebagai pemimpin sidang tertera jelas kata KETUA dan bukan PIMPINAN.

Menurut saya, “ketua” artinya orang yang dituakan atau tertua atau yang dianggap tua, sebab ada kebiasaan keluarga orang Indonesia bahwa dalam sebuah pertemuan maka yang memimpin itu selalu diambil dari orang yang tertua atau yang dianggap paling matang. Yang kakak selalu diwajibkan memimpin adik-adiknya yang lebih muda.

Umbu Rey

1 komentar:

Yutmen Soru mengatakan...

Terima kasih Umbu Rey. Ulasan yang bagus sekali. Terima kasih. Saya guru BIPA dan artikel ini sangat membantu sekali. Oya, ini Umbu Rey di Kupang atau di Sumba?