Selasa, 05 Februari 2008

Menyumpah dan Menduduki Jabatan

Kata "sumpah" dapat sekaligus mengartikan perbuatan baik dan buruk. KBBI berkata bahwa "sumpah" dapat berarti pernyataan resmi dengan bersaksi kepada Tuhan. Tetapi dia juga berarti kata-kata yang buruk (maki-makian) atau kutuk, dan tulah.

Dengan demikian "menyumpah" dapat berarti mangangkat sumpah tetapi juga berarti memaki atau mengutuk orang lain. Jadi, perbedaan kata ini bergantung pada konteks. Orang yang menyumpah ketika sedang marah-marah, berarti dia sedang memaki-maki, tetapi orang yang menyumpah pada acara pelantikan, berarti dia sedang mendapat rezeki kenaikan jabatan.

Arti dalam KBBI ini saya anggap benar sajalah karena begitulah orang ramai mengucapkannya. Sama halnya dengan perkara "menggali lubang" dan "menanak nasi" kita boleh setuju dengan KBBI, tetapi tidak dilarang juga jika saya membantahnya lewat pernalaran. Kebiasaan orang ramai mengucapkan suatu kata sering sekali membikin kita bingung memahaminya. Itu sebabnya terjadi perdebatan (kusir) dalam milis ini.

Sepengetahuan saya, kata "menyumpah" itu sesungguhnya hanya terjadi ketika orang sedang marah-marah. Orang yang dilantik dalam acara pelantikan kenaikan jabatan itu adalah orang yang sedang "bersumpah". Artinya, dia sedang mengangkat sumpah atau mengucapkan sumpah untuk bertanggung jawab atas pekerjaan yang akan diembannya.

Jadi sebenarnya, awalan "ber" pada kata "bersumpah" itu berarti mengangkat sumpah atau janji, sedangkan awalan "me" pada kata "menyumpah" hanya berarti mengucapkan atau melontarkan kata-kata kotor saja, atau mencaci maki, atau mengutuk.

Para wartawan sering kali menulis bahwa pada suatu upacara pelantikan pejabat, si A telah "disumpah" untuk menduduki jabatan tertentu. Maka timbullah pertanyaan, jikalau si A disumpah, siapa pula yang menyumpah dia? Rasanya tak mungkinlah seorang menteri dalam negeri, misalnya, menyumpah gubernur dalam suatu acara pelantikan. Menteri itu mengambil sumpah gubernur di hadapan Tuhan.

Ibu si Malin Kundang dalam cerita rakyat Sumatera Barat tidak pernah bersumpah atau berjanji, tetapi dia "menyumpah" anaknya atau mengutuk anaknya yang durhaka itu sampai menjadi batu, lantaran dia kesal atau marah.

Kata "menduduki jabatan" juga menimbulkan masalah jika ditelusuri lewat pernalaran. Anda atau sebagian dari anggota milis ini boleh-boleh saja berkata, "Akh, itu kan sudah biasa, tidak semua harus pakai logika!" Betul. Tetapi, frasa "menduduki jabatan" harus pula diluruskan karena tidak sesuai dengan pernalaran berbahasa. Karena keliru.

Bahasa Melayu pada umumnya mengenal lawan kata. Jika ada naik maka ada turun, dan jika ada tinggi maka ada rendah, dan ada panjang maka ada pula pendek. Begitu juga dengan "menduduki jabatan"?

Setahu saya (itu pun menurut guru saya di kampung), seorang pejabat yang mengemban tugas menurut jabatannya maka dia disebut sedang "memangku jabatan" dan jika sudah habis masanya maka pejabat itu akan "meletakkan jabatan". Begitu juga jika dia telah "memegang jabatan" maka suatu ketika dia akan "melepaskan jabatan".

Nah, kalau seseorang "menduduki jabatan", apa pula istilahnya jika suatu hari kelak dia tidak lagi menduduki jabatan itu? Bukankah "menduduki jabatan" itu berarti jabatan yang menderita pekerjaan diduduki? Sungguh saya sangat merasa kasihan pada jabatan itu karena telah diduduki selama lima tahun.

Saya mungkin keliru, tetapi rasa-rasanya masyarakat pada umumnya terbiasa mengucapkan istilah "menduduki kursi jabatan" sebab suatu hari kelak seorang pejabat yang sudah genap waktu tugasnya harus "meninggalkan kursi jabatan" itu, atau turun takhta atau lengser ke prabon.

Tidak ada kelaziman seorang pejabat "memangku kursi jabatan" atau "memegang kursi jabatan". Kursi itu bukan untuk dipangku sebab terlalu berat, dan tidak pula untuk dipegang saja. Itu sebabnya seorang yang sudah dilantik atau sudah bersumpah harus menduduki kursi jabatannya.

Orang Belanda telah "menduduki wilayah" Nusantara selama lebih dari 300 tahun. Belanda tidak pernah "memangku wilayah" dan tidak pula "memegang wilayah" Nusantara. Ketika negara Indonesia terbentuk dan menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 maka orang Belanda terpaksa harus "meninggalkan wilayah" yang didudukinya itu.

Coba Anda diduduki selama lima tahun, mau?

I. Umbu Rey

Tidak ada komentar: